Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Friday, August 26, 2016

Fullday School: Prasangka, Permasalahan, dan Solusi (bagian 2)

Fullday School: Prasangka, Permasalahan, dan Solusi
Wacana Fullday school yang digulirkan Mendikbud mendapatkan tanggapan pro dan kontra. Banyak yang memberi tanggapan kontra hanya berdasarkan asumsi, anggapan, dan hal-hal negatif yang membayangi sistem fullday school. Sebagian besar dilatari ketidaktahuan terhadap sistem fullday school yang sudah berjalan. Sebagian memang sudah antipati terhadap wacana tersebut.

Fullday school
tentu tak bisa diterapkan untuk semua sekolah karena fullday school memiliki kekhasan tersendiri. Berikut ini beberapa masalah dalam sistem fullday school yang menjadi citra negatif bagi sebagian orang, beserta solusi yang bisa dipertimbangkan. Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya: Fullday School: Prasangka, Permasalahan, dan Solusi (bagian 1)


4. Fullday School Menyita Waktu Guru
Guru memiliki kewajiban untuk mengajar minimal 24 jam per minggu. Dengan penerapan fullday school –pada beberapa sekolah pilihan-- kewajiban mengajar guru tentu tidak berubah, kecuali ada peraturan perundangan yang baru. Dalam fullday school, guru tidak mengajar dari pagi sampai sore. Ada pembagian kerja dan tugas sesuai dengan kewajiban dan hak guru.

Di sebagian sekolah swasta yang menerapkan fullday, guru mengajar pada jam reguler (pagi-siang). Jam setelah siang diisi program yang disesuaikan dengan kondisi anak. Jika waktu pagi-siang pembelajaran lebih cenderung pada pendalaman kognitif/akademis, waktu siang-sore diisi kegiatan yang lebih santai, kegiatan pengembangan minat-bakat, atau kegiatan ekstrakurikuler. Pembelajaran siang-sore ini diampu oleh guru/pembina di luar guru reguler. Atau, guru reguler bisa mengajar pada jam sore dengan waktu bergiliran (tidak setiap hari).

Jadi, penerapan fullday school tidak menyita waktu guru karena guru sudah memiliki kewajiban (beban jam mengajar) yang sudah ditetapkan oleh peraturan menteri. Penerapan fullday school justru membuka lowongan pekerjaan tenaga pendidik.
 

5. Fullday School Membutuhkan Biaya Besar
Memang benar fullday school membutuhkan biaya besar. Biaya tersebut digunakan di antaranya untuk gaji tenaga pendidik tambahan, penambahan fasilitas sekolah, penyiapan makan siang/makanan ringan, dll. Biaya yang besar ini idealnya dibebankan kepada pemerintah. Dan jika hal tersebut terealisasi, masyarakat tidak terlalu memikirkan permasalahan ini.

Selama ini, sekolah yang menerapkan fullday school hampir semuanya sekolah swasta yang membebankan biaya pendidikan kepada orang tua / wali siswa. Masyarakat sudah memberikan “cap” bahwa fullday school berbiaya mahal. Stigma inilah yang membuat banyak orang menolak penerapan fullday school.

Oleh karena itu, fullday school memang tidak bisa diterapkan bagi semua sekolah atau semua kalangan. Sekolah dengan sumber pembiayaan yang besar yang bisa menerapkan fullday school. Fullday school bisa juga menjadi alternatif bagi orang tua / wali siswa yang memiliki kemampuan pembiayaan yang cukup.

Peribahasa Jawa berbunyi “Jer Basuki Mawa Bea”, bahwa sebuah keberhasilan itu memerlukan pengorbanan, khususnya pengorbanan harta/biaya. Jika dirasa fullday school memiliki program yang baik, maka perlu mendapat dukungan dana, baik dari pemerintah maupun orang tua / wali siswa. Namun, sekali lagi, fullday school adalah pilihan. 


6. Fullday School Adalah Ide Konyol
Sebagian orang menganggap wacana fullday school adalah ide yang konyol, yang tidak bisa diterapkan, sebuah gagasan yang mengada-ada. Padahal, fullday school sudah sudah diterapkan beberapa sekolah.

Sebuah gagasan, pasti ada nilai positif dan negatifnya. Sebuah sistem yang sudah dijalankan pun ada kelebihan dan kelemahannya. Akan menjadi tidak proporsional jika kita hanya memandang salah satunya. Memandang keunggulannya saja sehingga hanya menghasilkan pujian tinggi. Atau sebaliknya, melihat kelemahannya saja sehingga terlihat sangat buruk.

Pihak-pihak yang berkompeten hendaknya mengkaji permasalahan fullday school secara mendalam dan saksama.

 

---
Demikian beberapa prasangka, permasalahan, dan solusi terkait sistem pendidikan fullday school. Tulisan di atas tentu mengandung banyak subyektifitas karena tak lepas dari latar belakang dan wawasan terbatas yang dimiliki oleh penulis.


***
Sukoharjo, 27 Agustus 2016


Wednesday, August 24, 2016

Buku Pelajaran yang Panjang Umur

sumber gambar: pedomanilmu.com
Seorang kawan dunia maya yang sudah tinggal beberapa tahun di Norwegia mengunggah sebuah foto buku pelajaran anaknya. Ia menulis bahwa buku tersebut merupakan pinjaman dari sekolah. Anaknya baru saja memasuki tahun pelajaran baru sehingga ia membawa buku-buku diktat pinjaman dari sekolah yang merupakan buku bekas yang pernah digunakan oleh kakak kelasnya. Buku-buku pinjaman tersebut ada yang sudah dipakai selama tujuh tahun, sebagian besar yang lain sudah dipakai minimal dua tahun.

Itulah uniknya sistem pendidikan di sana. Ada buku yang sudah digunakan selama tujuh tahun, tapi masih bisa dipakai hingga sekarang. Orang-orang di negeri kita menyebutnya dengan buku lungsuran. Buku lungsuran ini di beberapa perpustakaan sekolah memang ada. Tapi, sepertinya buku tersebut jarang disentuh dan dibaca siswa. Para siswa sekarang tentunya lebih suka buku yang baru, yang masih bersegel. Kalaupun lungsuran, jarang yang usianya lebih dari tiga tahun.

Saya bertanya-tanya: apa kabar buku-buku pelajaran yang dulu pernah saya pelajari di SD, SMP, atau SMA? Apakah buku-buku tersebut masih berujud? Ataukah sudah bermetamorfosis menjadi bungkus tempe? Jika masih ada, masihkah bisa dibaca dan dipelajari oleh siswa masa sekarang?

Bagi sebagian --besar-- orang, buku pelajaran adalah buku kenangan. Mungkin kita pernah berbenah rumah, lalu menemukan buku pelajaran yang sudah usang. Kita pun terbawa kenangan oleh buku tersebut. Kenangan masa kecil dan remaja. Hanya itulah manfaat dari buku pelajaran: sebagai kendaraan pembawa kenangan.

Apakah materi buku tersebut masih berguna dan bisa gali pengetahuannya pada masa sekarang? Mungkin kebanyakan kita malah menertawakan diri sendiri sambil berkata: mengapa saya dulu tidak bisa memahami materi semudah ini? Atau mengapa saya dulu mempelajari hal semacam ini?

Jika buku tersebut diberikan kepada anak yang bersekolah hari ini, apakah si anak mau menerima? Saya kira tidak mau. Buku itu tak berguna bagi mereka. Selain sudah usang, materi pelajaran yang diajarkan di sekolah sudah berbeda, sedikit ataupun banyak.

Apalagi dengan bergantinya kurikulum sudah pasti berganti buku yang dipakai. Akibatnya, buku pelajaran yang dipakai takbisa berumur panjang. Setidaknya paling lama lima tahun sudah tak bersesuai dengan kurikulum. Jika ada buku pelajaran berusia lima tahun, itu sudah hebat.

Saya pernah mendapat cerita dari seorang manajer sebuah penerbitan besar yang mencetak buku-buku pelajaran untuk sekolah. Dulu, saat ramai-ramai penyusunan BSE (Buku Sekolah Elektronik) yang kemudian menjadi buku pegangan siswa untuk belajar di sekolah, manajer tersebut mengatakan bahwa ia mengalami kebimbangan: apakah mencetak buku pelajaran seperti tahun-tahun sebelumnya dengan risiko penjualan akan menurun, ataukah mengikuti tender untuk mendapatkan hak cetak buku-buku BSE dengan keuntungan yang takbanyak --karena pemerintah sudah menetapkan harga jual tertinggi untuk buku-buku BSE.

Pun dengan kurikulum yang berganti, struktur dan materi buku pelajaran pun berganti. Penerbitan-penerbitan menjadi bimbang kembali. Ada sekolah yang masih menggunakan kurikulum yang lama, ada sekolah yang sudah menerapkan kurikulum yang baru. Penerbit pun harus mencetak dua versi buku untuk dua kurikulum yang berbeda. Imbasnya tentu saja pada peningkatan biaya produksi.

