Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Monday, June 27, 2016

Lumpuk-lumpuk: Kegiatan Fenomenal Selama Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia


Selama Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia di Indoluxe Hotel Jogjakarta, pagi menjadi waktu yang istimewa karena ada sunrise yang menawan di ufuk timur. Lalu bagaimana dengan senja? Adakah sunset yang memesona? Saat senja, aku tak sempat memperhatikan langit barat karena pada sore ada kegiatan yang penting dan tidak boleh ditinggalkan. Kegiatan itu adalah lumpuk-lumpuk.

Apakah lumpuk-lumpuk itu?
Entah siapa yang mengucapkan kata itu pertama kali. Lumpuk-lumpuk dalam bahasa Indonesia berarti ‘mengumpulkan’. Lumpuk-lumpuk ialah kegiatan meramu makanan guna mencukupi keinginan untuk merasakan kenikmatan saat berbuka puasa. Lumpuk-lumpuk merupakan sesi yang paling ditunggu-tunggu selama pelatihan berlangsung.

Saat sesi materi pagi, muka masih kelihatan mengantuk. Jika siang, wajah pun mulai layu karena lapar sudah mendera. Setelah Asar, wajah semakin layu, semangat sudah pupus, mungkin pula badan sudah gemetaran. Mendekati akhir sesi sore, dipastikan wajah mulai berbinar, sorot mata menjadi tajam, semangat membara. Tak lain tak bukan karena sudah akan mendekati aktivitas lumpuk-lumpuk.

Menu makanan di hotel dihidangkan secara prasmanan. Peserta pelatihan bisa mengambil makanan sesuka hati mereka. Mulai dari buah, minuman yang dingin: es kopyor, es buah, dan jus buah, minuman yang panas: teh dan kopi, kudapan: yang kering dan yang basah, serta makanan utama: menu Barat atau menu Timur.



Jadi, inilah proses meramu makanan, mengumpulkan makanan yang disuka. Pertama-tama, ambil dahulu minuman, kudapan, dan buah. Biasanya aku mengambil teh hangat dan 1 atau 2 kudapan basah, dan irisan buah. Pepaya yang paling kusuka, kemudian melon. Ketiga jenis makanan/minuman itu pun ditaruh di meja terlebih dahulu, kemudian kembali lumpuk-lumpuk makanan yang lain.

Aku akan mengambil jus buah jambu dalam gelas kecil, kemudian menuju ke hidangan utama. Aku akan melihat terlebih dahulu sayur dan lauknya, lebih cocok yang mana. Kesukaanku tentu sayuran hijau, tapi sayang menu sayuran hijau jarang dihidangkan. Untuk lauk, aku suka olahan daging sapi dan ikan. Dan yang tak boleh ketinggalan ialah kerupuk. Dari semua jenis makanan, kerupuk ialah salah satu makanan yang tidak boleh ketinggalan. Makan tanpa kerupuk itu bagaikan mandi tanpa air. Lhoh.

Setelah proses meramu selesai, makanan/minuman itu pun aku tata di atas meja. Melihat jerih payah hasil proses lumpuk-lumpuk itu, aku merasa lebih tampan berkali lipat. Ahaha...
Lalu, dimulailah santap buka puasa dengan tenang, khusyu, dan penuh penghayatan.

Oya, kopi hitam. Kopi menjadi minuman yang tak boleh ketinggalan pula. Tapi, aku akan menikmati kopi saat malam, pukul 19.00 ke atas. Aku akan menyeduh kopi yang sudah disediakan di dalam kamar.





Selama 10 hari begitulah proses lumpuk-lumpuk berjalan dengan tertib, aman, terkendali, dan sesuai undang-undang yang berlaku. Begitu juga dengan waktu sahur. Tapi, karena saat sahur kondisi badan masih lemas dan mengantuk, jadi proses lumpuk-lumpuk tak se-fenomenal saat buka puasa.

Berbagai olahan masakan yang disajikan memang menggoda selera. Apalagi memakannya saat perut dalam keadaan lapar, tentu nikmatnya menjadi berlipat. Namun, aku merasakan ada sesuatu yang kurang. Ada sesuatu yang kurang, apakah itu, pikirku berulang-ulang.

Dengan begitu melimpahnya makanan, mengapa masih ada sesuatu yang kurang. Aku pun merenung, apakah sesuatu yang kurang itu?

Setelah perenungan yang mendalam sampai pada taraf mengantuk tak terkendali, aku pun mendapatkan pencerahan. Aku membandingkan hidangan hotel dengan masakan ibuku di rumah. Secara kuantitas, masakan ibu yang sederhana tak bisa dibandingkan dengan melimpahnya hidangan di hotel. Namun, aku merasa masakan ibuku lebih enak. Meski sayur yang dimasak sederhana, lauknya tak beragam, dan cenderung itu-itu saja.

Aku berpikir, masakan ibu terasa enak mungkin karena proses memasaknya dilandasi dengan cinta kepada keluarga. Masakan itu adalah wujud perhatian, tanggung jawab, dan cinta kepada keluarga. Itulah yang membuat masakan ibu terasa lebih enak. Bagi yang sudah berkeluarga, tentu masakan istri adalah segalanya.

Ngomong-ngomong soal masakan, hai, apakah kamu bisa masak? Iya, kamu, jodohku yang masih menunggu. Akankah masakan kamu keasinan? Ataukah malah hambar? Kamu tahu kalau aku suka makanan pedas? Oke, skip bagian nggak jelas ini.

Kopi. Begitu juga dengan kopi. Aku merasa suguhan kopi di warung hik lebih enak. Dan yang paling enak tentu saja kopi bikinan kamu. Iya, kopi bikinan kamu kan terdiri atas secangkir cinta, sesendok rindu, dan diaduk dengan kelembutan kasih sayang. Lalu, kamu hidangkan dengan sepenuh hati. Halah... ngomong apa sih, aku ini. Ngelantur ke mana-mana.
Mari kembali ke pokok utama.

Jadi, suatu pemberian yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang itu akan berbuah kenikmatan.

Pintaku kepada kamu --wahai jodohku yang belum ketemu-- hidangkanlah makanan yang kamu masak dengan bahan cinta, kamu olah dengan bumbu kasih. Hidangkanlah secangkir kopi hitam kesukaanku yang kamu aduk dengan penuh perasaan rindu.

Demikian. Salam lumpuk-lumpuk.

 

***
(Sukoharjo, 28 Juni 2016)




0 komentar:

Post a Comment