Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, September 5, 2017

Ada cinta di Pramuka


Saya terjebak di Pramuka, terjerumus, hingga akhirnya tenggelam di dalamnya.

Sewaktu SD, saya mengikuti Pramuka hingga mencapai Penggalang Ramu, ada piagamnya –yang sekarang entah di mana rimbanya. Saat SMP, saya tak terlalu tertarik dengan Pramuka. Kelas 1 SMP, semua siswa diwajibkan ikut Pramuka. Tapi, lha wong pada hari masuk biasa aja saya sering bolos, kok. Apalagi, pas Pramuka. Jadi, selama satu tahun, kehadiran saya di kegiatan latihan Pramuka bisa dihitung dengan jari.

Selepas SMP, saya tidak bersentuhan lagi dengan ekstrakurikuler “di sini senang di sana senang” ini. Hingga akhirnya saya terjebak di Pramuka setelah 10 tahun kemudian, yaitu pada saat menjadi guru SMP. Dulu saat SMP saya menghindari Pramuka. Lhadalah, pas jadi guru SMP mesti membina Pramuka. Kalau kata orang-orang, katanya ini hukum karma.

Inilah takdir Tuhan, kata saya.

Saat itu tahun 2013. Saya lulus kuliah jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kemudian diterima mengajar di SMP di Sukoharjo. Pada awal masuk kerja itu, ada kegiatan kemah Pramuka, Jambore Kwarcab Sukoharjo. Sebagai “anak baru”, saya tak terlalu heran ditugaskan untuk mendampingi anak-anak kemah selama 4 hari 3 malam itu. Lagipula, guru yang ada terbatas jumlahnya. Itulah, sentuhan pertama Pramuka pada saya sejak terakhir di SMP dulu.

Akhirnya, saya resmi menjadi pembina Pramuka di SMP. Saya tak paham sedikit pun soal Pramuka. Bagaimana aba-aba PBB, membuat simpul, mendirikan tenda, bahkan mengajari tepuk dan yel-yel saja tidak bisa. Miris memang.

Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu di dunia ini. Sebelum mengajarkan sesuatu kepada anggota Pramuka, tentu saya mesti belajar terlebih dahulu. Saya mesti belajar membuat simpul, mendirikan tenda, membuat yel-yel, dan lain sebagainya. Semuanya saya lakukan secara otodidak. Semakin lama, saya merasa pengetahuan dan keterampilan kepramukaan saya meningkat. Itulah gunanya belajar, bukan.

Sesungguhnya, menjadi pembina Pramuka itu capek. Banget, malahan. Setiap selesai kegiatan latihan Pramuka, biasanya badan saya terasa lemas. Latihan Pramuka seringnya di luar ruangan dan kegiatannya cukup menguras tenaga. Apalagi jika ada kegiatan kemah atau lomba Pramuka, benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan waktu. Jika boleh memilih, tentu saya tidak usah menjadi pembina Pramuka saja. Capek, bos...

Tapi, itu sudah menjadi tugas dan kewajiban. Saya berusaha untuk selalu bersikap nrima, menerima apa pun yang ditugaskan.

Pada tahun 2013, ada kegiatan pelatihan bagi pembina Pramuka: Kursus Mahir Dasar (KMD). Saya diikutkan kegiatan tersebut, dengan biaya sepenuhnya dari sekolah. Di situlah pertama kali saya mendapat bekal menjadi pembina Pramuka. Secara umum kegiatan KMD agak membosankan pada bagian penyampaian materi di ruangan. Bayangkan, ratusan orang duduk berhimpitan di dalam ruangan yang tak luas selama beberapa jam. Untuk kegiatan lapangannya cukup menyenangkan meskipun agak melelahkan.

Di kegiatan KMD itu terjadilah satu peristiwa yang cukup memalukan bagi saya. Saya mendapat hukuman menjadi petugas penurun bendera pada acara apel sore. Pada kegiatan itu, selain langkah tegap saya yang wagu dan jalan yang kebablasan (tidak pas dengan tiang bendera), saya –dan dua teman saya—hampir menjatuhkan bendera. Selama beberapa saat kami kesulitan melipat bendera itu hingga datanglah seorang pelatih untuk membantu. Itu semua terjadi di depan pembina upacara –yang kenal dengan saya-- yang mana saat itu saya sedang menaksir anak gadisnya yang cantik itu. #wakdesss


Ada ungkapan “Kesan pertama begitu menggoda”, maka dalam kasus saya yang berlaku adalah “Kesan pertama begitu memalukan”.

Sebagai seorang jomblo akhir zaman, saya memiliki pandangan bahwa: untuk mendapatkan gadis idaman, cara paling efektif dan efisian adalah dengan mengambil hati orangtuanya. #Yeah...

Saat itulah, dimulai “perseteruan batin” dalam diri saya. Saya yang tidak bisa apa-apa di Pramuka, mesti mengambil hati calon mertua yang seorang pengurus kwartir ranting dan pelatih pembina Pramuka. Betapa beratnya misi saya itu.

Lanjut...

Setelah mengikuti KMD saya sedikit lebih percaya diri dalam membina Pramuka. Sambil terus belajar, saya mengajarkan apa yang saya bisa kepada anggota Pramuka binaan saya. Saya belajar keterampilan kepramukaan secara otodidak. Mengambil sumber belajar dari buku dan internet.

