Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Thursday, June 30, 2016

Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Region Jateng & DIY, 17-26 Juni 2016, di Indoluxe Hotel Jogjakarta

  Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Region Jateng & DIY

Sore itu langit mendung saat aku menghadiri acara buka puasa bersama di sekolah tempatku mengajar. Setelah salat Magrib, sebuah pesan masuk melalui Whatsapp. Pesan yang membuat keningku berkerut. Bahwa esok siang aku harus berangkat ke Jogja mengikuti pelatihan selama 10 hari. Lalu aku konfirmasi kepada kepala sekolah. Iya, memang benar, besok aku harus berangkat. Aku kaget dan terkejut.

Malamnya aku menyiapkan perbekalan pakaian. Duh sialnya, beberapa hari ini aku belum mencuci pakaian. Jadi, stok pakaian bersihku menipis. Malam itu juga beberapa pakaian aku cuci. Paginya masih belum kering benar, lalu kuseterika. Biarlah, yang penting bisa dipakai. Ahaa...

Pagi itu aku menyeterika beberapa pakaian, menyiapkan semua perlengkapan sendiri. Agak repot memang. Kalau keadaan seperti ini, aku baru menyadari betapa nggak enaknya jadi jomblo. Duh, Gusti...

Kegiatan yang harus aku ikuti ini bertajuk “Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Region Jateng & DIY”. Nama pelatihannya keren bingitz, kan. Tapi, aku malah ragu: kok aku bisa ikut kegiatan ini, ya. 



Kumpulan orang-orang yang keget dan terkejut
Beberapa kali aku mengikuti pelatihan di hotel. Namun, baru kali ini selama 10 hari. Pelatihan ini bertempat di Indoluxe Hotel Jogjakarta. Lalu aku searching di Google penampakan hotel ini. Wow, ada kolam renangnya di lantai paling atas.

Setelah acara dibuka, aku bertemu dengan orang-orang yang memiliki persamaan denganku. Sebagaimana diriku, mereka juga guru Bahasa Indonesia dan mereka juga kaget dan terkejut terpilih mengikuti pelatihan ini. Jadi, kami adalah kumpulan orang-orang yang kaget dan terkejut.

Aku tidak akan menceritakan materi atau modul modul yang harus dipelajari peserta. Kalau aku menceritakannya akan membutuhkan waktu 10 hari dan harus menyiapkan laptop serta modem dengan akses internet yang cepat. Laptop dan modem itu digunakan untuk pembelajaran daring yang kalau tidak paham langkah-langkahnya atau dilalah akses internetnya mogok, bisa-bisa bikin otak jadi miring. Untungnya, di sela-sela materi ada ice breaking yang cukup menghibur. Berikut ini salah satu cuplikan rekaman video permainan ice breaking.



Pada kesempatan kali ini, aku akan menuliskan beberapa hal yang menurutku berkesan. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan alur cerita, itu memang disengaja.

Muda, Imut, Pendiam, dan Pemalu

Aku ini lelaki pendiam dan pemalu. Begitulah, mau bagaimana lagi. Di pelatihan ini aku merasa sebagai orang yang paling muda. Hampir semua yang hadir ialah guru-guru berpengalaman. Maksudku “berpengalaman” itu ialah usianya jauh di atasku.

Pada awal sesi saat ditanyakan apa yang ingin kudapatkan selama mengikuti pelatihan ini, aku jawab: aku ingin mendapatkan jodoh ingin banyak belajar dari para sesepuh pelaku pendidikan yang sudah banyak pengalaman. Aku menyadari bahwa aku minim pengalaman dalam dunia pendidikan.

Selama pelatihan aku memang banyak diam. Berbiacara kalau ada perlu saja. Ada beberapa alasan mengapa aku tidak banyak bicara.
Pertama, aku merasa sebagai yang paling muda sehingga merasa kurang pantas dan kurang beradab jika aku banyak bicara. Tidak semua pendapat harus aku utarakan. Aku harus menuggu orang-orang yang lebih tua untuk berbicara terlebih dahulu. Begitulah pandanganku.

Kedua, aku memang kurang berpengalaman dalam dunia pendidikan. Aku memang unggul dalam dunia IT tapi kalah jauh dari guru-guru lain dalam soal pendidikan dan pengalaman mengajar. Jadi, aku tak mau sembarangan bicara.

Ketiga, ini sebenarnya alasan yang paling utama, yaitu aku mengantuk. Sesi pelatihan padat hingga malam hari. Badan terasa capek. Belum lagi jika malam hari tidurnya agak larut karena mengerjakan tugas atau karena sedang kangen kamu, eh, maksudku sedang kangen suasana di rumah. Jadinya, siang hari aku merasa mengantuk.

Wajahku yang tampak muda sepertinya menguntungkan diriku. Semuanya bersikap baik kepadaku. Mungkin aku adalah sejenis kaum muda dan lemah yang perlu mendapatkan perlindungan dan pengayoman. Hahaha.... Beberapa berkomentar bahwa aku seusia dengan anak mereka. Ada yang menyangka aku masih kuliah. Ada yang berkata aku masih patut menjadi pelajar SMA. Duh, Gusti... Saat kembali ke kamar, aku pun segera berkaca.

