Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Wednesday, June 28, 2017

Resensi Buku Reruntuhan Musim Dingin Karya Sungging Raga

Resensi Buku Reruntuhan Musim Dingin Karya Sungging Raga

Judul : Reruntuhan Musim Dingin
Pengarang : Sungging Raga
Cetakan : Pertama, Januari 2016
Tebal : 204 hlm
Penerbit : DIVA Press

Memang. Selalu saja ada kisah tentang perempuan yang menunggu. Dan tidak ada kisah yang lebih menyedihkan daripada perempuan yang merasa yakin bahwa penantiannya yakin akan berbuah manis. Apakah perempuan selalu ditakdirkan untuk menunggu?
(Sungging Raga. "Dermaga Patah Hati")
Jika ada tema cerita yang selalu menarik perhatian dan hangat untuk dibincangkan itulah cinta. Banyak buku -fiksi dan nonfiksi- yang menyajikan seluk-beluk asmara manusia. Dari ulama hingga penulis picisan. Dalam ranah nonfiksi, sebut aja Raudhatul Muhibbin-nya Ibnu Qayyim, The Art of Love karya Erich Fromm, dan Men Are From Mars, Women Are From Venus milik John Gray. Belum lagi bejibunnya buku-buku popular di pasaran yang menyematkan kata cinta di dalam judulnya.

Dalam ranah fiksi, kisah Layla-Majnun dari Timur Tengah berhasil menggaungkan kisah kepedihan dan kegilaan karena cinta hingga ke seluruh dunia. Dari Barat, muncullah sejoli Romeo-Juliet. Tak kalah sendu, di Indonesia tersebarlah kisah cinta Hamid-Zainab dalam Di Bawah Lindungan Kakbah buah tinta dari Buya Hamka. Dari penulis yang sama lahir pula kisah Tenggelamnya Kapal van Der Wijck yang konon terinspirasi dari Majdullin karya Manfaluthi.


Cinta, Penantian, dan Kenangan
Cinta pula yang menjadi tema umum dalam cerpen-cerpen karya Sungging Raga yang terkumpul dalam buku Reruntuhan Musim Dingin ini. Tapi, ini bukan kisah cinta yang cengeng. Sungging Raga meramu kisah cinta yang tak biasa. Kalau kata Tia Setiadi dalam pengantarnya terhadap buku ini, "Sungging Raga bersikeras menampilkan kisah-kisah cinta yang, syukurnya, tak terjerumus ke dalam lautan klise."

Pembaca bisa menduga-duga sendiri mengapa penulis memilih tema cinta dalam sebagian besar cerpennya. Kita bisa menyelami alasan penulis dalam meramu cerpen-cerpennya tersebut melalui argumennya dalam pengantar buku ini, 
"Ketika penulis dan cerpen sudah saling mencintai, maka bukan penulis yang menentukan harus menulis tentang apa, tapi cerpen itu yang mengarahkan penulis tersebut untuk menulis tema tertentu. Terkadang, saya merasa seperti itu, bahwa cerpenlah yang mengantar saya menulis cerita-cerita tertentu." (hal. 21)
Mungkin memang benar, cerita itu yang mengarahkan penulis untuk menuliskan kisah-kisah cinta. Namun, jika boleh saya asal menebak, Sungging Raga banyak menulis kisah cinta karena jiwa mudanya sedang bergejolak. Penulis masih berusia muda --dan perlu dicatat-- masih jomblo (dan akhirnya menikah pada tahun 2017). Jadi, cinta memang menjadi magnet kuat yang menarik hati dan pikirannya hingga lahirlah kisah-kisah cinta singkat dalam cerpen-cerpennya.

Meski banyak cerpennya berkisah tentang kepedihan seorang kekasih, namun penulis tak menggambarkannya dengan ekspresif. Penulis menggambarkan kisah cinta yang pilu seolah-olah sebagai kejadian sehari-hari yang jamak terjadi hingga tak perlu dilukiskan dengan tinta darah dan air mata. Meski begitu, penggambaran penulis tak kalah sendunya.

