Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Sunday, November 25, 2012

Sepanjang Rel Kereta Api


Di sepanjang rel kereta api, berjalanlah seorang nenek dengan memanggul sayuran di punggungnya. Usianya memang sudah renta. Namun, kakinya melangkah dengan mantap menyusuri rel kereta api menuju ke pasar. Jarak dari rumahnya ke pasar sejauh satu kilometer.

Udara pagi menyelimuti tubuh nenek itu. Wajahnya yang penuh kerutan menandakan bahwa ia sudah lama menanggung kesusahan hidup. Namun pada wajahnya juga terpancar kekuatan sehingga setiap pagi ia sanggup berjalan menyusuri rel kereta api sejauh satu kilometer menuju pasar.

Si nenek mempunyai beberapa anak yang semuanya sudah menjadi “orang”. Di rumah ia tinggal bersama anak bungsunya yang pegawai negeri di kecamatan. Sebenarnya soal makan, ia tidak perlu mengkhawatirkannya. Untuk kebutuhan sehari-hari ia dan anaknya juga tidak kekurangan. Namun, nenek itu malu jika selalu meminta pada anaknya.

Seminggu yang lalu ia melihat kain batik yang bagus di sebuah toko di pasar. Ia tanyakan harganya kemudian ia hitung-hitung tabungannya. Belum cukup. Hari ini ia membawa seluruh tabungannya. Dengan tambahan hasil berjualan sayuran pagi ini ia bisa membeli kain batik yang diinginkannya.

Sampai di pasar nenek itu segera menggelar dagangannya. Satu dua pembeli datang, menanyakan harga dan menawar. Kemudian pergi membawa beberapa ikat sayur dan memberikan beberapa lembar uang pada si nenek. Begitulah sepanjang pagi hingga sayuran si nenek habis.

Si nenek berjalan dengan tersenyum, menyapa orang-orang di pasar yang dikenalnya. Ia menuju toko kain.

Saat matahari sepenggalah naik memancarkan sinar yang hangat, si nenek berjalan pulang menyusuri rel kereta api. Hatinya merasa senang. Tangannya mengelus-elus kain batik yang baru dibelinya. Betapa halusnya. Ia sudah mempunyai rencana. Ia akan menjahitkannya dan akan ia pakai saat pesta perkawinan anak Pak Lurah nanti. Ia membayangkan dirinya sendiri memakai pakaian batik hingga perjalanan jauh tak terasa melelahkan baginya. Dahinya sudah mulai berkeringat. Namun, kakinya masih berjalan mantap dan di kejauhan rumahnya sudah kelihatan atapnya.

Dari jauh terdengar suara kereta api datang. Suara belnya meraung-raung. Seperti biasa, si nenek menyingkir ke arah pinggir. Namun, nahas baginya, kakinya tersandung kayu yang menopang rel kereta api. Si nenek jatuh dan kereta api semakin mendekat. Ketakutan membayang pada wajahnya dan didekapnya kain batik yang baru dibelinya erat-erat. Namun aneh, si nenek kemudian malah tersenyum, seperti menyambut datangnya teman lama.


*Sukoharjo, 26 November 2012

Sebuah Bangku di Bawah Pohon Saat Angin Berhembus di Sore Hari


Seorang lelaki shalih duduk di atas bangku panjang di halaman masjid. Angin berhembus pelan, sesekali agak kencang sehingga menggugurkan daun-daun pohon akasia yang menaungi lelaki shalih itu.

Sore yang cerah itu, dengan memegang mushaf di tangan, melantunlah ayat-ayat suci dari lisannya yang fasih. Betapa merdunya, betapa menggetarkannya suara itu. Seakan-akan dedaunan yang beterbangan ikut menikmati syahdunya lantunan ayat-ayat Tuhan. Pohon-pohon pun bergoyang seirama naik turunnya irama qira’ahnya.

Siapa yang tak tertarik pada lelaki shalih itu. Dialah yang menjadi muazin masjid. Dia yang mengajar anak-anak TPQ membaca Al-Quran. Wajahnya selalu tenang dan bercahaya. Seakan-akan sinar rembulan selalu berpancar dari wajahnya.

Sore itu ayat-ayat suci menjadi hidangan bagi ruhaninya. Dirasakan oleh lelaki shalih itu bahwa hidupnya bergitu tenang, bahagia. Tiada beban dan tekanan. Namun, menginjak usianya yang hampir dua puluh lima, ia terkadang merasa kesepian. Tentu ia ingin segera menemukan pendamping hidupnya sehingga lengkaplah agamanya.

Sore yang cerah itu di sela-sela merdu lantunan ayat-ayat suci Tuhan, sesekali pikirannya melayang tak tentu arah. Kemudian saat sadar ia mengucap istigfar berkali-kali karena telah melalaikan ayat-ayat yang mestinya ia hadapi dengan kekhusyukan.

Tiada bisa dipunkiri lagi. Duduknya di bangku panjang di bawah pohon akasia sore itu -dan sore-sore sebelumnya- karena maksud tertentu. Bayangan warna biru muda menyeruak dalam pikirannya. Sesosok gadis dalam balutan jilbab yang anggun telah menyita hati dan pikirannya.

Ia sudahi bacaan Qurannya. Ia letakkan mushaf di atas bangku di sampingnya. Pikirannya semakin melayang sebagaimana daun-daun yang melayang-layang di depannya. Lalu datanglah angin utara yang agak kencang kembali menggugurkan daun-daun pohon akasia lebih banyak. Hembusan angin itu juga membawa kedatangan sesosok gadis berjilbab biru muda. Berjalan perlahan seperti sedang menikmati taburan dedaunan yang menghujani kerudungnya.

Lelaki shalih itu terpana. Pandangan matanya seperti mempunyai kehendak sendiri. Kehendak itu adalah menikmati keindahan sosok yang berjalan menyusuri jalan di depan masjid itu. Saat sadar akan khilafnya ia menundukkan pandangan dan mengucap istigfar. Namun, sesaat kemudian, matanya sudah melekat pada sosok gadis itu lagi.

Lelaki shalih itu sudah kecanduan. Ia telah meminum secawan anggur dan ia ingin meminumnya lagi, lagi, dan lagi. Betapa manis anggur terasa baginya meskipun sesungguhnya ia hendak menolaknya. Ia pun menyalahkan matanya atas pandangannya yang berhasrat.

Saat gadis berjilbab biru muda itu mulai menjauh, barulah lelaki shalih itu sedikit demi sedikit mendapatkan kesadarannya. Hatinya bergetar, tangannya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. Kemudian ia menundukkan kepala dalam-dalam. Mengucap istigfar dengan lirih, terus-menerus.

Ia mengakui kekhilafannya. Lalu dengan tangan yang masih bergetar ia bermaksud mengambil mushaf yang berada di sampingnya. Berharap lantunan ayat-ayat suci akan mampu mengobati hatinya dan menghapus dosanya. Diraihnya mushaf itu. Namun, karena tangannya masih bergetar, tanpa sadar mushaf itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. “Astagfirullah” teriak lelaki shalih itu dengan keras.


*Sukoharjo, 26 November 2012





Saturday, November 24, 2012

Motorku Sayang Motorku Melayang

Hasil kerja keras memeras keringat (kasihan amat, sampai keringat pun diperas) selama dua tahun adalah sepeda motor Satria FU150. Ini motor keren, kawan. Aku jadi kelihatan tambah cakep kalau nongkrong di atas motor ini. Aku sayang banget sama motor ini (kayak kekasih aja pakai disayang-sayang). Maklum, motor ini aku beli dengan usahaku sendiri.

Banyak kenangan bersama motorku ini. Aku pernah mengendarainya dari Bekasi ke Bandung dalam rangka bertemu seorang kawan yang bekerja di sana. Aku juga pernah mengendarainya beberapa kali dari Bekasi ke Solo atau sebaliknya waktu mudik atau balik. Aku sering mengajaknya ngebut di jalan. Apalagi di jalan Pantura yang jalannya lurus, rata, dan lebar itu, paling enak ngebut di situ. Dan beberapa kali pula aku dijatuhkannya di atas aspal.

Motor ini juga sering aku bawa mejeng di bundaran Jababeka, yang selalu ramai setiap malam Minggu. Juga mengantarku jalan-jalan ke Jakarta, ke PRJ (Pekan Raya Jakarta), ke mall-mall, ke tempat kawan lama, de el el pokoknya.

Setelah kerja dua tahun, kemudian aku keluar -atau dikeluarkan- dari perusahaan, aku membuka sebuah toko stationary (jual alat tulis). Buat modal, aku jual motor kesayangan itu. Meski eman-eman, tetap kurelakan ia pergi karena kata buku yang pernah aku baca, “Tiada kesuksesan tanpa pengorbanan”. Jadilah Satria-ku sebagai korban. Ia kujual dan aku beli motor yang lebih murah, Shogun 125.

Setelah setahun semenjak membuka usaha, aku mempunyai keinginan untuk kuliah. Aku ini berasal dari keluarga miskin. Jadi, sebelumnya tidak pernah kepikiran untuk kuliah. Dalam hal ini sepertinya kawan-kawanku mesti bertanggung jawab. Kawan-kawanku banyak yang kuliah. Karena sering bergaul dengan mereka dan mereka sering membicarakan tentang kuliah, aku jadinya juga ingin kuliah.

Membicarakan dengan orang tua menjadi hal yang sulit. Sebenarnya bapak sama ibu sudah merasa tenteram saat aku bekerja di perusahaan dulu. Aku dianggap sudah bisa mandiri dan bisa mendapatkan penghasilan sendiri sehingga tidak akan merepotkan orang tua lagi. Namun, karena sifatku yang keras kepala, harus tetep kuliah. Biaya akan aku cari sendiri. Uang masuk pertama akan aku usahakan sendiri.

Jalan satu-satunya adalah aku menjual hartaku satu-satunya, sepeda motor Shogun 125 milikku. Saat itu biaya masuk ke perguruan tinggi sebesar 4.500.000,00. Jadilah motorku berubah menjadi sebuah Kartu Tanda Mahasiswa yang selalu terselip dalam dompetku. Kuliah memang mahal.

