Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Sunday, September 11, 2016

Menentukan Nasib Masa Depan Anak

Sumber gambar: banjarmasin.tribunnews.com
Dulu saat SMP saya memiliki teman seorang wanita yang tingkahnya –boleh dibilang—agak “pecicilan”, banyak tingkah. Dia termasuk wanita yang banyak bergaul, banyak bermain, dan banyak bersendau gurau dengan laki-laki. Hingga siswa laki-laki yang lugu seperti saya sungkan atau malah takut dekat dengannya.

Kini, wanita tersebut berada dalam pertemenan Facebook saya. Awalnya saya heran melihat dirinya yang sekarang. Saat ini ia menjadi seorang wanita dengan pakaian yang terlihat selalu sopan. Dalam foto-fotonya, ia tampak bahagia hidup bersama suami dan seorang anaknya yang masih kecil. Saya bergumam, betapa banyak perubahan terjadi padanya. Tentunya perubahan menuju kebaikan.

Ada juga dulu teman yang terlihat baik, rajin, penurut, tapi sekarang saat mengenalnya kembali, ia sudah berubah menjadi orang yang pendidikannya berantakan. Ada teman yang dulunya tukang bolos dan nilai ujiannya selalu memprihatinkan, sekarang menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab dengan menekuni profesi yang membanggakan.

Sungguh, jalan hidup seseorang tidak bisa ditebak. Apalagi ditentukan sejak awal.

Seorang anak atau siswa membawa masa depannya masing-masing. Setiap memandang seorang siswa, yang saya lihat bukanlah wujudnya sebagai anak kecil, tetapi visinya sebagai “seseorang” di masa depan.

Melihat seorang siswa yang berbuat nakal, berbuat ulah, dan suka melanggar peraturan, tak membuat saya semena-mena menghakiminya sebagai siswa yang buruk dengan masa depan yang buruk pula. Siswa yang nilainya jarang memenuhi KKM, tak menjadikannya sebagai siswa bodoh dengan masa depan yang suram.

Kita tidak bisa mengetahui –lebih-lebih menentukan—masa depan siswa. Bisa jadi, siswa yang selama ini berada di urutan terakhir nilai akademisnya menjadi seorang pengusaha besar di masa depan. Bisa jadi, siswa yang selama ini suka tidur di kelas menjadi seorang pejabat penting di masa depan. Bisa jadi, bisa jadi, bisa jadi.

Harapan.

Itulah pandangan yang saya arahkan kepada para siswa dengan segala tingkahnya itu. Harapan bahwa pada suatu perjalanan hidupnya akan ada sebuah momen yang menjadi titik balik perubahan menuju kebaikan atau kesuksesan.

Harapan itu milik semua siswa. Harapan itu milik siswa yang pandai dan yang kurang pandai. Harapan itu milik siswa yang rajin dan yang kurang rajin. Harapan itu milik siswa yang penurut dan yang suka melanggar.

Dengan visi sebuah harapan yang tertanam pada diri setiap siswa, seorang guru akan mendidik dengan penuh perhatian, pengertian, kesabaran, kelembutan, dan kasih sayang. Guru mendidik dengan kesadaran penuh bahwa yang ia didik saat ini ialah siswa yang memiliki harapan masa depan yang cerah.

Seringkali orang tua atau guru dalam kondisi marah mengeluarkan kata-kata yang menghakimi anak. Misalnya, “Kamu anak nakal, bakal menjadi preman kalau besar nanti,” “Dasar pemalas, apa mau jadi gelandangan kalau sudah besar?”

Kata-kata tersebut keluar karena terlewatinya batas kesabaran orang dewasa atas tingkah laku anak yang menjengkelkan. Dengan kata-kata kasar tersebut, memang ada kemungkinan si anak akan tersadar atas kesalahannya. Namun, ada kemungkinan pula malah membuat si anak bertambah nakal karena merasa tidak bisa dimengerti.

Dengan pengertian dan perhatian, permasalahan anak bisa digali dan dicari permasalahannya bersama-sama dengan melibatkan anak. Di situlah pentingnya komunikasi antara orang dewasa dan anak. Dengan komunikasi yang baik, harapannya setiap kesalahan anak tidak disikapi dengan hukuman yang menyakitkan.

Dengan demikian, orang dewasa –orang tua dan guru—tidak akan dengan semena-mena “menentukan nasib” masa depan anak atau siswa dengan hanya melihat beberapa kenakalan atau kesalahannya.


***
Yogyakarta, 9 September 2016

0 komentar:

Post a Comment