Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Sunday, February 14, 2016

Tragedi Upacara Penurunan Bendera

"Ini ikatan apa? Cara membuatnya bagaimana?"
Pada suatu hari, langit mendung, angin bertiup sepoi-sepoi, dan ada tukang cilok menjajakan dagangannya. Waktu itu aku mengikuti kegiatan KMD, yaitu semacam training untuk pembina Pramuka. FYI, di sekolah tempatku mengajar, aku menjadi pembina Pramuka, lho. Jadi, kamu boleh panggil aku “Kakak Pembina”.

Pelatihan itu diikuti oleh ratusan peserta yang berasal dari beberapa kabupaten. Peserta mendirikan tenda di lapangan dan kebun. Untuk MCK, peserta menggunakan kamar mandi yang ada di rumah penduduk. Namun, karena jumlah kamar mandi tidak memadai akibatnya setiap mandi harus antre.

Suatu pagi, waktu MCK, aku pergi ke masjid yang ada kamar mandi yang bersih dan airnya lancar—meski tempatnya agak jauh dari lokasi perkemahan. Di masjid tersebut, aku bertemu dengan teman yang berbeda kelompok. Kami pun mengobrol agak lama sambil menunggu giliran mandi.


Selesai mandi, aku kembali ke tenda. Di tenda, aku disambut dengan kabar yang cetar menggelegar. Bahwa ternyata saat aku mandi tadi, telah dilaksanakan apel pagi (upacara penaikan bendera) –seperti hari sebelumnya. Semua peserta wajib mengikuti apel. Tentu saja aku tidak ikut karena antre mandi tadi. Beberapa teman sekelompokku yang ada di tenda juga tidak ikut apel. Yang ikut apel dari kelompokku hanya 2 orang. Padahal, kelompokku terdiri dari 7 atau 8 orang (aku lupa jumlah pastinya).

Pada saat apel pagi, panitia mengecek setiap kelompok, apakah lengkap atau tidak. Alhasil, kelompokku yang hanya ikut 2 orang itu pun segera mendapat perhatian panitia. Dan, panitia menjatuhkan hukuman kepada kelompokku. Hukumannya adalah kelompokku menjadi petugas apel sore (upacara penurunan bendera). Uaaaahhhh....gegerlah seisi tenda.

Oke, hukuman harus dijalani. Dibagilah petugasnya, 1 orang menjadi pemimpin upacara dan 3 orang menjadi petugas penurunan bendera. Aku sih penginnya jadi pemimpin upacara aja, karena cuma modal teriak-teriak, mudah. Tapi, aku kebagian menjadi petugas penurunan bendera.

Sore hari, saat akan apel, kami menunggu panitia yang akan melatih kami. Hari sebelumnya, kelompok yang menjadi petugas bendera dilatih terlebih dahulu oleh penitia. Beberapa saat kami menunggu tapi tidak ada yang datang melatih. Akhirnya, kami latihan sendiri.

Pemimpin upacara tidak perlu latihan, cukup menghafal urutan upacara dan menghafal apa yang harus diteriakkan. Aku bersama dua kawan yang berada di samping kanan-kiriku berlatih berjalan dengan aba-aba “langkah tegap maju jalan”. Kemudian, “haluan kanan maju jalan” dan seterusnya sampai selesai.

“Langkah tegap maju jalan,” aba-aba diberikan oleh kawan di samping kananku. Kami pun berjalan dengan langkah tegap. Okey, its good. Lancar. Lumayan kaku juga karena terakhir kali aku menjadi petugas pengibar bendera yaitu saat masih SD.

Saat mendekati tiang bendera, kawanku memberi aba-aba haluan kanan. Tapi, oh sayangnya aba-abanya telat sehingga posisi kami saat haluan kanan berada sekitar satu meter dari tiang bendera. Tidak pas di tengah. Barulah saat di depan tiang bendera, kami bergeser beberapa langkah ke kanan agar pas di tengah-tengah. Itu baru latihan, maklum tidak bisa pas. Nanti yang beneran harusnya lebih baik.

Akhirnya, panitia memberi aba-aba agar apel sore segera dilaksanakan. Semua peserta berbaris. Ada ratusan, laki-laki dan perempuan. Semuanya guru dari berbagai daerah. Jadi, kamu bisa bayangkan betapa dredegnya kami saat itu.

Aku dan kawan-kawan menempati posisi. Pemimpin upacara memasuki lapangan. Lancar. Kemudian, pembina upacara memasuki lapangan. Eh, kok kayaknya aku kenal dengan pembina upacaranya. Iya, itu pembina upacaranya aku kenal. Semakin dredeg aku jadinya.

Waktunya penurunan bendera. Aba-aba diberikan oleh kawanku. Jika tadi latihan posisinya meleset 1 meter dari tiang bendera, semoga pas upacara betulan ini tidak meleset.

Kami berjalan dengan langkah tegap. Terasa semua mata tertuju pada kami. Tapi, aku berusaha cuek saja. Tiang bendera sudah semakin dekat. Semakin dekat. Lho, kok temanku tidak segera memberi aba-aba. “Haluan kanan maju jalan,” akhirnya keluar aba-aba dari kawanku, tapi ..... tiang bendera sudah lewat, Bro. Hei, kita sudah melewati tiang bendera, teriakku dalam hati.