Saat aku menikmati masa-masa kuliah, mau tak mau aku tetap mengenang sepeda motorku yang telah merelakan dirinya untuk kujual. Teringat pula aku dengan masa-masa bekerja selama dua tahun di kota Bekasi. Teringat pula akan kerasnya kehidupan yang pernah aku jalani.


*Sukoharjo, 24 November 2012


Wednesday, November 21, 2012

Buku Catatan Mimpi


Baiklah, aku mengaku. Sewaktu masih SMP aku mempunyai buku catatan harian. Eh, bukan buku catatan harian. Aku mengisi buku itu bukan dengan tulisan-tulisan yang menceritakan kejadian yang aku alami setiap hari. Aku mengisinya dengan tulisan-tulisan yang menceritakan mimpiku setiap malam. Jadi, ini namanya buku catatan harian atau apa ya? Baiklah, aku sebut saja ini buku catatan mimpi.

Orang menulis kejadian-kejadian sehari-hari itu sudah biasa. Banyak orang yang mempunyai buku catatan harian (diary). Namun, jika yang ditulis adalah mimpi yang dialami ketika tidur saya kira sangat sedikit orang yang melakukannya. Atau mungkin hanya aku saja ya. Aneh?

Kita lupakan sejenak keanehanku itu –dan jangan kau mengejekku atas perbuatanku itu. Kita berbicara tentang buku catatan mimpiku. Dulu aku berpikir, mengapa kita bisa bermimpi? Mengapa setiap mimpi selalu samara-samar dan susah untuk diingat-ingat? Mengapa kita tidak bisa mengendalikan mimpi? Mimpi yang kita alami hampir selalu berbeda setiap malam. Kemudian aku berpikir pasti menarik jika aku menuliskan mimpi-mimpiku.

Kemudian mulailah aku mengisi buku catatanku dengan mimpi-mimpi yang aku alami hampir setiap malam. Kesulitan utama dalam menuliskan mimpi adalah mengingat-ingat mimpi apa yang aku alami semalam. Sangat sulit mengingat-ingat kejadian dalam mimpi. Apalagi kejadian, tempat, dan orang dalam mimpi selalu samar, susah untuk diidentifikasi.

Jika aku menuliskan mimpi ketika pagi hari biasanya aku masih bisa mengingat banyak kejadian-kejadian dalam mimpi. Jika aku menuliskannya siang atau malam hari, sangat sulit untuk mengingatnya. Jadi hanya bisa beberapa kalimat saja untuk menggambarkan mimpi itu.

Sekarang aku sudah lupa mimpi apa saja yang aku tuliskan dalam buku catatan mimpiku itu. Dan sayangnya, buku buku catatan mimpi itu kini sudah tak bisa aku temukan lagi. Entah raib di mana. Jika masih ada tentu buku itu akan menjadi “artefak” yang berharga bagiku.

Mengenang masa lalu terkadang bisa menjadi sebuah penyegaran bagi pikiran. Untuk menambah motovasi, inspirasi, sebagai bahan evaluasi dan pembenahan diri.

Oya, ngomong-ngomong, kau mimpi apa tadi malam?


*Sukoharjo, 22 November 2012


Bengawan Solo, Riwayatmu Dulu, Kini, dan Nanti

Solo sedang ramai
Banyak polisi
Ada razia

Seperti tadi malam
Jam setengah sepuluh
Di sebuah warung hik, warung khas Solo
Mendengarkan seorang komandan polisi
Yang berseragam lengkap
Dengan membawa senjata
Dan di tangannya tergenggam segelas teh hangat
Membincangkan soal terorisme

Ia katakan,
Itu karena banyak orang
Tidak mengakui negara Indonesia
Lalu ia menceritakan
Tentang cara mendidik anaknya
Disuruhnya menanam tumbuhan setiap sebelum mandi
Betapa banyak yang bisa ditanam dalam sebulan

Anak buahnya datang
Komandan, sudah selesai, katanya
Aku lihat jalan di depan
Para polisi sudah mulai pergi
Razia sudah selesai

Sang Komandan pun pergi
Sambil meninggalkan senyum
Yang kubalas senyum
Aku pun segera pergi
Karna aku sedang tidak membawa STNK dan SIM

Siang ini, pembawa berita yang cantik
Mengabarkan
Ada penembakan teroris
Nyawa dibalas nyawa
Begitukah
Sampai kapan

Dan air Bengawan Solo terus mengalir
Sampai jauh
Melewati kota dan desa
Menjadi saksi
Atas tingkah polah manusia
Sepanjang zaman


*Sukoharjo, 1 September 2012


Aku ini Lelaki Pendiam dan Pemalu


Sumpah, aku ini adalah lelaki pendiam dan pemalu. Jika tak percaya, coba tanyalah kawan-kawanku SD atau SMP. Jangan meragukan perkataanku itu. Jika aku bilnag bahwa aku lelaki pemalas dan suka bolos sekolah, banyak yang percaya. Namun, saat aku bilang aku ini lelaki pendiam dan pemalu, mengapa banyak yang tak percaya –termasuk kau juga tak percaya, kan.

Baiklah aku ceritakan sedikit tentang lelaki pendiam dan pemalu ini. Ketika SMP aku ini lebih banyak diam daripada berbicara. Aku mengidap penyakit yang namanya KPD ‘Kurang Percaya Diri’. Pakaianku biasa, nggak pakai yang gaul-gaul. Rambutku agak panjang dengan belah pinggir. gaya rambut belah pinggir memang identik dengan anak pendiam yang culun kan.

Tapi jangan salah ya, meski culun begini aku nggak jelek-jelek amat lho. Buktinya dulu aku disamakan dengan peran Diaz dalam salah satu sinetron (Diaz diperankan oleh Rafi Ahmad). Mungkin kau ingat dulu dalam sebuah sinetron, Rafi Ahmad memerankan Diaz dengan rambut yang agak panjang dan belah pinggir. Dulu rambutku juga agak panjang dan belah pinggir. (Jadi, ternyata yang disamakan hanya model rambutnya saja, tapi tampangnya beda jauh, haduwh…)

Aku sering tidak berani bicara dengan orang lain. Apalagi berbicara di depan orang banyak, bisa jatuh pingsan aku. Pernah aku naik bus bersama kakakku. Ketika sudah hampir sampai tujuan, aku disuruh kakakku untuk bilang ke sopir agar bus berhenti. Sumpah, waktu itu aku nggak berani. Ya karena itu tadi, karena aku ini lelaki pendiam dan pemalu.

Sifatku ini sepertinya menurunkan sifat yang lain, yaitu susah untuk mengingat nama orang. Saat SMP aku sangat jarang bergaul dan berbicara dengan siswi di kelas. Sampai-sampai saat kelas tiga pun ada beberapa siswi yang sering aku lupa namanya.

Ada peribahasa Jawa, “Gong lumaku tinabuh” yang artinya kira-kira ‘gong akan berbunyi jika ada yang menabuhnya (memukulnya). Itu merupakan ungkapan untuk menggambarkan orang yang banyak diam, hanya berbicara jika ada yang bertanya. Sepertinya ungkapan itu cocok untukku. Aku lahir dari keluarga miskin –dan aku tidak mengeluh soal itu, aku justru bersyukur. Kau tahu kan, orang miskin itu sering merasa rendah diri. Orang yang rendah diri biasanya jadi pendiam.

Biarpun dulu aku termasuk “berotak encer” (saat SD aku sering menduduki rangking 3 besar, kalau SMP aku menduduki rangking 10 besar), aku tidak menonjolkan kelebihanku itu. Saat SMP aku berpandangan bahwa nilai itu tidak penting. Jadi saat SMP aku sering bolos sekolah. Aku juga jarang belajar saat menjelang ujian. Namun, teman-temanku mengakui kecerdasanku sehingga aku sering menjadi “tumpuan harapan” saat ujian sekolah. Dan aku selalu saja tidak menolak jika ada yang menanyakan jawaban soal ujian. Ternyata sifat pendiam dan pemalu menurunkan sifat penurut.

Meski aku pendiam dan pemalu aku tidak menjadi objek diskriminasi di kelas. Bagaimana mereka mau berbuat jahat kepadaku jika saat ujian mereka mengharapkan bantuanku. Selain itu, aku juga berteman akrab dengan ketua kelas yang bertampang sangar, berbadan besar, dan berkulit hitam. Bisa dibilang ketua kelasku ini salah satu yang “megang” sekolah. Jadi, ibaratnya aku punya bodyguard gitu.

Jadi, sekarang kau percaya kan bahwa aku ini lelaki pendiam dan pemalu.
(Sekarang pun aku ini masih lelaki pendiam dan pemalu lho.)


*Sukoharjo, 22 November 2012


Monday, November 19, 2012

Bait Perjuangan


Bismillahirrahmanirrahim

Lihatlah anak-anak kecil itu
Tanah yang mereka pijak adalah tanah gersang
Jalan yang lewati penuh lubang
Dan darah kering menghias di tembok-tembok kota

Batu di tangan kanan mereka
Sedang tangan kiri memegang tas
Berisi persediaan batu pula
“Inilah amunisiku!” teriak mereka
Dari jarak dua puluh meter meluncurlah batu-batu dari tangan mereka
Ke arah orang-orang yang menyandang senjata di sana

Hei, bukankah kau adalah ‘Umair
Putra Abdul Bashir yang terkenal itu
Ternyata keberanian bapakmu menurun kepadamu

‘Umair kecil dan kawan-kawannya pun pulang ke rumah
Setelah meninggalkan tawa bersama batu-batu yang mereka lemparkan
‘Umair disambut sang ibu di depan pintu
“Apa kau melakukannya lagi, ‘Umair?”
Suaranya berdengung keras
“Bukankah sudah ibu katakan,
Jangan kau melakukannya.”
“Ibu, aku berani. Dan teman-temanku juga melakukannya.
Saya tidak takut ditembak, Ibu.”

