Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Wednesday, January 13, 2016

Cerpen Remaja "English is Fun"


Sebuah foto kuusap perlahan-lahan. Kuperhatikan dengan seksama. Ada empat orang berdiri di atas karang dengan lautan dan langit biru sebagai latar.


Berdiri paling kanan dengan jilbab besarnya yang berwarna merah maroon, beliau guru Bahasa Inggris kami. Kami memanggilnya Miss Nana karena ia belum menikah. Di sebelah kirinya, dengan jilbab hijau muda, Nia, teman sekelasku. Tubuhnya tinggi semampai, dengan wajah tirus dan hidung mancung. Senyumnya mengembang memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. Cantik.


Berdiri di samping Nia, Azzahra namanya, biasa dipanggil Rara. Gamisnya warna merah muda, begitu pula jilbabnya. Wajanya bulat, dengan pipi agak berisi yang sering menjadi objek pencubitan oleh teman-temanku. Dia cerewet, sering menasehatiku macam-macam. Namun, dia baik sekali, sering membantuku menyelesaikan masalah.


Dan yang paling kiri, seorang gadis dengan jilbab warna biru muda yang tampak kebesaran. Terlihat paling pendek di antara keempatnya. Kacamata half-frame menggantung di atas hidungnya yang kecil. Gamisnya basah -terguyur air laut yang menggulung memecah karang tadi. Secara umum, dia terlihat kecil, dekil, dan memprihatinkan. Oh sayangnya, gadis itu adalah aku. Nayla, namaku.


Aku sangat ingat dengan seingat-ingatnya kegiatan yang mengiringi pengambilan foto itu. Peristiwa yang memberiku banyak pengalaman dan pelajaran. Baiklah, akan kuceritakan kepadamu pengalaman yang menarik itu.
***


Aku, Nia, dan Rara duduk di kursi panjang di hadapan
Miss Nana. Seperti biasa, tangan usil Nia mengganggu Rara. Ditariknya baju Rara, dicubitnya pipi Rara. Rara pun membalas dengan mencubit dan meninju -dengan pelan- bahu Nia. Aku yang menjadi korban karena aku duduk di tengah-tengah mereka. Badan kecilku tergencet mereka. Ah, nasibku.

“Ehm!”
Deheman
Miss Nana membuat Nia dan Rara diam. Pandangan kami fokus pada wajah Miss Nana yang tampak berseri.

“Kalian tahu mengapa saya panggil ke sini?” tanya
Miss Nana.
Kami menjawab dengan gelengan.
“Sekolah kita akan mengikuti English Competition tingkat provinsi. Ini kesempatan sekolah kita untuk menunjukkan prestasi.”


Kami diam.
Miss Nana diam. Hanya terdengar suara kipas angin.
“Hemm, kalian pasti sudah bisa menebak, kan?”
Kami menggeleng.


“Siswi-siswiku yang cantik, kalian yang ditunjuk untuk maju mengikuti lomba tersebut.”
Miss Nana mengakhiri kalimatnya dengan senyum yang lebar.
Aku terdiam, begitu pula kedua teman di sampingku. Aku dan teman-temanku belum bisa mencerna perkataan
Miss Nana.

“Mak...maksud,
Miss Nana?” tanya Nia tergagap.
“Nia, Nayla, Azzahra, bulan depan kalian akan mewakili sekolah mengikuti English Competition di Semarang.”
“Aa...aa...pa?!” Rara mengeluarkan kata tanya dengan suara meninggi. Raut wajahnya terlihat kaget.


“Tapi, Miss,” kata Nia, “kami kan, kami tidak pintar Bahasa Inggris. Nilai Bahasa Inggrisku cuma delapan koma sekian.”
“Nilaiku juga, Miss,” sahut Rara, “pas-pasan. Aku tidak pernah dapat nilai sembilan.”
“Aku juga,” kataku menambahi alasan kedua temanku, berharap nilai Bahasa Inggris kami yang tak pernah mencapai nilai sembilan bisa menggagalkan kami untuk mengikuti lomba itu.


Bagaimana kami bisa mengikuti lomba itu? Kami bukan siswi dengan nilai tertinggi untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. Dan kami tidak siap mengikuti lomba itu. Betapa berat lomba itu.


“Nia,” kata
Miss Nana, “kamu bagus dalam grammar, meskipun dalam speaking belum maksimal. Grammar-mu hampir sempurna.”
Nia mengangguk-angguk.


“Nayla, grammar dan speaking-mu cukup bagus. Kamu, Rara, speaking dan listening-mu sangat bagus, meskipun grammar-mu masih agak lemah.”
Aku dan Rara kompak mengangguk. Mengaminkan kata-kata
Miss Nana yang memang sesuai dengan kenyataan.