Di sekolah saya dilaksanakan kemah Pramuka setahun sekali, biasanya di daerah Karanganyar, selama 3 hari 2 malam. Kegiatan kemah itu menyenangkan, saya suka berkegiatan di alam, di hutan. Kemah-kemah Pramuka itu membuat saya semakin nyaman di Pramuka. Nyaman? Kalau udah nyaman itu biasanya akan betah bertahan, iya nggak?

Beberapa kali, sekolah saya mengirim delegasi Pramuka untuk mengikuti lomba. Pada tahun 2016, saya membersamai dua regu mengikuti Kemah Bakti Dasa Darma (Kembadarma) di buper Borobudur, Magelang. Dalam kemah yang diadakan oleh Dewan Ambalan SMAIT Ihsanul Fikri, Magelang ini kami membawa pulang piala yang cukup banyak.

Lomba kemah yang kedua yaitu Kemah Ukhuwah Wilayah (Kemwil) Pramuka SIT se-Jawa Tengah di lapangan tembak Akmil, Magelang. Kemah selama 4 hari 3 malam ini diikuti oleh ribuan anggota Pramuka. Untuk tingkat SMP setidaknya ada 36 regu. Kemwil ini sangat menyenangkan dan berkesan. Dan sekolah kami pulang membawa piala juara umum.

Dalam kegiatan kemah Pramuka saya selalu terlibat. Dan lelahnya sungguh terasa. Tapi dalam rasa lelah itu ada kepuasan tatkala melihat anak didik bisa berkembang dan menunjukkan prestasi di Pramuka.

Kembali ke soal gadis cantik yang saya taksir itu, eh maksudnya kembali ke pembina upacara yang memiliki anak gadis yang cantik itu. Kita sebut saja namanya Pak A. Sebagai laki-laki yang baik saya harus menunjukkan kepada Pak A bahwa saya layak dijadikan menantu. Saya ikuti kegiatan-kegiatan Pramuka dan berharap suatu saat Pak A bisa melihat saya ketika menunjukkan prestasi, bukan saat terjadi tragedi seperti KMD dulu itu.

Ketika ada Kursus Mahir Lanjut (KML), saya pun ikut –lagi-lagi dengan biaya sepenuhnya dari sekolah. Sebagai pelatih pembina Pramuka, Pak A kemungkinan besar bakal menjadi peatih di KML ini. Saya mengikuti KML dengan baik, selamat sentausa tidak kurang satu apapun. Pada malam api unggun, saya ditunjuk menjadi pemimpin upacara api unggun. Betapa membanggakannya!

Suara saya terdengar lantang di lapangan meneriakkan aba-aba. Semestinya pada momen seperti ini Pak A melihat saya, tapi ternyata saat itu Pak A sedang tidak menjadi pelatih. Duh, sia-sia penampilan saya sebagai pemimpin upacara yang telah menguras habis suara.

Pada suatu kali, saya pernah satu mobil dengan Pak A. Di dalam mobil itu terjadilah percakapan. Salah satunya, Pak A mengatakan, “Nanti Mas Kris ikut KPD.”

“Iya, Pak,” jawab saya. Apapun akan saya lakukan demi anak bapak. Hehehe ...

Oya, KPD itu Kursur Pelatih Tingkat Dasar. Pelatihan bagi calon pelatih Pembina Pramuka yang dilaksanakan selama 10 hari. Saya bisa membayangkan beratnya pelatihan itu, tapi waktu itu saya iyain aja. Saya akan membuktikan bahwa pembina Pramuka adalah calon menantu idaman.

Semakin saya mengikuti kegiatan Pramuka, semakin saya memahami Pramuka, semakin saya merasa nyaman dengan anak gadisnya Pak A Pramuka. Semakin saya tenggelam di dalamnya.

Awalnya saya memang tidak suka, merasa berat, dan merasa tidak mampu menjadi pembina Pramuka. Tapi, seperti pepatah: witing tresna jalaran saka kulina. ‘Cinta karena terbiasa’.

Demikianlah.
Ada cinta di Pramuka.




Saturday, August 26, 2017

Resensi Buku Kumpulan Cerpen Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian Karya Karisma Fahmi Y.


Kisah-kisah Sendu di Antara Dongeng dan Realitas

Judul : Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian
Penulis : Karisma Fahmi Y.
Cetakan : November 2016
Tebal : 172 hlm
Penerbit : Basabasi
***
Karisma Fahmi, penulis muda asal Solo. Karya-karyanya telah dimuat di beberapa media massa nasional, bahkan beberapa dimuat dalam majalah sastra Horison --yang  versi cetaknya sekarang sudah tamat riwayatnya. Beberapa cerpennya yang dimuat di media massa ditambah beberapa yang belum dipublikasikan sehingga berjumlah 16 cerpen diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian.
Karisma Fahmi. Penulis perempuan yang berkerudung dan berkacamata ini memiliki wajah bundar yang bertaburan gula-gula. Meskipun demikian, saya tidak akan bermain hati dengannya. Jika saya jatuh cinta kepadanya dan ia jatuh cinta kepada saya, hingga suatu hari nanti entah bagaimana saya membuatnya patah hati, saya khawatir ia akan menikam saya, memotong-motong tubuh saya, kemudian menjadikan saya makanan ikan peliharaannya. Hal demikian memanglah sulit terjadi di dunia nyata. Tapi, penulis menceritakan kisah semacam itu dalam cerpennya yang berjudul “Sepasang Ikan Merah”.