Ada dialog seperti ini di sebuah meja pada sesi malam hari.
“Mas Krisna usianya berapa?” tanya seorang ibu.
“** tahun,” jawabku. Maaf, usiaku aku sensor. Hehe...
“Lha, masa? Kok masih keliatan imut begitu ya?”
“Ya, beginilah,” kataku.

Sebelum bertanya usiaku, mestinya mereka membaca tulisan berikut ini terlebih dahulu: Sudah cukup! Jangan tanya usiaku lagi!

Sunrise yang Menawan di Balik Jendela
 

Bagiku, hal yang berkesan menginap di hotel ini ialah pemandangannya. Aku mendapat kamar di lantai 10. Jendela kamarku menghadap ke utara. Aku memiliki pandangan yang luas ke arah utara dan timur. Dari balik jendela, aku bisa melihat denyut kehidupan kota Jogja. Juga gunung Merapi dan Merbabu yang tampak dekat sekali, sedang gunung Lawu tampat berdiri di kejauhan.

Pagi adalah waktu yang istimewa. Sunrise adalah waktu-waktu yang kutunggu-tunggu. Dari balik gunung Lawu, matahari akan muncul lalu perlahan-lahan tampak cahaya kemerahan di ufuk, sedang di balik gunung masih gelap dengan lampu-lampu yang menyala kelap-kelip.

Langit Jogja yang kelabu dengan arakan awan terlihat begitu memesona. Apalagi jika memandangnya dari lantai 19. Awan-awan itu terasa dekat. Ada satu peristiwa yang menarik, yaitu penampakan naga di antara awan di atas hotel. Ada salah satu peserta yang merekamnya. Mau lihat?
Baca selengkapnya di sini.



http://www.sukrisnosantoso.com/2016/06/sunrise-yang-menawan-di-balik-jendela.html


Lumpuk-lumpuk

Jika pagi menjadi waktu yang istimewa karena ada sunrise yang menawan, lalu bagaimana dengan senja? Adakah sunset yang memesona? Aku tak sempat memperhatikan langit barat karena pada sore ada kegiatan yang penting dan tidak boleh ditinggalkan. Kegiatan itu adalah lumpuk-lumpuk. Entah siapa yang mengucapkan kata itu pertama kali.

Apakah lumpuk-lumpuk itu?

Baca selengkapnya di sini. 

http://www.sukrisnosantoso.com/2016/06/lumpuk-lumpuk-kegiatan-fenomenal-selama.html


Kaos Instruktur Nasional Guru Pembelajar

Peserta pelatihan di kelasku, kelas D, berjumlah 31 orang. Dan semuanya kompak untuk membuat kaos seragam. Segera saja aku mendesain kaos, dan pada hari Selasa itu kami memesan kaos di daerah Prambanan. Kaos itu jadi pada hari Jumat sore dan kami pakai pada acara penutupan. Peserta dari kelas lain merasa pengin juga punya kaos itu karena memang kami tampak kompak dan gagah mengenakan kaos itu.

Aku pun suka dengan kaos itu. Suka sekali. Ada tulisan “Instruktur Nasional Guru Pembelajar” di punggung kaos itu. Keren. Aku membayangkan: tentu tingkat kegantenganku bertambah beberapa persen ketika mengenakan kaos itu. Dan, siapa tahu dengan mengenakan kaos itu aku bisa memikat hati calon mertua. Ahai.... 




Berenang di Kolam Renang Tertinggi di Jogja

Sewaktu diberitahu oleh Mr. Google bahwa ada kolam renang di lantai paling atas hotel Indoluxe, aku menyiapkan pakaian renang dan kacamata renang. Aku suka berenang. Biasanya aku berenang di Pemandian Pengging, Boyolali atau di Umbul Ponggok, Klaten. Aku harus berenang di kolam renang hotel ini. Apalagi dalam tagline-nya dikatakan bahwa kolam renang ini adalah kolam renang tertinggi di Jogja.

Waktu pelatihan yang padat menyisakan sedikit waktu untuk istirahat. Untuk bisa berenang, aku harus mencari waktu yang tepat, dan itu tidak mudah. Siang hari aku tidak bisa mengagendakan waktu untuk berenang karena waktu istirahatnya sebentar. Sore hari jelas tidak bisa karena sesi sore berakhir menjelang waktu berbuka puasa. Malam hari? Kolam renang itu tutup pukul 21.00 WIB, sedangkan malam hari masih ada sesi meskipun lebih santai. Jadi, waktu yang tersisa ialah pagi hari. Itu pun aku harus bisa mengalahkan rasa kantuk dan malas terlebih dahulu.
Baca selengkapnya di sini.


http://www.sukrisnosantoso.com/2016/06/berenang-di-kolam-renang-tertinggi-di.html

Menikmati Musik Calung di Malioboro

Malam terakhir pelatihan, bersama 3 orang lainnya, aku jalan-jalan ke Malioboro. Entah sudah berapa kali aku ke Malioboro. Biasanya di Malioro aku hanya jalan-jalan melihat-lihat dagangan. Aku jarang membeli sesuatu di Malioboro, paling cuma makanan oleh-oleh atau souvenir ringan.

