Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Wednesday, January 13, 2016

Cerpen "Ayah"


Ruangan hiruk pikuk penuh suara-suara serupa dengungan lebah. Aku memandang sekitar. Mencari tempat dudukku. Ah, di sana rupanya. Sebuah tempat duduk yang berada di baris depan sebelah kanan.


Ayah bediri di sampingku, memakai baju batik coklat. Baju batik yang kubelikan saat lebaran tahun kemarin. “Baju batik ini bagus. Bapak suka,” kata ayah memberi alasan penolakan saat kuutarakan niat membelikan baju baru yang akan dipakai khusus untuk acara hari ini
Aku mengantarkan ayah duduk di kursinya. Kursi khusus orang tua. Dan kursi ayah berada di paling depan. 


“Nanti siap ya, Pak?” tanyaku.
“Iya, Nak. Sudah sana, duduklah.”
Aku berjalan menuju kursiku, lalu duduk dengan perasaan yang campur aduk taktentu. Sesekali aku melihat ke arah ayah. Ayah duduk dengan tegak, terlihat canggung di keramaian ini.


Hari ini aku ingin mempersembahkan sesuatu buat ayah. Persembahan yang aku janjikan dalam hatiku sendiri empat tahun yang lalu. Bahwa aku akan menyandang gelar sarjana dan akan membuat ayah bangga. Hari ini, aku ingin melihat ayah bahagia.
Prosesi wisuda dimulai. Acara satu per satu berjalan dengan khidmat. 


Aku mempersiapkan diri untuk tampil di depan. Aku sudah menyusun kata-kata sejak beberapa hari yang lalu.
“Selanjutnya adalah penyerahan medali bagi mahasiswi berprestasi....” ujar pembawa acara.
Aku membetulkan letak kacamataku, kemudian berdiri dan berjalan menuju podium saat namaku dipanggil.


Aku berdiri di antara rektor, wakil rektor, dekan, dan dosen. Aku berdiri di depan ratusan wisudawan. Aku pun mulai mengucapkan kata-kata yang sudah kupersiapkan dan kuhafalkan.
“Prestasi ini kupersembahkan untuk ayahku,” ucapku sambil menatap ke arah ayah. Wajah ayah menampakkan keharuan. Dan bibirnya mengulas senyum. Ini untukmu, Ayah, batinku.
“Untuk ayahku yang selama ini telah mendidikku. Tanpa beliau aku bukanlah apa-apa. Dengan ini aku berharap bisa membuat ayahku bangga.”


Suara tepuk tangan mengisi ruangan saat aku menyelesaikan pidato singkatku. Aku kembali ke tempat duduk sambil membawa medali. Kulihat ayah, beliau pun menatap ke arahku. Anggukan kepala beliau seakan-akan mengatakan, Bapak bangga kepadamu, Nak.


Setelah ini adalah giliran ayahku untuk menyampaikan pidato. Aku memang menorehkan prestasi yang membanggakan universitas hingga panitia wisuda memandang layak bagi ayahku untuk menyampaikan pidato. Sebenarnya aku cukup khawatir karena ayah bukanlah seorang yang pandai berkata-kata di podium. “Iya, Bapak bisa,” demikian kata ayah dengan mantap meski aku tahu beliau merasa gentar juga.


Ayah tak pernah mengucap pidato. Apalagi menyampaikan pidato dalam suasana wisuda seperti ini. Bagaimana ayah mau berpidato sedang pekerjaannya saja hanya tukang tambal ban. Iya, beliau tukang tambal ban yang bisa menyekolahkan aku hingga aku bisa lulus sarjana saat ini.


Nama ayah dipanggil diikuti sorak tepuk tangan hadirin. Ayah berdiri, diam sejenak. Suasana hening. Beliau berjalan pelan menuju podium. Pasti ayah merasa deg-degan, sebagaimana yang kurasakan. 


Ayah mengucap salam. Pandangan mata ayah mengarah kepadaku, kemudian kepada hadirin. Bibir ayah tampak bergerak-gerak, namun tak ada suara yang keluar. Keringat mulai bermunculan di dahinya yang keriput. Tangannya yang memegang ujung baju tampak bergetar.
“Saya... saya merasa senang,” kata ayah terbata.


