Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, October 27, 2015

Aku Berpikir maka Aku Jomblo


Akhir-akhir ini, pelan namun pasti, jomblo tengah naik daun --kayak ulat ijo yang merayap naik buat memakan pucuk daun teh itu. Sayangnya, kenaikdaunan ini tidak dalam hal positif. Lebih banyak jomblo dijadikan subyel cibiran, olokan, dan bullying. Lahir pula frase turunan dari jomblo yaitu jomblo ngenes a.k.a jones.

Namun, apa sejatinya jomblo itu. Apakah jomblo itu suatu dzat atau suatu keadaan? Sebuah keniscayaan atau kerelatifan? Pengakuan diri atau pengakuan orang lain? Secara de jure atau de facto? Apakah benar-benar ada atau hanya khayalan? eksis atau ilusi?

Oke, dalam KBBI tak kutemukan makna jomblo. Namun, kata jomblo mungkin bisa dipersamakan maknanya dengan lajang. Lajang bermakna sendirian (belum kawin); bujangan (KBBI edisi III).

Menurut Descartes yang mendapat julukan sebagai Bapak Filsafat Modern itu, akal adalah sumber pengetahuan. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang kejombloan seseorang; mengetahui seseorang jomblo atau bukan, akal diberi keleluasaan untuk berpikir. Kita tak harus tunduk terhadap dogma yang diberikan oleh kalangan mayoritas yang otoritatif itu.

Pertama-tama --sesuai dengan metode yang digunakan Descartes-- kita harus meragukan segala sesuatu, semua pengetahuan tentang jomblo yang selama ini kita yakini. Seseorang yang duduk sendirian di taman, secara kasat mata ia sendiri alias jomblo. Seseorang yang makan sendirian di restoran secara lahiriah ia jomblo. Kita harus meragukan semua itu. Kejombloan tidak bisa diukur dengan inderawi.

Kesendirian tidak berarti jomblo. Sebaliknya, berpasangan tidak pula bermakna takjomblo. Ambil misal, seseorang yang memiliki kekasih nun jauh di sana, di seberang pulau yang tertutup asap. Secara status ia takjomblo, tapi bisa jadi hubungan keduanya tak menunjukkan bagaimana sepasang kekasih sebenarnya. Ada prasangka dan curiga, ada debat dan amarah. Ujung-ujungnya salah satunya salah seorang temannya menikung begitu ada kesempatan. Persis Marq yang mencoba nikung Rossi namun keburu kepalanya jedug lututnya Rossi, lalu ndlasar itu.

Suami-istri yang keduanya sibuk bekerja, jumpa di rumah hanya hitungan beberapa jam. Malam pun dilalui dengan tidur nyenyak masing-masing yang memeluk guling. Lama-lama timbul masalah. Saling menyalahkan. Surat pisah pun dilayangkan. Mereka takjomblo, namun keadaannya tak jauh beda dengan kaum jomblo.

Itulah, contoh status ketakjombloan yang sebenarnya berkeadaan seperti jomblo. Bingung? sama.

Lalu bagaimana dengan para jomblo? Secara inderawi mereka memang jomblo. Sebut saja salah satu jomblo terkeren abad ini yaitu aku : D. Aku jomblo karena takberpasangan. Belum menikah. Tak percaya? Di KTP-ku tertulis status “Belum kawin”.

Namun, ada satu keyakinan bahwa setiap makhluk diciptakan berpasangan. Secara konsep, semua benda berpasangan. Malam dengan siang; rusa betina dengan rusa jantan; serbuk sari dengan putik. Lalu aku? Aku dengan kamu dong, iya kamu. #kedipmata

Jadi, aku yakin deh, seyakin-yakinnya bahwa sudah ada pasangan buatku. Cuma belum ketemu aja. Jadi sebenarnya aku tak jomblo kan.

Dipikir-pikir, secara konsep seperti itu: bahwa aku takjomblo karena aku yakin semua akan nikah pada waktunya. Tapi, di dalam masyarakat kita, orang yang belum menikah itu ya dinamakan jomblo. Mau alasan segunung pun, jomblo tetap jomblo, yaitu sejenis spesies unik yang selalu bisa menjadi bahan bullying. Dan menyandang status jomblo dalam masyarakat kita itu hidupnya tidak tenang. Pas wisuda ditanyain, “Kok sendirian, nggak ada yang menemani?” Dateng ke pernikahan pasti ditanyain, “Kapan nyusul?”

Demikianlah, ternyata kita memang harus tunduk dengan konvensi masyarakat agar tercipta harmonisasi korelasi antarhumanisasi. #virusvickydetected.

Dengan begitu, yakinlah sudah, aku berpikir maka aku jomblo.

Untungnya, aku sudah mengembangkan ilmu benteng diri sebagai jomblo. Ilmu ini menganut prinsip: Bully-lah diri sendiri sebelum di-bully oleh orang lain. Maka, aku pun tak segan-segan mem-bully diri sendiri yang berkubang dalam lumpur kejombloan. Hasilnya segala olokan, bully-an, pertanyaan-pertanyaan provokatif sudah takmempan lagi buatku. Justru aku bangga dengan status jomblo yang sedang berusaha menjaga kesucian dan berusaha memantaskan diri buat kamu, iya kamu. #kodemodeon
 


***
Sukoharjo, 27 Oktober 2015



0 komentar:

Post a Comment