Kali ini pun sama, aku hanya membeli sebuah souvenir kecil: gantungan kunci dengan bandul huruf S. Iya, S. Selain itu, aku hanya melihat-lihat saja. Dan pemandangan yang menarik ialah pertunjukan musik calung. Malam itu ada empat kelompok pemusik calung yang sedang bermain. Suara musik calung itu khas. Sangat menyenangkan mendengarkannya.
Baca selengkapnya di sini. 


http://www.sukrisnosantoso.com/2016/06/menikmati-musik-calung-di-malioboro.html
 
Menyanyikan Lagu Himne Bahasa Indonesia

Ternyata ada lagu Himne Bahasa Indonesia. Aku baru tahu. Dan memang hymne ini belum lama diciptakan. Kebetulan kelasku kebagian menyanyikan Himne Bahasa Indonesia ini pada saat penutupan kegiatan pelatihan. Tak ayal, dari dalam kelasku sering terdengar suara latihan menyanyi lagu ini. Mungkin peserta kelas lain membatin bahwa kelasku sering menyanyi.

Lagu Himne Bahasa Indonesia berhasil kami nyanyikan dengan baik. Tepuk tangan hadirin yang meriah mengapresiasi nyanyian kami. Mau tahu lagu Himne Bahasa Indonesia?
Baca selengkapnya di sini. 


http://www.sukrisnosantoso.com/2016/06/lagu-himne-bahasa-indonesia.html
 
Pulang

Jika ada hal yang paling ditunggu-tunggu saat pelatihan itu adalah acara penutupan. Setelah penutupan tentu saja pulang. Kami berangkat kan hanya untuk pulang. Hehe...

Banyak hal yang aku dapatkan selama pelatihan. Selain, dari materi yang diajarkan, aku juga mendapatkan banyak pelajaran dari interaksi dengan guru-guru lain. Semoga apa yang aku dapatkan di pelatihan ini bisa bermanfaat.

***
(Sukoharjo, 27 Juni 2016)

~ Galeri Foto ~

Narasumber, Pak Basyar, mau nyalip Rossi
Narasumber, Bu Lucy, akhirnya kesampaian main kapal-kapalan
Pak Lurah kelas D, Pak Daldiri
Khusyu mendengarkan materi
Ayo moda daring
Diduga karena stres praktik moda daring, para peserta pelatihan lari ke Taman Pelangi Monjali
Jalan-jalan dulu biar sehat jasmani dan rohani
Moda daring... lagi
Moda daring... lagi... sampai pusing tujuh keliling ling ling ...



Lagu Himne Bahasa Indonesia


Ternyata ada lagu "Himne Bahasa Indonesia". Aku baru tahu. Kebetulan kelasku kebagian menyanyikan Himne Bahasa Indonesia ini pada saat penutupan kegiatan Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia di Indoluxe Hotel Jogjakarta. Tak ayal, dari dalam kelasku sering terdengar suara latihan menyanyi lagu ini. Mungkin peserta kelas lain membatin bahwa kelasku sering menyanyi.

Kami latihan beberapa kali untuk mematangkan pentas paduan suara. Kami berlatih agar lebih kompak dan lebih hafal dengan lirik lagunya. Bahkan, kami membuat kaos seragam agar saat tampil nanti terlihat bagus. Dasarnya di kelas kami banyak yang suka nyanyi –bahkan, kelompokku adalah kelompok penyanyi karena banyak yang pinter nyanyi-- jadi kami tak terlalu kesulitan berlatih paduan suara.

Pukul 09.00 acara penutupan dimulai. Setelah pembukaan, setiap kelas diminta menampilkan yel-yel terlebih dahulu. Dan kelasku terlihat yang paling kompak dan paling keras suaranya. Mungkin ini efek lumpuk-lumpuk yang sukses pas sahur tadi sehingga punya tenaga yang cukup untuk berteriak.

Selanjutnya, kami maju menyanyikan lagu "Himne Bahasa Indonesia". Menurutku, kami tampil dengan baik. Tidak ada kesalahan yang berarti dan saat paduan suara selesai, peserta pelatihan memberikan tepuk tangan yang meriah.

Sayang sekali aku belum mendapatkan rekaman video saat kami menyanyikan "Himne Bahasa Indonesia" tersebut. Sebagai gantinya, berikut ini video lagu "Himne Bahasa Indonesia" dari Youtube. 



Berikut ini lirik lagu Himne Bahasa Indonesia.