“Wahai, ‘Umair! Kau tidak takut ditembak tapi ibu yang takut kau akan tertembak.
Sampai kapan kau akan membuat ibu bersedih?”
“Ibu sering menceritakan tentang ayah yang berani maju perang
Melawan orang-orang jahat itu. Mengapa ibu melarang aku ikut seperti ayah?”
“Hafalkanlah Al-Quran, jangan kau main-main saja.
Ibu ini guru ngaji, malu bila anak ibu tak hafal Quran.”
“Aku tidak mau, aku mau ikut perang.”

Sang ibu merasa terpukul hatinya
Kemarin lusa ia mendengar kabar seorang anak tergeletak di tengah jalan
Beberapa peluru bersarang di tubuhnya
Dan anak satu-satunya terbayang-bayang
Takut akan kepergiannya sebelum waktunya

‘Umair terbangun di malam hari
Dicarinya air minum di dapur
Dilewati kamar tidur ibunya
Terlihat sosok wanita yang menengadahkan doa
Dan terdengar isak tangis yang tertahan
“Ya Rabbi, lindungilah anakku, jauhkanlah dari marabahaya
Hanya dia satu-satunya yang hamba miliki di dunia ini.”

‘Umair berjingkat-jingkat kembali ke kamarnya
Air mata merembes dari kedua matanya
“Maafkan aku, Ibu.”

“Kau pengecut!”
‘Umair tertunduk lesu ketika teman-temannya mencelanya
Sudah beberapa lama ‘Umair tidak ikut mereka
Melempari orang-orang jahat yang menyandang senjata
Hatinya pilu, malu, resah, dan tertekan
Namun, ia selalu teringat ibunya
Ayahnya sudah mati, akan bersama siapakah jika ia juga mati
Gemuruh perjuangan di dadanya ia simpan untuk sementara
Demi ibu yang dikasihinya

Terdengar kabar
Seorang komandan pasukan perjuangan akan datang
Untuk merekrut para pemuda pemberani
Dan mengumpulkan dana untuk perjuangan umat

‘Umair sudah beranjak remaja
Lima belas tahun ia
Api perjuangan masih menyala dalam dadanya
Namun, sang ibu juga masih di hatinya

Para pemuda berbondong-bondong
Para warga berlomba menyetorkan infaq

Hati ‘Umair merasa sedih
Tak bisa ikut merayakan ueforia perjuangan
“’Umair, anakku! Kemarilah, ayo ikut ibu ke komandan Hamzah.
Ibu mau memberikan wakaf untuk perjuangan bangsa kita.”

‘Umair merasa bingung
“Ibu memiliki apa? Bukankah selama ini kita makan seadanya
Sepertinya ibu juga tidak memiliki tabungan atau harta.
Apa yang akan ibu wakafkan?”
“Sudahlah, ayo iku anakku!”
Senyum terlukis di wajah sang ibu

“Wahai, Ummu ‘Umair,
Saya merasa senang bisa bertemu dengan Anda.
Saya jadi teringat dengan Abdul Bashir yang gagah berani.
Inikah anakmu?”
“Benar, ya Syaikh. Ini anak kami. Sekarang usianya sudah lima belas.
Dan dia sudah hafal Al-Quran.”
“Masya Allah. Dan saya yakin dia pasti juga punya jiwa yang berani seperti ayahnya”

Iya, benar. Aku ingin sekali mengikuti jejak ayahku.
Batin ‘Umair.

“Ya, Syaikh, kedatangan saya ke sini
karena saya ingin mewakafkan sesuatu untuk membantu perjuangan.
Mohon kiranya Syaikh mau menerimanya.”
“Dengan senang hati tentu kami akan menerimanya.
Apa yang ingin kau wakafkan, wahai Ummu ‘Umair.”
 
“Saya sudah membawanya, Syaikh.
Apa yang akan saya wakafkan ini merupakan milik saya satu-satunya.
Ini adalah harta yang sangat saya jaga hingga tiba saat ini untuk memberikannya kepada Syaikh.”

‘Umair bertanya-tanya
Apa yang dimiliki ibunya
Mereka orang miskin tidak mempunyai apa-apa

“Wahai, Syaikh yang mulia,
Terimalah wakaf saya berupa anak laki-laki saya satu-satunya ini.
Hanya dia yang saya miliki.
Saya melahirkannya, membesarkannya,
Menjaganya agar terhindar dari mara bahaya.
Saya menyayanginya sepenuh hati.
Maka satu-satunya milik saya yang berharga ini
Saya wakafkan di jalan Allah.
Kiranya Syaikh mau membimbingnya
Hingga menjadi tentara Allah yang perkasa.
Sebagaimana dulu Syaikh juga membimbing suami saya
Hingga suami saya menjemput maut dengan kebahagiaan.”

‘Umair merasa sedang tidak berada di alam nyata
Mengigaukah ibunya?
Ketika kecil dulu ia tidak diperbolehkan ikut melempari orang-orang jahat itu

Syaikh Hamzah menundukkan kepala
Beberapa lama keadaan hening
Sesekali terdengar suara tembakan dari kejauhan

“Wahai, Syaikh. Saya mohon terimalah.
Itulah harapan saya selama ini.
Saya menjaga dan membesarkannya untuk ini.”

Kini ‘Umair mengerti apa yang dilakukan ibunya dulu
Ternyata ibunya sudah mempunyai rencana seperti ini
Sehingga ibunya tidak mau ia terluka atau terbunuh ketika masih kecil dulu
Air mata ‘Umair membasahi pipinya
Giginya gemeletak menahan gejolak perasaan dalam hatinya
 
Syaikh Hamzah mendongakkan kepala
Kedua pipinya basah
Wahai, Ummu ‘Umair.
Inilah sebaik-baik wakaf yang aku terima sampai saat ini.
Sungguh engkau wanita berhati mulia.
Kau sudah rela ditinggal pergi suamimu.
Sekarang pun kau memberikan putramu satu-satunya.
Aku menerimanya.
Dan aku berjanji akan mendidiknya hingga ia menjadi tentara Allah
Yang akan menghancurkan musuh-musuh-Nya.”

Ummu ‘Umair pun menangis bahagia
Ruangan kecil itu pun menjadi saksi atas tangis bahagia tiga insan
Yang menggelorakan perjuangan dalam dadanya

“Wahai, Umair. Sekarang kau ikut Syaikh Hamzah
Taatilah beliau. Jadilah anak yang bisa aku banggakan.
Dan jangan sekali-kali kau pulang
Sebelum kemenangan kau raih
Atau sebelum nyawamu melayang.”

“Aku berjanji, Ibu.
Inilah yang aku dambakan setiap hari.
Yang aku impikan setiap malam.
Ternyata ini pula yang selama ini ibu pikirkan.”

Bulan berganti tahun
Suara tembakan sesekali masih terdengar
Dentuman bom terkadang menggelegar menggetarkan dada

Ummu ‘Umair senantiasa mengikuti kabar tentang anaknya
Sudah meraih kemenangan kah? Atau sudah tersenyum dalam kematian?

Di bulan ketiga saat matahari sedang panas-panasnya
Terdengar kabar pos tentara musuh hancur luluh
Gedung hancur, kendaraan tempur meledak
Pesawat tempur tinggal puing-puing
Tentara musuh bergelimpangan sekian banyaknya

Seorang utusan mengabarkan kepada Ummu ‘Umair
‘Umair menjadi salah satu tentara perjuangan yang menyerang pos musuh
Dan ia gugur dalam pertempuran yang meluluhlantakkan markas musuh tersebut

Ummu ‘Umari tersenyum
Inilah berita bahagia yang ditunggu-tunggunya

Keesokan harinya
Para tetangga berkunjung ke rumah Ummu ‘Umair
“Wahai, Ummu ‘Umair. Bersabarlah atas kepergian putramu.
Janganlah tangisi ia. Lihatlah kedua matamu bengkak.
Pasti kau menangis semalaman.”
Ummu Abdillah menghibur dengan nada simpati

“Wahai, saudariku
Jika kau datang ke sini untuk berbela sungkawa,
Maka kau salah tempat atau salah waktu.
Di sini hanya ada kebahagiaan.
Aku merasa bahagia karena cita-cita tertinggiku dan anakku sudah terpenuhi.
Aku semalaman tidak menangis.
Mataku bengkak karena aku kurang tidur.
Aku membuat kueh semalaman untuk menjamu tamuku
Yang akan mengucapkan selamat kepadaku.”

“Masya Allah, begitukah?!”
“Iya. Maka jika kau ingin berbela sungkawa
Maka berbalik arahlah.
Jika kau ingin mengucap selamat,
Maka ahlan wa sahlan, silakan masuk
Dan cicipilah hidangannya.”

“Engkau wanita berhati mulia, wahai Ummu ‘Umair.”
“Aku berharap masih memiliki anak lagi
Sehingga aku bisa mengorbankannya di jalan Allah.”
“Semoga Allah merahmatimu, wahai saudariku.”


*Sukoharjo, 19 November 2012


Friday, November 16, 2012

Aku adalah Kong


Aku adalah Kong. Tentu kau bertanya-tanya maksud nama julukan itu. Jangan kau tanya padaku karna aku pun juga tak tahu. Teman-teman masa kecilku yang memanggil begitu. Kampungku berada di pinggiran kota, di Kecamatan Grogol, Sukoharjo.

Sebelah selatan kampungku terhampar luas persawahan, ladang, kemudian ada sungai yang namanya Kali Samin. Sebelah selatan sungai masih terhampar luas persawahan. Sekarang pun masih seperti itu. Jadi, jika kau jenuh dengan udara kota yang pengab dan pemandangan yang menjemukan, bolehlah kau mampir ke sini menikmati alam pedesaan.

Di tengah-tengah kampung kami ada tanggul rel kereta api yang menghubungkan kota Solo dengan Wonogiri. Di tanggul itu, dahulu, aku dan teman-temanku sering bermain. Tepat di tengah-tengah kampung ada masjid, As-Salaam namanya, tepatnya di depan rumahku.