Pemerintah juga mengeluarkan biaya yang besar untuk menyediakan buku pelajaran  baru yang sesuai dengan kurikulum terbaru. Pemerintah melakukan penjaringan ataupun sayembara untuk pengadaan buku teks, melaksanakan diklat penyusunan buku teks, dan mengadakan tender untuk pencetakan buku tersebut –yang tentunya berbiaya besar



Saya mengenal seorang guru yang mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk menyusun buku teks. Buku teks tersebut disusun berdasarkan kurikulum 2013. Guru tersebut telah mengikuti beberapa pelatihan penyusunan buku teks. Buku teks yang disusunnya pun telah jadi. Kemudian, ada rencana penyempurnaan kurikulum. Konsekuensinya, buku teks harus disusun lagi sesuai struktur kurikulum yang baru. Guru tersebut mengatakan bahwa buku yang disusunnya tersebut mungkin hanya digunakan 1 atau 2 tahun saja. Setelah penyempurnaan kurikulum, kemungkinan besar akan disusun buku teks yang baru.


Begitulah sistem pendidikan di Indonesia. Buku pelajaran fungsinya hanya beberapa tahun saja. Lebih dari tiga tahun sudah tak ada yang mau menggunakannya. Mereka maunya yang terbaru, yang sesuai dengan kurikulum terbaru.

Pertanyaannya ialah mengapa tidak menyusun buku pelajaran yang berumur panjang? Buku pelajaran –yang bahkan-- bisa diwariskan seorang ibu kepada anaknya. Buku pelajaran yang tetap bergeming tak terusik oleh pergantian kurikulum. Buku pelajaran yang masih bisa kita baca untuk masa yang lama.

Mungkin buku seperti itu berbentuk semacam ensiklopedia. Kita tahu bahwa buku ensiklopedia adalah buku yang berumur panjang. Buku ensiklopedia memuat pengetahuan dan wawasan yang masih bisa kita bacai meski sudah berusia tahunan.

Buku ensiklopedia juga bisa menjadi koleksi yang berharga. Buku ensiklopedia tentu dicetak dengan kualitas yang baik dan sampul hardcover. Harapannya, buku pelajaran tidak sedakar hanya menjadi buku kenangan setelah usianya di atas lima tahun. Orang tua yang memiliki empat anak, cukup membeli satu buku ensiklopedia untuk satu pelajaran yang bisa digunakan keempat anaknya secara berwarisan.

Dengan buku ensiklopedia, sekolah tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan biaya banyak untuk berbelanja buku pelajaran setiap tahun. Sekolah tidak terlalu dipusingkan dengan pergantian menteri atau pergantian kurikulum yang mengharuskan pergantian buku teks.

Pertanyaan lanjutannya ialah bagaimana mengajarkan materi dalam buku ensiklopedia? Buku pelajaran selama ini kan disesuaikan dengan kurikulum yang memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar, soal-soal latihan, dan evaluasi akhir semester, termasuk prosedur cara mempelajarinya juga dimuat dalam buku tersebut. Kalau buku ensiklopedia yang isinya hanya pengetahuan tanpa soal-soal latihan, bagaimana mempelajarinya?

Itulah pertanyaan yang perlu pemikiran lebih mendalam untuk menjawabnya. Tapi saya yakin, pasti ada solusinya.


***
Sukoharjo, 24 Agustus 2016

Sunday, August 21, 2016

Membangun Kebersamaan Anak dan Orang Tua

Seminar Parenting "Tips & Trik Menjaga Quality Time Antara Orang Tua & Anak"

Seminar Parenting dengan tema “Tips & Trik Menjaga Quality Time Antara Orang Tua & Anak” menghadirkan pembicara dr. Marijati, seorang dokter yang juga pakar parenting. Sebagai seorang dokter yang berpraktik di sebuah klinik, dr. Marijati terkadang mendapat pasien seorang anak atau remaja. Apa yang beliau ceritakan tentang pasien remajanya tersebut sungguh membuat hati miris.

Ada seorang remaja --masih pelajar sekolah menengah-- dibawa ke klinik oleh orang tuanya setelah sebelumnya berobat di Puskesmas namun tak kunjung sembuh. Orang tuanya tidak tahu apa penyakit yang diderita anaknya tersebut. Setelah diperiksa secara saksama oleh dr. Marijati, hasilnya sungguh mengejutkan. Remaja tersebut ternyata tengah hamil.

Saat hasil pemeriksaan disampaikan, orang tua dari remaja tadi tidak percaya. Katanya, anak tersebut adalah anak baik, sering di rumah, tak pernah bermain keluar. Demikian kilah orang tua berusaha membenarkan rasa ketidakpercayaannya. Namun, faktanya remaja tersebut hamil.

Ada beberapa kisah serupa di atas --bahkan ada remaja yang melakukan aborsi sendiri-- yang disampaikan oleh dr. Marijati. Sebagai dokter yang terlibat langsung dengan masalah tersebut dan sebagai orang tua juga, dr. Marijati merasa miris dengan kenyataan bahwa banyak pelajar yang memiliki masalah akan tetapi orang tuanya tidak mengetahui. Orang tua mengetahui masalah anak setelah terlanjur mengalami kejadian fatal seperti di atas.

Seorang anak bisa saja terlihat baik-baik saja di rumah. Apalagi, jika orang tua memiliki kesibukan di luar sehingga waktu di rumah hanya sedikit. Dan waktu yang sedikit itu pun tidak digunakan sepenuhnya untuk berkomunikasi dengan anak. Orang tua tahunya anaknya selalu di rumah dan bersikap baik serta rajin belajar. Padahal, saat orang tuanya tidak ada di rumah, tak ada yang tahu apa yang diperbuat oleh si anak, atau si anak bermain ke mana dan bersama siapa.

dr. Marijati memberikan beberapa pertanyaan sebagai bahan introspeksi sebagai berikut.

  • Jam berapa Bapak/Ibu sampai di rumah?
  • Jam berapa anak sampai di rumah? 
  • Apakah ada waktu yang dialokasikan untuk bersama? Hari apa? 
  • Kegiatan apa yang biasa dilakukan? 
  • Adakah kesulitan untuk meluangkan waktu bersama? Bagaimana masalahnya?

Quality time (waktu yang berkualitas) itulah yang ditekankan oleh dr. Marijati. Waktu yang singkat di rumah, hendaknya digunakan sebaik-baiknya oleh orang tua untuk bersama anak. Kebersamaan ini pun tidak hanya sekadar bersama, tetapi kebersamaan yang berkualitas. Waktu yang sedikit yang dimiliki orang tua untuk berinteraksi dengan anak, hendaknya berkualitas.

Bagaimanakah waktu yang berkualitas itu? dr. Marijati memberikan beberapa tips untuk menjaga quality time antara orang tua dengan anak, di antaranya berikut ini.

1. Menyediakan hari khusus untuk bersama
Orang tua hendaknya menyediakan waktu khusus atau hari khusus bersama anak. Bisa akhir pekan, atau pada masa liburan. Jika untuk pekerjaan saja bisa dijadwal dan dilakukan setiap hari, tentu waktu untuk anak juga harus dijadwalkan.

2. Menentukan agenda utama
Kegiatan bersama anak perlu direncanakan dengan baik. Sebaiknya anak dilibatkan dalam musyawarah untuk menentukan kegiatan keluarga.

3. Memberi peran pada masing-masing anggota keluarga
Dengan memberikan peran (pembagian tugas) saat acara keluarga, anak akan merasa diperhatikan dan merasa penting di dalam keluarga. Misalnya dalam kegiatan piknik, anak bisa diberi tugas untuk menyiapkan bekal atau menyiapkan P3K.

4. Hindari konflik di waktu istimewa
Selama hampir sehari, anak belajar di sekolah, lalu bermain dengan teman-temannya. Ketika orang tua pulang kerja dan sampai di rumah, hendaknya menghindari konflik dengan anak. Misalnya, sang ayah pulang kerja mendapati anaknya langsung bertanya, “Sudah mengerjakan PR belum?” dengan muka datar. Seorang anak tentu merindukan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Wajah yang ceria dan sapaan yang hangat akan memberi pengaruh yang dalam kepada anak.

5. Banyak banyaklah mendengar tentang cerita anak anak
Seseorang biasanya akan bercerita kepada orang lain ketika menghadapi masalah. Seorang anak akan bercerita kepada temannya saat menghadapi masalah, baik masalah di sekolah maupun masalah di rumah. Di sinilah pentingnya peran orang tua, selain sebagai ayah-ibu juga sebagai teman. Jadikan anak sebagai teman sehingga anak akan mau bercerita kepada orang tua ketika ia tertimpa masalah. Seorang anak yang pendiam dan terlihat baik-baik saja, pasti juga memiliki masalah. Orang tua harus aktif berkomunikasi dengan anak agar orang tua bisa mengarahkan dan membimbing anak untuk menyelesaikan masalahnya.

 

Itulah beberapa tips untuk menjaga quality time antara orang tua dan anak. Lalu bagaimana peran guru (atau sekolah) dalam hal tersebut? Setiap guru dan sekolah tentu memiliki program masing-masing.

Saya sendiri terkadang berbincang-bincang dengan siswa untuk mengetahui bagaimana interaksi siswa dengan orang tuanya di rumah. Saya bertanya apa pekerjaan orang tua, pukul berapa orang tua pulang kerja, dll. Setelah liburan panjang, saya bertanya apa kegiatan bersama keluarga selama liburan?

Saya menyimpan beberapa foto tempat wisata yang pernah saya kunjungi. Terkadang beberapa siswa melihatnya, lalu mereka pun bertanya-tanya tentang obyek wisata tersebut. Setelah saya jelaskan, biasanya mereka tertarik dan mengajak untuk berlibur ke tempat wisata tersebut. Saya menanggapinya dengan antusias, tapi saya menyarankan mereka mengajak keluarganya. “Nanti pas liburan ajak bapak-ibu piknik ke sana,” begitu saran saya kepada mereka, boleh dibilang semacam provokasi agar mereka bisa berlibur bersama keluarga.