Kisah perpisahan sepasang kekasih, oleh penulis picisan, mungkin akan deraikan dengan kata-kata kepedihan yang menyesakkan dada hingga seolah-olah seribu duka ditimpakan kepada sepasang kekasih itu. Tapi oleh Sungging Raga, perpisahan sepasang kekasih di sebuah terminal dalam "Selebrasi Perpisahan" disajikan biasa saja. Tidak ada air mata yang mengalir. Hanya berpisah, begitu saja. Namun, justru di situlah kekuatan ceritanya.

Barangkali, tidak ada perpisahan yang lebih menyenangkan untuk dirayakan daripada sepasang kekasih yang berpisah dalam keadaan masih saling mencintai. Sepasang kekasih yang kemudian akan saling bertanya: mengapa cinta tidak cukup kekal untuk menjadikan dua manusia bersama selamanya?(Cerpen "Selebrasi Perpisahan")
Kisah seorang perempuan yang selalu menunggu di sebuah dermaga diceritakan oleh penulis dengan datar-datar saja dalam "Dermaga Patah Hati". Penulis tidak terjerumus dalam penggambaran karakter dan perasaan tokoh. Sebaliknya, penulis mengambil jarak dengan si tokoh. Penulis bukanlah orang ketiga yang serbatahu. Penulis bertindak seperti pembaca lainnya: tidak tahu siapa perempuan itu, apa yang ditunggunya, dan bagaimana perasaannya. Kesenduan dalam penantian yang ditunjukkan oleh tokoh perempuan itu terasa menyesakkan justru karena tidak diceritakan secara jelas bagaimana latar belakang dan perasaannya.

Kisah serupa di atas adalah cerpen "Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis". Cerpen ini mengisahkan seseorang perempuan berpakaian serba merah yang selalu duduk melamun di pinggir jalan Carrow Road. Dan wanita itu hanya bisa dilihat dari bulan oleh para astronot. Di bumi, di Arrow Road, wanita itu tak ada, tak terlihat. Entah kepedihan apa yang ditanggung wanita itu hingga rembulan pun menangis dan mengeluarkan air mata yang jatuh hanya di sepanjang Carrow Road tempat wanita itu duduk melamun.

Cerpen-cerpen yang lain serupa dalam cerita dan teknik penceritaannya. Sebut saja "Reruntuhan Musim Dingin", "Selamanya Musim Semi", "Turbulensi Kenangan", "Kompor Kenangan", dan "Lovelornia" yang kesemuanya menawarkan perihnya penantian, kenangan, dan pengkhiatan.

Khusus "Reruntuhan Musim Dingin" yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini, penulis sepertinya memiliki ikatan khusus dengan cerpen ini. Ada beberapa unsur yang menyiratkan hal tersebut. Yang pertama, tokoh utamanya bernama Nalea. Jika Seno Gumira Ajidarma memiliki Alena, Sungging Raga memiliki Nalea. Nama Nalea beberapa muncul dalam cerpen-cerpennya.

Kedua, tokoh laki-lakinya berprofesi sebagai penulis sehingga perbincangan kedua tokoh itu menyerempet dunia buku. Uniknya, penulis seperti menyindir dan menertawai diri sendiri tentang profesi menulis ini. 
"Kupikir, sebaiknya kamu jangan jatuh cinta kepada penulis. Ia lebih banyak memeras kenangan, sebanyak mungkin darimu, untuk kemudian ditinggalkan." (hal. 68).
"Tidak terbayang jika aku hidup bersama seorang penulis. Pasti sangat menyusahkan. Menulis itu bukan pekerjaan, itu cuma semacam pengisi waktu luang." (hal. 70)

Kisah Cinta yang Absurd
Selain kisah cinta yang realistis antara dua anak manusia, penulis juga "bermain-main" dengan kisah cinta yang absurd. Misalnya cinta seekor laba-laba kepada seorang gadis dalam "Melankolia Laba-laba". Sungai Serayu yang menjelma menjadi seorang perempuan dan menjalin hubungan dengan seorang laki-laki dalam "Rayuan Sungai Serayu". 