Setiap malam Minggu masjid itu menjadi markas kami, aku dan teman-temanku, untuk berkumpul, bermain, dan tidur bersama. Dan orang tua kami sudah maklum dengan acara mingguan kami itu. Teman-teman itulah yang mulai memanggilku dengan nama Kong. Akhirnya aku pun biasa dipanggil Kong.

Menginjak SMP sudah jarang teman-teman kampungku memanggilku dengan nama Kong. Hanya sebagian kecil saja yang masih memanggil begitu. Ketika SMP aku mempunyai nama panggilan baru. Saat itu lagi ng-trend-nya model rambut mandarin yang agak panjang dan dipotong rata pada bagian bawah serta dibelah tengah. Seperti itu pula gaya rambutku.

Aku sering mengukur panjang rambutku dengan menarinya ke depan dan ujung rambutnya bisa sampai ke hidung atau lebih sedikit. Jika kau ingat, masa-masa itu juga sedang ramainya kasus korupsi yang menyangkut salah satu tukang pijit Presiden. Namanya Soewondo. Jika kau pernah melihatnya di layar kaca atau melihatnya fotonya di Koran kau tentu tahu kalau gaya rambutnya. Gara-gara masalah rambut ini aku dipanggil oleh teman-temanku dengan nama Suwondo.

Masa SMP ini memang masa yang sangat terkenang. Rasa persabatan dan kesetiakawanan sangat terasa di antara aku dan teman-temanku. Persahabatan melahirkan beberapa kekompakan seperti bolos sekolah bersama, mengerjai guru, bertanding sepak bola, sampai ketika ujian. Sudah biasa ada kertas jawaban yang berputar ketika ujian berlangsung. Tak terkecuali ketika Ujian Akhir Nasional. Dan ujung-ujungnya salah satu temanku yang bisa dibilang kecerdasannya di bawah rata-rata –nggak tega mau bilang bodoh– nilai Matematika-nya mendapat 9. Malah kaget dan jadi takut dia.

Nama panggilan Suwondo masih eksis melekat padaku sampai aku sekolah di STM. Banyak teman-temanku SMP yang juga satu STM denganku. Jadi selain membawa rasa persahabatan yang erat, nama panggilan itu pun juga terbawa.

Setelah lulus STM aku bekerja selama dua tahun di perusahaan multinasional dalam bidang otomotif, meskipun hanya di bagian operator mesin –kan background pendidikanku mesin industri gitu. Di perusahaan aku tidak mempunyai nama panggilan. Hanya saja beberapa teman STM yang juga bekerja di tempat yang sama memanggilku dengan panggilan Suwondo. Sampai sekarang masih ada beberapa yang memanggilku dengan nama itu, meskipun hanya sedikit.

Saat kuliah di UMS aku mempunyai banyak panggilan, dan aneh-aneh. Ada yang memanggilku Om. Ini nama panggilan yang paling banyak dipakai, hampir satu kelas memanggilku begitu. Padahal, wajahku bukan kayak om-om lho ya, malah ada yang bilang aku ini masih unyu-unyu (Gubrak! Biasa aja kali, nggak usah pakai jatuh gitu).

Ada juga yang memanggil Pak atau Pak’e. Ini beberapa teman yang lebih dekat (Pikirku, emang aku bapakmu?). Panggilan ini muncul mungkin karena pembawaanku yang cool, calm, n confodent : ). (Kok kayak iklan ya?).

Ada yang memanggilku Mbah. Aneh kan?! Dari mana coba dapat inspirasi nama panggilan itu. Ada juga yang memanggilku Mas. Ini panggilan umum untuk laki-laki. Tapi, ada juga lho salah satu dosenku yang memanggilku Mas. Dosen perempuan, masih muda dan cantik yang usianya hampir sama denganku.

Yang terakhir adalah panggilan yang paling aneh. Ada yang memanggilku Mas Auf. Hah, Auf? Heh, itu nama usahaku. Bukan namaku. Aku punya usaha percetakan Auf Desain, tapi masa aku dipanggil Mas Auf. Ada-ada saja.

Itulah nama-nama panggilanku sejak kecil. Apapun panggilannya, nama asliku tetap tidak berubah.


Hampa dalam Kesunyian


Hampa dalam Kesunyian

Kupandang langit malam ini
Gelap
Tiada rembulan
Tiada bebintang
Sebagai hatiku yang berlari dalam kesepian
Mengejar kehampaan
Hampa dalam kesunyian

11.07.2011

----------------------

Kenangan

 
Bunga krisan dalam genggamanku
Aku teringat kau
Saat bermanja di pangkuanku

07.2011

----------------------

Lahar Cinta

Kau begitu jauh
Sedang aku selalu mengingatmu
Dalam genangan rasa rindu
Yang memmbuncah hampir meledak
Menyemburkan lahar cinta

07.2011
----------------------

Rindu

Ketika Ken Arok
Tersihir putih mulusnya paha Ken Dedes
Terbayang-bayang ia di dalam mimpinya
Teringat aku senyum manis dan jeli matamu
Melenakan pandangan mataku
Aku bermimpi saat terjaga
Kapankah kan kunikmati lagi candu cintaku
Dan akhirnya Ken Arok pun mendekap Ken Dedes

07.2011
 
----------------------
 
Bila Malam

Dan bila malam bertambah malam
Rinduku bertambah rindu
Senduku bertambah pilu
Mendamba wajah kekasih hatiku

*07.2011 
----------------------
 
Senandung Cinta

Aku ingin berpuisi, bersyair, bersenandung
Tuk katakan gelisah hatiku
Syair rindu cinta
Kan jadi pengobat laraku
Biarlah sesak dadaku terurai oleh tarian-tarian kata
Yang menjelma menjadi senandung cinta
La…la…la…
Aku terbang melintas waktu yang hampa
Menyusuri tapak cinta yang kau tinggalkan

07.2011
----------------------

Mengeja Cinta

Aku tak mampu menggoreskan pena di atas kertas
Atas kegelisahanku
Aku tak mampu melukiskan kuas di atas kanvas
Atas kerinduanku
Aku tak mampu mengeja kata
Atas cintaku

07.2011

 ----------------------

Mengejar Cinta


Nafasku terengah mengejar cinta
Namun semakin jauh
Kau melangkah pergi

07.2011
----------------------

Merindukan Matari

Rembulan meratapi kepergian matari
Kini ia tak dapat lagi melihat matari
Ia hanya bisa menyapa pada awan kelam yang membisu
Berkisah pada angin malam yang menusuk buluh rindu
Rembulan merindukan matari
Dan ketika fajar menjelang
Hatinya girang
Matari datang dengan secercah senyuman
Namun rembulan sudah lenyap ditelan angan

*15.07.2011
 
----------------------
 
Bahagia

Bilamana bahagia itu
Tersimpan dalam hati kekasih
Akankah ku dapat mengecap rasa itu
Sebelum bersua dengannya

*11.07.2011; 00.35
 
----------------------
 
Bintang Cintaku
 
Aku berkendara cinta
Melesat dan melambung tinggi
Membawaku menyeberang lautan bintang di angkasa
Tuk menggapai satu bintang yang paling terang
Bintang yang telah menerangi hatiku
Bintang yang terukirkan sebuah nama
Namamu

*29.07.2011; 14.00
 
----------------------

Mengingatmu

Biar resah hati ini
Mengenangmu
Mengingat manismu

*04.08.2011; 20.05 

 ----------------------

Sakit

Seberapa sakitkah hatimu?
Sesakit hatiku kah?

*05.08.2011;19.40
----------------------

Haruskah Aku


Haruskah kukirim seribu puisi
Tuk melelehkan kerasnya hatimu
Haruskah kukirim sejuta kata cinta
Tuk menyentuh secuil hati manismu
Atau haruskah aku pergi jauh darimu
Tuk membuatku hilang
Dan tak kan ada yang kehilangan

*05.08.2011; 19.45

----------------------

Aku Masih Mencintaimu
Kukirim seratus bunga
Tuk ceriakan harimu
Kukirim seribu puisi
Tuk mengobati luka hatimu
Kukirim sejuta kata cinta
Tuk mendekap jiwamu
Agar kau tahu bahwa aku
Masih mencintaimu

*08.08.2011; 23.15

----------------------

Sakit Cinta

Wahai cintaku
Aku sakit
Mengapa kau tak datang menjengukku
Jika kau datang
Tak perlu kau mengetuk pintu
Karna hatiku selalu terbuka untukmu
Tak perlu kau bawa setangkai mawar
Atau sebungkus manisan
Karna kehadiranmu cukuplah menjadi kebahagiaanku

Wahai cintaku

Aku sakit
Datanglah padaku

*14.08.2011; 22.50

----------------------

Rumit

Aku marah, aku benci, aku muak, aku capek
Aku cinta, aku berharap, aku terluka
Aku menangis
Aku menangis, aku menangis
Aku gelisah, aku bingung
Aku terbang
Aku jatuh

*19.08.2011; 00.10

----------------------


Wednesday, November 14, 2012

Percikan Semangat


Hadiah sudah terbungkus dengan rapi. Pakaian sudah kukenakan, minyak wangi semerbak dari pakaian dan tubuhku. Hari ini adalah hari yang istimewa. Hari ini aku akan bertemu seseorang.
Lima belas tahun yang lalu

Seratus meter dari garis start

Napasnya masih teratur, terdengar berirama naik turun. Sedikit peluh mulai singgah di dahinya. Kepalanya yang plontos terlihat bergerak sedikit ke kiri dan ke kanan seirama tarikan dan hembusan napasnya.

Bocah kecil yang berlari berjajar di sampingku ini bernama Pion. Ah, bukan, nama aslinya bukan Pion, tapi Muhammad Ali. Pion adalah nama julukan karena badannya yang kecil. Layaknya pion dalam permainan catur yang selalu menjadi umpan dan martir, Pion juga dijadikan pesuruh oleh teman-temannya di sekolah. Aku juga memanggilnya Pion.