Saya pernah memberikan tugas kepada siswa yang melibatkan orang tua. Tugasnya sangat mudah: Bertanyalah kepada orang tua tentang hubungan antara pepohonan dan banjir.
Waktu itu materi yang dipelajari tentang berita dan laporan. Dan beberapa waktu sebelumnya beberapa wilayah di kabupaten memang dilanda banjir.

Saya meminta mereka menulis apapun jawaban orang tuanya. "Tulislah apapun jawaban dari orang tua kalian," kata saya waktu itu. "Kalau orang tua menjawab 'Tidak tahu', tulislah 'Tidak tahu',” demikian tekan saya pada mereka.

Dengan pertanyaan yang mudah tersebut, saya ingin para siswa berkomunikasi, bertanya, belajar bersama orang tua. Dengan pertanyaan tersebut, saya juga ingin mengetahui bagaimana tanggapan orang tua ketika anaknya bertanya terkait tugas sekolah.

Setelah tugas dikumpulkan, saya membaca beberapa hasil pekerjaan para siswa. Dan hasilnya sebagian besar siswa melaksanakan tugas dengan baik. Orang tua mereka memberikan jawaban dan dituliskan oleh mereka. Namun, ada beberapa tanggapan orang tua yang kurang diharapkan oleh mereka.

Saya bertanya bagaimana tanggapan orang tua kalian saat kalian bertanya? Pertanyaan itu saya ajukan kepada para siswa yang jawaban atas soal tugas tidak diberikan oleh orang tua atau jawabnnya seperti “Tidak tahu.” Anak-anak itu menjawab jujur.

Ada sang ayah yang ketika ditanya oleh anaknya, melemparkan pertanyaan tersebut kepada sang ibu. Atau melemparkannya kepada anak yang lebih besar. Ada orang tua ang ketika anaknya bertanya, dijawab bahwa ia sedang mengantuk dan si anak disuruh menulis (mengarang) jawaban sendiri.

Begitulah, kesibukan semakin padat dan waktu kebersamaan anak dengan orang tua semakin sedikit, namun sebagian orang tua belum bisa mengoptimalkan waktu yang sedikit itu untuk menciptakan kebersamaan yang berkualitas.


***
Sukoharjo, 22 Agustus 2016



Saturday, August 20, 2016

Membaca Buku 15 Menit Sebelum Pelajaran

Para siswi sedang khusyu membaca buku

Saya selalu bertanya kepada para siswa setelah mereka selesai mengerjakan Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Nasional: soal apa yang sulit dikerjakan? Sebagian siswa mengeluhkan bahwa soal ujian Bahasa Indonesia terlalu banyak teksnya.

Dibandingkan pelajaran lain, soal Bahasa Indonesia memang yang paling tebal. Saya pernah menemukan soal ujian Bahasa Indonesia setebal 16 halaman. Butir soalnya memang didominasi oleh teks: kutipan berita, kutipan biografi, kutipan laporan, kutipan novel, kutipan cerpen, kutipan novel, puisi, dll.

Wajar menurut saya. Dan hal tersebut malah bagus. Pembelajaran Bahasa Indonesia memang diarahkan pada pembelajaran berbasis teks. Siswa dibiasakan untuk membaca teks secara langsung. Materi hafalan teori semisal kelas kata, pembentukan kata, pola kalimat tetap ada tetapi diintegrasikan dalam sebuah teks. Tujuannya memang bagus: agar siswa memiliki keterampilan membaca yang baik.

Kesulitan sebagian siswa dalam mengerjakan soal yang banyak teksnya tersebut membuat saya berpikir. Jika para siswa tidak terbiasa membaca, mereka tetap akan kesulitan memahami teks. Bahkan, tidak mungkin mereka akan merasa stres terlebih dahulu saat melihat soal yang berisi kutipan teks yang melimpah.

Saya pun mengambil sebuah hipotesis bahwa siswa perlu dibiasakan membaca teks agar pemahaman mereka terhadap teks bisa meningkat. Dengan demikian, soal ujian pun akan lebih mudah dikerjakan. Saya akan mengajak dan “memaksa” siswa untuk membaca.

Pada tahun pelajaran 2015/2016 lalu, saya pun menerapkan program “Membaca Buku 15 Menit Sebelum Pelajaran”. Saya memulainya dengan satu kelas terlebih dahulu. Saat itu saya masuk kelas dengan membawa sebuah boxset buku-buku karya Roald Dahl. Para siswa tampak tertarik dengan apa yang saya bawa.

Saya menjelaskan program “Membaca Buku 15 Menit Sebelum Pelajaran” yang segera diikuti sorak kegembiraan oleh mereka. Mereka bersorak mungkin karena mereka bisa membaca buku sebelum pelajaran atau mungkin juga karena bisa bersantai sejenak sebelum pelajaran. Mulai saat itu saya meminta mereka membawa bahan bacaan (nonpelajaran) setiap pelajaran Bahasa Indonesia. Bisa majalah, koran, novel, cerpen, puisi, ensiklopedia, pengetahuan umum, dll.

Progam saya tersebut memang seiring langkah dengan program Penumbuhan Budi Pekerti yang termuat dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 yang ditandatangi oleh Mendikbud saat itu, Anis Baswedan. Pada bagian lampiran tentang kegiatan gerakan Penumbuhan Budi Pekerti disebutkan salah satunya ialah mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh dengan kegiatan wajib “menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari)”.

Saya menduga tidak banyak sekolah yang sudah menerapkan apa yang digariskan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tersebut, khususnya tentang kegiatan membaca buku 15 menit sebelum hari pembelajaran. Termasuk sekolah tempat saya mengajar, tidak ada program membaca buku di pagi hari karena setiap pagi di sekolah saya sudah dijalankan program yang sangat bagus, yaitu membaca dan menghafal Al-Quran.

Oleh karena itu, saya mencoba mengajak dan “memaksa” siswa untuk membaca buku selama 15 menit sebelum pelajaran Bahasa Indonesia. Jika dalam satu minggu ada dua kali pertemuan berarti siswa minimal membaca buku selama 15 menit selama dua kali dalam seminggu. Hal tersebut bagi siswa yang belum terbiasa membaca atau bahkan merasa “terpaksa” membaca. Bagi siswa yang sudah terbiasa membaca tentu mereka memiliki waktu luang yang bisa digunakan untuk membaca buku.

Pada tahun pelajaran 2016/2017 ini, saya mengajar Bahasa Indonesia di tiga kelas. Saya menerapkan program “Membaca Buku 15 Menit Sebelum Pelajaran” pada satu kelas. Dalam waktu dekat akan saya terapkan lagi pada satu kelas. Sedang, satu kelas sisanya mungkin baru tahun depan. Saya memang perlahan-lahan menerapkannya, mengingat kondisi dan karakteristik para siswa di setiap kelas.

Harapan saya, agar aktivitas membaca menjadi aktivitas harian siswa dan buku menjadi teman setia sepanjang waktu. Dengan kebiasaan membaca mereka akan mendapatkan pengetahuan yang melimpah yang sangat berguna bagi masa depan mereka, bahkan bisa menjadikan mereka tokoh pembaru di masa yang akan datang. Sebagaimana diungkapkan oleh Antoni Ludfi Arifin dalam bukunya Be A Reader bahwa kegemaran membaca (reading interest) akan menjadi sebuah kebiasaan membaca (reading habits). Kebiasaan membaca akan menciptakan karakter yang haus ilmu atau bacaan (reading character) sehingga mampu mengubah peradaban, yaitu budaya masyarakat yang suka membaca (reading culture).

 

***
Sukoharjo, 21 Agustus 2016



Friday, August 19, 2016

Anak Adalah Ahli Copy-Paste

Sumber: the-pics.com

Pelajaran Bahasa Indonesia siang itu saya akhiri dengan sebuah permainan ringan yaitu lompat-lompat. Setelah itu saya menutup pelajaran dengan mengucap salam yang segera dijawab serentak oleh para siswa. Saya berjalan hendak keluar kelas. Sebelum sempat melewati pintu, beberapa siswa mencegat saya dengan sepotong pinta. Mereka meminta saya memotret mereka.

Karena luluh dengan pohonan dan rengekan mereka, saya pun mengiyakan yang segera disambut sorak kegembiraan oleh mereka. Lalu mereka menempatkan diri di dekat dinding kelas. Saya bersiap-siap memotret. Mereka bergaya. Gaya yang pernah saya lihat pada sebuah foto yang pernah tersebar di dunia dalam jaringan.

Ada empat siswi yang berada dalam frame kamera. Dua di tengah, berdiri depan belakang dengan sedikit menekuk lutut. Dua yang lain berdiri di sebelah kanan dan kiri dengan jarak sekita dua langkah dari yang tengah. Yang tengah mengacungkan lengan ke depan dengan tangan tertutup, lalu kepada di benamkan di balik kedua lengannya. Yang di kanan dan kiri, kepala menunduk, ditutup satu lengan yang ditekuk di depan wajah, lengan satunya diacungkan serong ke atas –semacam pose pahlawan bertopeng, hanya saja wajahnya tertutup lengan. Begitu gaya berfoto mereka.

Cekrik. Suara potret yang setelahnya disambut sorak oleh mereka. Saya heran, mengapa mereka senang sekali bersorak.