Himne Bahasa Indonesia


Terpujilah Tuhan Maha Kuasa
Tlah Kau ciptakan Indonesia Raya
Negeri yang indah penuh pesona
Bangsa yang ramah peduli bahasa
 

Wahai bangsaku cintai negeriku
Satu bangsa satu bahasaku
Jadikan sebagai jati dirimu
Meski berbeda tetap bersatu

Bangsaku… Berjaya…
Peduli bahasa dalam kemajuan..
Cintailah… syukurilah…
Bahasa Indonesia anugerah Tuhan

Wahai bangsaku cintai negeriku
Satu bangsa satu bahasaku
Jadikan sebagai jati dirimu
Meski berbeda tetap bersatu

Bangsaku… Berjaya…
Peduli bahasa dalam kemajuan
Lestarilah… abadilah...
Satu bahasaku jaya Indonesia
Satu bahasaku jaya Indonesia


###


Download file mp3 lagu Himne Bahasa Indonesia



***
(Sukoharjo, 30 Juni 2016)



Menikmati Musik Calung di Malioboro, Yogyakarta


Menikmati Musik Calung di Malioboro, Yogyakarta

Pada malam terakhir Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia di Indoluxe Hotel Jogjakarta, aku jalan-jalan ke Malioboro bersama 3 orang lainnya. Malam terakhir semestinya kami memang memanfaatkan waktu buat jalan-jalan. Kebetulan sedang tidak ada sesi materi. Materi terakhir terselesaikan pada sesi sore tadi.

Entah sudah berapa kali aku ke Malioboro. Puluhan kali. Sewaktu menjadi pelajar SMK dulu, aku magang di salah satu perusahaan di Jalan Magelang yang letaknya hanya selemparan batu dari Malioboro sehingga jika waktu luang, aku bersama teman-temanku akan jalan-jalan ke Malioboro. Setiap main ke Jogja seringnya juga mampir ke Malioboro.

Biasanya di Malioboro aku hanya jalan-jalan melihat-lihat dagangan. Aku jarang membeli banyak barang di Malioboro, paling cuma makanan oleh-oleh atau souvenir ringan. Melihat orang berlalu lalang dan melihat-lihat dagangan serta beberapa karya seni yang terpajang di ujung selatan Malioboro sudah cukup membuatku senang. 


Dan hanya aku yang jomblo
Jika ada hal yang kurang mengenakkan saat jalan-jalan di Malioboro yaitu padatnya jalan. Jika malam Minggu, sangat susah mencari tempat parkir di sepanjang jalan. Berjalan kaki menyusuri ruas jalan pun terasa susah karena ruas jalan penuh sesak dengan pengunjung. Tak jarang, kita harus berdesakan dan membelah rapatnya kumpulan orang untuk bisa berjalan.

Kali ini, ada yang tampak berbeda dari Malioboro. Sepanjang jalan Malioboro tidak ada sepeda motor yang terparkir yang biasanya menyesakinya. Pinggir jalan dan trotoar bersih dari kendaraan. Kendaraan yang masih boleh berada di sana hanyalah andong sebagai angkutan pariwisata. Pemda telah melakukan penataan parkir. Sekarang parkir sepeda motor berada di ujung utara Jalan Malioboro, persis sebelah timur Stasiun Tugu.


Perhatikan tangan dua orang di tengah yang selalu bergandengan. : D
Salah satu kekhasan Malioboro yaitu pentas musik calung, khususnya pada malam Minggu. Di Jogja memang berkembang musik calung. Kadang di pinggir jalan, di dekat lampu lalu lintas, kita bisa menyaksikan sekelompok orang yang “ngamen” musik calung. Saya sungguh menikmati suguhan orang yang “ngamen” jenis ini. Musiknya enak didengar dan menghibur.

Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). (https://id.wikipedia.org/wiki/Calung)

Malam Minggu ini ada empat kelompok pemusik calung yang sedang pentas. Kami berjalan-jalan, setelah memarkir kendaraan di depan Benteng Vandenburg. Beberapa karya seni dari barang bekas menarik perhatian kami. Tak lupa kami berfoto-foto. Para pedagang di sepanjang ruas jalan yang menawarkan barang dagangannya kami balas hanya dengan senyum dan gerakan tangan tanda penolakan. Sepertinya memang tak ada dari kami yang berniat berbelanja kali ini.

Kami berhenti setiap menjumpai pemusik calung yang sedang beraksi. Mereka membawakan aransemen beberapa lagu: lagu tradisional atau lagu modern; lagu lama atau lagu baru. Dalam permainan musik calung, tidak ada penyanyinya. Jadi, ini murni pertunjukan permainan alat musik.


Cuplikan rekaman musik calung yang menyajikan aransemen lagu Manuk Dadali

Kami berhenti agak lama di pentas musik calung yang paling utara. Para pemusik itu terlihat masih muda-muda. Mungkin mereka para mahasiswa, pikirku. Mungkin mahasiswa ISI Jogja yang kampusnya terletak di Jalan Parangtritis, tak terlalu jauh dari sini. Kami duduk-duduk di bibir taman depan mall: menikmati musik calung sambil melihat-lihat orang-orang lewat. Beberapa dari mereka berhenti sejenak untuk mengulurkan uang ke dalam kotak.

