Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Monday, July 22, 2013

Bakar


Seorang lelaki duduk menatap kekosongan. Dari emperan rumahnya terdengar suara berdebum –material bangunan baru saja tiba– dan suara mesin yang meraung-raung. Mestinya hari ini lelaki itu berada di antara suara-suara itu, menjadi buruh bangunan. Namun, ada hal yang mesti ia lakukan pagi ini.

Tetap dengan tatapan kosong ia melangkahkan kaki menuju ke arah pasar. Meski pikiran dan penglihatannya tidak mengikuti arah berjalan kedua kakinya, lelaki itu tidak perlu takut tersesat. Pasar yang ia tuju sudah ia kunjungi berkali-kali. Apalagi akhir-akhir ini istrinya yang cantik sedang terkulai sakit di pembaringan. Mau tidak mau, ia yang harus berbelanja ke pasar.

Namanya Bakar. Datang dari desa menuju ibukota dengan harapan dapat mengubah nasib. Namun, harapannya tidak kunjung terpenuhi. Bertahun-tahun ia hanya menjadi buruh bangunan dengan upah rendah. Untuk orang-orang seperti Bakar, ada pihak tertentu yang memanfaatkannya. Keterbatasan ekonomi tentu akan menggerakkan seseorang untuk melakukan apa saja.

Pak Hamid Hermawan, yang pernah naik haji tiga kali itu juga pemilik proyek pembangunan yang saat ini sedang dikerjakan, memandang Bakar sebagai orang yang tepat untuk melakukan suatu pekerjaan penting. Hasil pekerjaan yang dilakukan Bakar, sekitar enam bulan lalu terbilang sukses. Suatu pagi terdengar berita sebuah pasar di pinggiran kota terbakar habis. Para pakar berbicara mengenai penyebabnya. Ada yang mengatakan karena arus listrik yang konslet. Pakar yang lain mengatakan karena lilin yang jatuh dan membakar sekitarnya. Banyak yang lain mengatakan penyebabnya adalah kompor gas meledak. Penyebab ketiga ini banyak diamini masyarakat karena memang saat itu sedang musim kompor gas meledak. Namun, Pak Hamid dan Bakar mengetahui penyebab kebakaran yang sebenarnya.

Sesampainya di pasar, Bakar ikut duduk di sebuah pagar beton bersama beberapa tukang becak. Sebuah televisi 21 inchi terpajang di atas gardu keamanan dengan dikrangkeng besi. Setidaknya itulah salah satu hiburan bagi tukang becak yang menunggu datangnya rezeki.

“Sepertinya nih, tahun ini bakal banyak mall-mall baru. Tuh, banyak pembangunan mall di mana-mana,” kata seorang tukang becak di sela-sela mulutnya mengunyah pisang goreng.

Seorang wanita cantik yang memegang microphone melaporkan peristiwa demo penolakan pembangunan sebuah mall.

“Mengapa Anda dan rekan-rekan menolak pembangunan mall ini, Pak?” tanya reporter yang cantik itu.
“Karena nanti bisa mematikan pasar saya, Mbak,” jawab laki-laki yang wajahnya hitam dan penuh kerutan.
“Lha kalau pasarnya sepi atau malah mati nanti saya tidak bisa berjualan lagi, Mbak,” tambahnya dengan lugu.

Bakar hanya sekilas melihat tayangan berita dan melihat reporter berwajah cantik yang tampak kontras dengan latar belakangnya yang berupa tumpukan material dan mesin-mesin serta para pendemo yang wajah dan pakaiannya tentu sederhana sekali.

Istriku lebih cantik darinya. Berkata Bakar dalam hati. Dengan itu, ia teringat istrinya yang tak berdaya di tempat tidur. Beberapa hari ini kepala Bakar pusing. Istrinya, satu-satunya orang yang menemaninya dalam mengarungi kerasnya hidup di ibukota, sakit berhari-hari dan belum menunjukkan kesembuhan. Saat di Puskesmas, Bakar diberi sebuah resep dan surat rujukan ke rumah sakit.

“Pak, istri Bapak harus segera di bawa ke rumah sakit. Untuk sementara Bapak bisa meminumkan obat dalam resep ini, tapi kalau besok masih belum baikan, harus dibawa ke rumah sakit.”

Bakar menerima resep dan surat rujukan itu. Meskipun sama-sama berupa kertas, surat rujukan itu terasa lebih berat. Seberat batu. Seolah-olah tangannya tidak sanggup berlama-lama memegang surat itu sehingga dengan cepat-cepat ia masukkan ke dalam saku.

Itu kejadian tiga hari yang lalu. Dan sampai hari ini istrinya belum tampak ada kemajuan. Obat terakhir yang ia tebus dari apotek diminum istrinya kemarin siang. Saat itulah seorang utusan Pak Hamid datang menemui Bakar. Bakar tahu artinya itu.

