Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Monday, March 11, 2013

Orang Miskin Boleh Kuliah

Tingginya biaya kuliah membuat sebagian orang saja yang mampu mencicipinya. Tapi orang miskin boleh kuliah kalau ia mau berjuang dengan sungguh-sungguh

Aku tidak pernah memimpikan untuk kuliah. Aku berasal dari keluarga miskin. Hidup di Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo yang sebagian besar wilayahnya berupa tanah pertanian. Sebagian besar penduduk di kampungku adalah petani. Termasuk kedua orang tuaku.

Kakekku adalah seorang petani yang mempunyai beberapa petak sawah, sedangkan orang tuaku tidak mempunyai sepetak sawah pun. Baru di kemudian hari kakekku mewariskan tanah sawahnya kepada ahli warisnya, termasuk ayahku. Selain membantu mengerjakan sawah kakekku, orang tuaku juga menggarap sawah dengan sistem beli kontrak. Biasanya beli kontrak satu tahun atau beberapa tahun dari orang yang mempunyai sawah yang luas. Tentu penghasilan dari menggarap sawah beli kontrak lebih rendah jika dibandingkan menggarap sawah sendiri.

Biaya di SD tidak terlalu besar sehingga tidak membebani orang tuaku. Sewaktu SD aku termasuk siswa yang pintar. Sering menduduki peringkat satu di kelas. Namun, tidak ada beasiswa untuk prestasi itu. Barulah ketika EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) –sekarang namanya Ujian Nasional– pihak sekolah memberikan hadiah kepadaku berupa beberapa perlengkapan sekolah karena nilai EBTA-ku menduduki peringkat keempat di sekolah.

Aku dari keluarga miskin. Dahulu aku pernah meminta dibelikan sepeda saat masuk SMP. Namun, hal itu tidak pernah dikabulkan oleh orang tuaku. Aku pun harus rela memakai sepeda kakakku yang pernah dipakainya sekolah dulu. Biaya di SMP lebih besar daripada di SD dulu sehingga ayahku pernah datang ke sekolah untuk meminta keringanan dari pihak sekolah. Ayahku mengajukan beasiswa agar tidak terlalu berat membiayai sekolahku. Namun, sepertinya aku tidak berjodoh dengan yang namanya beasiswa. Dengan segala jerih payah, akhirnya orang tuaku pun bisa meluluskan aku.

Sebenarnya sewaktu di SMP prestasi akademikku agak menonjol. Meskipun tidak bisa menduduki peringkat tiga besar, teman-temanku banyak yang meminta bantuan kepadaku jika ada kesulitan memahami pelajaran. Bahkan, saat ujian pun aku menjadi tumpuan harapan bagi mereka. Mungkin karena baik hati dan tidak sombong serta suka menabung (hehe…) sehingga aku mau membantu mereka.

Saat itu aku tidak menganggap penting sebuah nilai. Apalah arti peringkat akademik. Apalah arti angka-angka di raport. Angka yang tinggi dan peringkat tiga besar pun kita tetap membayar biaya sekolah yang sama. Maka, kegairahanku terhadap kegiatan belajar di sekolah mulai berkurang.

Aku mulai berani beralasan sakit agar tidak mengikuti suatu pelajaran yang membosankan. Aku mulai berani membolos. Saat malas berangkat sekolah, aku membolos. Saat pelajarannya sulit dan aku tidak suka mengikutinya, aku membolos. Saat bangun kesiangan, aku membolos. Saat tidak mau mengikuti upacara hari Senin, aku membolos. Rata-rata aku membolos satu minggu sekali. Meskipun begitu, peringkat akademik di kelas aku tetap menduduki sepuluh besar. Dan teman-temanku tetap mengandalkanku saat ada PR atau saat ujian.

