Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Monday, September 12, 2016

Farrah “Ndut” Chaiya Mas

Saya duduk di kejauhan. Farrah kelihatan kakinya dengan sepatu pink.

Namanya Farrah Chaiya Mas. Farrah dengan dobel r, kalau r-nya cuma satu, ia sering protes. Karena badannya subur, teman-teman dekatnya memanggilnya “Ndut”, kependekan dari kata gendut. Dalam beberapa kesempatan, saya pun memanggilnya “Ndut”. Dan gadis yang sering memberi beban berat pada timbangan ini tak berkeberatan dengan panggilan tersebut. Saya menyebut panggilan “Ndut” sebagai panggilan kasih sayang yang menyiratkan kedekatan dan keakraban.

Farrah yang memiliki akun Facebook https://www.facebook.com/farrah.colo ini masih ingat saat pertama kali saya mengajarnya. Saat itu saya melakukan microteaching sebagai salah satu bentuk ujian penerimaan tenaga pengajar di sekolah saya saat ini. Kelasnya Farrah yang menjadi “kelas uji” bagi saya. Saat itu, pada awal pemberlajaran saya membacakan salah satu syair Imam Syafii tentang pentingnya menulis dan mencatat. Pembacaan syair ini yang diingat-ingat oleh Farrah.

Saat itu Farrah memang terlihat lebih menonjol dibandingkan teman-temannya. Selain menonjol karena badannya yang gendut, ia menonjol karena suara cemprengnya sering menyahut dan membuat burung-burung pipit yang bertengger di atas atap terkaget-kaget. Beberapa kali, guru penguji yang duduk di belakang memperingatkan Farrah agar lebih tenang.

Selama pembelajaran di kelas, tak ayal siswi dengan akun IG https://www.instagram.com/farrah_arra27/ ini menjadi pusat kehebohan. Entah, dia dulu di dalam perut ibunya menelan toa atau speaker aktif hingga ada saja hal-hal yang selalu bisa diomongkannya. Dan tak jarang, banyolan-banyolan yang bikin kelas “gerrrr” keluar dari bibir tipisnya itu. Tingkah konyolnya yang membuat saya geleng-geleng kepala sudah tak terhitung lagi.
 

Saya dan Farrah dalam frame kacamata.
Kepribadian Farrah kadang sulit ditebak. Bisa saja suatu hari ia heboh sendiri mengguncangkan seisi sekolah. Tapi kali lain, ia terlihat murung dan sedih, menempelkan pipi di meja lalu air liurnya pun menjelajah permukaan meja tanpa ampun. Namun, keceriaanlah yang sering ditampilkannya. Sehari tanpa Farrah di kelas bagaikan makan soto tanpa kuah

Soal pelajaran, ia menjadikan Matematika sebagai musuh bebuyutan. Nilainya bikin hati miris dan perasaan sesak. Hingga Ujian Nasional pun, nilainya tetap segitu-gitu aja. Kalau Bahasa Indonesia, ada hal yang menarik terkait pelajaran satu ini. Ibunya adalah seorang guru Bahasa Indonesia di SMA. Farrah ini tidak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Aneh, kan. Tapi, setelah beberapa waktu saya ajar, katanya ia mulai suka Bahasa Indonesia. Buktinya, pada beberapa lembar buku tulisnya tergores ungkapan-ungkapan puitis yang kebanyakan bernada galau.
 

LIhat, begitu besar dan bundarnya wajah Farrah.

Ia mengaku jarang belajar Bahasa Indonesia. “Bahasa Indonesia nggak usah dipelajari, kan mudah,” begitu kilahnya kepada ibunya saat ia malas belajar yang tentu saja langsung disembur untaian-untaian nasehat oleh ibunya (baca: dimarahi).