Saya bukan termasuk orang yang pandai bergaya di depan kamera sehingga pose foto saya cenderung standar, biasa saja, dan membosankan. Sedang, anak-anak itu –yang tadi berpose seperti gaya pahlawan bertopeng—suka-suka saja berpose di depan kamera.

Yang jadi, pertanyaan saya: dari mana mereka mendapat “wangsit” untuk berpose seperti itu. Tentu tidak ujug-ujug, secara tiba-tiba mereka berkreasi seperti itu. Saya menduga mereka pernah melihat sebuah foto yang memperlihatkan gaya serupa. Gaya berfoto yang terlihat bagus di mata mereka. Lalu, mereka pun menirunya.

Begitulah, anak memang mudah terpengaruh hal-hal yang dilihat dan didengarnya untuk kemudian ditirunya. Anak adalah seorang ahli copy-paste. Gaya berfoto, gaya rambut dan berpakaian sebagai contohnya.

Dalam keluarga, tingkah laku orang tuanya yang setiap hari dilihat, akan ditiru olehnya. Begitu juga cara bertutur dan pilihan kata. Orang tua yang suka minum air dengan duduk, akan ditiru oleh anaknya. Orang tua yang bertutur dengan kata-kata yang baik, juga akan ditiru oleh anaknya.

Masa remaja ialah masa meniru. Sebagian mengatakan sebagai masa mencari jati diri. Ia suka meniru sesuatu untuk menemukan jati dirinya. Ia meniru untuk menuju jati dirinya.

Tak salah pula, jika televisi dikatakan sebagai guru bagi anak yang sering menontonnya. Generasi ‘90-an ketika kecil bakal menyanyikan lagu “Pada Hari Minggu”, “Menanam Jagung”, “Bintang Kecil” dan lagu-lagu anak lainnya. Sedang, generasi sekarang sudah fasih menyanyikan lagu dengan lirik orang dewasa yang sebagiannya menjurus ke hal yang tabu. Mereka meniru dari televisi, dari panggung-panggung hiburan, dari Youtube.

Orang tua mesti lebih ekstra mengawasi dan membimbing anak yang memasuki masa remaja. Salah satu sifat remaja yaitu memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka suka melihat dan mencoba hal-hal yang baru. Hal-hal baru yang dicoba dan ditirunya itu akan memengaruhi kepribadiannya.

Anak yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan yang baik akan meniru perbuatan-perbuatan baik yang dilihatnya setiap hari. Sebaliknya, keluarga dan lingkungan yang mencontohkan hal yang tak baik, akan dengan mudah ditirukan oleh anak.

Oleh karena itu, kita perlu memberi contoh yang baik bagi anak. Agar apa yang dilihat dan didengar oleh anak ialah hal-hal yang baik. Jika setiap hari anak melihat dan mendengar hal-hal yang baik, ia akan berusaha untuk menirunya. Itulah sesungguhnya proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak dalam kehidupan sehari-hari.


***
Sukoharjo, 19 Agustus 2016



Wednesday, August 17, 2016

Kemerdekaan bagi Anak Kita

Ilustrasi gambar: www.sorotklaten.co

Pada HUT Republik Indonesia ke-71 ini, dilaksanakan upacara pengibaran bendera di sekolah. Seusai upacara bendera, dilakukan penyerahan hadiah kepada pemenang lomba 17-an yang dilaksanakan pada hari sebelumnya. Pada cabang pertandingan sepakbola, diumumkan pemenang dan para top scorer.

Salah satu top scorer yang mendapat hadiah tersebut –kebetulan—termasuk siswa yang kurang pandai dalam akademis. Semua orang mengetahui keterbatasan kemampuan akademisnya, termasuk orang tuanya. Namun, prestasinya dalam bidang olahraga ini menjadi bukti bahwa ia memiliki kecerdasan tersendiri.

Saya hubungkan kisah di atas dengan salah satu film India yang berkesan bagi saya yaitu “3 Idiot”. Film yang dirilis akhir tahun 2009 ini merupakan salah satu film tersukses di India. Film yang dibintangi oleh Aamir Khan ini banyak menampilkan adegan yang menggambarkan “pemberontakan” terhadap sistem pendidikan yang kaku yang telah berjalan selama ini. Pendidikan yang memandang anak sebagai sebuah bahan baku untuk dibentuk menjadi sebuah produk oleh pabrik yang bernama sekolah dan perguruan tinggi. Di akhir film itu, diceritakan salah satu tokoh akhirnya direstui oleh orang tuanya untuk menjadi fotografer alam liar –sesuai cita-citanya, padahal sebelumnya sang orang tua memaksanya agar menjadi seorang insinyur.

Itulah salah satu makna kemerdekaan bagi anak. Selama ini, kita memahami teori bahwa setiap anak terlahir unik. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita juga cenderung menyetujui pendapat bahwa setidaknya ada delapan jenis kecerdasan yang menjadi potensi anak sebagaimana diungkapkan oleh Howard Gardner.

Dengan keunikan potensi kecerdasan tersebut, tentu perlakuan terhadap masing-masing anak berbeda-beda. Misalnya, siswa yang mendapat hadiah top scorer tadi, potensinya ialah dalam kinesik (olah tubuh). Tentu sangat sulit baginya mengejar prestasi teman-temannya yang pandai dalam logika ataupun bahasa. Begitu juga sebaliknya, teman-temannya belum tentu bisa mencapai prestasi dalam bidang olahraga sebagai yang diraih olehnya.

Namun, masih ada yang menganggap bahwa kecerdasan itu hanya satu atau dua jenisnya. Anak yang cerdas ialah anak yang pandai berhitung dan menghafal rumus. Anak-anak dimasukkan ke dalam bimbingan belajar mata pelajaran yang dianggap penting tersebut. Potensi, minat, dan bakat yang dimiliki anak dikesampingkan. Mungkin karena potensi tersebut tidak bisa menghasilkan nilai-nilai apik di rapor. Nilai rapor menjadi tolok ukur kecerdasan.

Dengan demikian, dengan ataupun tanpa sadar, terkadang tindakan yang diambil orang tua menjadi semacam “penjajahan” terhadap kebebasan anak. Ada anak yang benar-benar pusing dengan pelajaran Fisika, misalnya, dipaksa oleh orang tuanya untuk mengikuti les. Tapi, bakat musiknya yang menonjol diabaikan. Ada anak yang selalu lupa rumus Matematika, dipaksa oleh orang tuanya untuk mengikuti les. Namun, keterampilannya berbahasa Inggris tak dioptimalkan.

Anak dianggap sebagai “bahan mentah” yang harus dibentuk menjadi “produk yang cerdas”. Tentu cerdas yang dimaksud ialah bermakna sempit yang dibatasi oleh angka-angka di rapor. Anak dalam kondisi “terjajah”.

Ia tidak merdeka untuk mempelajari apa yang disukainya. Ia tidak merdeka untuk melakukan kegemarannya. Ia tidak merdeka untuk menentukan jalan hidupnya. Yang kita inginkan ialah kemerdekaan sepenuhnya. Kemerdekaan yang bisa dicecap oleh anak-anak kita. Kemerdekaan yang tidak hanya disimbolkan oleh kibaran merah putih atau hadiah yang dipajang di atas pinang, tetapi kemerdekaan yang bisa dirasai oleh jiwa, hati, dan pikiran.

Kita --Orang tua, guru, masyarakat, dan pemerintah-- mestinya mendukung anak-anak dalam menikmati kemerdekaannya. Kita tidak mengambil kemerdekaan tersebut, tapi kita membimbing, mengarahkan, membina, mendidik agar anak-anak kita menggapai apa yang dicita-citakannya.

***

Sukoharjo, 17 Agustus 2016




Dilarang Membaca Novel Saat Belajar

Ilustrasi gambar: www.desainrumahnya.com

Saya bukan orang yang benci dengan pelajaran eksakta semacam Matematika dan Fisika. Nilai pelajaran Matematika saya rata-rata bagus sejak SD, baik nilai ulangan harian maupun nilai ujian akhir. Nilai Ujian Nasional saya pun patut dibanggakan. Nilai sembilan pada UN SMP dan nilai sempurna pada UN SMA. Kalau Fisika, kadang bagus, kadang lumayan bagus. Saya akui, dengan pelajaran Fisika saya memang tidak terlalu akrab. Bahkan, saat SMP dan SMA saya kadang tidak mengikuti pelajaran Fisika tanpa izin. Jika takdir mengantarkan saya menjadi guru Bahasa Indonesia –dan bukan guru Matematika—itu tidak terlalu saya risaukan. Saya berusaha menikmati apa peran saya.

Pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah terkadang terasa “dipinggirkan”. Materinya dianggap mudah hingga tak ada orang tua yang memasukkan pelajaran Bahasa Indonesia dalam daftar bimbingan belajarnya. Matematika, Fisika, atau Bahasa Inggris lebih penting untuk diperhatikan. Ada satu pengalaman yang menurut saya termasuk hal yang menggelikan sekaligus memprihatinkan. Salah satu materi Bahasa Indonesia di kelas delapan yaitu membuat sinopsis novel remaja. Tentu saja, materi tersebut saya ajarkan di kelas.