Aku adalah orang yang malas belajar di sekolah. Perasaan malas belajar itu sudah berada pada titik didihnya. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan belajar di sekolah. Setelah lulus SMP, tanpa berpikir panjang aku pun melabuhkan langkahku di SMK. Memang ada pilihan untuk masuk ke SMA. Namun, dengan masuk SMA tentu setidaknya aku harus melanjutkan kuliah. Bukankah sulit mencari pekerjaan dengan bermodalkan ijazah SMA.

Aku sadar diri dengan kondisi ekonomi keluargaku. Aku tidak akan kuliah. Lagi pula, aku sudah tidak betah berlama-lama duduk di bangku belajar. SMK adalah pilihan yang tepat. Setelah lulus SMK aku bisa langsung bekerja. Setidaknya lulusan SMK lebih mudah mendapatkan pekerjaan daripada lulusan SMA.

Meskipun saat SMK kebiasaan membolosku sudah berkurang, aku masih saja malas belajar. Untungnya, di SMK pelajaran praktek mempunyai porsi yang besar sehingga aku tidak terlalu dibosankan dengan pelajaran teori di dalam kelas. Prestasi akademikku pun tidak terlalu mengecewakan. Sekali lagi, aku memang tidak menduduki peringkat tiga besar, namun banyak teman-temanku yang mengharapkan uluran tanganku saat ada PR atau saat ujian.

Saat itu aku baru menyadari bahwa dengan nilai raport yang bagus dan menjadi peringkat satu di kelas bisa mendatangkan keuntungan. Teman-temanku yang pintar mendapat beasiswa dari sekolah. Aku sendiri tahu sebagian dari mereka termasuk dari keluarga yang mampu. Mereka mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Sebenarnya aku juga ingin mendapatkan beasiswa, namun kesadaranku untuk hal itu sudah terlambat karena sudah kelas tiga dan mendekati Ujian Nasinal.

Suatu pagi saat matahari hendak beranjak naik, aku datang ke kantor piket untuk meminta surat ijin tidak mengikuti pelajaran karena sakit. Aku sedang tidak benar-benar sakit, hanya pura-pura sakit agar aku bisa pulang karena aku merasa malas sekali waktu itu. Aku ingat waktu itu pelajaran Fisika. Salah satu pelajaran yang menjadi musuh bebuyutanku. Saat SMP aku juga pernah pura-pura sakit sehingga minta ijin istirahat di UKS sewaktu pelajaran Fisika.

Aku mendatangi kantor piket dan mengajukan ijin untuk tidak mengikuti pelajaran. Namun, sepertinya aku tidak pandai berakting sebagai orang sakit. Yang menulis surat ijin di kantor piket saat itu adalah seorang guru wanita. Dia tidak percaya kalau aku sakit –aku memang tidak sakit, kan. Ia pun menasehatiku habis-habisan tentang kedisiplinan, pentingnya rajin belajar, dan bla bla bla. Rasanya pedas sekali dan menohok ke dalam hati.

Guru piket itu mengatakan bahwa dalam dunia kerja itu yang dibutuhkan adalah kedisiplinan. Begitu juga di sekolah. Aku tidak akan menjadi orang pandai kalau tidak disiplin dan tidak rajin belajar. Bahkan, mungkin saja aku tidak akan lulus Ujian Nasional kalau sikapku masih seperti itu. Dicerca habis-habisan seperti itu aku berteriak akan kubuktikan bahwa aku bisa lulus Ujian Nasional dengan nilai terbaik. Tentu teriakan itu hanya bergema dalam hatiku saja.

Setelah selesai memberi wejangan yang pedas kepadaku, guru piket itu pun menulis surat ijin dan memberikannya kepadaku. Meminta surat ijin saja mesti melewati hal seperti itu. Saat aku berikan surat ijin kepada guru Fisika –saat itu guru Fisikanya seorang wanita yang masih agak muda– guru itupun menyindirku dengan kata-kata, “Orang sakit kok wajahnya tetap cerah begitu”. Sekali lagi, aku tidak pandai berakting. Namun, tetap saja aku diperbolehkan pulang.