Muhammad Ali alias Pion adalah teman sekampungku. Kampungku berada di kaki bukit Gunung Lawu. Kampung Sigetan namanya. Jangan coba-coba mencarinya dalam peta, aku jamin kau tak akan menemukan nama kampungku di sana. Listrik pun tak mau bermurah hati menerangi rumah-rumah dan jalan-jalan di kampungku. Jadi, jika kau takut kegelapan jangan sekali-kali bermalam di kampungku.

Tak ada PDAM yang menyediakan air untuk keperluan simbok-simbok mencuci dan memasak. Yang ada adalah sumur yang dibangun dengan batu bata merah dengan ember yang tergantung di atasnya. Jika ingin mandi, jangan kau berharap untuk mendapatkan air hangat dari pancuran. Pergilah ke sungai di hilir, bukalah bajumu dan terjunlah ke dalam air sungai. Itulah layanan mandi yang akan kau dapatkan.

Pion dan aku adalah kawan karib. Rumahnya berada di samping rumahku. Jika aku bilang rumah, jangan kau bayangkan sebuah bangunan kokoh dengan tembok bercat warna dan atap yang kuat. Jangan kau bayangkan juga adanya kamar tidur, kamar, makan, kamar mandi, dan garasi yang terpisah. Bukan seperti itu rumah yang kami punyai. Bayangkan saja sebuah gubuk atau sebuah warung Tegal sederhana di pinggir jalan. Ya, seperti itulah rumah kami.

Satu kilometer dari garis start
Rasanya pasti sakit memakai sepatu yang sudah jebol bagian depannya seperti sepatu yang dikenakan Pion. Meski sepatuku juga jelek, setidaknya sepatuku tidak robek, belum robek. Ini sepatu kebanggaan kami, lho. Sepatu warna hitam putih. Sepatu ini diberi oleh sekolah, gratis. Dan sudah tiga tahun lebih sepatu ini menemani kami. Jadi, pantaslah jika sepatu kami sudah jelek dan sepertinya ajalnya sudah dekat.

Pion masih berlari santai seirama tarikan dan hembusan napasnya. Aku masih setia menjajarinya. Kaos warna kuning yang dikenakan Pion mulai basah menyerap keringat si bocah Plontos. Sepanjang jalan Pion diam saja dengan sesekali tersenyum saat ada orang lain yang berlari melewatinya. Aku bersyukur untuk itu. Percayalah, dua jam lalu, sepanjang perjalanan dari kampungku ke tempat ini, Si kecil Pion ini tak berhenti mengoceh. Sampai pedas kupingku dibuatnya.

Pion mengatakan betapa senang dan bangganya ia bisa menjadi wakil dalam lomba lari maraton tingkat kecamatan ini. Kau tahu, sekolahku tak pernah ikut lomba seperti ini. Baru sekali ini bisa ikut lomba lari maraton tingkat kecamatan.

Aku kasih tahu kawan, Si Pion ini memang jago lari. Juara satu di sekolah. Mungkin karena ia sudah terbiasa berjalan jauh atau berlari dalam waktu yang lama akhirnya ia jadi juara lari. Bayangkan saja jika selama enam hari dalam seminggu kau berjalan sejauh sepuluh kilometer dua kali sehari. Itu jarak kampungku dengan SD kami. Jadi, kami sudah terbiasa mengalahkan matahari saat berangkat ke sekolah.

Habis subuh, setelah memberi makan ayam, mandi dan makan, kami berangkat ke sekolah. Berjalan sejauh sepuluh kilometer kawan. Dua kali sehari. Dan jika kami berangkat kesiangan, kami mesti berlari-lari kecil agar sampai di sekolah tepat waktu.

“Ayo, Boy!” beberapa siswa dari sekolah lain melewati kami. Seperti dari awal tadi, si Pion hanya tersenyum saja. Sudah banyak juga yang melewati kami. Kalau begini terus bisa-bisa aku dan Pion finish terakhir.

“Pion, ayo cepet!” kataku kepada Pion. Tak mau aku jauh-jauh dari kampung hanya untuk finish di urutan terakhir.

“Santai wae. Jare bapakku, alon-alon waton kelakon,” kata Pion di tengah napasnya yang memburu.

Huh, alon-alon bukan waton kelakon, tapi waton keri dhewe, terakhir. Sepertinya aku mesti meninggalkan kawanku ini. Aku berlari semakin kencang, mengejar peserta lomba yang lain. Berharap bisa mengejar, mengungguli, dan memenangkan lomba ini.

Oh, betapa senangnya jika bisa memenangkan lomba ini. Membawa pulang piala Pak Camat. Di sekolah aku bakal dipanggil untuk maju dan akan dikalungkan piagam oleh Pak Kepala Sekolah waktu upacara bendera. Dengan begitu pasti Rini yang selalu juara kelas akan memperhatikanku. Asyik.... Dan bapakku bakal membelikanku tas baru seperti janjinya kemarin jika aku menang lomba. Memikirkan itu semua, semakin ringan langkah kakiku.

Sepuluh kilometer dari garis start
Di depanku ada belasan peserta lomba. Jaraknya agak jauh, sekitar tiga ratus meter. Napasku sudah terasa berat. Kakiku terasa semakin pegal. Aku sudah mandi keringat dari tadi. Sepertinya sudah tak ada harapan menjadi juara. Napasku semakin memburu. Berkejaran dengan langkah kakiku yang semakin lambat rasanya.

Tiba-tiba Si Pion sudah berada di sampingku. Kaget juga aku. Bocah ini sudah bisa menyusulku. Napasnya masih berirama meski lebih cepat daripada di awal tadi. Perpaduan keringat yang mengucur dan pancaran sinar matahari membuat kepala Pion kelihatan mengkilap. Kulitnya yang hitam juga kelihatan mengkilap.

Pion sudah mendahuluiku dan semakin lama ia semakin menjauh. Sebagaimana di kampung, Pion juga selalu saja mengalahkanku dalam adu renang dan adu menahan napas dalam air. Sungai di belakang rumah kami menjadi saksi keperkasaan Pion dan saksi kekalahanku dalam adu renang. Sambil memandikan kerbau, biasanya aku dan Pion akan adu renang atau adu menahan napas dalam air. Dan Pion yang selalu menjadi pemenang.

Di sungai itu pula aku dan Pion biasanya membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Kami akan mulai berandai-andai sesuatu yang indah, yang hebat, dan membanggakan. Kemudian kami akan melompat ke dalam sungai dan menepuk-nepuk air dengan tangan sambil mengatakan semua keinginan kami.

Pion mengatakan ingin bisa membangun rumah yang besar seperti rumah-rumah di kota. Ia mengatakan ingin mempunyai kerbau yang banyak. Ia juga mengatakan bahwa ia ingin menjadi juara lari.

Aku sendiri mengatakan ingin menjadi kepala sekolah seperti Pak Kepala Sekolah kami yang baik itu. Aku mengatakan ingin punya sepeda mini warna biru. Aku juga ingin bisa berjalan berdua dengan Rini yang selalu juara kelas itu. Tentu keinginan yang terakhir itu tidak aku katakan kepada Pion. Cukup aku katakan dalam hati saja.

Memang aku akui Pion ini adalah bocah yang pantang menyerah. Suatu kali Pion pernah menggendong kakaknya yang sakit dari rumah ke Puskesmas yang jaraknya sepuluh kilometer. Ketika itu kakaknya menderita sakit parah. Ayah dan ibu Pion sedang tidak ada di rumah. Karena kakaknya mesti segera dibawa ke Puskesmas maka Pion menggendongnya. Padahal, kakaknya berbadan besar. Sungguh kuat juga si Pion. Aku tahu kejadian itu setelah diberitahu oleh bapakku.

Satu kilometer dari garis finish
Bendera itu sudah terlihat. Lambaian tangan orang-orang terlihat di sekitar tempat finish. Di depanku ada beberapa peserta. Tidak ada harapan lagi untuk menjadi pemenang. Tapi setidaknya Pion ada dalam sekumpulan peserta yang ada di depanku. Aku masih bisa berharap Pion akan memenangi lomba ini.

Napasku sudah hampir putus. Otot kakiku rasanya membatu dan ingin pecah. Kepalaku terasa pening. Bendera merah putih dan orang-orang yang melambai terlihat semakin kabur.

“Ayo, Boy!”
Terdengar teriakan Pion ditujukan kepadaku. Ia menghadap ke arahku sehingga ia berlari mundur. Terlihat senyumnya ditujukan kepadaku. Tangannya melambai-lambai kepadaku.

Beberapa meter sebelum garis finish
Garis putih itu terlihat semakin jelas. Teriakan-teriakan orang mulai terdengar jelas. Dan terlihat Si Pion berdiri di belakang garis putih itu. Ia meneriakkan namaku, menyemangatiku. Sedikit lagi. Garis putih itu sudah di depan mata.

Langit terlihat cerah. Awan-awan putih sedikit menghias. Angin berhembus pelan. Napasku sudah putus. Sudah tak terasa lagi pening di kepalaku. Sudah tak terasa pegal otot kakiku.

“Hebat, Boy!”
Suara Pion menyadarkanku. Aku telentang di atas jalan. Sudah tidak ada tenaga untuk mengangkat kepala, bahkan rasanya juga terasa berat untuk menarik napas. Yang mampu aku lakukan hanyalah tersenyum.

Rasanya bahagia sekali. Meski tidak menjadi juara, sudah bisa finish saja rasanya sudah selangit. Tak apalah tak dapat piala, tak apa tak dikalungkan piagam penghargaan, dan tak apa tak dapat lirikan dari Rini, tak apa juga tak dapat tas baru. Lomba ini memang berat. Berhasil melewati garis finish sudah merupakan keberhasilan tersendiri buatku.

Ternyata beberapa saat setelah aku finish, beberapa becak datang dengan membawa beberapa peserta. Sepertinya mereka tidak kuat melanjutkan lomba. Maklumlah, lomba maraton memang berat.