“Sepasang Ikan Merah” menceritakan tokoh aku –yang memiliki peliharaan seekor ikan piranha merah—yang merasa kecewa dan sedih berkepanjangan karena kekasihnya berpaling hati. Suatu hari, mantan kekasihnya itu datang ke rumahnya untuk mengambil barang-barang miliknya. Di dorong kekecewaan dan kepedihannya, tokoh aku membunuh mantan kekasihnya, lalu memotong-motong tubuhnya, dan memberikannya kepada ikan piranha merah peliharaannya. Ia menganggap mantan kekasihnya itu bersemayam dalam tubuh ikan dan akan terus menemaninya. Sungguh kisah yang sadis sekaligus manis.

Satu kisah tersebut mewakili cerpen-cerpen dalam buku ini yang semuanya menceritakan kisah pilu nan sendu. Kepedihan menjadi benang pengikat di antara cerpen-cerpen tersebut. Ada kisah pendaki yang meninggal di gunung dan merasa kesepian dalam “Pendaki Bukit Nyanyian”. Ada ratap duka atas perang di padang Kurusetra yang tak terelakkan dari tokoh Bisma dalam “Tembang Lara Kesatria Kurusetra” dan Gandari dalam “Perempuan Gandari”. “Sayap-sayap Emas Yasmin” mengungkapkan seorang wanita karier yang merasa menyia-nyiakan suami dan anaknya, namun maut telah memisahkan mereka. “Tali Pusar Karna” mengungkapkan kepiluan seorang perantau yang ketika pulang mendapati ibunya sudah meninggal dan kampung halamannya berubah menjadi sebuah waduk besar.

Melalui cerpen-cerpennya, penulis seperti ingin mengatakan bahwa rasa sakit, rasa pedih, dan kecewa adalah bagian dari kehidupan. Seperti kata Gabriel Garcia Marquez, “Rasa sakit adalah risiko untuk tetap hidup.”

Kepiluan menjadi salah satu unsur keindahan di dalam cerita-ceritanya. Keindahan memang tidak melulu berada pada hal-hal yang romantis atau kisah yang berakhir bahagia. Ada sebuah keindahan dalam kisah-kisah sendu jika diceritakan secara baik. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Azwar dalam salah satu esainya yang termuat dalam buku Membaca Sastra Membaca Dunia (2016), “Keindahan karya juga bisa jadi terasa atas cerita kegetiran hidup manusia, keprihatinan, dan kepiluan yang mendalam. Bahkan, kondisi yang sangat buruk dalam realitas bisa menjadi indah setelah menjadi sebuah karya sastra.”


Dunia Wayang dan Kisah-kisah Supranatural

Selain mengungkap dunia realitas, penulis juga menceritakan dunia wayang. Wayang menjadi salah satu inspirasi kuat bagi penulis. Hal ini diungkapkan sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantar, “Bagi saya, kisah wayang berikut tokoh-tokohnya, selalu mampu menembus batas imajinasi, sebuah dunia kecil yang bergerak di luar dunia nyata manusia.” (hal. 8)

Dua cerpennya merupakan reinterpretasi terhadap kisah pewayangan yang diambil dari Mahabharata. Dalam “Tembang Lara Kesatria Kurusetra”, penulis menceritakan gejolak hati Bisma yang merasa sedih dan kecewa karena perang Bharatayuda akan menghancurkan kedua belah pihak yang disayanginya. Dalam cerita itu juga sedikit disinggung tokoh wanita –Srikandi yang merupakan penjelmaan Dewi Amba-- yang menyiapkan senjatanya untuk menghabisi Bisma karena dendam masa lalu.

Kegelisahan Dewi Gandari dikisahkan dalam “Perempuan Gandari”. Gandari sebagai ibu dari kesatria Kurawa merasa was-was di dalam kerajaannya, sedangkan anak-anaknya berperang hidup-mati di padang Kurusetra. Gandari dengan mata yang selalu tertutup kain hitam merasa terpukul dengan berita yang dibawa kurir yang menyebutkan nama-nama anaknya yang tewas di medan pertempuran.

Bagi pembaca berlatar belakang budaya Jawa, kedua cerpen tersebut akan lebih termaknai karena ia mengetahui kisah-kisah pewayangan (Mahabharata) secara umum. Berbeda dengan orang yang tidak mengenal kisah Mahabharata, kedua cerpen tersebut tidak akan begitu menggugah hatinya. Pengaruh dunia wayang terhadap penulis juga terlihat dalam pemilihan nama tokoh. Penulis menggunakan beberapa nama tokoh pewayangan dalam ceritanya, misalnya Anjani dan Karna.

Selain dunia wayang, penulis juga mengungkap hal-hal supranatural dalam. Penulis mengisahkan dunia roh dalam “Pendaki Bukti Nyanyian” dan “Sayap-sayap Emas Yasmin”. Dalam kedua cerpen tersebut, penulis memunculkan tokoh roh orang mati yang berlaku, berbicara, dan mengungkapkan perasaannya.

Ada sebuah mitos yang mengatakan bahwa jika terdengar suara burung dares pada malam hari, berarti akan ada orang yang meninggal di kampung. Mitos tersebut diceritakan dalam “Tangan Kanan Malaikat Maut”. Tuyul sebagai makhluk ghaib warisan kepercayaan Jawa dimunculkan dalam cerpen “Brenges”.

Cerpen “Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian” –yang digunakan sebagai judul buku ini—mengemukakan dunia supranatural tentang adanya tokoh yang bisa memanggil hujan dan tokoh yang bisa membaca kematian seseorang melalui pandangan kedua matanya.