Begitulah kondisiku sewaktu SMK. Tekadku untuk lulus Ujian Nasional dengan nilai terbaik tetap membara. Saat mendekati Ujian Nasional, aku pun belajar sungguh-sungguh. Lalu Ujian Nasional aku lewati dengan lancar. Biasa-biasa saja. Beberapa hari setelah Ujian Nasional aku bersama teman-temanku langsung berangkat ke Bekasi untuk bekerja di sebuah perusahaan besar. Jadi, aku tidak tahu dengan hasil Ujian Nasional. Bisa dibilang, aku sudah mulai bekerja meski belum lulus dari SMK.

Saat itu aku sedang mengoperasikan sebuah mesin di departemen tempatku bekerja sewaktu nilai Ujian Nasional diumumkan. Jadi, aku tidak tahu siapa yang lulus, siapa yang tidak lulus, siapa mendapat nilai berapa, dan berapa nilaiku. Baru di hari setelahnya seorang temanku memberikan kabar bahwa aku menduduki peringkat kedua di sekolah. Dan satu hal lagi, aku mendapat nilai 10 untuk pelajaran Matematika. Siswa yang mendapat peringkat sepuluh besar dan siswa yang mendapat nilai 10 dipanggil maju saat acara Perpisahan. Hadiahnya berupa beberapa peralatan sekolah dan uang pembayaran SPP selama tiga tahun dikembalikan serta dikalungkan selembar selendang.

Semua itu diceritakan oleh temanku. Saat itu aku beberapa bulan kerja di perusahaan sehingga tidak menghadiri acara Perpisahan. Juga tidak bisa tampil maju untuk diberikan penghargaan. Aku membayangkan tentu orang tuaku sangat bangga jika mereka dan aku bisa hadir dalam acara itu. Aku juga tidak bisa mengambil ijazah. Baru setahun kemudian aku pulang kampung dan mengambil ijazah di sekolah. Soal pengembalian uang SPP selama tiga tahun tadi, aku meminta temanku untuk mengurusnya dan memberikannya kepada orang tuaku.

Dua tahun aku bekerja di perusahaan. Kemudian pulang kampung dan mendirikan toko perlengkapan sekolah di daerahku. Saat itu kondisi ekonomi keluargaku masih di bawah angka kesejahteraan. Maka, orang tuaku merasa kaget saat aku mengatakan bahwa aku akan kuliah. Tentu pikiran mereka bertanya-tanya, dari mana biayanya.

Aku jelaskan bahwa untuk uang masuk kuliah, aku akan menjual sepeda motorku yang dulu aku beli dari hasil kerjaku. Untuk uang SPP nanti akan diusahakan bersama-sama. Untuk uang kebutuhan sehari-hari aku berjanji tidak akan meminta kepada orang tua. Kalau dihitung-hitung kebutuhan sehari-hari untuk kuliah itu juga besar. Seperti untuk membeli kertas atau untuk print tugas. Juga untuk biaya transportasi sehari-hari, untuk iuran kalau ada tugas, dan lain-lain.

Pada awal-awal kuliah memang terasa berat. Rasa-rasanya aku tidak ditakdirkan untuk bisa menyelesaikan kuliah. SPP yang besar membuat aku dan keluargaku kewalahan. Beberapa kali aku meminjam uang kepada temanku untuk membayar kuliah. Rasanya aku tidak bisa melanjutkan lagi. Biaya kuliah terlalu besar bagiku dan keluargaku.

Sebenarnya pada semester tiga aku pernah mengajukan beasiswa PPA. Beasiswa PPA adalah beasiswa untuk mahasiswa berprestasi. Aku sangat mengharapkan untuk mendapatkannya. Nilai IP-ku semester 1 yaitu 3,8 (lumayan tinggi, kan). Aku juga aktif di organisasi kampus. Dengan bekal itu seharusnya aku bisa mendapatkan beasiswa. Namun, saat pengumuman penerima beasiswa PPA ditempelkan, namaku tidak tercantum di sana. Kecewa.