Untuk lomba lari maraton ini lagi-lagi aku harus mengakui keperkasaan Pion. Pion yang mendapat piala Pak Camat. Pion yang dikalungkan piagam penghargaan oleh Pak Kepala Sekolah.

Masa kini
Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Pion setelah tujuh tahun lebih tidak bertemu. Ia akan menikah. Kau tahu dengan siapa ia akan menikah? Dengan Rini yang dulu selalu juara kelas itu. Ah, sialan. Muhammad Ali alias Pion memang selalu mengalahkanku, tapi ia selalu menjadi teman terbaikku.


*Surakarta, 15 Mei 2012 

*Cerpen ini memenangkan Juara 2 dalam Lomba Kreasi Cerpen Regional yang diselenggarakan oleh LPM FIGUR Universitas Muhammadiyah Surakarta
**Cerpen ini dimuat dalam majalah FIGUR edisi 11 bulan November 2012


Aku Ingin Menjadi Permata


Desir angin senja ini membuai anganku melayang mengarungi samudera khayal. Terbayang indah masa dua tahun lalu tatkala aku baru masuk SMA.

Masa-masa itu kurasakan adalah masa-masa indah tanpa beban. Masa-masa kegembiraan tanpa masalah-masalah tentang hari esok. Sekarang, sinar matahari senja yang mulai redup ini seakan menambah berat beban pikiranku.

Kelas tiga SMA. Ujian semakin dekat. Beban belajar sungguh banyak. Belum lagi les tambahan dari sekolah setiap paginya. Juga les tambahan di lembaga bimbingan belajar seminggu tiga kali. Terasa mau pecah kepalaku. Aku tak mengira akan begini pusingnya menghadapi Ujian Nasional.

Tiap hari kedua ayah ibuku menekanku agar terus belajar. Waktu untuk bermain keluar pun dipotong habis. Setiap aku mau keluar selalu saja ditanya mau kemana dan berapa lama. Dan kalau aku kelamaan bermain di luar rumah, saat pulang pasti aku disuguhi beraneka ragam omelan. Sungguh berat hidup ini kurasa. Persoalan di kelas pun seakan tak mau berdiam diri untuk membiarkanku tenang barang sejenak. Dari ribut kecil-kecilan dengan teman sekelas sampai saling mendiamkan selama beberapa hari membuatku ingin pergi saja dari sekolah ini. Ah, dunia sungguh menghimpitku. Aku merasa sesak. 

”Yang sabar ya Dik! Nanti semua juga akan kembali baik. Yang penting kamu rajin belajar agar nanti ujian dapat nilai bagus,” kata kakakku.

Belajar lagi, belajar lagi. Semua orang menyuruh belajar. Tak bolehkah aku rehat sejenak untuk menenangkan pikiran tanpa diganggu rumus Matematika atau Fisika yang super sulit itu. Pusing rasanya aku memandang bertumpuk-tumpuk buku yang penuh tulisan dan angka-angka.

***

Senja masih menyapa kehidupanku yang suram. Buah rambutan yang memerah mengisi pekaranganku tak mampu menceriakan hatiku. Lima menit yang lalu kedua orang tuaku keluar rumah. Mau menghadiri walimahan katanya. ”Jangan lupa belajar!” begitu pesan ayahku. Ah, belajar lagi. Kini aku di rumah sendiri. Sepi. Tak ada sesuatu di rumah yang dapat aku kerjakan.

Dengan langkahku yang gontai aku menyusur jalan keluar dari pekarangan rumah. Niat hati hanya ingin jalan-jalan sejenak keliling desa. Selangkah demi selangkah, dan seisi desa pun seakan membisu menambah sepinya hariku. Di kejauhan aku melihat ramai orang-orang kerdil berlarian. Orang-orang itu seperti sekelompok kurcaci yang sedang bermain. Oh, ternyata mereka bukan orang kerdil, tetapi mereka memang anak-anak kecil di desa. Aku ingat, mereka sedang mengaji.

Melihat anak-anak kecil itu bermain membuat kakiku tanpa sadar melangkah ke arah mereka. Makin dekat makin kelihatan wajah anak-anak kecil yang innocent itu. Sungguh menyenangkan menjadi anak kecil, tiada dosa, tiada beban, tiada masalah.

”Hai, Wi! Mau ke mana?” tanya Zahra temanku.
”Cuma mau jalan-jalan kok,” jawabku dengan berusaha senyum.
”Wah, anak-anak yang TPA banyak ya!”

”Iya, Wi. Itu juga karena bantuan masnya yang dari IMTAQ itu,” kata Zahra sambil menunjuk sesosok remaja laki-laki yang sedang menulis di papan tulis di dalam masjid. Laki-laki itu sepertinya aku pernah melihatnya. Emm...tapi dimana ya. Wajah itu juga sepertinya aku sudah lama mengenalnya. Tapi, ah mungkin cuma pikiranku saja.

”Dia namanya Abdullah Azzam, Wi! Namanya bagus ya! Artinya hamba Allah yang mempunyai kemauan dan komitmen yang kuat. By the way, dia cakep juga ya. He...he...” kata Zahra pelan-pelan sambil nyengir.

“Kamu itu bisa-bisa cinlok lho. Ngajar TPA yang bener. Eh, IMTAQ itu apa?”
”Tenang aja, Wi! Mas Azzam itu orangnya cuek banget sama cewek. Nggak pernah dia mau melihat cewek. Dosa katanya, bukan mahram. Oya, IMTAQ itu organisasi kumpulan pengajar TPA. Aku mau masuk IMTAQ nanti kalau sudah kelas tiga, biar tambah pengalaman.”

Emm...masa sih ada cowok yang nggak mau melihat cewek. Tapi emang bener juga kata Zahra, si Azzam itu cakep juga. Apalagi dengan sikapnya yang cool itu. He...he... Huss...Tiwi, Tiwi, kamu nggak boleh mikir macem-macem.

”Eh, kenapa kamu nggak bantu kita ngajar TPA?! Asik lho ngajar TPA, bisa bikin kita bahagia terus soalnya ketawa terus kalau lihat tingkah anak-anak yang imut-imut dan lucu-lucu itu,” kata-kata Zahra membuyarkan lamunanku.
”Eh, iya, nanti kalau ada waktu,” jawabku sekenanya.

***

Senja berikutnya saat ada jadwal anak-anak TPA, kembali aku membawa tubuhku singgah di masjid.

”Hai, Tiwi! Kamu datang lagi ke sini,” sambut Zahra tatkala melihatku datang. Di samping Zahra berdiri laki-laki cool yang kemarin itu, si Azzam.

”Kebetulan. Ini aku kenalin. Dia Mas Abdullah Azzam. Mas, ini teman Zahra, namanya Tiwi.”
”Assalamu’alaikum,” kata laki-laki itu sambil menungkupkan kedua telapak tanganya di dada tanda tidak mau bersalaman. Ah, aku ingat, bukan mahram.

Suara Mas Azzam tampak berwibawa. Emm... terlihat dewasa dan senyumnya membuat wajahnya tampak ceria, tanpa beban. Cool, cakep...

Setelah mengenal Mas Azzam, aku menjadi sering pergi ke TPA. Bukan untuk mengajar, tetapi hanya untuk melihat anak-anak TPA yang bertingkah lucu, dan tentu saja juga untuk bertemu dengan Mas Azzam. Aku merasa kagum dengan sosok Mas Azzam. Dia selalu terlihat ceria, selalu bisa tersenyum dan tertawa lepas. Sedangkan aku.... ah....

Aku hanya sesekali waktu saja berbincang dengan Mas Azzam, tetapi setiap kata-kata yang diucapkannya membekas dalam ingatanku.

”Hidup ini kan cuma sebentar, Dik. Jadi kenapa kita harus menyusahkan diri sendiri dengan bersedih. Kita harus menikmati hidup ini. Belum tentu kan besok kita masih hidup. Maka dari itu, kesempatan yang ada ini kita gunakan sebaik-baiknya. Masak waktu yang singkat di dunia ini cuma kita habiskan dengan bersedih. Jadi, bersemangatlah, Dik. Buat diri Adik merasa enjoy dengan kehidupan ini.”

”Tapi, Mas, akhir-akhir ini mendekati ujian, aku selalu mendapat tekanan untuk terus belajar. Semua orang menyuruhku belajar sampai aku pusing, Mas.”

”Bersyukurlah, Dik, kalau Adik masih punya kesempatan untuk belajar dan sekolah. Coba Adik lihat anak-anak jalanan itu. Mereka tidak pernah disuruh belajar, karena memang tidak ada buku yang dipelajari. Mereka tidak disuruh sekolah, karena memang tidak ada biaya untuk sekolah. Adik punya buku banyak, Adik bisa sekolah, bukankah itu suatu nikmat yang mesti disyukuri. Kalau capek belajar, ya istirahat. Jangan dipaksa untuk belajar terus.”

Kata-kata Mas Azzam selalu bisa menenangkanku. Semakin kurenungi nasihatnya semakin tenang pikiranku dibuatnya. Dan seperti tak sadar, masalah-masalahku hilang satu per satu. Pikiran dan perasaanku semakin tertata dan aku merasa nyaman. Mas Azzam adalah malaikat penolongku.

Lama-kelamaan aku merasa malu bila berhadapan dengan Mas Azzam. Hal itu dikarenakan aku tidak memakai jilbab. Aku memang belum berani dan belum siap untuk memakai jilbab. Sikap Mas Azzam sendiri sepertinya tidak mempermasalahkan soal jilbab. Dan itu membuatku semakin kagum kepadanya. Aku ingin mengetahui bagaimana pendapat Mas Azzam tentang jilbab. Maka, suatu senja aku bertanya padanya.

”Mas Azzam, bagaimana pendapat Mas tentang wanita yang tidak memakai jilbab?” tanyaku pelan-pelan dengan jantung berdebar.

Sejenak Mas Azzam diam. Semakin berdebar jantungku. Sedetik rasanya sehari menunggu jawaban darinya.