“Kalian mempunyai kelebihan masing-masing. Kalian akan saling melengkapi.”
Kami saling berpandangan.
“Apakah tidak bisa diganti yang lain saja,
Miss?” tanya Rara.
“Tidak, ini sudah menjadi keputuskan rapat dewan guru. Tenanglah, jangan terlalu khawatir, saya akan membimbing kalian hingga hari perlombaan nanti. Saya sudah menyiapkan program sukses lomba untuk kalian. English is fun!”


Begitulah, hari itu kami pulang dengan kepala tertunduk, wajah lesu, dan langkah gontai. Lomba Bahasa Inggris?! Ah, pusing. Kami sudah membayangkan betapa berat latihan yang akan kami jalani. Belum lagi, bagaimana jika ketika lomba nanti kami berbuat kesalahan.
 

Hari berikutnya, Miss Nana menjelaskan program pembelajaran yang dikatakannya dulu. Miss Nana memberi tugas kami untuk menuliskan kosakata baru yang didapatkan setiap hari dan menempelkannya di dinding kamar tidur. 

“Tugas ini untuk menambah hafalan kosakata kalian,” kata
Miss Nana.
Tak ayal, kamarku pun penuh dengan tempelan kertas bertuliskan kata-kata dalam bahasa Inggris. Aku menduga, dinding kamar tidur Nia lebih banyak lagi tempelan kertasnya. Dan Rara, pasti yang paling sedikit.


Kegiatan menempel kertas di dinding ini mengasyikkan. Aku menggunting kertas dengan berbagai bentuk: buah, rumah, pesawat, lingkaran, segitiga, dll. Setiap hari ketika di dalam kamar aku selalu melihat kata-kata dalam tempelan kertas itu. Dengan sendirinya aku sudah hafal kata-kata itu. Aku mengambil kertas dengan kata-kata yang sudah aku hafal. Kemudian aku menempelkan kertas dengan kata-kata baru yang belum aku hafal. 


“Program sukses lomba selanjutnya,” kata
Miss Nana, “ialah English Area.”
Kami diajak menuju sebuah ruangan kecil di samping perpustakaan. Di atas pintu ruangan tertulis “English Area”.


“Ruangan ini adalah English Area. Di ruangan ini kalian tidak boleh berbicara kecuali dalam Bahasa Inggris.”
“Hah?!”
Kami melongo secara bersamaan. Mulut Nia membuka paling lebar membentuk huruf O. Dia sadar bahwa dia paling lemah dalam speaking.


“Susah dong, Miss,” kata Nia.
All start is difficult. Semua yang permulaan itu sulit. Selanjutnya, nanti kalian akan terbiasa. Jika ada yang berbicara selain bahasa Inggris, akan mendapat hukuman. Hukumannya adalah menghafalkan satu kosakata baru setiap kali kalian mengucapkan satu kata selain dalam bahasa Inggris. Kalian mengerti?”


Kami semakin melongo dan ber-”ha?!” bersama-sama.
“Silakan masuk, dan silakan ngobrol santai. Kalian bisa ngobrol tentang sekolah, rumah, keluarga, atau saling curhat juga boleh. Syaratnya, harus dalam bahasa Inggris.”


Miss Nana membuka pintu English Area. Ruangannya kecil, sekitar 4 x 4 meter. Ada satu meja bundar yang dikelilingi beberapa kursi. Rak buku di pojok berisikan beberapa buku. Dari judulnya sepertinya semuanya berbahasa Inggris. Pada dinding tertempel beberapa kata-kata motivasi, juga dalam bahasa Inggris. Benar-benar ruangan bahasa Inggris.

Pada hari pertama di ruang English Area, kami masih kaku dalam perbincangan. Rara yang memang hebat dalam dalam speaking, nyerocos dari awal. Beberapa kata yang dikeluarkan dari mulut mungilnya itu tak kupahami. Nia yang paling kaku, ia hanya sedikit berkata-kata. Beberapa kali ia bertanya, “What?” ketika ia tak paham suatu kata.


Setengah jam berlalu. Hukuman diberikan karena beberapa kata dalam bahasa Indonesia terlontar. Bisa ditebak, Nia mendapat hukuman paling banyak. Ia pun pulang seperti prajurit yang kalah perang. Hafalan kosakata menjadi tugasnya yang baru.


Hari-hari selanjutnya, perbincangan di English Area lebih cair. Nia masih yang paling sedikit berkata-kata. Dan Rara, tetap yang paling cerewat. Dalam waktu seminggu, kami sudah terbiasa berbicara dengan bahasa Inggris di ruangan English Area. Bahkan, di luar ruangan itu kadang kami berbincang dengan bahasa Inggris.