Mistisime terlihat dalam cerpen “Ketika Masnawi Menyanyikan Rumi”. Dalam cerpen ini penulis mengungkapkan kecintaan seseorang terhadap syair-syair Rumi. Beberapa bait syair Rumi pun dikutipkan dalam cerpen ini.

Alur yang Berliku dan Akhir yang Mengejutkan
Dalam hal penceritaan, sang penulis sungguh piawai “mempermainkan” alur. Dalam sebuah cerpen ada beberapa cabang alur. Ceritanya seperti melompat-lompat. Tokoh-tokohnya pada awal hingga pertengahan cerita seolah-olah tidak memiliki hubungan. Namun di akhir cerita, hubungan antar-alur dan antartokoh menjadi jelas. 
lika-liku alur ini bisa digambarkan sebagai beberapa cabang sungai yang awalnya tak berhubungan satu sama lain hingga akhirnya menyatu di lautan.

Dalam “Grambyangan Manyar Sewu” penulis membuka dengan kisah tokoh Pekik yang gusar karena terganggu suara gamelan di kepalanya. Cerita kemudian meloncat pada kisah dua penari, Arum dan Anjani, yang sedang pentas di atas panggung dan problematikanya. Lalu kisah beralih lagi pada tokoh Pekik. Alurnya yang melompat-lompat ini membuat pembaca merasa penasaran dan bertanya-tanya: apa hubungan antara kedua cerita ini dan apa hubungan antara kedua tokoh ini? Di akhir cerita, barulah pembaca bisa menghubungankan benang merah antarcerita dan antartokoh.

Itulah salah satu kekuatan cerpen-cerpen dalam buku ini. Penulis membuat cerita-cerita yang berlompatan sehingga membuat pembaca merasa penasaran dan menebak-nebak akhir cerita yang seringkali mengejutkan.

Kekuatan alur tersebut didukung dengan sudut penceritaan yang dinamis. Penulis tidak hanya menggunakan satu sudut pandang dalam ceritanya. Sebagian besar cerpennya menggunakan sudut pandang orang pertama dan orang ketiga sekaligus. Pada bagian awal cerita, penulis sering menggunakan sudut pandang orang ketiga. Setelah masuk tahapan pemunculan konflik, penceritaan akan diambil alih oleh tokoh utama sehingga menggunakan sudut pandang orang pertama.

Kisah Naratif yang Tak Menjemukan
Dalam buku-buku panduan menulis cerpen, sebagian besar akan menyarankan penulisan cerpen dengan komposisi antara narasi dan dialog yang proporsional. Sebuah cerpen yang narasinya terlalu banyak, berisiko menjadi cerita yang kering dan membosankan. Jika dialognya yang terlalu banyak, resikonya cerpen tersebut akan terasa dangkal dan tidak menarik. Demikian garis besar pengaturan komposisi narasi dan dialog dalam sebuah cerpen. Namun, aturan tersebut tentu saja tidak berlaku bagi para penulis yang piawai menyusun kata-kata, baik dalam bentuk dialog maupun narasi.

Cerpen-cerpen dalam Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian hampir semuanya tersusun atas narasi. Dari 16 cerpen dalam buku ini, hanya 5 cerpen yang memuat dialog, itupun porsi dialognya sangat minim. Penceritaan dengan gaya naratif berisiko menjemukan bagi pembaca. Namun, penulis pandai memikat pembaca dengan gaya penceritaannya yang cenderung ekspresionis. Pembaca seolah didongengi oleh seorang tukang cerita yang andal yang setiap kalimatnya menimbulkan kekaguman dan setiap ceritanya menimbukan rasa penasaran.

Kadang penulis menyuguhkan realitas kehidupan tokoh dan konteks cerita. Pada banyak kesempatan, penulis mengajak pembaca menyelami batin tokohnya, merasakan kegetirannya, mengecap kepedihannya, dan menanggung penderitaannya. Penggalian konflik batin tokoh sangat dalam. Inilah salah satu kekuatan gaya penceritaan penulis.

Ha
yang kurang berkenan bagi saya pada buku ini ialah gambar sampulnya. Terus terang, saya kurang suka dengan gambar sampulnya. Saya membayangkan sampul buku ini menampakkan tokoh wayang "Gandari" yang penuh kepedihan dan dendam. Atau tokoh Bisma sebagai kesatria yang siap menerima kematian.



Wednesday, June 28, 2017

Kutipan (Quote) Novel Sunset & Rosie Karya Tere Liye

Kutipan (Quote) Novel Sunset & Rosie Karya Tere Liye

Novel ini terbit pertama kali tahun 2011. Buku yang saya miliki adalah cetakan ke-20 tahun 2017. Wow... Berarti dalam 1 tahun novel ini cetak ulang 2-3 kali. Best seller lah pokoknya.

Bagi pembaca yang sentimental, novel ini bakal mengaduk-aduk perasaannya. Dengan mudah ia akan jatuh cinta pada tokoh-tokohnya, juga jalan ceritanya yang bertaburan refleksi-refleksi perasaan atas kenangan.

Banyak kutipan-kutipan menarik di dalam novel Sunset & Rosie. Di antaranya sebagai berikut.