Meskipun suara televisi terdengar keras, Bakar tidak merasa perlu untuk memperhatikannya. Pikirannya menjelajahi seisi pasar.

Sepertinya di pojok belakang kamar mandi pasar akan menjadi titik yang bagus. Di sana banyak sampah yang akan memudahkan pekerjaanku. Ah, tidak-tidak. Sebaiknya dari tengah saja. Kios pedagang minyak sepertinya menjadi titik yang bagus. Pikiran Bakar tertuju pada kios Pak Jamil, salah satu penjual minyak di pasar. Bakar ingat, ia mempunyai utang sekilo minyak goreng pada Pak Jamil.

Bakar melangkahkan kakinya memasuki pasar. Bau apek, amis, dan busuk menyergap hidungnya. Bahkan merayapi kerongkongannya. Akan tetapi, hidung Bakar sudah bersahabat dengan bau seperti itu.

Pandangan matanya mengitari seisi pasar seiring langkah kakinya. Ia lewati kios Pak Jamil. Pak Jamil sedang melayani seorang ibu. Beberapa kilo minyak goreng diberikan kepada ibu itu.

“Saya kasih potongan harga, Bu. Ibu kan sudah langganan di sini dan belinya banyak pula,” kata Pak Jamil sambil menawarkan senyum lugunya.

Setelah ibu itu pergi, Bakar mendatangi Pak Jamil. Sambil merogoh sakunya ia bertanya, “Laris, Pak?” 

“Eh, Pak Bakar. Alhamdulillah, rezeki sudah diatur. Ya beginilah, yang penting bisa buat istri masak di rumah," sahut Pak Jamil dengan nada riang.

Pak Jamil sedang merendah. Bakar tahu anak tertua Pak Jamil kuliah di universitas negeri dan kedua anaknya yang lain duduk di bangku SMA.
“Iya, rezeki sudah ada yang ngatur. semoga laris terus, Pak. Oiya, ini saya mau ngasih utang saya kemarin,” kata Bakar sambil menyodorkan beberapa lembar uang.

“Iya, terima kasih. Tidak ngambil lagi minyaknya?”
“Di rumah masih ada kok, Pak. Saya duluan ya, Pak.”
“Silakan,” tak lupa Pak Jamil mengiringi kepergian Bakar dengan senyum.

Dari pembicaraan singkat tadi Bakar sempat melirik seisi kios Pak Jamil. Selain tempatnya yang berada di tengah pasar, dengan banyaknya minyak, tentu pekerjaannya akan lebih mudah.

***

Saat perjalanan pulang dari pasar, pikiran Bakar masih tertinggal di kios Pak Jamil. Apakah aku akan melakukannya lagi? Batin Bakar. Hatinya bimbang.

Penyakit istriku semakin parah. Jika terjadi sesuatu pada istriku, aku tidak akan memaafkan diriku seumur hidup. Aku harus segera membawanya ke rumah sakit. Uang dari Pak Hamid memang cukup untuk membayar biaya rumah sakit selama beberapa hari, tetapi bagaimana jika istriku harus menginap di rumah sakit dalam waktu lama. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku ini. Uang yang akan diberikan oleh Pak Hamid nanti tentu lebih banyak lagi dan aku bisa memberikan perawatan pada istriku sampai sembuh. Aku harus melakukannya.

Lalu terbayang wajah Pak Jamil yang lugu. Rezeki sudah diatur, katanya. Kasihan juga orang-orang seperti Pak Jamil. Ada banyak pedagang yang menggantungkan hidupnya di pasar itu. Berdosakah aku bila merenggut penghidupan mereka? Ah, peduli apa dengan dosa.

Kemudia Bakar teringat pada kata-kata Pak Hamid.
“Untuk perubahan yang lebih baik memang harus ada pengorbanan. Harus ada orang yang berkorban. Kau paham itu kan, Bakar?”
“Iya, Pak,” jawab bakar sambil mengangguk.

Kata-kata omong kosong! Bakar berbicara dalam hati. Apa peduliku dengan segala ocehanmu itu. Aku hanya membutuhkan uangmu. Iya, uang. Hanya itu yang menjadi tali pengikat antara kita. Kau tentu punya banyak uang. Proyekmu banyak, banyak pula uang yang kau keruk. Dan sayangnya, aku menjadi salah satu pemulus jalanmu dalam mengeruk uang.

Tak peduli uang siapa yang kau ambil. Tak peduli berapa banyak orang yang kau buat hidupnya susah. Yang penting kau bisa memberiku uang. Itu saja.

“Laksanakan pekerjaan ini dengan baik, Bakar. Seperti perkerjaan terakhir dulu.”
Pak Hamid menyudahi pertemuan dengan menyodorkan sebuah amplop.

“Setelah selesai, amplop yang akan kaudapatkan lebih tebal lagi.”
“Terima kasih banyak, Pak!”