Setelah menjelaskan seluk beluk sinopsis novel remaja, saya memberikan tugas kepada siswa pada akhir pembelajaran. Tugas itu ialah membuat sinopsis novel remaja yang pernah dibaca. Untuk membuat sinopsis novel, tentu saja mereka –para siswa—harus membaca novelnya sampai selesai. Saya memberi waktu kepada mereka selama dua minggu untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Waktu selama dua minggu itu relatif --lama ataukah singkat—tergantung mereka memandangnya. Bagi siswa yang sudah terbiasa membaca novel, waktu dua minggu tersebut termasuk longgar untuk membuat sinopsis. Tapi, bagi yang belum terbiasa –atau yang belum pernah membaca satu novel pun—waktu dua minggu terasa sangat singkat.

Saya mengetahui secara umum bahwa setidaknya sepertiga siswa di kelas sudah terbiasa membaca novel. Sepertiganya sudah pernah membaca novel, tapi hanya terbilang satu sampai tiga judul. Terhadap mereka, saya yakin tugas ini tidak terlalu sulit dikerjakan. Sepertiga sisanya belum pernah membaca novel, paling banter membaca cerpen, komik, dongeng, atau cerita anak. Kelompok terakhir inilah yang kiranya perlu saya perhatikan secara khusus. Saya menyarankan bagi yang belum terbisa membaca agar membaca novel yang tidak terbal. Saya meminta mereka mencari novel di perpustakaan dan pinjam kepada teman, selain tentu saja saya membawakan beberapa novel tipis untuk mereka pinjam.

Setelah satu minggu berjalan sejak tugas membuat sinopsis itu saya berikan, saya mengecek hasil aktivitas membaca para siswa. Lebih dari setengah dari jumlah siswa di kelas sudah membaca satu judul novel. Sebagian malah sudah mulai membuat sinopsis. Setengah sisanya belum menyelesaikan. Ada yang baru sampai bab-bab awal, ada yang sudah hampir di bab-bab akhir.

Saya menanyakan kepada para siswa: bagaimana tanggapan orang tua saat kalian membaca novel?

Ada yang menjawab, “Tidak boleh membaca, jadinya membaca novel hanya hari Sabtu dan Minggu.” Mereka boleh membaca pada hari Sabtu dan Minggu karena merupakan libur pekanan. Hari Sabtu masuk untuk kegiatan ekstrakurikuler saja.

“Lebih penting Matematika,” tambah yang lain. Di sini, terlihatlah dengan jelas kedudukan pelajaran Bahasa Indonesia dibandingkan pelajaran lain di mata sebagian orang tua.

“Disuruh belajar,” kata siswa lainnya. Mendengar jawaban itu, saya merasa geli. Jadi, dalam pandangann sebagian orang, yang namanya belajar yaitu mengotak-atik angka atau menulis sesuatu di buku tulis. Aktivitas membaca cerita tidak dianggap sebagai aktivitas membaca.

Pandangan tersebut terasa menggelikan sekaligus memprihatinkan menurut saya. Jadi, membaca novel itu tidak dianggap sebagai aktivitas belajar.

“Kalau kalian belajar Matematika, yang dipelajari ya angka-angka. Kalau kalian belajar Bahasa Indonesia, yang dipelajari ya kata-kata,” demikian kata saya kepada mereka sambil menengadahkan harap agar mereka lebih sering membaca buku.

Pandangan seperti ini –bahwa membaca buku cerita tidak dianggap belajar-- masih dianut sebagian orang tua –atau bahkan malah guru? Seorang teman bercerita bahwa ada sebuah sekolah yang di perpustakaannya tidak ada novel dan para siswanya tidak diperbolehkan membaca novel. Novel dianggap sebagai barang hiburan yang membuat anak menjadi malas. Lebih banyak keburukan dalam membaca novel daripada kebaikannya.

Menghadapi persoalan tersebut, saya pun tak bisa berbuat banyak. Yang bisa saya lakukan ialah menularkan kecintaan membaca kepada para siswa saya. Saya memberikan contoh dengan membaca buku saat waktu luang di sekolah dan membawa buku-buku bacaan ke sekolah –kadang juga saya bawa ke kelas.

***
Sukoharjo, 16 Agustus 2016



Saturday, August 13, 2016

Fullday School: Prasangka, Permasalahan, dan Solusinya (bagian 1)

Fullday School: Prasangka, Permasalahan, dan Solusinya
Wacana Fullday School yang digulirkan Mendikbud mendapatkan tanggapan pro dan kontra. Banyak yang memberi tanggapan kontra hanya berdasarkan asumsi, anggapan, dan hal-hal negatif yang membayangi sistem fullday school. Sebagian besar dilatari ketidaktahuan terhadap sistem fullday school yang sudah berjalan. Sebagian memang sudah antipati terhadap wacana tersebut.

Fullday school tentu tak bisa diterapkan untuk semua sekolah karena fullday school memiliki kekhasan tersendiri. Berikut ini beberapa masalah dalam sistem fullday school yang menjadi citra negatif bagi sebagian orang, beserta solusi yang bisa dipertimbangkan.


1. Fullday School Mengurangi Waktu Kebersamaan Anak dengan Orang Tua
Kekhawatiran tersebut tidak akan muncul jika kita mengetahui latar belakang perlunya fullday school. Sebagian orangtua saat ini memiliki pekerjaan yang menyita waktu dari pagi hingga sore. Jika siang hari anak sudah pulang, tidak ada orangtua yang menyambut dan membersamai di rumah. Salah satu akibatnya, aktivitas anak bisa tidak terkontrol.

Fullday school menawarkan solusi bagi masalah tersebut. Oleh karena itu, fullday school dengan kekhasannya memang tidak untul semua orang. Para orangtua yang memiliki kesibukan pekerjaan bisa memilih fullday school sebagai alternatif bagi pendidikan anaknya. Harapannya agar aktivitas anak bisa terkontrol selagi orangtuanya bekerja.

Jadi, latar belakang masalah di atas jangan dibalik: fullday school menyita waktu kebersamaan anak dengan orangtua. Tapi, yang lebih tepat latar belakang masalahnya ialah karena orangtua tua tidak memiliki waktu untuk membersamai anak pada siang hari maka perlu adanya fullday school.

Sekali lagi, fullday school hanya alternatif sistem pendidikan bagi sebagian orang tua, khususnya yang memiliki kesibukan pekerjaan. 


2. Fullday School Mengurangi Waktu Bermain Anak
Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan fullday school, sebagian orang mengkhawatirkan anak-anak tidak memiliki waktu untuk bermain lagi. Sekali lagi, fullday school tidak untuk diterapkan bagi semua sekolah atau semua kalangan.

Permasalahan urban saat ini ialah semakin kurangnya interaksi sosial antartetangga. Di kampung-kampung, kita bisa mengenal seluruh warga kampung beserta pekerjaannya, jumlah anak dan namanya, dll. Tapi, di perumahan perkotaan, hal tersebut terasa sulit. Mungkin tetangga yang dikenal namanya hanya beberapa.

Hal tersebut berimbas pada perkembangan sosial anak. Jika anak tinggal di daerah yang interaksi sosialnya kurang, saat pulang sekolah anak akan bermain apa dan dengan siapa? Justru sekarang ini orangtua banyak yang menyediakan alat berteknologi tinggi sebagai mainan anak: video game, game di smartphone, internet, dll.

Dengan fullday school, anak bisa bermain di sekolah bersama teman-temannya. Tentu waktu fullday itu tidak sepenuhnya diisi dengan materi pelajaran kan. Di sebagian sekolah fullday yang sudah berjalan, diterapkan pembagian waktu untuk belajar, ibadah, bermain, makan siang, tidur siang, dll.  


3. Fullday School Membuat Anak Stres
Stres pada anak bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Waktu di sekolah yang lama belum tentu membuat anak stres. Pada awalnya mungkin iya, tapi setelah beradaptasi anak akan terbiasa.

Ambil contoh sistem pendidikan di pondok pesantren yang memiliki waktu libur (perpulangan) 1 bulan sekali, 2 bulan sekali, 4 bulan sekali, 6 bulan sekali, atau bahkan 1 tahun sekali. Apakah anak stres? Mungkin sebagian iya. Tapi, kenyataannya pondok pesantren masih banyak peminatnya. Dan kita akui pondok pesantren banyak melahirkan orang-orang yang baik.

Fullday school juga begitu. Kita memang belum familiar dengan sekolah dari pagi sampai sore (pukul 15.00 atau 16.00) sehingga mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti.


***

*bersambung ke Fullday School: Prasangka, Permasalahan, dan Solusinya (bagian 2)





Pahitnya Kopi Hitam dan Manisnya Pisang Cokelat


Kopi hitam yang disandingkan dengan pisang cokelat bisa menjadi menu pagi yang aduhai sekali.

 
Kopi hitam. Saya suka menyeduhnya dengan menambahkan sedikit gula sehingga rasa pahitnya tetap dominan. Saya memang sedang mengurangi konsumsi gula. Saya kadang-kadang menyeduh kopi tanpa gula. Apa nggak pahit? Pasti pahitlah. Tapi pahitnya kopi hitam tanpa gula nggak sepahit kisah cintaku, kok. #wekaweka...

Pisang cokelat. Tekstur pisang cokelat gurih pada kulitnya dan lembut pada isinya. Cokelat yang membungkus pisangnya lumer dan manis. Pokoknya maknyus. Saya biasa membelinya di depan kampus Univet. dua atau tiga pisang cokelat sudah cukup mengenyangkan sebagai menu sarapan.

Kopi hitam dan pisang cokelat menjadi paduan menu yang unik. Rasa pahit kopi hitam dan rasa manis pisang cokelat menguat. Kopinya terasa lebih pahit dan cokelatnya terasa lebih manis.