Udara malam tak terlalu dingin, dan ramainya Malioboro mampu menghangatkan suasana. Sekotak es krim menambah kenikmatan malam Minggu. Hingga waktu beranjak malam dan kami memutuskan untuk pulang. 




Naik andong dulu biar kayak turis kekinian
Sebelum pulang, ada usul untuk naik andong ke tempat parkir karena parkir kendaraan lumayan jauh dari tempat kami terakhir berhenti. Jadilah kami naik andong ke tempat parkir, namun sebelumnya oleh pak kusir, andong diubeng-ubengkan dulu ke alun-alun utara.

Saat hendak memasuki area parkir, aku menyempatkan membeli sebuah souvenir kecil: gantungan kunci dengan bandul huruf S. Iya, S.

Dan kami pun kembali ke hotel dalam keadaan lapar. “Makan dulu, ya,” ajak salah seorang dari kami yang segera kami iyakan.


*** 

(Sukoharjo, 30 Juini 2016)

~ S ~


Tuesday, June 28, 2016

Berenang di Kolam Renang Tertinggi di Jogja


Indoluxe Hotel Jogjakarta menjadi tempat Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia yang aku ikuti. Aku segera bertanya kepada Mr. Google bagaimana penampakan hotel tersebut. Mr. Google memberitahukan bahwa hotel tersebut cukup megah. Wow, ada kolam renang di lantai teratas. Asyik nih, bisa berenang di sana.

Aku suka berenang. Biasanya aku berenang di Umbul Ponggok, Klaten yang terdapat banyak ikan hias di dalamnya dan airnya sangat dingin jika di pagi hari
karena berasal dari mata air alam. Atau juga di Pemandian Pengging, Boyolali yang airnya juga tak kalah dingin. Biasanya sih bareng teman-teman. Tapi, tak jarang pula aku berangkat sendirian ke Pengging atau ke Ponggok.

Selama pelatihan, aku harus berenang di kolam renang hotel ini, setidaknya sekali. Apalagi dalam tagline-nya dikatakan bahwa kolam renang ini adalah kolam renang tertinggi di Jogja. Saat packing, aku pun menyiapkan pakaian renang dan kacamata renang.

Waktu luang saat pelatihan aku gunakan untuk melihat-lihat ke kolam renang. Di lantai teratas, lantai 19, memang terdapat kolam renang yang cukup lebar. Ukurannya sekitar 10 x 15 meter dengan kedalaman 130 cm. Tidak terlalu dalam memang. Aku maklum, tentu dengan pertimbangan safety. Aku pun meniatkan diri sesekali harus berenang di kolam renang ini. 




Waktu pelatihan yang padat menyisakan sedikit waktu untuk istirahat. Untuk bisa berenang, aku harus mencari waktu yang tepat, dan itu tidak mudah. Siang hari aku tidak bisa mengagendakan waktu untuk berenang karena waktu istirahatnya sebentar. Sore hari jelas tidak bisa karena sesi sore berakhir menjelang waktu berbuka puasa dan ada kewajiban lumpuk-lumpuk yang tak boleh ditinggalkan

Bagaimana kalau malam hari? Kolam renang itu tutup pukul 21.00 WIB, sedangkan malam hari masih ada sesi meskipun lebih santai. Jadi, waktu yang tersisa ialah pagi hari. Itu pun aku harus bisa mengalahkan rasa kantuk dan malas terlebih dahulu.

Pada hari ke-6 pelatihan, saat itu pagi hari yang agak mendung. Pukul 05.00 aku naik ke lantai 19 untuk menanti matahari bangun. Sunrise yang menawan pun menjadi suguhan pagi itu. Saat itu ada beberapa orang yang juga berada di lantai 19 untuk menikmati sunrise. Setelah itu aku pun kembali ke kamar.

Pukul 07.00 aku kembali naik ke lantai 19. Tentu sudah dengan perlengkapan renang. Kepada seorang petugas, aku bertanya apakah kolam renangnya bisa dipakai. “Bisa, Pak. Silakan,” katanya, “nanti saya ambilkan handuknya.”




Segera saja aku salin pakaian. Air kolam tampak bening, lantai bawah yang berwarna biru cerah membuat kolam renang itu terlihat biru dari atas. Pertama-tama aku memasukkan kakiku ke kolam. Menjajal suhu air. Airnya tak dingin, justru lebih terasa dingin saat di kamar dengan AC yang menjaga suhu kamar di antara 22-24 derajat Celcius. Air di kolam renang justru terasa lebih hangat. Dan bau kaporitnya tidak terlalu terasa. Tak lama kemudian aku sudah nyemplung di kolam renang itu.

Aku pun berenang muter-muter sendirian. Persis kayak kecebong jomblo yang lagi patah hati. Hahaha.... 