Aku tenggelam dengan segala aktivitas pekerjaan. Membutuhkan seluruh kesibukan untuk membunuh semua perasaan yang terlanjur datang. (hlm 9)
Kata orang bijak, kita tidak pernah merasa lapar untuk dua hal. Satu, karena jatuh cinta. Dua, karena kesedihan mendalam. (hlm 66) 
Aku harus segera menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Berat sekali melakukannya, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik. (hlm 68) 
Menangis dalam tidur. Kalau kalian tahu maksudnya itu sungguh lebih menyakitkan. Kaliam tidur, tetapi menangis dalam mimpi. Kalian tidur tapi hati tetap terisak sendu. (hlm 75) 
Aku tahu apa artinya sebuah kesedihan, aku pernah mengalaminya. Percuma berdiri di sini sepanjang hari, sepanjang tahun, tidak akan membantu. Tidak ada yang bisa membantu selain waktu. Tetapi agar waktu berbaik hati, kita juga harus berbaik hati kepadanya, dengan menyibukkan diri. (hlm 79-80)
Saat kau pergi, seseorang akan baru merasa kehilangan, dan dia mulai bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya dia rasakan. (hlm 410)



Resensi Buku Reruntuhan Musim Dingin Karya Sungging Raga

Resensi Buku Reruntuhan Musim Dingin Karya Sungging Raga

Judul : Reruntuhan Musim Dingin
Pengarang : Sungging Raga
Cetakan : Pertama, Januari 2016
Tebal : 204 hlm
Penerbit : DIVA Press

Memang. Selalu saja ada kisah tentang perempuan yang menunggu. Dan tidak ada kisah yang lebih menyedihkan daripada perempuan yang merasa yakin bahwa penantiannya yakin akan berbuah manis. Apakah perempuan selalu ditakdirkan untuk menunggu?
(Sungging Raga. "Dermaga Patah Hati")
Jika ada tema cerita yang selalu menarik perhatian dan hangat untuk dibincangkan itulah cinta. Banyak buku -fiksi dan nonfiksi- yang menyajikan seluk-beluk asmara manusia. Dari ulama hingga penulis picisan. Dalam ranah nonfiksi, sebut aja Raudhatul Muhibbin-nya Ibnu Qayyim, The Art of Love karya Erich Fromm, dan Men Are From Mars, Women Are From Venus milik John Gray. Belum lagi bejibunnya buku-buku popular di pasaran yang menyematkan kata cinta di dalam judulnya.

Dalam ranah fiksi, kisah Layla-Majnun dari Timur Tengah berhasil menggaungkan kisah kepedihan dan kegilaan karena cinta hingga ke seluruh dunia. Dari Barat, muncullah sejoli Romeo-Juliet. Tak kalah sendu, di Indonesia tersebarlah kisah cinta Hamid-Zainab dalam Di Bawah Lindungan Kakbah buah tinta dari Buya Hamka. Dari penulis yang sama lahir pula kisah Tenggelamnya Kapal van Der Wijck yang konon terinspirasi dari Majdullin karya Manfaluthi.


Cinta, Penantian, dan Kenangan
Cinta pula yang menjadi tema umum dalam cerpen-cerpen karya Sungging Raga yang terkumpul dalam buku Reruntuhan Musim Dingin ini. Tapi, ini bukan kisah cinta yang cengeng. Sungging Raga meramu kisah cinta yang tak biasa. Kalau kata Tia Setiadi dalam pengantarnya terhadap buku ini, "Sungging Raga bersikeras menampilkan kisah-kisah cinta yang, syukurnya, tak terjerumus ke dalam lautan klise."

Pembaca bisa menduga-duga sendiri mengapa penulis memilih tema cinta dalam sebagian besar cerpennya. Kita bisa menyelami alasan penulis dalam meramu cerpen-cerpennya tersebut melalui argumennya dalam pengantar buku ini, 
"Ketika penulis dan cerpen sudah saling mencintai, maka bukan penulis yang menentukan harus menulis tentang apa, tapi cerpen itu yang mengarahkan penulis tersebut untuk menulis tema tertentu. Terkadang, saya merasa seperti itu, bahwa cerpenlah yang mengantar saya menulis cerita-cerita tertentu." (hal. 21)
Mungkin memang benar, cerita itu yang mengarahkan penulis untuk menuliskan kisah-kisah cinta. Namun, jika boleh saya asal menebak, Sungging Raga banyak menulis kisah cinta karena jiwa mudanya sedang bergejolak. Penulis masih berusia muda --dan perlu dicatat-- masih jomblo (dan akhirnya menikah pada tahun 2017). Jadi, cinta memang menjadi magnet kuat yang menarik hati dan pikirannya hingga lahirlah kisah-kisah cinta singkat dalam cerpen-cerpennya.

Meski banyak cerpennya berkisah tentang kepedihan seorang kekasih, namun penulis tak menggambarkannya dengan ekspresif. Penulis menggambarkan kisah cinta yang pilu seolah-olah sebagai kejadian sehari-hari yang jamak terjadi hingga tak perlu dilukiskan dengan tinta darah dan air mata. Meski begitu, penggambaran penulis tak kalah sendunya.

Kisah perpisahan sepasang kekasih, oleh penulis picisan, mungkin akan deraikan dengan kata-kata kepedihan yang menyesakkan dada hingga seolah-olah seribu duka ditimpakan kepada sepasang kekasih itu. Tapi oleh Sungging Raga, perpisahan sepasang kekasih di sebuah terminal dalam "Selebrasi Perpisahan" disajikan biasa saja. Tidak ada air mata yang mengalir. Hanya berpisah, begitu saja. Namun, justru di situlah kekuatan ceritanya.