***

Sesudah matahari tenggelam, Bakar menunggui istrinya yang demamnya semakin panas.
“Besok aku akan membawamu ke rumah sakit,” kata Bakar sambil membelai kepala istrinya.

“Uang dari mana, Kang?” tanya istri Bakar keluar dari bibirnya yang kering.
“Tenanglah. Aku akan mendapatkan uang yang cukup untuk mengobatimu sampai sembuh.”

“Iya, tapi uang dari mana?” suara istri Bakar terdengar pelan seperti tiada tenaga lagi meskipun untuk berbicara.
“Rezeki sudah ada yang mengatur,” kata Bakar.

Rezeki sudah ada yang mengatur. Rezeki sudah ada yang mengatur. Bakar mengulang-ulang kata-kata itu dalam hati.

“Ada orang baik yang akan memberikan uang pada kita. Untuk biaya pengobatanmu,” kata Bakar dengan menekankan kata baik pada kalimatnya. Baik? Di zaman sekarang ini siapa orang yang baik itu? Justu orang yang terkenal baik malah sejatinya busuk hatinya.

Setelah istrinya terlelap tidur, Bakar keluar rumah, duduk di emperan sambil menatap proyek pembangunan yang tidak berhenti pada malam hari itu. Sampai kapan aku terus hidup seperti ini? Menjadi buruh bangunan dengan upah yang hanya cukup buat makan. Setelah pekerjaan terakhir ini, aku akan pulang kampung saja. Setidaknya di kampung aku tidak akan mati kelaparan. Ada kebun yang bisa aku tanami. Setidaknya aku tidak harus melakukan pekerjaan kotor yang akan aku lakukan sebentar lagi. Kotor? Dosa? Kotor. Dosa.

Aku membutuhkan uang itu. Tak peduli pekerjaan kotor. Tak peduli dosa. Itu perbuatannya Pak Hamid. Aku hanya salah satu tangannya saja. Kalau dosa, tentu Pak Hamid yang menanggung dosa lebih banyak. Mengapa aku memikirkan masalah dosa segala. Aku membutuhkan uang. Aku akan melakukannya.

Setelah lewat tengah malam, Bakar berjalan menuju pasar, tapi tidak melalui jalan seperti biasanya. Ia sudah mengatur rencana arah perjalanannya, cara masuk ke pasar, dan cara menyelesaikan pekerjaan itu tanpa ada orang yang mengetahuinya.

Pasar sepi, namun pikiran Bakar terasa riuh. Setelah sampai di depan kios Pak Jamil, Bakar mengeluarkan korek api dari sakunya. Terbayang wajah Pak Jamil yang lugu. Terbayang wajah simbok-simbok penjual bumbu dan sayuran. Kemudian terbayang wajah istrinya yang pucat dengan bibir yang kering.

Ah, sialan. Umpat Bakar dalam hati. Aku tidak peduli dengan semua itu. Teriaknya dengan kencang dalam hati. Ia nyalakan korek. Nyala api menari-nari di depannya membawa senyum cerah istri yang dicintainya. Kemudian tersungging senyum di bibir Bakar.

***

Pagi hari diawali dengar berita yang menggemparkan. Bakar duduk di atas pagar bersama para tukang becak. Beberapa penjual di pasar berdiri berdesakan. Tak luput pula beberapa pembeli ikut berdesakan melupakan apa yang hendak dibelinya.

Seorang reporter yang cantik –wanita yang sama yang melaporkan berita kemarin pagi– berdiri dengan memegang microphone. Di belakangnya tampak puing-puing bekas kebakaran.

“Pemirsa, telah terjadi kebakaran pada rumah salah seorang pengusaha terkenal yang inisialnya HW. Diduga kebakaran terjadi sekitar dini hari tadi. Seperti yang Anda lihat, kini rumah besar ini sudah hancur tinggal puing-puing saja. Untunglah penghuninya sempat menyelamatkan diri dan sekarang berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dugaan kuat penyebab kebakaran adalah adanya arus listrik yang konslet.”

“Oh, makanya kita kalau masang kabel harus hati-hati biar tidak konslet,” kata seorang tukang becak.
“Iya, iya,” beberapa orang di sekitarnya membenarkan ucapan itu.

Bakar tersenyum kecil. Diduga penyebab kebakaran adalah adanya arus listrik yang konslet. Namun, Bakar tahu penyebab kebakaran yang sebenarnya. Bakar tersenyum lagi. Kemudian ia berjalan pulang sambil mengajak seorang tukang becak untuk mengantarkan istrinya ke Puskesmas.

***

20 Januari 2013


---------------------------------------------------------------------------------
*Cerpen ini masuk dalam 10 nominator Lomba "Percikan Api" BOM CERPEN" 2013


0 komentar:

Post a Comment