Asyiknya berenang di kolam renang tertinggi di Jogja ini ialah kita bisa melihat lalu-lalang orang di bawah. Kita juga bisa melihat pemandangan yang indah. Sesekali aku berhenti istirahat, melihat-lihat pemandangan atau melihat-lihat gedung-gedung dan jalanan serta kendaraan yang melaju bersalipan.

Aku berenang dengan gaya katak, mengitari kolam renang sebanyak lima kali. Setelah istirahat sejenak, aku pun mentas karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.30. Aku harus segera mandi dan menyiapkan diri untuk sesi materi pagi pukul 08.00.

Demikianlah, akhirnya kesampaian juga bisa berenang di kolam renang tertinggi di Jogja.



***
(Sukoharjo, 28 Juni 2016)



Monday, June 27, 2016

Lumpuk-lumpuk: Kegiatan Fenomenal Selama Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia


Selama Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia di Indoluxe Hotel Jogjakarta, pagi menjadi waktu yang istimewa karena ada sunrise yang menawan di ufuk timur. Lalu bagaimana dengan senja? Adakah sunset yang memesona? Saat senja, aku tak sempat memperhatikan langit barat karena pada sore ada kegiatan yang penting dan tidak boleh ditinggalkan. Kegiatan itu adalah lumpuk-lumpuk.

Apakah lumpuk-lumpuk itu?
Entah siapa yang mengucapkan kata itu pertama kali. Lumpuk-lumpuk dalam bahasa Indonesia berarti ‘mengumpulkan’. Lumpuk-lumpuk ialah kegiatan meramu makanan guna mencukupi keinginan untuk merasakan kenikmatan saat berbuka puasa. Lumpuk-lumpuk merupakan sesi yang paling ditunggu-tunggu selama pelatihan berlangsung.

Saat sesi materi pagi, muka masih kelihatan mengantuk. Jika siang, wajah pun mulai layu karena lapar sudah mendera. Setelah Asar, wajah semakin layu, semangat sudah pupus, mungkin pula badan sudah gemetaran. Mendekati akhir sesi sore, dipastikan wajah mulai berbinar, sorot mata menjadi tajam, semangat membara. Tak lain tak bukan karena sudah akan mendekati aktivitas lumpuk-lumpuk.

Menu makanan di hotel dihidangkan secara prasmanan. Peserta pelatihan bisa mengambil makanan sesuka hati mereka. Mulai dari buah, minuman yang dingin: es kopyor, es buah, dan jus buah, minuman yang panas: teh dan kopi, kudapan: yang kering dan yang basah, serta makanan utama: menu Barat atau menu Timur.



Jadi, inilah proses meramu makanan, mengumpulkan makanan yang disuka. Pertama-tama, ambil dahulu minuman, kudapan, dan buah. Biasanya aku mengambil teh hangat dan 1 atau 2 kudapan basah, dan irisan buah. Pepaya yang paling kusuka, kemudian melon. Ketiga jenis makanan/minuman itu pun ditaruh di meja terlebih dahulu, kemudian kembali lumpuk-lumpuk makanan yang lain.

Aku akan mengambil jus buah jambu dalam gelas kecil, kemudian menuju ke hidangan utama. Aku akan melihat terlebih dahulu sayur dan lauknya, lebih cocok yang mana. Kesukaanku tentu sayuran hijau, tapi sayang menu sayuran hijau jarang dihidangkan. Untuk lauk, aku suka olahan daging sapi dan ikan. Dan yang tak boleh ketinggalan ialah kerupuk. Dari semua jenis makanan, kerupuk ialah salah satu makanan yang tidak boleh ketinggalan. Makan tanpa kerupuk itu bagaikan mandi tanpa air. Lhoh.

Setelah proses meramu selesai, makanan/minuman itu pun aku tata di atas meja. Melihat jerih payah hasil proses lumpuk-lumpuk itu, aku merasa lebih tampan berkali lipat. Ahaha...
Lalu, dimulailah santap buka puasa dengan tenang, khusyu, dan penuh penghayatan.

Oya, kopi hitam. Kopi menjadi minuman yang tak boleh ketinggalan pula. Tapi, aku akan menikmati kopi saat malam, pukul 19.00 ke atas. Aku akan menyeduh kopi yang sudah disediakan di dalam kamar.





Selama 10 hari begitulah proses lumpuk-lumpuk berjalan dengan tertib, aman, terkendali, dan sesuai undang-undang yang berlaku. Begitu juga dengan waktu sahur. Tapi, karena saat sahur kondisi badan masih lemas dan mengantuk, jadi proses lumpuk-lumpuk tak se-fenomenal saat buka puasa.

Berbagai olahan masakan yang disajikan memang menggoda selera. Apalagi memakannya saat perut dalam keadaan lapar, tentu nikmatnya menjadi berlipat. Namun, aku merasakan ada sesuatu yang kurang. Ada sesuatu yang kurang, apakah itu, pikirku berulang-ulang.

Dengan begitu melimpahnya makanan, mengapa masih ada sesuatu yang kurang. Aku pun merenung, apakah sesuatu yang kurang itu?