Dada mulai deg-degan. Keringat dingin mulai mengucur. Tibalah kami di dekat tiang bendera. Jika tadi pada latihan, kami meleset sejauh 1 meter, pada upacara betulan ini kami dengan sukses meleset sejauh 3 meter. Lalu, kawanku pun memberi aba-aba langkah ke kanan sampai kami berada tepat di depan tiang bendera.

Perasaan kami saat itu sudah tidak karuan. Belum selesai kami menenangkan diri, di depan kami sudah menunggu tugas yang lebih berat, yaitu menurunkan dan melipat bendera. Sialnya, tadi kami belum latihan menurunkan dan melihat bendera. Aku menjadi petugas bendera terakhir kali saat duduk di bangku SD. Jadi, aku sudah lupa cara melipat bendera yang benar.

Kami menurunkan bendera dengan pelan. Saat sudah berada dalam jangkauan, bendera itu segera kami pegang. Karena kurang hati-hati, pegangan terhadap bendera itu terlepas dan hampir saja bendera itu jatuh ke tanah. Seketika terdengar teriakan tertahan dari peserta upacara, “Eh!”

Bendera jatuh ke tanah bukan perkara sepele, lho. Itu perkara besar. Di Pramuka, jika kami menjatuhkan hasduk atau bendera regu saja, pasti akan dihukum.

Bisik-bisik mulai terdengar lagi. Semakin menambah bulir-bulir keringat yang mengucur deras. Kepanikan kami ditambah dengan komentar pembina upacara, “Bagaimana ini?”

Karena aku berposisi di tengah, aku memegang dan berusaha melihat bendera itu dibantu kawan di samping kananku. Seperti yang tadi aku katakan bahwa aku lupa cara melipat bendera, kawanku pun tak lebih baik dariku.

Kami kebingungan, bendera kami bolak-balik tapi tetap belum bisa terlipat. Akhirnya, datang malaikat penyelamat kami. Seorang panitia datang membantu melipat bendera. Bendera pun terlipat rapi. Mungkin baru kali ini ya ada orang membantu melipat bendera saat upacara.

Kami pun kembali ke posisi kami dengan langkah tegap, kepala didongakkan, dan dada dibusungkan. Tapi percayalah, hati kami saat itu benar-benar remuk redam. Hancurlah kehormatan kami. Selama berjalan itu tak henti-hentinya terdengar bisik-bisik peserta.

Seusai upacara, senyum dan tawa masih terdengar. Kami akui, kami memang melakukan hal yang konyol dan memalukan. Namun, terdengar celetukan dari seorang peserta, “Tidak apa-apa, belum tentu yang lain juga bisa.” Wah ini, kata-kata penyemangat. Benar juga, kita dengan mudah mengomentari kesalahan yang orang lain perbuat. Padahal, kalau kita yang melakukannya belum tentu juga berhasil. Persis kayak komentator sepakbola itu.

Sore itu menjadi sore yang luar biasa. Tapi, apakah aku merasa malu setelah itu? Tidak. Sekali-kali tidak. Aku mah apalah gitu. Cuek aja.

Demikianlah peristiwa konyol dan memalukan itu berakhir, setidaknya bagi kedua kawanku karena sebenarnya bagiku ada hal yang lebih merisaukan. Peristiwa memalukan itu justru tak terlalu berefek padaku.

Jadi begini, kamu pasti pernah kan suka dengan seseorang. Jika bertemu dengan orangtua dari seseorang yang kamu sukai itu pasti kamu akan berusaha tampil sebaik mungkin agar calon mertuamu itu mempunyai kesan yang baik terhadapmu.

Lha, di sinilah kerisauanku. Saat itu aku sedang menyukai seorang gadis cantik yang baik dan salehah. Aih, jadi senyum-senyum sendiri. Lanjut... aku sih maunya juga tampil dengan baik agar memberi kesan yang baik terhadap orangtua gadis itu.

Dhilalah, saudara-saudara pembaca yang berbudi baik, orangtua gadis idamanku itu ada saat kejadian konyol dan memalukan itu. Bagaimana perasaanmu jika seperti itu? Lha, semrawut dan embuh, to.

Itu belum seberapa. Inilah faktanya, orangtua gadis itu ialah pembina upacara. Waduh... makanya tadi aku bilang perasaanku semakin dredeg saat tahu siapa pembina upacaranya.

Aku berpikir, dari sekian ratus orang, mengapa aku yang harus jadi petugas bendera. Dan, dari sekian banyak pejabat di kepramukaan, mengapa harus orangtua gadis itu yang menjadi pembina upacara. Sungguh kebetulan yang ruarrr binasah.

Tapi, setelah kupikir lagi, mungkin ini tanda-tandanya jodoh. Mungkin orang lain mendapatkan jodohnya setelah melalui pertemuan-pertemuan yang mengesankan. Dan aku bertemu dengan orangtua gadis itu juga dalam peristiwa yang mengesankan, maksudnya berkesan karena peristiwanya konyol dan memalukan.

Demikian.


***
Sukoharjo, 15 Februari 2016


*Mungkin kamu penasaran bagaimana kisah selanjutnya antara aku dengan gadis cantik yang baik dan salehah itu. Yeah, kamu tahulah, seperti kata orang-orang: jodoh itu di tangan Tuhan. Nantikan saja tulisan-tulisan selanjutnya (jika ada, sih).



0 komentar:

Post a Comment