Barangkali, tidak ada perpisahan yang lebih menyenangkan untuk dirayakan daripada sepasang kekasih yang berpisah dalam keadaan masih saling mencintai. Sepasang kekasih yang kemudian akan saling bertanya: mengapa cinta tidak cukup kekal untuk menjadikan dua manusia bersama selamanya?(Cerpen "Selebrasi Perpisahan")
Kisah seorang perempuan yang selalu menunggu di sebuah dermaga diceritakan oleh penulis dengan datar-datar saja dalam "Dermaga Patah Hati". Penulis tidak terjerumus dalam penggambaran karakter dan perasaan tokoh. Sebaliknya, penulis mengambil jarak dengan si tokoh. Penulis bukanlah orang ketiga yang serbatahu. Penulis bertindak seperti pembaca lainnya: tidak tahu siapa perempuan itu, apa yang ditunggunya, dan bagaimana perasaannya. Kesenduan dalam penantian yang ditunjukkan oleh tokoh perempuan itu terasa menyesakkan justru karena tidak diceritakan secara jelas bagaimana latar belakang dan perasaannya.

Kisah serupa di atas adalah cerpen "Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis". Cerpen ini mengisahkan seseorang perempuan berpakaian serba merah yang selalu duduk melamun di pinggir jalan Carrow Road. Dan wanita itu hanya bisa dilihat dari bulan oleh para astronot. Di bumi, di Arrow Road, wanita itu tak ada, tak terlihat. Entah kepedihan apa yang ditanggung wanita itu hingga rembulan pun menangis dan mengeluarkan air mata yang jatuh hanya di sepanjang Carrow Road tempat wanita itu duduk melamun.

Cerpen-cerpen yang lain serupa dalam cerita dan teknik penceritaannya. Sebut saja "Reruntuhan Musim Dingin", "Selamanya Musim Semi", "Turbulensi Kenangan", "Kompor Kenangan", dan "Lovelornia" yang kesemuanya menawarkan perihnya penantian, kenangan, dan pengkhiatan.

Khusus "Reruntuhan Musim Dingin" yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini, penulis sepertinya memiliki ikatan khusus dengan cerpen ini. Ada beberapa unsur yang menyiratkan hal tersebut. Yang pertama, tokoh utamanya bernama Nalea. Jika Seno Gumira Ajidarma memiliki Alena, Sungging Raga memiliki Nalea. Nama Nalea beberapa muncul dalam cerpen-cerpennya.

Kedua, tokoh laki-lakinya berprofesi sebagai penulis sehingga perbincangan kedua tokoh itu menyerempet dunia buku. Uniknya, penulis seperti menyindir dan menertawai diri sendiri tentang profesi menulis ini. 
"Kupikir, sebaiknya kamu jangan jatuh cinta kepada penulis. Ia lebih banyak memeras kenangan, sebanyak mungkin darimu, untuk kemudian ditinggalkan." (hal. 68).
"Tidak terbayang jika aku hidup bersama seorang penulis. Pasti sangat menyusahkan. Menulis itu bukan pekerjaan, itu cuma semacam pengisi waktu luang." (hal. 70)

Kisah Cinta yang Absurd
Selain kisah cinta yang realistis antara dua anak manusia, penulis juga "bermain-main" dengan kisah cinta yang absurd. Misalnya cinta seekor laba-laba kepada seorang gadis dalam "Melankolia Laba-laba". Sungai Serayu yang menjelma menjadi seorang perempuan dan menjalin hubungan dengan seorang laki-laki dalam "Rayuan Sungai Serayu". 

Hubungan cinta antara seorang laki-laki dan seorang perempuan jelmaan bunga edelweis yang melahirkan anak-anak (bunga) edelweis dalam "Sihir Edelweis". Kisah cinta sepasang tengkorak yang melangsungkan pernikahan dengan mengundang para penghuni makam dalam "Biografi Sepasang Rangka".

Dalam kisah-kisah yang absurd tersebut, penulis menggoyahkan logika pembaca. Seekor laba-laba bisa memiliki perasaan cinta kepada seorang manusia. Sebuah sungai bisa menjelma menjadi seorang perempuan yang bisa diajak jalan-jalan ke mall, berbelanja odol, sikat, dan sabun, menikmati es krim, dan menginap di sebuah losmen.

Sekuntum bunga edelweis bisa menjelma menjadi seorang perempuan. Jika di rumah, bunga itu berdiam di dalam pot di dalam kamar. Saat dibawa pergi oleh laki-laki yang dicintainya --misalnya ke hotel-- bunga itu menjelma menjadi perempuan dan mereka pun bercinta. Demikian selama puluhan tahun hingga lahirlah anak-anak mereka yang tinggal di dalam bunga.

Tengkorak di pemakaman bisa menjalani kehidupan layaknya manusia hidup. Mereka ngerumpi, bermain catur, jatuh cinta, melangsungkan pernikahan, dan berpesta. Di tangan Sungging Raga, kisah-kisah tak masuk akal tersebut diolah menjadi cerpen yang memikat.

Akrobat Kata
Meski kisah-kisah cinta dalam cerpen-cerpennya ditulis dengan penggambaran yang datar, yang berjarak, Sungging Raga tak membiarkan cerpennya kering kerontang. Penulis memainkan akrobat kata dan menampilkan atraksi frasa. Rangkaian kata-katanya seperti menari-menari dengan anggun dan indah saat menceritakan suatu keadaan atau perasaan.