Setelah perenungan yang mendalam sampai pada taraf mengantuk tak terkendali, aku pun mendapatkan pencerahan. Aku membandingkan hidangan hotel dengan masakan ibuku di rumah. Secara kuantitas, masakan ibu yang sederhana tak bisa dibandingkan dengan melimpahnya hidangan di hotel. Namun, aku merasa masakan ibuku lebih enak. Meski sayur yang dimasak sederhana, lauknya tak beragam, dan cenderung itu-itu saja.

Aku berpikir, masakan ibu terasa enak mungkin karena proses memasaknya dilandasi dengan cinta kepada keluarga. Masakan itu adalah wujud perhatian, tanggung jawab, dan cinta kepada keluarga. Itulah yang membuat masakan ibu terasa lebih enak. Bagi yang sudah berkeluarga, tentu masakan istri adalah segalanya.

Ngomong-ngomong soal masakan, hai, apakah kamu bisa masak? Iya, kamu, jodohku yang masih menunggu. Akankah masakan kamu keasinan? Ataukah malah hambar? Kamu tahu kalau aku suka makanan pedas? Oke, skip bagian nggak jelas ini.

Kopi. Begitu juga dengan kopi. Aku merasa suguhan kopi di warung hik lebih enak. Dan yang paling enak tentu saja kopi bikinan kamu. Iya, kopi bikinan kamu kan terdiri atas secangkir cinta, sesendok rindu, dan diaduk dengan kelembutan kasih sayang. Lalu, kamu hidangkan dengan sepenuh hati. Halah... ngomong apa sih, aku ini. Ngelantur ke mana-mana.
Mari kembali ke pokok utama.

Jadi, suatu pemberian yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang itu akan berbuah kenikmatan.

Pintaku kepada kamu --wahai jodohku yang belum ketemu-- hidangkanlah makanan yang kamu masak dengan bahan cinta, kamu olah dengan bumbu kasih. Hidangkanlah secangkir kopi hitam kesukaanku yang kamu aduk dengan penuh perasaan rindu.

Demikian. Salam lumpuk-lumpuk.

 

***
(Sukoharjo, 28 Juni 2016)




Sunrise yang Menawan di Balik Jendela

Sunrise di balik jendela
Selama 10 hari, aku mengikuti Pelatihan Instruktur Nasional Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Region Jateng-DIY yang dilaksanakan di Indoluxe Hotel Jogjakarta yang beralamat di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Sekitar 500 meter sebelah barat Monumen Jogja Kembali (Monjali). 

Bagiku, hal yang berkesan menginap di hotel ini ialah pemandangannya. Aku mendapat kamar di lantai 10. Jendela kamarku menghadap ke utara. Aku memiliki pandangan yang luas ke arah utara dan timur. Dari balik jendela, aku bisa melihat denyut kehidupan kota Jogja. Juga gunung Merapi dan Merbabu yang tampak dekat sekali, sedang gunung Lawu tampat berdiri di kejauhan. 


Kamu tahu, aku adalah lelaki sederhana yang mudah bahagia oleh hal-hal yang sederhana semisal memandang keindahan alam. Untuk itu, jika waktu luang, aku akan naik ke lantai 19, menikmati pemandangan kota Jogja. Saat langit sedang cerah, dengan awan-awan putih yang menawan, aku bisa berlama-lama duduk-duduk, sekadar memandang keindahan alam. Awan-awan itu terasa dekat. Serasa tangan ini ingin menggapainya.

Puncak gunung-gunung itu seringkali tertutup awan yang bergelombang indah. Menghasilkan suatu sapuan kuas pada kanvas alam yang memesona. Awan-awan itu memayungi gedung-gedung di bawahnya, juga rumah penduduk, ruas-ruas jalan serta kendaraan yang lalu lalang.

Lantai 19 menjadi tempat favorit untuk mengambil foto. Ada latar kota Jogja di sebelah selatan dan dikejauhan tampak perbukitan. Di sebelah barat ada gedung Monjali dan di kejauhan tampak lanskap Kulonprogo yang hijau. Di sebelah utara berdiri gagah gunung Merapi dan Merbabu. Di sebelah timur, kota Jogja dan Klaten tampak di bawah, sedang di kejauhan tampak gunung Lawu. Jadi, tinggal pilih mau foto dengan background yang mana. 



Pagi adalah waktu yang istimewa. Sunrise adalah waktu-waktu yang kutunggu-tunggu. Dari balik gunung Lawu, matahari akan muncul lalu perlahan-lahan tampak cahaya kemerahan di ufuk, sedang di balik gunung masih gelap dengan lampu-lampu yang menyala kelap-kelip. Aku akan duduk di balik jendela. Menanti matahari muncul dari balik gunung.

