Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Saturday, August 26, 2017

Resensi Buku Kumpulan Cerpen Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian Karya Karisma Fahmi Y.


Kisah-kisah Sendu di Antara Dongeng dan Realitas

Judul : Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian
Penulis : Karisma Fahmi Y.
Cetakan : November 2016
Tebal : 172 hlm
Penerbit : Basabasi
***
Karisma Fahmi, penulis muda asal Solo. Karya-karyanya telah dimuat di beberapa media massa nasional, bahkan beberapa dimuat dalam majalah sastra Horison --yang  versi cetaknya sekarang sudah tamat riwayatnya. Beberapa cerpennya yang dimuat di media massa ditambah beberapa yang belum dipublikasikan sehingga berjumlah 16 cerpen diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian.
Karisma Fahmi. Penulis perempuan yang berkerudung dan berkacamata ini memiliki wajah bundar yang bertaburan gula-gula. Meskipun demikian, saya tidak akan bermain hati dengannya. Jika saya jatuh cinta kepadanya dan ia jatuh cinta kepada saya, hingga suatu hari nanti entah bagaimana saya membuatnya patah hati, saya khawatir ia akan menikam saya, memotong-motong tubuh saya, kemudian menjadikan saya makanan ikan peliharaannya. Hal demikian memanglah sulit terjadi di dunia nyata. Tapi, penulis menceritakan kisah semacam itu dalam cerpennya yang berjudul “Sepasang Ikan Merah”.

“Sepasang Ikan Merah” menceritakan tokoh aku –yang memiliki peliharaan seekor ikan piranha merah—yang merasa kecewa dan sedih berkepanjangan karena kekasihnya berpaling hati. Suatu hari, mantan kekasihnya itu datang ke rumahnya untuk mengambil barang-barang miliknya. Di dorong kekecewaan dan kepedihannya, tokoh aku membunuh mantan kekasihnya, lalu memotong-motong tubuhnya, dan memberikannya kepada ikan piranha merah peliharaannya. Ia menganggap mantan kekasihnya itu bersemayam dalam tubuh ikan dan akan terus menemaninya. Sungguh kisah yang sadis sekaligus manis.

Satu kisah tersebut mewakili cerpen-cerpen dalam buku ini yang semuanya menceritakan kisah pilu nan sendu. Kepedihan menjadi benang pengikat di antara cerpen-cerpen tersebut. Ada kisah pendaki yang meninggal di gunung dan merasa kesepian dalam “Pendaki Bukit Nyanyian”. Ada ratap duka atas perang di padang Kurusetra yang tak terelakkan dari tokoh Bisma dalam “Tembang Lara Kesatria Kurusetra” dan Gandari dalam “Perempuan Gandari”. “Sayap-sayap Emas Yasmin” mengungkapkan seorang wanita karier yang merasa menyia-nyiakan suami dan anaknya, namun maut telah memisahkan mereka. “Tali Pusar Karna” mengungkapkan kepiluan seorang perantau yang ketika pulang mendapati ibunya sudah meninggal dan kampung halamannya berubah menjadi sebuah waduk besar.

Melalui cerpen-cerpennya, penulis seperti ingin mengatakan bahwa rasa sakit, rasa pedih, dan kecewa adalah bagian dari kehidupan. Seperti kata Gabriel Garcia Marquez, “Rasa sakit adalah risiko untuk tetap hidup.”

Kepiluan menjadi salah satu unsur keindahan di dalam cerita-ceritanya. Keindahan memang tidak melulu berada pada hal-hal yang romantis atau kisah yang berakhir bahagia. Ada sebuah keindahan dalam kisah-kisah sendu jika diceritakan secara baik. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Azwar dalam salah satu esainya yang termuat dalam buku Membaca Sastra Membaca Dunia (2016), “Keindahan karya juga bisa jadi terasa atas cerita kegetiran hidup manusia, keprihatinan, dan kepiluan yang mendalam. Bahkan, kondisi yang sangat buruk dalam realitas bisa menjadi indah setelah menjadi sebuah karya sastra.”


Dunia Wayang dan Kisah-kisah Supranatural

Selain mengungkap dunia realitas, penulis juga menceritakan dunia wayang. Wayang menjadi salah satu inspirasi kuat bagi penulis. Hal ini diungkapkan sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantar, “Bagi saya, kisah wayang berikut tokoh-tokohnya, selalu mampu menembus batas imajinasi, sebuah dunia kecil yang bergerak di luar dunia nyata manusia.” (hal. 8)

Dua cerpennya merupakan reinterpretasi terhadap kisah pewayangan yang diambil dari Mahabharata. Dalam “Tembang Lara Kesatria Kurusetra”, penulis menceritakan gejolak hati Bisma yang merasa sedih dan kecewa karena perang Bharatayuda akan menghancurkan kedua belah pihak yang disayanginya. Dalam cerita itu juga sedikit disinggung tokoh wanita –Srikandi yang merupakan penjelmaan Dewi Amba-- yang menyiapkan senjatanya untuk menghabisi Bisma karena dendam masa lalu.

Kegelisahan Dewi Gandari dikisahkan dalam “Perempuan Gandari”. Gandari sebagai ibu dari kesatria Kurawa merasa was-was di dalam kerajaannya, sedangkan anak-anaknya berperang hidup-mati di padang Kurusetra. Gandari dengan mata yang selalu tertutup kain hitam merasa terpukul dengan berita yang dibawa kurir yang menyebutkan nama-nama anaknya yang tewas di medan pertempuran.