Hatiku menyimpan keheranan mengapa aku tidak mendapatkan beasiswa. Dengan nilai IP setinggi itu mestinya aku termasuk mahasiswa yang mendapatkan beasiswa itu karena beasiswa PPA memang diperuntukkan untuk mahasiswa dengan prestasi akademik yang baik. Aku bertambah heran ketika mengetahui bahwa temanku yang nilai IP-nya lebih rendah dariku malah mendapatkan beasiswa. Saat itu aku merasa hal itu tidak adil.

Saat semester lima aku kembali mengajukan beasiswa. Kali ini beasiswa BBM. Aku sudah kecewa dengan beasiswa PPA sehingga aku beralih ke beasiswa BBM. Beasiswa BBM diperuntukkan untuk mahasiswa yang keluarganya tidak mampu secara ekonomi. Seharusnya aku pantas mendapatkan beasiswa ini. Aku sangat membutuhkannya. Apalagi saat itu panen padi tidak terlalu bisa diharapkan karena ada serangan hama sehingga banyak petani yang merugi, termasuk orang tuaku.

Aku menunggu pengumuman beasiswa BBM dengan harap-harap cemas. Aku harus mendapatkannya. Aku dan keluargaku sudah tidak kuat lagi menanggung biaya kuliah. Aku harus merasa kecewa lagi saat membaca pengumuman para penerima beasiswa. Namaku tidak ada. Kecewa lagi.

Yang membuatku semakin bertambah kecewa yaitu ada teman-temanku yang aku tahu bahwa keluarga mereka mampu, tetapi mereka mendapatkan beasiswa. Bahkan, ada yang orang tuanya PNS, tapi mahasiswa itu mendapatkan beasiswa. Kembali aku merasa tidak mempunyai alasan untuk semangat belajar di bangku kuliah.

Perasaan kecewa itu tidak bertahan lama. Aku berusaha untuk bersikap lapang dada dan berpikiran jernih. Tidak sepantasnya aku berprasangka buruk terhadap sistem penyeleksian beasiswa. Bukankah takdir manusia itu sudah ditentukan. Bukankah rezeki manusia itu sudah tertulis. Orang-orang yang mendapatkan beasiswa itu adalah takdir mereka untuk mendapatkannya. Dan mungkin saja aku tidak mengetahui kriteria penentuan penerima beasiswa. Bukankah sudah menjadi hak panitia penyeleksi untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkannya. Aku pun mulai tenang. Aku mulai tidak mengharapkan beasiswa lagi.

Inilah jalan yang ditunjukkan kepadaku. Meskipun terasa berat, jalan ini aku lalui selangkah demi selangkah. Ketiadaan beasiswa membuat beban kuliah semakin berat. Apalagi orang tuaku juga mengatakan bahwa panen padi sudah tidak bisa diharapkan lagi karena serangan hama semakin merajalela.

Dalam sebuah kesulitan selalu ada beberapa kemudahan. Jika saat itu aku menyerah mungkin saja aku tidak akan pernah bisa menyelesaikan kuliahku. Namun, aku sudah bertekad untuk berjuang. Aku tidak akan mengandalkan orang tuaku. Aku tidak akan mengandalkan bantuan orang lain. Aku tidak akan mengandalkan beasiswa. Aku akan mengandalkan diriku sendiri.

Aku mulai semakin bersemangat dalam mencari rezeki. Aku menjual buku, menjual, menjual pulsa, menjual makanan kecil. Saat itu aku sudah menutup toko perlengkapan sekolah milikku karena aku tidak mempunyai waktu untuk mengelolanya. Hasilnya pun juga tidak terlalu besar. Lalu aku pun mulai merintis usaha percetakan dengan nama AUF DESAIN.

Inilah jalan yang ditunjukkan kepadaku. Aku mulai mulai menapaki jalan bersama AUF DESAIN. Dengan menerima orderan berupa cetak pamflet, sertifikat, stiker, bloknote, undangan pernikahan, dan lainnya, aku mengais rezeki sedikit demi sedikit. Ketidakmampuan dalam ekonomi mendorongku untuk semakin kukuh dalam berjuang untuk mendapatkan rezeki agar aku bisa menyelesaikan kuliah.

