Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Thursday, January 20, 2022

Saya Menikah pada Usia 33 Tahun


P
ada saat teman kuliah saya lulus, Rata-rata usia mereka 22 tahun. Saya lulus kuliah pada usia 26 tahun. Bukan karena masa kuliah saya yang molor, tetapi saya baru masuk kuliah ketika usia 22 tahun. Selepas tamat SMA saya terlebih dahulu bekerja selama 3 tahun.


Pada kemudian hari, perbedaan usia saya dengan teman-teman kuliah ini kadang menimbulkan bias persepsi. Rata-rata, pada usia 28--30 tahun mereka sudah menikah setelah bekerja 4--6 tahun. Saya, pada usia tersebut, masih "meniti karir", baru 2--4 tahun bekerja.

Pada usia 30 tahun ke atas, menurut saya, adalah masa yang cukup berat. Pada usia ini, lingkaran pertemanan kita mulai mengecil. Teman kuliah satu per satu hilang kontak. Teman kerja rata-rata sudah berkeluarga. Belum menikah pada usia tersebut menjadikan tekanan tersendiri.

Selama 6 tahun selepas wisuda, saya bekerja dengan segala tekanan finansial dan tekanan sosial "kapan nikah". Barulah pada usia 33 tahun, saya menikah.

Ada yang mengatakan, saya cukup telat menikah pada usia tersebut. Pada usia tersebut, rata-rata teman kuliah saya sudah memiliki keluarga, rumah, dan atau kendaraan. Sedangkan, saya baru memulai semuanya.

Menikah pada usia 33 tahun adalah waktu yang tepat bagi saya. Tidak terlambat, tidak pula terlalu cepat. Saya meyakini adanya "waktu yang tepat" untuk kejadian di dunia ini. Dalam dunia orang Jawa dikenal istilah "sangat". "Sangat" bermakna waktu yang paling tepat terjadinya sesuatu atau melakukan sesuatu.

"Sangat" (waktu yang tepat) bagi saya untuk menikah adalah pada usia 33 tahun tersebut. "Sangat" bagi setiap orang tentu berbeda-beda. Tak bisa kita bandingkan si A sudah melakukan ini pada usia sekian, si B melakukan itu pada usia sekian.

Saya bisa mengambil hikmah dari "menikah pada usia 33 tahun". Bahwa pada usia tersebut, saya merasa lebih stabil secara emosional sehingga konflik rumah tangga yang terjadi relatif lebih mudah diselesaikan.

Pada usia tersebut, saya juga sudah merasa cukup nyaman dengan pekerjaan. Saya memiliki cukup tabungan untuk menikah dan untuk modal awal membangun rumah tangga. Saya merasa sudah cukup mandiri sehingga sehari setelah pesta pernikahan, saya dan istri langsung pindah ke rumah kontrakan.

Membandingkan pencapaian diri dengan pencapaian orang lain adalah sumber kesempitan hati dan pikiran. Saya selalu berusaha fokus pada pencapaian diri--dari masa ke masa--dan fokus menyelesaikan masalah pribadi dibandingkan melihat pencapaian orang lain.

Setiap orang memiliki titik perjuangan masing-masing. Dan titik itulah mestinya mereka fokus berjuang. 




0 komentar:

Post a Comment