Hubungan cinta antara seorang laki-laki dan seorang perempuan jelmaan bunga edelweis yang melahirkan anak-anak (bunga) edelweis dalam "Sihir Edelweis". Kisah cinta sepasang tengkorak yang melangsungkan pernikahan dengan mengundang para penghuni makam dalam "Biografi Sepasang Rangka".

Dalam kisah-kisah yang absurd tersebut, penulis menggoyahkan logika pembaca. Seekor laba-laba bisa memiliki perasaan cinta kepada seorang manusia. Sebuah sungai bisa menjelma menjadi seorang perempuan yang bisa diajak jalan-jalan ke mall, berbelanja odol, sikat, dan sabun, menikmati es krim, dan menginap di sebuah losmen.

Sekuntum bunga edelweis bisa menjelma menjadi seorang perempuan. Jika di rumah, bunga itu berdiam di dalam pot di dalam kamar. Saat dibawa pergi oleh laki-laki yang dicintainya --misalnya ke hotel-- bunga itu menjelma menjadi perempuan dan mereka pun bercinta. Demikian selama puluhan tahun hingga lahirlah anak-anak mereka yang tinggal di dalam bunga.

Tengkorak di pemakaman bisa menjalani kehidupan layaknya manusia hidup. Mereka ngerumpi, bermain catur, jatuh cinta, melangsungkan pernikahan, dan berpesta. Di tangan Sungging Raga, kisah-kisah tak masuk akal tersebut diolah menjadi cerpen yang memikat.

Akrobat Kata
Meski kisah-kisah cinta dalam cerpen-cerpennya ditulis dengan penggambaran yang datar, yang berjarak, Sungging Raga tak membiarkan cerpennya kering kerontang. Penulis memainkan akrobat kata dan menampilkan atraksi frasa. Rangkaian kata-katanya seperti menari-menari dengan anggun dan indah saat menceritakan suatu keadaan atau perasaan.

Kutipan berikut ini bisa menggambarkan bagaimana akrobat kata yang ditampilkan oleh penulis.

"Mengapa ia tak bisa melepas kenangan yang awalnya datang begitu ringan? Apakah kenangan memang bisa tumbuh dan berkembang, menciptakan cabang berupa anak-anak kenangan yang lain?" (hal. 69-70)
"Aku seperti terayun dalam gelombang Sungai Serayu yang dahsyat, seolah sedang mengayuh perahu sendirian di malam badai, di mana hujan turun bersama angin dan aku terombang-ambing tanpa tujuan, sebuah keadaan kacau yang tak memberiku ruang sedikitpun untuk memberontak, melainkan tunduk pada alirannya, pada gulungannya, pada empasannya...." (hal. 88)
"Gadis itu bernama Kunnaila, lahir di bawah rembulan, tumbuh sepanjang ilalang." (hal. 146)
Melankolia yang Indah
Cerpen-cerpen dalam Reruntuhan Musim Dingin yang bertema cinta dengan baluran kisah-kisah sedih dan pilu itu berpotensi melahirkan melankolia yang indah. Pada sebagian kisah itu, mungkin pembaca akan mendapati dirinya seolah-olah menjadi tokoh utama yang sedang patah hati, yang sedang menanti, atau yang sedang jatuh cinta.

Pembaca mungkin akan diam dan merenung sejenak saat menjejaki cerpen-cepen itu. Mungkin ada yang teringat kenangan masa lalunya, yang teringat kekasih yang jauh tempatnya, yang teringat seseorang yang entah kapan datangnya.


(Sukoharjo, 28 Oktober 2016)





0 komentar:

Post a Comment