Farrah suka menulis puisi. Pastilah puisi lope-lope, mendambakan pangeran berkuda putih, bergalau ria menikmati senja, dan semacamnya. Meski sering galau begitu, syukurnya, nilai Ujian Bahasa Indonesia-nya bisa dibanggakan. Mungkin satu-satunya nilai yang bisa dibanggakan karena nilai yang lainnya memprihatinkan.


Hot cokelat dan senja menjadi dua hal yang disenanginya. Mungkin ia pernah membaca sebuah kisah romantis-dramatis-sedih yang menyajikan adegan tokoh utama yang meratapi dirinya yang dilanda rindu saat senja di depan jendela rumah tingkat dua. Dan Farrah berpikir, wow keren...

Ada satu masa kepedihan yang menimpa Farrah, yaitu saat ayah tercintanya dipanggil Yang Mahakuasa. Saya takbisa membayangkan kesedihan semacam itu. Tapi yang pasti sangat berat menanggungnya. Dalam beberapa kesempatan kadang saya ingin menghiburnya dengan mengatakan, “Sabarlah Farrah. Masih banyak orang yang menyayangi kamu. Anggap saja pak guru ini sebagai ayah kedua kamu.” Tapi kalimat itu urung saya sampaikan karena secara ukuran badan, saya lebih patut menjadi adiknya daripada ayahnya. Lagipula dalam beberapa kesempatan, oleh sebagian orang Farrah ini disangka sudah kuliah sedangkan saya disangka masih pelajar SMA. Lhak yo nganyelke to... 



Murid macam apa yang memakai peci gurunya kayak gitu.
Keluarga Farrah sangat baik. Ibunya ramah, baik, dan sangat memperhatikan perkembangan pendidikan Farrah. Kakaknya, biasa dipanggil Mbak Nana, seorang gadis cantik yang punya cita-cita menjadi hafidzah. Saya sering titip salam sama Farrah untuk kakaknya ini. Tapi dalam nada gurauan tentunya. Dan adiknya Farrah, badannya kecil dan imut. Saya menduga, lemak badannya disedot habis oleh Farrah dan ditumpuk di badannya sendiri.

Waktu terus berjalan dan Farrah pun harus lulus dari SMP. Lagipula saya takmau lama-lama mengajarnya. Hahahaha...

Pada waktu Akhirussanah –semacam wisuda—Farrah memberikan sebuah hadiah berupa buku kumpulan cerpen “Filosofi Kopi”. Itu saya banget karena di sekolah saya terkenal sebagai pecinta kopi yang saban pagi menyeduh kopi hitam dalam cangkir bertuliskan huruf “S”. #Terima kasih atas hadiahnya, Farrah.

Setelah lulus, Farrah pun masuk pondok pesantren. Karena saya sudah terbiasa bersendau gurau dengan Farrah, saya pun melemparkan candaan, “Salam buat ustadzahnya yang jomblo, ya Far!” Dan Farrah tahu hal itu hanya sekadar canda dan tidak mungkin ia akan dengan selow-nya menyampaikan salam dari gurunya untuk ustadzahnya. Dan saya yakin, salam yang saya titipkan untuk kakaknya selama ini tidak pernah disampaikan.

Pada awal masuk pondok pesantren, di bbm-nya Farrah tertulis “Semoga betah di sini (di pondok—red)”, DP-nya (gambar) saat itu memperlihatkan sebuah ruangan dengan sebuah lemari kayu. Ini kamarnya Farrah, pikir saya. Saya pun mengirimkan pesan kepadanya, “Farrah, semoga betah di pondok. Salam buat ustadzahnya, ya!”

Tak lama kemudian, pesan saya dibalas, “Iya, Pak, nanti saya sampaikan sama Farrah kalau Farrah liburan dari pondok.” Pikiran saya pun menerawang. Hah? Ternyata handphonenya Farrah dibawa ibunya karena saat di pondok tidak boleh membawa handphone. Saya pun pura-pura amnesia dan menganggap kejadian itu tak pernah ada.

Sekian.



***
Sukoharjo, 12 September 2016



0 komentar:

Post a Comment