Suatu pagi aku naik ke lantai 19, melihat sunrise di tempat yang lebih tinggi. Aku duduk di kursi di samping kolam renang lalu memandang ke arah ufuk timur. Lalu perlahan-lahan kota Jogja mulai bangun. Lampu-lampu mulai dipadamkan dan kendaraan mulai lalu lalang dengan sorot lampunya. Kubuka buku yang kubawa. Aku pun duduk menanti pagi sambil mendarasi berlembar-lembar buku itu. 



Salah satu pemandangan yang menakjubkan yaitu saat pagi, awan-awan di sebelah selatan tampak seperti ombak yang menggulung-gulung siap menerkam kota Jogja. "Ombak" awana itu memanjang dari timur ke barat, berada di selatan kota Jogja, mungkin berada di pegunungan di daerah Gunungkidul.

Malam tak kalah istimewanya. Kerlap-kerlip lampu kota terlihat indah. Di sebelah barat tampak Monumen Jogja Kembali yang berbentuk kerucut, yang didepannya terdapat Taman Pelangi dengan lampion-lampionnya yang berwarna-warni. Di kejauhan, di pusat kota, tampak sebuah roda raksasa yang bersinar berwarna-warni. Itu adalah sebuah ferris wheel yang berada di Sindu Kusuma Edupark. Bertepatan dengan purnama, rembulan tampak bundar di atas langit. Sungguh indah.

Ada satu peristiwa yang menarik, yaitu penampakan naga di antara awan di atas hotel. Ada salah satu peserta yang merekamnya. Mau lihat? Berikut ini videonya.






 

***
(Sukoharjo, 27 Juni 2016)
 
~ Galeri Foto ~




















Tuesday, June 21, 2016

Voucher Buku untuk Guru

Sumber gambar: marketeers.com

Beberapa tahun terakhir, pemerintah gencar melaksanakan program peningkatan kualias guru. Salah satunya yaitu sertifikasi sebagai sarana meningkatkan kompetensi guru dengan imbal balik peningkatan kesejahteraan.

Memang terlihat hasilnya. Para guru mulai mengikuti berbagai pelatihan guna mengajukan sertifikasi. Namun, tak pula kita pungkiri ada sebagian (-besar?) yang beranggapan bahwa tujuan sertifikasi adalah hanya untuk meningkatkan kesejahteraan. Akhirnya, beberapa persyaratan dipenuhi hanya sekadar formalitas. 


Saya mendapati selintas pikiran terkait peningkatan kualitas guru, yaitu membaca. Membaca lagi, membaca lagi. Iya, memang. Sebenarnya orang-orang paham bahwa membaca mempunyai banyak manfaat positif bagi diri.

Negara-negara dengan pendidikan yang maju, memiliki tingkat minat baca yang tinggi. Para pelajar di beberapa negara maju diwajibkan membaca beberapa buku (sesuai target) setiap tahun. Ada yang 5 buku, 10, atau 20.

Bagaimana dengan Indonesia? Minat baca masyarakat Indonesia ialah 0,01%. Artinya, dari 1.000 orang hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca serius. Target buku yang dibaca pelajar setiap tahun yaitu 0 buku.

Guru sebagai pendidik bangsa mesti memiliki minat baca yang tinggi. Secara sukarela atau dipaksa, guru harus suka membaca. Salah satu cara untuk mendorong guru agar suka membaca ialah dengan menyediakan buku. Lebih bagus lagi jika guru memiliki anggaran khusus untuk membeli buku setiap bulan.

Di sinilah peran pemerintah. Pemerintah bisa bekerja sama dengan penerbit buku atau toko buku untuk memberikan Voucher Diskon Buku bagi guru. Dengan begitu, harapannya guru mau membeli buku untuk kemudian membacanya.

Anggaran dananya dari mana? Saya yakin itu bukan masalah yang besar. Jika setiap bulan semua guru berbelanja buku, tentu keuntungan penerbit atau toko buku bisa berlipat. Dengan proyeksi peningkatan keuntungan seperti itu, penerbit dan toko buku akan lebih mudah untuk diajak bekerja sama.

Alternatif lainnya, anggaran diambilkan dari gaji guru itu sendiri. Saya kita tak terlalu masalah bagi guru PNS yang sudah sertifikasi misalnya gajinya dipotong 50ribu atau 100ribu untuk diwujudkan dalam bentuk voucher buku. Toh, uang potongan itu kembali kepada guru --dalam bentuk buku.

Cara seperti ini pernah diterapkan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta. UMS setiap semester memberikan voucher buku bagi mahasiswa yang bisa dibelanjakan di toko buku universitas. Dengan cara seperti itu, para mahasiswa bisa berbelanja buku. Dananya dari mana? Kemungkinan besar dari uang SPP. Jadi, mahasiswa dipaksa membeli buku. Saya kira, ini pemaksaan yang baik.

Hal tersebut bisa diterapkan untuk para guru. Bahkan, juga untuk para siswa. Misal, sebagian dana BOS dialokasikan untuk voucher buku bagi siswa. Dengan begitu, siswa setiap bulan bisa membeli buku yang disukainya. 



***
(Sukoharjo,11 Maret 2016)