Selangkah demi selangkah akhirnya aku berhasil menapaki sisa semester yang harus aku tempuh. Hingga akhirnya penyusunan skripsi dan pendaftaran wisuda. Aku melangkah dan melihat ke belakang. Inilah jalanku. Inilah kehidupanku. Maka aku bersyukur kepada Tuhan atas karunia-Nya.

Aku orang miskin. Aku bisa kuliah.
Orang miskin boleh kuliah.


*Sukoharjo, 11 Maret 2013




Saturday, March 2, 2013

Duka Seribu Tahun


:: PUISI

 

Duka Seribu Tahun

Syairku adalah huruf-huruf yang mati
Membeku dalam hampa asa yang semu

Kisahku adalah rangkaian kata yang tertunduk lesu
Setelah kau terjang dengan ombak janjimu

Dukaku adalah duka seribu tahun
Ketika kau patahkan ranting pohon
Yang dulu pernah kau tanam

Senyumku adalah senyum pilu
Yang merajut bersama tangis sendu

Jika mentari esok bersinar
Kan hilang jua embun yang menyelimuti hati
Kan sirna jua bau wangi tubuhmu
Kan lenyap jua jejak langkahmu

* 11 September 2012 

***


Nyanyian Langit Malam

Sementara itu
Langit sudah bersih dari awan
kemudian muncul bintang-bintang
Dan rembulan
Namun,
Langit tak seindah dulu
Saat kaku ada di sampingku
* 16 Oktober 2012

***


Pohon Kering

Aku memandang pohon kering yang tertiup angin
Lalu satu per satu rantingnya patah

Esok, batang itu juga kan tumbang
Menyisakan akar yang rapuh
Hingga ia terlupakan  

* 16 Oktober 2012

***

Ijinkan Aku Menikmati Luka Hati

:: PUISI


Di hadapanmu
Aku seperti anak remaja
Yang merengek cinta
Dan memohon kasih

Tapi apa daya
Diri ini tak mampu membendungnya
Jika bisa perasaaan ini kucerabut
Dan kuterbangkan bersama angin malam
Tapi apa daya

Jika rasa ini bisa kupangkas
Dan kutenggelamkan ke dasar samudera
Tapi apa daya

Orang bilang
Cinta tak mengenal kasta
Tak mengenal usia
Kedudukan atau rupa
Aku bilang, benarlah itu
Setidaknya bagi diriku

Orang bilang
Cinta itu buta
Aku bilang, cinta itu membuka mata

Aku bukanlah Qais
Yang menciumi dinding-dinding rumah Layla
Hingga ketika kerinduan semakin memuncak
Pertemuan dengan Layla
Membuatnya Qais gila
Aku bukan Majnun itu

Aku juga bukan unta di padang sahara
Atau batu kerikil di jalanan
Aku punya rasa

Suatu hari nanti
Akan jelas arah
Kemana rasa ini akan berlabuh

Namun, saat ini
Ijinkan aku menikmati luka hati
Meresapi duka dan gelisah
Sejenak saja
 

***
* 4 September 2012 


Daun Kering


:: Cerpen


Aku bermimpi melihat keranda mayat. Aku juga melihat sesosok tubuh terbujur kaku berpakaian kemeja kotak-kotak warna coklat. Wajahnya memang tidak jelas jadi aku tidak tahu dia. Tapi kemeja kotak-kotak itu aku tahu pemiliknya. Ahmad pemilik kemeja itu.

Jika hanya sekali memimpikan itu tentu aku akan menganggapnya angin lalu saja. Namun, dalam satu minggu ini aku sudah bermimpi seperti itu tiga kali. Tiga kali mimpi yang sama. Maka aku mengambil kesimpulan bahwa teman baikku itu akan segera meninggalkan dunia ini.