”Dik Tiwi suka perhiasan nggak?”

Ha...?? Perhiasan?
Kata-kata Mas Azzam mengagetkanku. Aku bertanya tentang jilbab kenapa dia malah bicara tentang perhiasan. Atau mungkin dia tidak suka menyinggung soal jilbab.

”Iya, Mas. Suka. Aku kira semua orang pasti suka dengan perhiasan.”
”Tentu saja. Semua orang suka perhiasan karena perhiasan sangat indah. Tahukah Dik Tiwi darimana perhiasan itu berasal?”
”Hmm???”

Emas,
Di manakah kamu bisa mendapatkannya,
Jauh ke dalam perut bumi yang sulit terjamah.
Permata,
Di manakah kamu bisa mendapatkannya,
Jauh di dalam tanah menutup diri bersama keindahannya.
Mutiara,
Di manakah kamu bisa mendapatkannya,
Jauh di dasar lautan terlindung kulit kerang yang keras.
Keindahan, selalu terlindung dan terjaga
.”

Syair yang dilantunkan Mas Azzam membuat jantungku berdetak kencang. Aku yang selama ini tidak tertutup, tidak berjilbab berarti tidak pantas disebut sebagai emas, permata, atau mutiara. Aku bukanlah sebuah keindahan. Lalu apakah aku? Aku diam merenungi kata-kata Mas Azzam. Wajahku tertunduk tak mampu menatap orang yang baru bersyair dengan kata-kata indah namun tajam mengena itu.

Lihatlah kerikil yang berserakan di jalanan,”
Mas Azzam kembali bersyair.

Adakah orang memperhatikannya,
Adakah orang memujanya,
Adakah orang melihat keindahan padanya.


Aku semakin tertunduk mendengarnya. Inikah pandangan Mas Azzam kepadaku selama ini? Aku hanyalah sebutir kerikil yang tidak berharga dan harus disingkirkan? Dadaku terasa sesak. Mataku terasa perih. Butiran hangat aku rasai meleleh turun di pipiku.

”Dik Tiwi, hidup ini adalah pilihan. Apakah kita memilih hidup kita ini berharga atau sebaliknya. Kerikil pun akan bisa menjadi permata yang indah. Ingatlah, setiap wanita di dunia ini diciptakan sebagai permata yang indah. Aku akan sangat senang sekali jika Dik Tiwi bisa selalu menjadi permata yang indah yang selalu menghiasi kehidupan ini. Maaf kalau ada kata-kataku yang salah, Dik.”
***

Malam ini bintang di langit tak menampakkan dirinya. Rembulan pun malu-malu bersembunyi di balik awan menutupkan keindahannya. Jarum pendek jam tanganku menunjuk angka dua.

Setelah pertemuan terakhir dengan Mas Azzam dengan perbincangan tentang jilbab, aku tidak berangkat lagi pergi ke TPA. Aku malu dengan Mas Azzam dengan keadaan diriku. Diriku yang hanya sebutir kerikil yang tak berharga ini.

Selama ini, hanya sebutir kerikilkah aku ini? Ah, mungkin saja memang benar. Hanya sebutir kerikil. Selama ini aku selalu mencari-cari alasan untuk tidak memakai jilbab. Risih, panas, nggak bebas, dan alasan-alasan lainnya. Aku memang hanya sebutir kerikil yang tak berharga. Rasanya aku adalah makhluk rendah. Kata-kata Mas Azzam memang benar.
Dalam malam senyap ini, aku ratapi segenap dosaku. Aku ber-muhasabah untuk menjadikan diriku lebih baik. Terima kasih Mas Azzam, engkau telah membuatku tersadar dari tidur panjangku selama ini.

***

Langit barat kala senja ini indah menghias hatiku. Angin yang semilir bertiup mengantarkanku pada tempat yang sudah satu minggu ini aku tak menjamahnya. Masjid. Anak-anak TPA yang tetap terlihat innocent berlarian di teras masjid. Mereka masih menyuguhkan tawa riang tanpa beban. Begitu juga hatiku saat ini. Tanpa beban.

”Assalamu’alaikum,” aku mengucap salam kepada Zahra yang baru keluar dari masjid.
”Wa’alaikumsalam. Subhanallah, Tiwi kamu memakai jilbab. Wow, kamu terlihat cantik sekali dengan jilbab. Wajah kamu terlihat lebih terang dan kamu juga terlihat ceria.”
”Aku sekarang sadar, Ra. Mulai sekarang aku akan memakai jilbab. Aku ingin menjadi permata, seperti kata Mas Azzam.”

Mendengar nama Azzam aku sebut, raut wajah Zahra berubah menjadi muram.
”Kamu kenapa, Zahra?”

”Ah, nggak apa-apa. Syukurlah usaha Mas Azzam buat menyadarkan kamu berhasil.”
”Sekarang di mana Mas Azzam, Ra?”
Zahra terdiam.
”Zahra?”

Kemudian dengan pelan Zahra berkata.
”Kemarin Mas Azzam berpamitan. Tugas Mas Azzam untuk menghidupkan TPA di masjid kita sudah selesai. Mas Azzam harus berpindah ke TPA lain untuk mengajar di sana. Aku tidak tahu Mas Azzam pindah ke mana. Mas Azzam bilang, mungkin kita akan lama tidak berjumpa dengannya. Mas Azzam juga berpesan kepadaku, dia minta maaf kepadamu jika ada kesalahan yang diperbuatnya.”

”Jadi, Mas Azzam tidak akan ke sini lagi?” tanyaku memastikan.
Zahra hanya tertunduk. Perih hatiku mengetahui kenyataan ini. Padahal aku ingin Mas Azzam melihatku memakai jilbab, sekali saja. Kini dia telah pergi. Ada gemuruh dalam dadaku. Ada sebening embun meleleh di pipiku.

Mas Azzam, meskipun kini engkau telah pergi, aku tetap akan menjaga jilbabku. Aku ingin selalu menjadi permata. Permata yang indah. Aku berharap Mas Azzam mengetahui diriku yang sekarang ini. Mas Azzam, aku berjanji akan selalu menjaga kesucian dan keindahan diriku ini dengan jilbab. Terima kasih Mas Azzam.


*Sukoharjo, 24 Juni 2006


Jalan Terjal nan Indah


“Tidak! Saya tidak akan mengikuti aturan itu.”
“Rianti, kamu harus mengikuti aturan itu! Itu syarat untuk mengikuti Ujian Nasional. Setiap siswa harus mengumpulkan foto untuk pendaftaran peserta ujian. Tidak ada salahnya kamu melepas jilbabmu sekali saja untuk foto.”

“Saya tetap tidak mau, Pak! Itu sudah menjadi prinsip saya.”
“Rianti, cobalah untuk sekali ini kamu mengalah. Kamu sudah sering membuat pihak sekolah kewalahan. Bapak minta kamu mau difoto tanpa memakai jilbab. Ini juga untuk masa depan kamu.”
“Maaf Pak, saya tetap tidak bisa. Dan saya akan berusaha agar aturan ini dibatalkan. Dan masa depan saya tidak ditentukan oleh foto itu. Ada Yang Maha Berkehendak yang mengatur masa depan saya.”

Begitulah. Rianti, putri bungsu Soedirman Kasto Wirejo. Tingkahnya selama ini sering membuat pihak sekolahnya kepayahan. Kali ini peratuaran pemerintah yang meharuskan siswa yang akan mengikuti Ujian Nasional untuk mengumpulkan foto setengah badan dengan tanpa boleh memakai jilbab ditentangnya dengan keras.

Kepala sekolah, Bapak Muhammad Yusuf sudah dibuat pusing oleh aturan itu. Di satu sisi beliau tidak ingin memaksakan peraturan itu kepada siswanya, tapi di sisi lain beliau tidak ingin ada siswanya yang tidak bisa mengikuti Ujian Nasional gara-gara tidak mengumpulakn berfoto sesuai peraturan. Bapak Muhammad Yusuf termasuk seorang pendidik yang religius, namun posisinya sebagai kepala sekolah dan sebagai tangan panjang pemerintah membuatnya serba salah.

Peraturan baru itu dikeluarkan oleh pemerintah dengan alasan agar wajah siswa terlihat jelas pada foto. Hal itu untuk mengantisipasi kecurangan dalam Ujian Nasional. Dalam Ujian Nasional tahun lalu ditemukan kecurangan berupa adanya joki peserta yang menggunakan jilbab untuk menyamarkan wajahnya dan penampilannya. Berpijak pada temuan itu, pemerintah tidak mau kecolongan lagi adanya kecurangan dalam Ujian Nasional. Salah satu solusi pemerintah adalah dengan mewajibkan peserta ujian untuk mengumpulkan foto terbaru yang tanpa mengenakan jilbab.

“Ri, kamu ikutin aja aturan itu. Kan cuma sekali kamu buka jilbab, cuman buat foto. Habis itu kan kamu bisa pake jilbab terus.” Dewi mencoba membujuk Rianti saat mereka berdua berjalan bersama pulang sekolah. Dewi adalah sahabat Rianti sejak mereka SD.
“Enggak, Wi! Apapun alasannya aku nggak mau buka jilbab.”
“Kalau kamu nggak mau buka jilbab, bagaimana nanti kalau kamu nggak dibolehin ikut ujian. Aku dan kamu udah tiga tahun sekolah, masa karena soal jilbab kamu nggak bisa ikut ujian dan nggak bisa lulus. Sayang kan Ri sekolah tiga tahun!”

“Aku tetap dengan pendirianku Wi. Aku berpikir, aneh banget negara ini. Katanya menjunjung tinggi demokrasi, perbedaan pendapat, Bhineka Tunggal Ika, bla, bla, bla, dan bla, bla, bla. Tapi nyatanya kebebasan pake jilbab aja diusik. Padahal undang-undang negara kan jelas-jelas memberi jaminan kita untuk melaksanakan peribadatan agama masing-masing. Apa yang bikin peraturan itu mau menjilat ludah sendiri?!”