Bagi pembaca berlatar belakang budaya Jawa, kedua cerpen tersebut akan lebih termaknai karena ia mengetahui kisah-kisah pewayangan (Mahabharata) secara umum. Berbeda dengan orang yang tidak mengenal kisah Mahabharata, kedua cerpen tersebut tidak akan begitu menggugah hatinya. Pengaruh dunia wayang terhadap penulis juga terlihat dalam pemilihan nama tokoh. Penulis menggunakan beberapa nama tokoh pewayangan dalam ceritanya, misalnya Anjani dan Karna.

Selain dunia wayang, penulis juga mengungkap hal-hal supranatural dalam. Penulis mengisahkan dunia roh dalam “Pendaki Bukti Nyanyian” dan “Sayap-sayap Emas Yasmin”. Dalam kedua cerpen tersebut, penulis memunculkan tokoh roh orang mati yang berlaku, berbicara, dan mengungkapkan perasaannya.

Ada sebuah mitos yang mengatakan bahwa jika terdengar suara burung dares pada malam hari, berarti akan ada orang yang meninggal di kampung. Mitos tersebut diceritakan dalam “Tangan Kanan Malaikat Maut”. Tuyul sebagai makhluk ghaib warisan kepercayaan Jawa dimunculkan dalam cerpen “Brenges”.

Cerpen “Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian” –yang digunakan sebagai judul buku ini—mengemukakan dunia supranatural tentang adanya tokoh yang bisa memanggil hujan dan tokoh yang bisa membaca kematian seseorang melalui pandangan kedua matanya.

Mistisime terlihat dalam cerpen “Ketika Masnawi Menyanyikan Rumi”. Dalam cerpen ini penulis mengungkapkan kecintaan seseorang terhadap syair-syair Rumi. Beberapa bait syair Rumi pun dikutipkan dalam cerpen ini.

Alur yang Berliku dan Akhir yang Mengejutkan
Dalam hal penceritaan, sang penulis sungguh piawai “mempermainkan” alur. Dalam sebuah cerpen ada beberapa cabang alur. Ceritanya seperti melompat-lompat. Tokoh-tokohnya pada awal hingga pertengahan cerita seolah-olah tidak memiliki hubungan. Namun di akhir cerita, hubungan antar-alur dan antartokoh menjadi jelas. 
lika-liku alur ini bisa digambarkan sebagai beberapa cabang sungai yang awalnya tak berhubungan satu sama lain hingga akhirnya menyatu di lautan.

Dalam “Grambyangan Manyar Sewu” penulis membuka dengan kisah tokoh Pekik yang gusar karena terganggu suara gamelan di kepalanya. Cerita kemudian meloncat pada kisah dua penari, Arum dan Anjani, yang sedang pentas di atas panggung dan problematikanya. Lalu kisah beralih lagi pada tokoh Pekik. Alurnya yang melompat-lompat ini membuat pembaca merasa penasaran dan bertanya-tanya: apa hubungan antara kedua cerita ini dan apa hubungan antara kedua tokoh ini? Di akhir cerita, barulah pembaca bisa menghubungankan benang merah antarcerita dan antartokoh.

Itulah salah satu kekuatan cerpen-cerpen dalam buku ini. Penulis membuat cerita-cerita yang berlompatan sehingga membuat pembaca merasa penasaran dan menebak-nebak akhir cerita yang seringkali mengejutkan.

Kekuatan alur tersebut didukung dengan sudut penceritaan yang dinamis. Penulis tidak hanya menggunakan satu sudut pandang dalam ceritanya. Sebagian besar cerpennya menggunakan sudut pandang orang pertama dan orang ketiga sekaligus. Pada bagian awal cerita, penulis sering menggunakan sudut pandang orang ketiga. Setelah masuk tahapan pemunculan konflik, penceritaan akan diambil alih oleh tokoh utama sehingga menggunakan sudut pandang orang pertama.

Kisah Naratif yang Tak Menjemukan
Dalam buku-buku panduan menulis cerpen, sebagian besar akan menyarankan penulisan cerpen dengan komposisi antara narasi dan dialog yang proporsional. Sebuah cerpen yang narasinya terlalu banyak, berisiko menjadi cerita yang kering dan membosankan. Jika dialognya yang terlalu banyak, resikonya cerpen tersebut akan terasa dangkal dan tidak menarik. Demikian garis besar pengaturan komposisi narasi dan dialog dalam sebuah cerpen. Namun, aturan tersebut tentu saja tidak berlaku bagi para penulis yang piawai menyusun kata-kata, baik dalam bentuk dialog maupun narasi.

Cerpen-cerpen dalam Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian hampir semuanya tersusun atas narasi. Dari 16 cerpen dalam buku ini, hanya 5 cerpen yang memuat dialog, itupun porsi dialognya sangat minim. Penceritaan dengan gaya naratif berisiko menjemukan bagi pembaca. Namun, penulis pandai memikat pembaca dengan gaya penceritaannya yang cenderung ekspresionis. Pembaca seolah didongengi oleh seorang tukang cerita yang andal yang setiap kalimatnya menimbulkan kekaguman dan setiap ceritanya menimbukan rasa penasaran.

Kadang penulis menyuguhkan realitas kehidupan tokoh dan konteks cerita. Pada banyak kesempatan, penulis mengajak pembaca menyelami batin tokohnya, merasakan kegetirannya, mengecap kepedihannya, dan menanggung penderitaannya. Penggalian konflik batin tokoh sangat dalam. Inilah salah satu kekuatan gaya penceritaan penulis.

Ha
yang kurang berkenan bagi saya pada buku ini ialah gambar sampulnya. Terus terang, saya kurang suka dengan gambar sampulnya. Saya membayangkan sampul buku ini menampakkan tokoh wayang "Gandari" yang penuh kepedihan dan dendam. Atau tokoh Bisma sebagai kesatria yang siap menerima kematian.