Aku merasa sedih. Ahmad adalah teman yang baik. Dia banyak membantuku. Jika aku ada tugas kuliah yang membuat pusing kepala, aku datang kepadanya. dia selalu baik kepadaku. Maka, mimpiku yang berulang tiga kali menyita pikiranku. Apalagi jika aku sedang berada di dekatnya. Aku melihat wajahnya pucat. Seperti mayat. Hatiku sedih, namun aku berkata pada diriku bahwa tidak akan terjadi apa-apa padanya.

“Mad, kalau aku ada salah, aku minta maaf ya.”
Aku melihat wajah pucatnya terhenyak.

“Apa maksudmu?” kata Ahmad.
“Misalnya aku ada salah, aku minta maaf, begitu,” kataku.
“Kamu ini aneh. Tidak biasanya ngomongin seperti ini. Kayak mau pergi jauh saja.”

Iya, benar, Ahmad. Akan ada yang pergi jauh. Yaitu dirimu. Aku berkata dalam hati. Kembali kesedihan menyelimutiku. Sepertinya aku tidak tega jika teman baikku ini meninggal dalam usia muda.

Minggu pagi, waktunya lari pagi. Aku mencari celana olahragaku tapi belum ketemu juga. Seisi lemari sudah aku bolak-balik. Belum ketemu juga. Setelah beberapa saat, aku menyerah untuk mencarinya. Kemudian aku teringat sebuah kardus besar di bawah tempat tidur. Biasanya di situ aku menempatkan pakaian lama yang sudah tidak kupakai. Mungkin saja celanaku di situ.

Benar saja. Celanaku berada di dalam kardus pada tumpukan paling atas. Aku sudah tidak ingat kapan aku menaruh celana ini di dalam kardus itu. Aku mengambilnya dan aku mengibaskannya. Kotor dan berdebu. Tidak bisa kupakai. Sepertinya aku harus melupakan acara lari pagi. Sebagai gantinya, aku jalan-jalan saja.

Aku letakkan kembali celana itu ke dalam kardus. Kain warna coklat di dalam kardus menarik perhatianku. Lalu aku mengambilnya. Ya, ampun. Aku kaget. Ini adalah kemeja kotak-kotaknya Ahmad. Ternyata aku lupa mengembalikan kemeja ini kepadanya. Aku jadi teringat kembali dengan sahabatku itu. Aku punya firasat kuat bahwa aku akan berpisah dengannya. Kasihan Ahmad. Padahal umurnya masih muda.

Suasana gor olahraga ramai. Orang-orang terlihat asyik dengan olahraganya masing-masing. Ada juga yang asyik menikmati sarapan di pinggir-pinggir jalan di depan gor. Kendaraan lalu lalang di jalan. Ini adalah Minggu yang ramai.

Aku melihat Ahmad di depan gor. Ia sedang memainkan bola basket. Napasnya tampak terengah-engah. Namun, tetap saja wajah terlihat pucat seperti mayat. Ia melambai kepadaku. Kubalas lambaian itu lalu aku segera menuju ke sana.

Aku menyeberang jalan. Aku tidak tahu berapa lama lagi waktuku untuk bisa bertemu sehabatku itu. Aku ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin yang aku bisa sebelum ia pergi. Oh, Ahmad, sahabatku yang baik.

Aku dikagetkan oleh suara decit melengking yang panjang dari arah kanan. Lalu tiba-tiba saja sebuah mobil sudah berada di depan pandanganku.

Yang kulihat setelah itu adalah orang-orang banyak yang berlari ke arahku. Aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba telentang di tengah jalan. Dari kejauhan aku melihat Ahmad berlari sambil mulutnya mengisyaratkan teriakan. Namun, suaranya tidak terdengar olehku. Perlahan-lahan Ahmad terlihat mengecil dan menjauh. Menjauh semakin menjauh. Menjauh meninggalkan gelap dalam pandanganku.


 

*Sukoharjo, 3 Maret 2013