Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Thursday, June 20, 2019

Tentang Kerumunan

Sumber ilustrasi gambar: republika[dot]co[dot]id

Kerumunan, bagi Cicero --seorang cendekiawan, filsuf, sekaligus negarawan/politikus-- adalah sebuah modal berharga dalam dunia politik praktis. Di hadapan ribuan warga Roma yang berdiri di Padang Martius, Cicero mendapati dirinya merasa bangga sekaligus haru ketika kerumunan itu mendengarkan pidatonya dari atas panggung. 

Cicero, sang Bapak Bangsa yang pernah menduduki jabatan tertinggi sebagai Konsul Roma, amat menyukai kerumunan. Kerumunan adalah bahan bakar politik. Kerumunan, keramaian, dan gejolak yang ditimbulkannya membuat politik menjadi dinamis. Bagi politisi, dunia politik yang dinamis menjanjikan banyak kesempatan dan harapan.

Kekuatan Cicero dalam mencuri perhatian kerumunan dan membuat mereka mendengarkan pidato argumentasinya dikisahkan dengan apik oleh Robert Harris dalam trilogi novelnya: Imperium, Conspirata, dan Dictator. Meski berbentuk karya fiksi, novel ini ditulis Harris berdasarkan risetnya bertahun-tahun tentang Marcus Tullius Cicero, sosok nyata yang hidup pada masa Republik Roma.

Orang banyak yang berkumpul di suatu tempat selalu memiliki tujuan khusus dan tertentu. Dalam politik, kerumunan itu tentu bernilai politis.

Dalam kasus Aksi 212 dan reuni-reuni yang mengikutinya, kerumunan telihat jelas di Monumen Nasional. Betapa banyak orang berkumpul di sana. Tak peduli perdebatan jumlah pastinya, kerumunan itu telah menyita perhatian banyak pihak. Kerumunan itu telah berhasil mendapatkan panggungnya.

Setiap orang yang hadir di Monas pada acara Reuni 212 yang lalu bisa memiliki niat dan tujuan masing-masing. Banyak yang niatnya tulus karena hatinya terpanggil dan terpaut iman. Ada yang niatnya hampir sama, sedikit sama, atau malah berbeda. Mungkin ada pula yang punya beberapa niat sekaligus.

Secara politis, kerumunan Reuni 212 memiliki potensi yang besar. Banyak sumber daya yang dikeluarkan untuk menciptakan sebuah kerumunan yang berskala nasional semacam itu. Bukankah, amat disayangkan jika kerumunan itu tidak mendatangkan suatu kemanfaatan atau keuntungan jangka panjang?

Terlepas dari klaim panitia bahwa Reuni 212 tidak bermuatan politik dan tuduhan sebaliknya dari pihak yang berseberangan, menurut hemat penulis, kerumunan yang dihasilkan oleh Aksi 212 harus dimanfaatkan untuk mendukung agenda umat, apakah dalam bidang ekonomi, budaya, pendidikan, ataupun politik.

Menciptakan kerumunan sebesar aksi 212 bukan perkara mudah, terkait waktu, tempat, biaya, dan momentum. Jika agenda tahunan itu hanya diisi pidato-pidato motivasi, sebaran-sebaran semangat dan sentimental di media sosial, untuk kemudian setelah acara selesai tidak ada bekas apa-apa, sungguh disayangkan.

Dalam bidang ekonomi sebenarnya ada agenda tindak lanjut, salah satunya pendirian 212 Mart yang sayangnya kini tidak menunjukkan perkembangan yang baik.

Bidang pendidikan sepertinya perlu dimasukkan dalam agenda pembahasan pasca-Reuni 212. Bidang pendidikan umat Islam selama ini lumayan terkotak-kotak. Sebagian lembaga mengeksklusifkan diri. Sebagiannya malah menentang terang-terangan lembaga pendidikan lainnya. Tapi, perencanaan program pendidikan yang sitematis dan berkelanjutan memang lebih rumit dan berat dibandingkan sekadar menciptakan kerumunan di Monas setahun sekali.

Politik. Kerumunan sebesar Aksi 212 memang paling memungkinkan dan mudah untuk mendukung agenda politik tertentu. Kata Cicero, semakin besar sebuah kerumuman, semakin mudah untuk mengarahkannya, atau memanfaatkannya.

Dalam agenda politik umat Islam, kerumunan Aksi 212 mesti bisa diarahkan untuk mendukung agenda umat, semurni-murninya. Panggung 212 yang telah dihasilkan dan dirawat sejak tahun 2016 jangan sampai roboh perlahan-lahan. Harus ada wadah yang menampungnya hingga spirit perkumpulan ini tidak memudar.

Agenda politik umat yang dimaksud adalah ageda politik jangka panjang, murni demi kepentingan umat, dan digerakkan oleh tokoh-tokoh umat. Bukan agenda politik jangka pendek yang pragmatis. Tapi sekali lagi, hal semacam itu memang lebih rumit dan lebih berat dibanding sekadar menciptakan kerumunan setahun sekali.

Saya mendukung agenda politik umat Islam. Politik yang beradab dan bermartabat sebagai wujud Islam Rahmatan lil Alamin, termasuk rahmat bagi bangsa dan negara Indonesia.


***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 29 Desember 2019


0 komentar:

Post a Comment