Kutipan berikut ini bisa menggambarkan bagaimana akrobat kata yang ditampilkan oleh penulis.

"Mengapa ia tak bisa melepas kenangan yang awalnya datang begitu ringan? Apakah kenangan memang bisa tumbuh dan berkembang, menciptakan cabang berupa anak-anak kenangan yang lain?" (hal. 69-70)
"Aku seperti terayun dalam gelombang Sungai Serayu yang dahsyat, seolah sedang mengayuh perahu sendirian di malam badai, di mana hujan turun bersama angin dan aku terombang-ambing tanpa tujuan, sebuah keadaan kacau yang tak memberiku ruang sedikitpun untuk memberontak, melainkan tunduk pada alirannya, pada gulungannya, pada empasannya...." (hal. 88)
"Gadis itu bernama Kunnaila, lahir di bawah rembulan, tumbuh sepanjang ilalang." (hal. 146)
Melankolia yang Indah
Cerpen-cerpen dalam Reruntuhan Musim Dingin yang bertema cinta dengan baluran kisah-kisah sedih dan pilu itu berpotensi melahirkan melankolia yang indah. Pada sebagian kisah itu, mungkin pembaca akan mendapati dirinya seolah-olah menjadi tokoh utama yang sedang patah hati, yang sedang menanti, atau yang sedang jatuh cinta.

Pembaca mungkin akan diam dan merenung sejenak saat menjejaki cerpen-cepen itu. Mungkin ada yang teringat kenangan masa lalunya, yang teringat kekasih yang jauh tempatnya, yang teringat seseorang yang entah kapan datangnya.


(Sukoharjo, 28 Oktober 2016)





Monday, June 26, 2017

Semua Akan Kopelan pada Waktunya

Sumber ilustrasi: gambarbajumuslim[dot]com
Asyiknya lebaran di kampung halaman. Ketika dulu saya masih merantau, mudik lebaran selalu menjadi momen yang spesial. Ada buncah bahagia bisa berkumpul dengan keluarga, tetangga, sahabat, teman lama, teman baru, gebetan lama, gebetan baru, ataupun mantan yang sudah lama terkenang. Uhuk....

Kini, saya tinggal dan bekerja di kampung halaman. Di kabupaten Sukoharjo yang persawahannya dan perbukitannya indah serta mal-malnya megah.

Lebaran kali ini, semua berjalan sebagaimana tahun-tahun lalu. Tak banyak perubahan. Termasuk status saya yang masih saja jomblo ini meskipun kabinet pemerintahan kita sudah berganti berulang kali.

Lebaran tetap semarak. Beragam makanan diolah minuman meruah. Semua tersaji di atas meja. Para kerabat datang silih berganti. Tetangga-tetangga berkeliling desa, bermaaf-maafan, sambil tak lupa mencicipi makanan dan minuman di setiap rumah. Para perantau, setelah berjibaku melawan rimba jalan raya, semringah bersua dengan saudara dan kawan-kawan di desa. 

Semua tampak megah dan mewah. Orang-orang terlihat cantik dan tampan. Yang berkeluarga, jalan-jalan bersama. Ayah, bunda, dan anak-anaknya yang ramai serta lucu-lucuh. Aih, harmonisnya. 

Yang sudah punya pasangan tak henti-hentinya memamerkan senyum-tawa bahagia. Yang masih sendiri juga tak kalah suka citanya meski sering mati gaya ketika ditikam tanya, "Kapan nikah?".

Lebaran berarti baju baru bagi sebagian besar orang. Yang berkeluarga memakai pakaian yang serupa motif dan warnanya. Bahkan, yang masih balita pun dibuatkan seragamnya. Aih, lucunya. Yang berpasangan, apalagi pengantin muda yang tangannya tak lepas bergandengan, bajunya kopelan (couple). Sepertinya hati dan perasaan yang sudah menyatu mestilah ditunjukkan pula dengan baju yang serupa-serasi. 

Rasanya indah sekali melihat para keluarga dan pasangan itu memakai pakaian yang seragam. Sudah jadi semacam pawai fashion. 

Melihat pemandangan seperti itu, saya jadi kepikiran sepertinya bagus jika saya memakai baju kopelan juga. Kegagahan dan ketampanan saya pastilah meningkat beberapa derajat. Khayal tingkat tinggi pokoknya....

Tapi, masalah tersbesarnya ialah siapa yang mau memakai baju kopelan dengan saya? Lha, saya tidak ada pasangannya. Apa perlu baju kopelannya  dipakein di pohon atau digalon air. Aih, mirisnya...


Tapi, tenang saja. Saya yakin kok bahwa "Semua akan kopelan pada waktunya". Yeah, asyik....

Kutub aja ada utara dan selatan. Arus listrik ada positif dan negatif. Bunga ada putik dan benang sari. Setiap manusia pasti juga ada pasangannya, kan. Ada kopelannya. Misalnya, aku dan kamu, gitu. Eaaa....

Meskipun saya dan para jomblo squad semuanya tak bisa memakai baju kopelan, hal itu tak mengurangi makna lebaran dan keceriaan kumpul-kumpul keluarga dan teman. Oke, jujur saja sih keceriaannya sedikit terkurangi apalagi jika sudah keluar soal esai paling susah sedunia: Kapan....

Lebaran tahun depan, harapannya kita masih diberi umur panjang. Semoga pula para jomblo di manapun berada sudah memiliki pasangan pada lebaran tahun depan. Semoga disegerakan pula bisa memakai baju kopelan di atas pelaminan. Asyik....