Lidah, yang awalnya mencecap pahitnya kopi hitam, saat beroleh rasa manis pada cokelat menjadi lebih peka terhadap rasa manisnya. Begitu juga sebaliknya, setelah melumat cokelat yang manis, kopi hitam terasa lebih pahit.

Hal di atas sama seperti saat kita merasa air putih sebagai minuman yang luar biasa menyegarkan setelah kita terengah-engah kehausan di tengah siang yang panas. Atau saat kita meneguk air putih tersebut setelah seharian berpuasa. Air putih yang awalnya biasa saja, rasanya menjadi luar biasa.

Mungkin begitu juga dalam hidup kita. Kita sulit merasa bahagia karena semua serba kecukupan. Tidak ada penderitaan, tidak ada perjuangan, tidak ada kekecewaan.

Seorang anak yang hidupnya kekurangan, sepatu baru adalah kemewahan dan memilikinya adalah sebuah kebahagiaan. Berbeda dengan anak orang kaya yang sepatu mahalnya menumpuk di kamar. Dan saat dibelikan sepatu baru ia hanya melirik sekilas tanpa rona kebahagiaan.

Gaji bulanan --meskipun sedikit-- bagi orang yang sebelumnya lama menganggur adalah sebuah anugerah dan dinantikan dengan penuh harap. Kenaikan gaji --yang takseberapa-- disambut suka cita oleh pegawai yang sebelumnya gajinya pas-pasan.

Sepeda motor bekas bisa menjadi pemicu kebahagiaan bagi orang yang sebelumnya selalu tertunda membelinya karena desakan kebutuhan keluarga lebih penting.

Terbitnya buku pertama bagi seseorang yang sudah berwindu-windu menekuni dunia menulis menjadi pembakar semangat dan pendobrak kepuasannya.

Lahirnya anak pertama bagi orang tua yang mendambanya lebih dari satu dekade menjadi anugerah yang tiada terkira.

Menikah, bagi seseorang yang sudah menjomblo bertahun-tahun menjadi nikmat hidup yang emejing sekali.

‪#‎sepertinya‬ paragraf terakhir merusak kepaduan seluruh tulisan. Hahaha : D



***
(Sukoharjo, 29 Juli 2016)



 

Thursday, August 11, 2016

Prospek Kerja Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Guru Bahasa Indonesia bersama dua muridnya

Untuk apa kita kuliah? Untuk menuntut ilmu, jawab kita. Tapi sejujurnya, alasan terbesar kita kuliah agar mudah mendapat pekerjaan, bukan? Atau ada alasan-alasan lain? Kalau saya, sih, kuliah buat ngisi waktu luang aja. #gayamu....

Begini ceritanya. Saya lulusan SMK yang segera mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan di kota Bekasi --bahkan sebelum ijazah saya turun. Setelah 2 tahun bekerja, saya pulang kampung dan mendirikan toko alat tulis.

Selama bekerja 2 tahun itu, saya mulai merasakan kejenuhan: bekerja berangkat pagi pulang sore, berangkat sore pulang malam, berangkat malam pulang pagi. Setelah membuka toko alat tulis dengan kemajuan yang tidak signifikan –lalu akhirnya mengalami kemunduran-- saya pun dilanda kebosanan akut tingkat lima seperempat.

Di tengah kebosanan itu, saya memutuskan untuk kuliah. See, saya kuliah untuk ngisi waktu luang, kan. Meskipun, ada alasan lainnya juga sih, misalnya biar bisa pake jas almamater yang kece,
biar punya titel sarjana kayak orang-orang keren itu, biar bisa dapet pekerjaan yang “lebih baik”, dan biar dapet jodoh. #tuinggggg....

Saya memilih masuk program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Alasannya simpel aja, sih: biar nggak banyak mikir. Coba kalau saya masuk jurusan ilmu pasti, bisa mumet pikiran saya ini. Lagipula, saya juga suka membaca, kan cocok masuk di PBSI.

Sebagai program studi yang tidak favorit --bahkan diremehkan-- sebenarnya lulusan PBSI itu prospek kerjanya banyak, lho? Mau tahu prospek kerja lulusan PBSI? Mau tahu biasa atau mau tahu banget? atau mau tahu bulat digoreng ndadak limaratusan?

Berikut ini prospek kerja lululusan PBSI.

1. Tenaga Pendidik: Guru dan Dosen

Punya illmu itu harus diajarkan, begitu kan kata guru ngaji kita dulu. Makanya, kalau sudah lulus dari PBSI mestinya mengajarkan ilmu yang didapatkan selama kuliah, syukur-syukur dibayar. Ya jadi guru atau dosen, kan.

Bahasa Indonesia memang pelajaran yang “sepele” dan sering diremehkan, dianggap pelajaran mudah yang cuma mengeja “Ini ibu Budi.” Tapi, nyatanya di semua jenjang sekolah ada pelajaran Bahasa Indonesia. Bahkan, di perguruan tinggi, setiap program studi ada mata kuliah Bahasa Indonesia. Lha, hebat to!

Bahasa Indonesia juga termasuk dalam pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. Setara dengan Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris. Apakah Bahasa Indonesia masih dianggap pejararan yang “sepele”?

Makanya, lulusan PBSI sangat prospek kerja menjadi guru atau dosen. Bakalan banyak sekolah yang membutuhkan guru Bahasa Indonesia. Di luar negeri ada juga beberapa sekolah dan perguruan tinggi yang memuat pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi ada kesempatan menjadi guru Bahasa Indonesia di luar negeri.
 

2. Penulis dan Sastrawan
Selama kuliah, mahasiswa PBSI terbiasa menulis hingga kemampuan menulisnya --harusnya-- di atas rata-rata mahasiswa jurusan lain. Dengan kemampuan menulis itu, lulusan PBSI bisa menghasilkan tulisan yang bisa mendatangkan penghasilan.

Seorang penulis bisa membuat esai, cerpen, dan puisi yang dikirim ke koran, majalah, atau media massa lain. Apalagi sekarang zaman internet, semakin banyak media massa intenet yang menerima tulisan dengan imbalan honorarium bagi penulis.

Novel dan buku bisa menjadi karya “abadi” yang bisa juga mendatangkan penghasilan. Bahkan, beberapa penulis menjadi milyader dari novel dan buku yang ditulisnya. Misalnya Andrea Hirata, Habibburahman El-Sirazy, Tere Liye, dll.

3. Editor atau Penyunting Buku di Penerbitan

Bisnis penerbitan buku masih menjanjikan di Indonesia. Setiap penerbit membutuhkan banyak editor. Banyak lho para penulis terkenal itu yang draf tulisanlnya nggak enak dibaca. Terus dibantu deh sama editor hingga tulisannya menjadi ciamik, lalu best seller tulisan itu. Mahasiswa PBSI mestinya jago mengedit hati yang hancur tulisan yang amburadul agar menjadi tulisan yang enak dan perlu dibaca.

Lulusan PBSI mestinya punya kepekaan linguistik saat membaca tulisan yang salah. Misalnya, penggunaan huruf kapital, tanda baca, partikel, kata baku dan tak baku, ejaan, dan struktur kalimat. Karena peka itulah, lulusan PBSI itu cocok banget jadi pendamping hidup kamu editor.
 

4. Wartawan atau Jurnalis
Jurnalis itu keren ya. Nulis berita atau bikin liputan yang dibaca banyak orang. Apalagi kalau jadi reporter yang bisa nampang di televisi. Sebutan kerennya itu kuli tinta --kalau sekarang mungkin lebih cocok disebut kuli kuota karena harus sering mengunggah tulisan dan/atau gambar yang menghabiskan kuota.


Lulusan PBSI terbuka banget peluangnya buat jadi jurnalis. Dengan banyaknya media massa, peluang menjadi jurnalis terbuka luas. Menjadi jurnalis itu juga enak, bisa tahu kabar terbaru karena jurnalis adalah orang pertama yang meliputnya. Jurnalis juga bisa memasuki area yang tidak sembarang orang bisa masuk misalnya gedung DPR/MPR. 


Dalam suatu event, orang kebanyakan akan dihalau petugas keamanan agar menjauh, tapi kalau jurnalis dengan kamera SLR yang dikalungkandi leher, bakal bebas keluar masuk. Jadi, kalau calon mertua nggak welcome sama kamu, mungkin kamu bisa mengalungkan kamera SLR di leher dan memakai id card bertuliskan “Jurnalis” agar kamu bisa bebas keluar masuk rumahnya. #Ahaiii....
 

5. Bekerja di Lembaga Pemerintah
Lembaga pemerintah yang ada peluang kerja bagi lulusan PBSI di antaranya Pusat Bahasa, Balai Bahasa, atau kantor-kantor pemerintahan yang tentunya membutuhkan luusan PBSI yang bisa masuk ke kehumasan membuat konten sosialisasi atau di bagian sekretariatan. Lulusan PBSI bisa masuk di hampir semua lembaga pemerintahan.

6. Artis, Pemain Teater, dan Sutradara

Di program studi PBSI ada pasti ada mata kuliah tentang drama, misalnya menulis naskah drama, apresiasi drama, pengkajian drama, atau pementasan drama. Bekal keterampilan dari mata kuliah tersebut kalau diasah secara baik bisa manjadikan kamu seorang artis atau pemain teater. Menjadi sutradara pementasan drama juga oke, atau malah sutradara film.