Selain speaking, di dalam ruang English Area, kami diberi tugas untuk membuat tulisan dengan tema bebas.

“Yang penting menulis,” kata Bu Nana. “Tulislah apapun, sebanyak satu halaman, kemudian nanti kalian saling mengoreksi.”

Mendengar instruksi untuk menulis, wajah Rara langsung pucat. Maklum, ia tak terlalu paham masalah grammar. Sebaliknya, Nia tampak cerah, senyumnya mengembang.
“Okey,
Miss Nana!” jawab Nia mantap.

Kami menuliskan kegiatan sehari-hari, hobi, makanan kesukaan, kebiasaan, hal-hal yang disukai. Meskipun tak menguasai kosakata yang banyak, Nia bersemangat menulis.
It’s very good, Nia,” puji
Miss Nana.
Tulisan Nia mendapat pujian dari
Miss Nana, sedangkan tulisanku dan tulisan Rara terdapat banyak coretan. Nia yang mencoretnya. Kemudian dia menjelaskan bagaimana yang seharusnya.

Pekerjaan menulis memang menguras pikiran. Kami keluar menuju kantin. Kami berjalan pelan, dengan wajah lesu. Sebaliknya, Nia tampak semangat.
“Rara, kamu tadi keliru dalam membuat kalimat Past Tense. Kamu menulis, ‘They was here last night’. Kamu salah menggunakan to be was, seharusnya were karena subjeknya they itu jamak. Seharusnya begini, ‘They were here last night’. Begitu, paham?”
“Iya, iya, Nia,” jawab Rara kesal.
Memang, tulisan Rara paling banyak coretannya. Dalam hal ini, Rara mengakui keunggulan Nia.


Di dalam ruang English Area, kami juga diminta untuk membaca buku-buku yang ada di sana. Dan semuanya berbahasa Inggris. Kami harus menyiapkan kamus di samping buku yang kami baca. Setiap ada kata yang tidak kami ketahui, kami membuka kamus. Awalnya, membaca buku berbahasa Inggris ini sangat berat. Waktu seperempat jam hanya bisa membaca satu halaman. Namun, semakin lama kami semakin terbiasa membacanya dan semakin berkurang frekuensi membuka kamus. 


Untuk masalah hiburan, ternyata
Miss Nana juga sudah menyiapkan. Miss Nana memutar lagu. Lagunya pun berbahasa Inggris. Miss Nana juga memutarkan film dokumenter atau film kartun, dan pastilah berbahasa Inggris dan tanpa subtitle.
Ternyata, persiapan mengikuti English Competition ini menyenangkan. Tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya.


“Anak-anak, sudah tiga minggu kalian berlatih, baik berbicara, menulis, mendengarkan, maupun membaca. Tiga hari lagi kalian akan berangkat ke Semarang untuk mengikuti lomba,” kata
Miss Nana.
“Saya melihat kalian sangat semangat berlatih. Oleh karena itu, saya akan memberikan hadiah kepada kalian.”


Mendengar kata hadiah, mata kami langsung berbinar-binar. Hadiah, asyik...
“Hadiahnya apa,
Miss ?” tanya Rara tidak sabaran.
“Hadiahnya adalah besok kita akan rihlah ke pantai.”
“Haaa... pantai... asyik...,” seru Nia sambil melompat-lompat kegirangan.
“Di pantai nanti, kemungkinan besar kalian akan bertemu dengan turis asing. Kalian harus menyapa mereka dan berbicara dengan mereka menggunakan bahasa Inggris. Kalian berani?”
“Siap, berani,
Miss !” kata Rara.

Begitulah, kegiatan rihlah menjadi hiburan bagi kami sebelum berangkat ke Semarang untuk berkompetisi. Di pantai itu kami bersenang-senang, dan tak lupa pesan
Miss Nana, kami berbincang-bincang dengan turis asing. Menyenangkan sekali.

Tak lupa, kami berfoto bersama. Berfoto di atas batu karang dengan deburan ombak di bawahnya. Di akhir hari itu,
Miss Nana mengatakan, “Nothing is imposible. Anything can happen as long as we believe.” Tidak ada yang mustahil. Semua bisa terjadi asalkan kita percaya.
***


Hari ini kami akan berangkat mengikuti lomba. Kami sudah berlatih dengan sungguh-sungguh dan hasilnya akan terlihat nanti. Kami sudah siap dan yakin insya Allah mendapatkan juara. Doakan kami agar menang, ya!
[***]



---------------------------------------------------------------------------------------
*Cerpen ini dimuat dalam Majalah Mutiara Insan edisi 52, bulan Desember 2014


0 komentar:

Post a Comment