Suaranya yang bergetar mengisi ruangan. Hanya suara ayah yang terdengar. Seolah-olah di ruangan ini tak ada orang selain ayah. Semua diam dan menatap ke arah ayah. Menunggu ucapan ayah selanjutnya.


“Dan saya bangga punya anak seperti dia.” Ayah menatap ke arahku.
“Saya bangga, bahkan sejak dia masih kecil, saat belajar berdiri, jatuh, berdiri lagi,” kata ayah dengan suara bergetar yang ikut menggetarkan hatiku.
“Wassalamu’alaikum.”


Memang hanya tiga kalimat yang keluar dari bibir ayah, namun suara tepuk tangan terdengar meriah saat ayah turun dari podium. Lebih meriah daripada tepuk tangan untukku tadi.
Aku tak tahan untuk tak mengeluarkan air mata. Biarlah pipiku basah oleh air mataku. Ini air mata kebahagiaan. Ini air mata kebanggaan karena memiliki ayah yang hebat.


Seusai prosesi wisuda, kulihat beberapa orang tua teman-temanku menghampiri ayah. Mereka menyalami ayah, lalu mereka tampak akrab dalam obrolan yang diselingi senyum dan tawa.
“Bapak, ayo pulang,” kataku setelah mendatangi Ayah.


***
“Lewat sini saja, Nak!” Bapak memberi aba-aba untuk belok kanan.
Sepeda motor kubelokkan mengikuti petunjuk arah dari Ayah. Kami melewati jalan berbatu. Jalan ini memang jalan yang lebih singkat menuju rumah, namun kondisinya rusak. Aku sudah lama tak melewati jalan ini.


Pohon-pohon karet yang tumbuh rapat di kanan kiri jalan membuat suasana menjadi asri. Alas Karet, kami menyebutnya. Dulu sewaktu kecil aku sering bermain di hutan karet ini.


Kami melewati beberapa rumah warga. Setiap bersua dengan seseorang, ayah selalu menyapa dan tersenyum. Itulah pribadi beliau. Ramah. Lalu kami melewati sebuah rumah yang juga sebagai tempat potong rambut. Dulu ayah sering mengajakku ke sini untuk memotong rambutku.


“Mari, Pakdhe!” ujar ayah kepada tukang potong rambut yang sudah tua.
“Berhenti di depan, ” kata ayah menunjuk sebuah warung.


Ah, warung mie ayam ini. Warung mie ayam yang berdekatan dengan tukang potong rambut. Dulu setelah selesai potong rambut, ayah mengajakku jajan mie ayam di sini. Dan saat itu, bagiku mie ayam adalah makanan termewah dan terenak di dunia.
“Kita makan dulu,” kata ayah.
Aku memarkir sepeda motor.


“Kang, mie ayamnya dua,” kata ayah kepada penjual mie ayam yang dulu biasanya kupanggil dengan sebutan Pakdhe.
“Anakmu ini?” tanya Pakdhe itu.
“Iya.”
“Dari mana, kok, rapi begitu?”
“Dari lulusan. Anakku sudah sarjana,” kata ayah sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Wah, hebat. Anakmu sudah sarjana, to.”


Mie ayam sudah terhidang di atas meja. Aromanya khas. Ah, khas sekali. Ini aroma kenangan masa kecilku. Ini aroma kebahagiaanku dulu saat ayah memboncengkan aku di sepeda onthel tuanya dan mengajakku potong rambut lalu makan mie ayam di sini.
“Ayo, dihabiskan,” kata ayah.


Tak terasa mataku berkaca-kaca. Ah, ayah. Betapa kenangan masa kecil itu masih lekat di ingatanku. Betapa engkau selama ini telah berkorban banyak hal untukku.


Ingin sekali kupeluk dan kucium kakimu, Ayah. Tapi jika aku melakukan hal itu, tentu akan merusak momen ini. Aku berusaha menahan gemuruh di dadaku. Lalu, dengan lahap, kusantap mie ayam itu sambil menundukkan kepala, menyembunyikan mataku yang basah.
***


----------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Cerpen ini dimuat dalam majalah Mutiara Insan edisi 63, bulan Januari 2016


0 komentar:

Post a Comment