7. Pembicara dan Motivator

Salah satu keterampilan berbahasa yang diajarkan saat kuliah di PBSI adalah berbicara. Tentu bukan sembarang berbicara. Bahasa kerennya public speaking, yaitu keterampilan berbicara di depan umum. Dengan keterampilan tersebut, kamu bisa menjadi pembicara atau motivator.

Sekarang ini kan banyak orang galau karena mikirin utang, mikirin pekerjaan, mikirin mantan. Mereka butuh motivasi dengan kata-kata yang bisa membangkitkan semangat. Semboyan para motivator itu kan: galaumu adalah ladang rezekiku.

Dengan kemampuan public speaking yang bagus, kamu bisa menyampaikan materi apapun meskipun kamu tidak terlalu paham. Kamu bisa menjadi pembicara dalam acara Pelatihan Motivasi Semangat Hidup,
Pelatihan Menulis, Pelatihan Berpidato, Pelatihan Menjadi Pembicara, Pelatihan Membuat Tempe, Pelatihan Menanam Tomat dalam Pot, Pelatihan Melupakan Mantan, Pelatihan Mendapatkan Jodoh dalam 30 Hari, dll. 

8. Blogger
Meskipun awalnya sebagai sebuah hobi, nge-blog bisa juga menghasilkan uang jika ditekuni. Buktinya banyak pula orang yang kaya dari nge-blog. Sebut saja Raditya Dika yang dulu awalnya suka nge-blog, berceloteh ringan menceritakan peristiwa sehari-hari yang dialaminya hingga kerena blog-nya itu ia menjadi terkenal.

Jika tulisan di blog bagus, bakalan banyak orang yang membaca. Jika banyak yang membaca (berkunjung ke blog), traffic blog menjadi tinggi. Dengan modal tersebut kamu bisa memasang adsense (iklan) di blog yang bisa mendatangkan dolar. Sekarang ini kan banyak website yang mendapatkan dolar dari adsense. Ngeblog pun juga bisa.


9. Pujangga Cinta
Salah satu karya sastra yang dipelajari saat kuliah di PBSI yaitu puisi. Puisi dipandang sebagai ungkapan perasaan yang mendalam. Lulusan PBSI harusnya jago dong kalau cuma bikin puisi menye-menye gitu. Jika kamu tidak juga mendapatkan perkerjaan setelah lulus, mungkin saja kamu bakatnya menjadi pujangga cinta yang pinter bikin baper orang lain. Btw, pujangga cinta itu bukan jenis pekerjaan, ya.




Demikianlah pembaca yang budiman dan budiwati. Ada banyak prospek kerja lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Gimana, tertarik kuliah di PBSI?
 


***
Sukoharjo, 12 Agustus 2016








Tuesday, August 9, 2016

7 Kesenangan Menjadi Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Membaca di mana saja.

Setelah waktu lalu aku menulis 7 Derita Menjadi Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kali ini aku akan menulis 7 Kesenangan Menjadi Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Biar imbang gitu. Hidup kan berpasang-pasangan. Ada suka, ada duka. Ada panas, ada dingin. Ada jomblo, ada jomblo akut.

Berikut ini 7 kesenangan menjadi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

1. Materi dan Tugasnya Relatif Mudah
Secara umum, mahasiswa PBSI itu wajahnya cerah-cerah. Mengapa? Karena materi kuliah dan tugasnya relatif tidak terlalu sulit. Sebagai ilmu nonpasti atau nonsains, materi Bahasa dan Sastra Indonesia tidak menggunakan rumus-rumus yang jlimet bin semrawut. Nggak perlu otak menjadi panas gara-gara mencari x dan y. Emangnya siapa sih x dan y, dan kenapa pula mereka selalu dicari-cari? #xxxxxxyyyyyyy

Tugas kuliah paling membuat makalah yang materinya bisa dicari di perpustakaan. Kalaupun ada tugas analisis karya, justru lebih enak, karena isinya bisa dikarang. Iya, dikarang. Kalau pake “rumus” itu pada metodologinya saja. Kalau masuk pada analisis tetap mengarang, kualitatif, bercerita.

2. Banyak Tugas Membaca
Membaca bisa menjadi tugas berat ataupun tugas yang menyenangkan. Bagi yang suka membaca, kuliah di PBSI bakal menyenangkan. Gimana nggak menyenangkan coba, dosennya ngasih tugas suruh membaca beberapa karya sastra. Itu tugasnya. Lanjutannya paling disuruh analisis yang tak terlalu sulit.

Di kuliah nanti, dosennya bakal nyebutin karya-karya yang patut untuk dibaca. Karya sastra yang perlu masuk daftar baca, karya sastra penting yang mengubah dunia superhero.

3. Kuliahnya Pake Perasaan
Kuliah di PBSI itu mesti peka, mesti pake perasaan. Buat analisis sebuah puisi sepanjang empat baris, mesti mengeluarkan segala sensivitas perasaan. Begitu juga ketika mengapreasiasi dan menganalisis novel dan cerpen. Pokoknya, nggak ada rumus pasti dalam mengerjakan tugas sastra itu. Harus pake perasaan.

Karena pake perasaan, hasil tugas tiap mahasiswa pasti berbeda. Dan memang harus berbeda karena apresiasi setiap orang pasti berbeda. Inilah asyiknya. Kita nggak bisa menilai sebuah hasil analisis dengan nilai benar atau salah. Yang bisa dinilai paling metodologinya. Soal hasil, terserah mahasiswa yang membuatnya.

Karena pake perasaan, makanya mahasiswa PBSI itu perasaannya peka dan sensitif, lembut dan perhatian. Pokoknya, bisa “mengerti kamu”. Jadinya, mahasiswa PBSI itu emang calon pendamping idaman yang bisa ngertiin dan bahagiain kamu. #wakdesss....

4. Tugasnya Main-main
Dalam Pengkajian Drama, ada tugas nih sama dosen disuruh nonton pementasan drama kemudian menulis apresiasi. Tugas yang asyik kan. Nonton pentas drama/teater kan asyik tuh. Apalagi malem-malem di temani kekasih jagung bakar.

Ada juga tugas kelompok melaksanakan pementasan teater. Menyenangkan tuh bisa punya pengalaman pentas teater. Siapa tahu bakat artisnya terasah.

Tugas yang lain, misalnya disuruh observasi ke sekolah terkait proses pembelajaran. Biasanya tuh pada milih sekolah almamaternya. Bisa main-main ke sekolah lama, bisa ketemu mantan gebetan guru-guru SMA atau SMP-nya, ketemu pak satpam-nya, tukang kebonnya, warung makan-nya yang sering jadi tempat favorit buat bolos. Bisa pula ketemu adik-adik SMA/SMP yang masih imut-imutnya sambil kita ngerasa sebagai mahasiswa kece yang butuh perhatian. Gitu deh. #Ahai dek....

5. Dosennya Nggak Killer
Ini sih sebagian besar aja ya. Tetep aja ada satu dua dosen yang saat marah menjadi lebih menakutkan daripada Pikolo di film Dragon Ball. Tapi, rata-rata dosen PBSI itu wellcome banget, ramah, santun, baik hati, suka menabung, perhatian, dan tralala trilili gitu lah. Mungkin karena materi yang diajarkan memang harus menggunakan perasaan, jadi kepribadian para dosen itu pun menjadi baik dan lemah lembut. Hehehe...

6. Jadi Pujangga Cinta
Sudah jadi imej ya kalau mahasiswa PBSI itu pinter nulis puisi. Mahasiswa PBSI setiap hari bergulat dengan bahasa, makanya penguasaan dan pengolahan bahasanya lebih luas dan mendalam. Siapa coba yang nggak suka kata-kata yang bagus, indah, berkesan, menyentuh hati. Tapi, nggak semua mahasiswa PBSI pinter nulis puisi juga sih.

7. Skripsinya Nggak Susah
Apakah bikin skripsi itu sulit? Bisa iya, bisa tidak. Tapi di PBSI, menurut saya skripsinya tak sulit-sulit amat. Datanya melimpah, tinggal kita mau kerja atau enggak. Yang penting kerja, kerja, kerja. Pasti jadi itu skripsi. Kalau belum selesai-selesai juga biasanya ada masalah pribadi. Mungkin kuliahnya sambil bikin PKM, sambil kerja, sambil nikah. Atau emang malesan aja.

Skripsi PBSI itu datanya melimpah. Bahasa dan sastra setiap waktu selalu berkembang. Ada banyak objek yang bisa dikaji. Ada buku atau novel baru, bisa dianalisis untuk skripsi. Rubrik koran bisa dianalisis. Tayangan televisi pun bisa. Tulisan di bak truk bisa jadi skripsi. Bahkan, status Facebook bisa menjadi skripsi. Melimpah datanya. Oya, skripsi saya dulu menganalisis bahasa pelesetan pada stiker sepeda motor. Lho, stiker aja bisa jadi skripsi. 


Oya, banyak yang memandang sebelah mata jurusan PBSI, salah satunya karena prospek kerjanya yang tidak bagus. Sebenarnya, lulusan PBSI itu memiliki prospek kerja yang bagus karena banyak jenis profesi yang bisa diisi oleh lulusan PBSI. 

....................
Demikian 7 Kesenangan Menjadi Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Apakah kamu juga merasakannya?