“Ssssttt... jangan ngomong gitu Ri! Nanti kalau ada orang yang denger bisa panjang urusan. Bisa dituduh menghina pemerintah itu.”
“Biarin! Itu kan kenyataan.”

Berbeda dengan Rianti, Dewi tidak punya tekad untuk menentang aturan baru itu. Baginya, lulus sekolah adalah hal yang sangat berarti. Sehingga ia rela melepaskan jilbabnya untuk dapat berfoto di sekolahnya dua hari yang lalu. Begitupun teman-teman Rianti dengan sukarela melepas jilbab mereka untuk ditukarkan dengan kartu ujian.


“Kamu ini maunya apa sih? Bapak sudah susah-susah cari duit buat biayain sekolah kamu. Tapi sekarang, gara-gara prinsip konyolmu itu kamu terancam nggak bisa ikut ujian, artinya kamu nggak bisa lulus. Kamu mau nyakiti membuat Bapak Ibumu?!” Soedirman Kasto Wirejo membentak putri bungsunya setelah membaca surat dari pihak sekolah yang memberitahukan ketidakmauan Rianti berfoto tanpa jilbab.

“Maafkan saya, Pak! Saya sangat menyayangi Bapak Ibu, saya nggak akan tega menyakiti Bapak Ibu.” Aliran dingin mulai merambat di pipi Rianti.
“Emang apa yang kamu lakukan sekarang ini selain menyakiti Bapak dan Ibu kamu? Masalah jilbab aja kamu rela nggak ikut ujian. Apa jilbab kamu itu bisa menolong hidup kamu?”
“Maafin saya, Pak!”

Langkah kaki Rianti memasuki kamar meninggalkan kedua orangtuanya dalam kejengkelan. Teman-temannya tidak ada yang mendukungnya. Lebih-lebih orang tuanya yang baru saja memarahinya. Rianti hanya punya satu harapan.
Di sunyi sepertiga malam, Rianti bersimpuh bersujud mengadukan masalahnya kepada pemilik harapan itu.

Wahai Dzat Yang Maha Mendengar, hamba hanyalah makhluk kecil di antara milyaran makhluk-Mu... Tapi hamba yakin Engkau akan mendengarkan keluh kesah satu makhluk-Mu yang dhaif dan hina ini.
Wahai Dzat Yang Berkehendak, bumi ini dipenuhi oleh milyaran kehendak makhluk-Mu... Tapi hamba yakin kehendak-Mu adalah di atas segala kehendak.Wahai Dzat Yang Maha Penyayang, hamba sadar hamba makhluk penuh dosa... Tapi hamba berani berharap Engkau akan menyayangi satu makhluk-Mu yang hanya mengharap ridlo-Mu ini.Wahai Dzat Yang Maha Kuasa, Engkau berkuasa atas segala hal, maka hamba mohon tolonglah hamba yang berusaha menegakkan din yang Engkau turunkan.

Setiap kata keluar dari hatinya dengan diiringi air mata suci penuh harap.

***

Abdullah Azzam.
Rianti terus mengingat-ingat nama itu. Bukan karena pemilik nama itu adalah seorang ikhwan yang bertampang cakep –meskipun ikhwan itu memang goodlooking menurut pandangan kebanyakan wanita– tapi karena ikhwan itu mempunyai prinsip yang sama dengannya. Ikhwan yang merupakan ketua Rohis itu menggerakkan teman-temannya melakukan aksi demonstrasi kepada pihak sekolah dan memasang banyak selebaran agar peraturan tentang jilbab itu dicabut. 


Setelah itu, ia bersama aktivis Rohis lainnya melayangkan surat keberatan atas peraturaan tentang jilbab yang ditandatangani siswa yang tidak setuju terhadap dengan peraturan itu kepada kepala sekolah. Kebanyakan siswa yang ikut menandatangani surat itu adalah aktivis Rohis. Rianti termasuk salah satu yang membubuhkan tanda tangannya pada surat itu. Rianti belum tahu tanggapan kepala sekolah terkait surat keberatan itu. Yang pasti keesokan harinya, Abdullah Azzam dipanggil kepala sekolah dan mendapatkan Surat Peringatan dari sekolah.

Dari teman-temannya, Rianti mengetahui kalau kepala sekolah mengancam akan menyoret ketua Rohis itu dari daftar peserta ujian kalau ia tidak menghentikan aksinya. Rianti merasa kasihan kepada ikhwan itu. Sebenarnya ikhwan itu tidak dirugikan secara pribadi atas peraturan jilbab itu, tapi kata-kata ikhwan itu saat melakukan aksi demo selalu diingat Rianti.

Bukan karena kita sebagai ikhwan dirugikan atas peraturan konyol itu, tetapi saudari-saudari kita yang seiman dengan kita yang dirugikan. Dan lebih-lebih lagi, peraturan itu menyelisihi syariat islam. Itu adalah peraturan yang menentang Al-Quran dan Sunnah. Itu adalah peraturan thaghut yang harus kita tentang. Saya tidak akan tidur dengan tenang selama peraturan itu belum dicabut. Saya ajak saudara-saudara sekalian untuk bersama-sama saya berjuang di jalan Allah. Allahu Akbar!!!

Kata-kata itu menjadi salah satu pemicu semangat Rianti untuk teguh tidak akan melepaskan jilbabnya di hadapan orang yang bukan mahramnya meski sedetikpun. Rianti berpikir, mungkin ikhwan itu yang menjadi perantara pertolongan Allah.


Hari-hari mendekati ujian suasana sekolah menjadi semakin tegang. Rianti tetap tidak mau menuruti peraturan itu, Abdullah Azzam juga semakin keras menentang. Sudah dua kali Azzam mendapatkan surat peringatan dari pihak sekolah. Sedangkan Rianti sudah menjadi sasaran kemarahan orang tuanya setiap hari. Apalagi saat wakil kepala sekolah mendatangi rumahnya. Rianti hanya bisa memegang prinsipnya dengan air mata.

***

Dua hari mendekati ujian.
“Rianti, saya sudah berusaha memberikan kelonggaran kepada kamu. Saya sudah melobi pemerintah daerah yang terkait untuk memberikan kesempatan kepada kamu. Saya diberi batas terakhir hari ini untuk membujuk kamu. Saya bisa mendaftarkan kamu menjadi peserta ujian akhir nasional asal kamu mau berfoto. Sekali ini saja Rianti. Bapak mohon.”

Rianti mendapati pandangan penuh harap pada mata Bapak Kepala Sekolah. Ini kesempatan terakhir baginya. Akankah ia melanggar syari’at agamanya meski cuma untuk beberapa detik saja, atau ia tetap teguh dengan resiko tidak dapat mengikuti Ujian Nasional yang artinya ia tidak bisa lulus sekolah tahun ini.

Mata Rianti berkaca-kaca menahan kebimbangan hatinya. Dilema ini membuatnya bimbang. Kemudian Rianti ingat Abdullah Azzam. Ikhwan itu masih tetap memperjuangkan pencabutan peraturan itu. Bagaimana dengan harga diri Rianti sebagai seorang muslimah kalau ia mengikuti aturan itu, sedangkan seorang ikhwan yang bernama Abdullah Azzam yang nota bene tidak bersinggungan dengan jibab saja dengan lantang dan pantang menyerah menentang aturan itu.
“Rianti, bagaimana keputusan kamu?”

***

Mentari pagi menyambut embun yang bermalas-malasan di atas dedaunan. Kicau burung menyelingi suara alunan nasyid dari kamar Rianti. Hari ini adalah hari ujian akhir nasional dimulai. Rianti tetap di kamarnya tidak segera beranjak untuk pergi ke sekolah. Hari ini adalah hari yang baru bagi Rianti. Tekadnya mempertahankan kewajiban sebagai seorang muslimah, membuatnya tidak akan bertemu lagi dengan teman-teman sekolahnya. Iya, Rianti memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah. Orang tuanya akhirnya memaklumi keputusan Rianti.

Sebagai ganti sekolah, Rianti bertekad akan masuk pondok pesantren. Ia yakin, itulah jalan yang terbaik baginya. Hari ini Rianti sudah mengemas pakaiannya. Kesedihan meninggalkan teman-temannya ia hempaskan bersama kenangannya selama tiga tahun di sekolah. Kini ia berwajah dan berhati ceria menyambut masa depan yang baru.

Setelah selesai mengemas pakaiannya, Rianti membuka kembali surat bersampul biru muda yang merupakan kenangan terakhir dari sesuatu yang berhubungan dengan sekolahnya. Surat dari Abdullah Azzam.

Assalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh
Segala puji bagi Allah, Dzat Yang Maha Berkehendak. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada qudwah kita Nabi Muhammad SAW dan kepada orang-orang yang senantiasa berpegang teguh di jalan Allah.
Ukhti Rianti yang dirahmati Allah,
Maafkan ana lancang berkirim surat kepada Anti. Ana berlindung kepada Allah dari fitnah. Ana salut dengan keputusan Anti. Itu merupakan keputusan yang berat tentunya. Hari ini Anti menjelma menjadi bidadari dunia bagi ana, karena Anti rela mengorbankan sekolah Anti untuk suatu kebenaran. Ana bersama teman-teman Rohis hanya bisa berdoa agar Allah senantiasa membimbing Anti dan menunjukkan jalan yang terbaik untuk Anti.

Maafkan ana kalau ana tidak bisa memberikan bantuan lebih kepada Anti. Tapi yakinlah Allah adalah Maha Pemberi Pertolongan bagi hamba-hambanya yang terdzalimi.

Ana kira tidak baik ana berpanjang lebar dalam surat ini. Hanya doa ana yang mengiringi setiap langkah Anti. Ana berharap semoga Allah masih memberikan nikmat kesempatan kepada ana untuk dapat berjumpa kembali dengan Anti.
Wassalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh

Abdullah Azzam

 
Rianti tersenyum membaca surat itu... dan ia tersenyum lagi... dan tersenyum lagi. Ia rasai begitu indah pagi ini.

 
*Sukoharjo, 21 Maret 2009