 
***
Sukoharjo, 10 Agustus 2016





Friday, August 5, 2016

Lelaki yang Setia Mencari dan Wanita yang Setia Menanti


Menikah. Betapa indahnya sunnah Rasul yang satu ini. Bukanlah umat Nabi, jika enggan menikah. Menikah, menyatukan dua hati yang dirudung rindu. Mengikat dua insan yang mendamba bahagia. Seorang muslim pasti mendambakan pasangan yang baik; yang saleh atau salehah. Segala cara ditempuh agar mendapatkan jodoh penenteram hati.

Kisah ini adalah kisah seorang laki-laki yang tetap setia mencari. Ia tidak berpangku tangan dalam penantian. Ia mengejar bidadarinya.

Di sebuah kampus terkenal, seorang wanita berdiri dengan anggun. Sebut saja namanya Dewi (bukan nama sebenarnya).Corak dan warna pakaiannya yang kalem serta dipadu dengan kerudung besarnya membuat ia seakan bidadari yang turun dari surga.

Dewi adalah seorang mahasiswi yang berasal dari luar kota. Pembawaanya tenang. Lembut tutur katanya, dan senyum yang menghias wajah cerahnya menandakan ia seorang pribadi yang ramah. Dewi adalah seorang mahasiswi yang cerdas. Nilai akademiknya bagus. Ia pun aktif di organisasi. Ia seorang aktivis muslimah.

Banyak laki-laki yang tertarik pada Dewi. Dan mereka yang mengungkapkan ketertarikannya harus menanggung kecewa karena Dewi bukanlah wanita yang mau menjalani hubungan yang tak halal. Ia akan menyerahkan hati dan raganya hanya kepada lelaki yang menjadi suaminya.

Salah seorang laki-laki yang tertarik kepada Dewi ialah adik tingkatnya sendiri. Sebut saja namanya Gilang (bukan nama sebenarnya). Dewi dan Gilang aktif dalam organisasi yang sama.

Kecantikan, kecerdasan, dan kesalehahan Dewi membuat Gilang jatuh hati. Namun, Gilang bukan lelaki yang mudah mengungkapkan perasaannya. Ia pun sadar bahwa wanita sebaik Dewi tentu banyak yang menginginkannya. Semakin lama persahabatan Dewi dengan Gilang, semakin dalam perasaan Gilang kepada wanita yang memesona itu. Gilang pun bertekad akan mengutarakan niatnya untuk menyunting Dewi.

Manusia hanyalah bisa berencana, Tuhanlah yang menentukan. Sebuah kabar tak terduga menyambar hati Gilang. Dewi, wanita yang anggun dan memesona itu sudah dikhitbah oleh orang lain. Dan undangan pernikahan pun sudah tersiar.

Gilang memang kecewa. Namun, ia tak mengeluh atau meratap. Ia yakin Tuhan sudah menetapkan jodoh bagi setiap hamba-Nya. Gilang berusaha berdamai dengan hatinya. Dia bukan jodohku, kata Gilang. Namun, Gilang penasaran siapakah lelaki yang beruntung mendapatkan Dewi.

Gilang bertanya kepada teman-temannya siapakah calon suami Dewi. Dari keterangan yang ia peroleh, Gilang mengetahui bahwa calon suami Dewi adalah lelaki yang baik, saleh, dan sudah mandiri.

Hati Gilang pun menjadi tenang. Ia teringat sebuah ayat yang menyebutkan bahwa laki-laki yang baik untuk wanita yang baik. Gilang pun kemudian mengetahui bagaimana kisah lelaki tersebut bisa mendapatkan Dewi. Hingga Gilang pun menyebutnya sebagai lelaki yang setia mencari. Berikut ini kisahnya sebagaimana yang diketahui oleh Gilang.

Lelaki yang setia mencari itu bernama Fariz (bukan nama sebenarnya). Berasal dari kota yang sama dengan Dewi. Kisah Fariz dan Dewi dimulai saat masa putih abu-abu. Fariz dan Dewi aktif di organisasi kerohanian di sekolahnya. Fariz adalah kakak kelas Dewi.

Fariz adalah pemuda yang baik, santun, dan saleh. Ia seorang muslim yang pemberani; berani dalam menyuarakan kebenaran dan dakwah kepada Allah. Banyaklah siswi sekolahnya yang jatuh hati pada Fariz. Namun, Fariz tiada menggubris masalah seperti itu. Ia menjadi teladan dalam kepandaian dan kesalehan.

Dewi sudah aktif di organisasi sejak SMA. Di situlah Fariz mengenal Dewi dengan segala kelebihannya. Kecantikannya, ketegasannya, kebaikannya, kesalehahannya, dan semangat dakwahnya.

Secara diam-diam hati Fariz tercuri. Perlahan-lahan tumbuh benih-benih cinta dalam hatinya. Namun, ia sadar bahwa belum waktunya ia mengungkapkan perasaan.
Fariz dan Dewi masih SMA. Masa depan masih terbentang panjang.

Fariz pun bertekad untuk memendam perasaannya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, suatu hari nanti akan meminang Dewi. Iya, suatu hari nanti.

Akan halnya dengan Dewi, siapa yang tahu perasaan seorang wanita. Adakah perasaan yang sama hadir di dalam hati Dewi sebagimana dirasakan oleh Fariz? Dewi adalah wanita yang pandai menjaga kehormatan diri dan senantiasa menjaga pandangan.

Masa SMA pun terlewati. Fariz dan Dewi berpisah. Keduanya kuliah di kota yang berbeda; berjarak ratusan kilometer. Sejak saat itu, mereka tidak berkomunikasi. Mereka menjalani kehidupan masing-masing. Keduanya disibukkan dengan aktivitas perkuliahan dan dakwah di kampus mereka.

Beberapa tahun berpisah, tidaklah menggugurkan perasaan Fariz kepada Dewi. Tiada bersua atau sekadar berkomunikasi, tak membuat Fariz melupakan Dewi. Ia selalu memegang janjinya kepada diri sendiri dahulu bahwa ia akan menyunting Dewi suatu hari nanti.

Setelah lulus kuliah, Fariz mendapatkan pekerjaan yang layak. Ia berusaha untuk hidup mandiri. Ia sadar bahwa seorang laki-laki haruslah berpijak di atas kakinya sendiri. Lebih-lebih jika ingin menyunting seorang wanita, ia harus sudah mandiri.

Saat itu Dewi masih kuliah semester akhir. Fariz, yang telah menabur benih cinta sejak SMA, sudah memantapkan hati untuk menyunting Dewi. Yang menjadi masalah ialah, mereka sudah lama tidak bertemu dan tidak berkomunikasi.

Segala puji bagi Allah, Fariz dan Dewi aktif dalam barisan dakwah. Melalui sarana dakwah, Fariz bisa mendapatkan kabar tentang Dewi. Fariz mengikuti kajian rutin seminggu sekali, yang sering disebut halaqah atau liqa. Kajian itu dibimbing oleh seorang ustadz yang biasa disebut sebagai murabbi. Begitu juga dengan Dewi. Meski berada di kota yang berbeda, keduanya ditakdirkan untuk kembali bersua.

Bagaimanakah cara Fariz menghubungi Dewi? Awalnya ia mengutarakan niatnya untuk menyunting Dewi kepaa ustadznya. Fariz menyebutkan ciri-ciri Dewi, asal kota, dan tempat kuliah. Dari situ, sang ustadz berhasil menelusuri keberadaan Dewi melalui guru ngajinya. Ustadz dari Fariz kemudian menghubungi ustadzah dari Dewi. Lalu, tersampaikanlah niat Fariz untuk menyunting Dewi.

Fariz tidak ingin langsung mengutarakan niatnya kepada Dewi. Melalui ustadznya, Faris menyodorkan biodata dirinya secara lengkap. Biodata tersebut kemudian diberikan kepada ustadzahnya Dewi.

Lalu, kepada Dewi, disampaikanlah oleh ustadzahnya bahwa ada seorang lelaki yang ingin ta’aruf dengannya. Dewi tidak mengetahui bahwa yang ingin ta’aruf ialah Fariz. Ia tidak mempunyai bayangan siapa yang akan ta’aruf dengannya.

Diberikanlah biodata Fariz kepada Dewi. Lalu, seakan hatinya mendengar suara petir di siang hari, Dewi tersentak saat mengetahui bahwa biodata tersebut adalah biodata Fariz. Kakak kelasnya dahulu saat SMA, lelaki saleh yang banyak dikagumi oleh wanita.

Berbungalah hati Dewi. Ia tahu, Fariz adalah lelaki yang baik dan pantas menjadi imam baginya. Apalagi, Fariz masih mengingatnya meskipun sudah lama berpisah. Perjuangan Fariz untuk bisa ta’aruf dengannya membuktikan bahwa Fariz adalah laki-laki yang pantang menyerah. Dan setia.

Jika datang laki-laki yang baik untuk melamar, maka tak ada alasan untuk menolak. Karena penolakan terhadap lamaran laki-laki saleh akan berujung musibah dan penyesalan. Sebaliknya, penerimaan terhadapnya merupakan sebuah usaha untuk menggapai ridha Allah.

Singkat cerita, Fariz dan Dewi pun berta’aruf, kemudian terjadi proses khitbah. Dan mereka pun mengambil mitsaqan ghalizan (perjanjian yang kuat), yaitu janji pernikahan; untuk sama-sama mengarungi kehidupan dalam rangka menggapai ridha Allah.

Fariz dan Dewi tidak hanya memperjuangkan kebahagiaan dalam kebersamaan di dunia, tapi juga kebahagiaan dalam kebersamaan di akhirat.


***
Dalam kisah di atas, kamu pasti bisa menebak aku berperan sebagai siapa. : )