Tuesday, June 20, 2017

Mengikis Plagiarisme Sejak Dini

Sumber gambar: kmention.com

Pada saat pelaksanaan Ujian Sekolah untuk siswa kelas IX, para siswa kelas VII dan VIII diliburkan. Hampir semua guru disibukkan oleh kegaitan US (menjadi panitia ataupun pengawas) serta ruang kelas yang tersedia digunakan sebagai ruang tes.

Berbarengan dengan libur US tersebut, kalender menunjukkan dua angka berwarna merah: hari libur nasional. Ditambah libur hari Minggu, lengkap sudah libur yang cukup panjang bagi para siswa kelas VII dan VIII.

Untuk mengisi liburan tersebut, para siswa diharapkan juga belajar di rumah. Untuk merangsang para siswa agar mau belajar, sekolah mengeluarkan kebijakan agar setiap guru memberikan pekerjaan rumah. Jika dalam satu hari siswa mengerjakan pekerjaan rumah satu mata pelajaran –sekira 30 menit—dalam masa liburan, pekerjaan rumah semua mata pelajaran akan selesai.

Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, saya memberikan lembar soal yang berisi tiga pertanyaan esai untuk siswa kelas VII dan satu pertanyaan esai untuk siswa kelas VIII. Tidak banyak memang. Tapi, soal-soal tersebut berkategori HOTS (Higher Order Thinking Skills). HOTS adalah kemampuan berpikir yang tidak sekadar mengingat (recall), menyatakan kembali (restate), atau merujuk tanpa melakukan pengolahan (recite). Dimensi soal HOTS adalah menganalisis, mengevaluasi, atau mencipta.

Salah satu pertanyaan pada lembar soal kelas VII menghendaki siswa untuk membuat puisi dengan batasan tertentu. Soal membuat puisi biasanya juga keluar saat Ulangan Akhir Semester. Oleh karena itu, tugas ini sekaligus berfugnsi sebagai latihan.

Selesai masa liburan dan para siswa mengumpulkan tugas mereka, saya mengecek satu per satu lembar soal yang sudah mereka kerjakan. Pada soal membuat puisi, saya sempat berkerut. Saya mengenal sebagian kata-kata pada puisi hasil pekerjaan siswa. Saya pun mencarinya melalui internet dengan kata-kata kunci tersebut. Dan hasilnya, puisi siswa tersebut sebagian besar (atau malah seluruhnya mengambil dari internet).

Saya pun mengecek satu pe satu puisi yang dituliskan oleh siswa dengan cara mengetikkan beberapa kata-kata pada puisi tersebut dan melakukan searching pada internet. Hasilnya membuat saya mengelus dada. Lima puluh persen lebih karya puisi siswa diambil dari internet.

Puisi-puisi yang tidak saya temukan di internet, berarti kemungkinan besar memang karya siswa sendiri. Namun untuk memastikan, saya bertanya langsung kepada mereka –satu per satu saat mengambil hasil pekerjaan mereka di depan sehingga siswa yang lain tidak mendengar pertanyaan saya ataupun jawaban siswa tersebut.

“Apakah ini puisi buatan kamu sendiri?” tanya saya.
“Iya. Pak!” jawab sebagian mereka. Nilai yang sangat baik pun saya goreskan di lembar jawaban mereka.

“Mengambil dari buku, Pak!” jawab sebagian yang lain. Saya menghargai sangat kejujuran mereka.
“Iya, tidak apa-apa. Tapi, karena mengambil dari buku, nilainya tidak bisa maksimal, ya,” kata saya. “Kalau buatan sendiri, nilainya pasti bagus.”

Dengan demikian, setidaknya tiga perempat siswa mengambil dari internet atau buku untuk tugas menulis puisi mereka.

Saya cukup maklum dengan tindakan mereka. Mereka belumlah besar/dewasa. Mereka baru kelas VII SMP, belum lama lulus dari SD. Perkara mengambil karya orang lain ini belum mereka pikirkan masak-masak konsekuensinya. Mungkin pula mereka berpikir saya tidak akan mengecek karya puisi mereka. Padahal, saya membaca dan mengecek satu per satu puisi-puisi mereka, kemudian saya tulisakan komentar terhadapnya. Jika bagus, akan saya beri komentar yang bagus. Jika terbukti puisi tersebut hasil karya orang lain, akan saya tulis nasehat agar tidak mengambil dari internet atau buku.

Dengan kejadian itu, saya pun berkesempatan untuk menjelaskan betapa berharganya orisinalitas dan betapa buruknya tindakan mengambil karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri.

Dalam memberi nilai terhadap karya puisi tersebut, saya jelaskan bahwa karya sendiri –apapun hasilnya—adalah lebih baik daripada mengambil karya orang lain. Saya tekankan bahwa, puisi buatan sendiri akan mendapat nilai yang lebih tinggi daripada puisi yang sebagian atau seluruhnya mengambil dari karya orang lain meskipun puisi hasil karya sendiri terlihat biasa-biasa saja, bahkan terkesan tidak bagus. Saya tak ragu-ragu memberi nilai yang sangat baik untuk puisi-puisi hasil karya sendiri.

“Bahasa kasarnya begini, anak-anak,” kata saya, “sejelek apapun puisi kalian, kalau itu buatan sendiri, pasti akan Pak Guru beri nilai yang bagus. Sebaliknya, sebagus apapun puisi itu, jika hasil mengambil dari internet atau buku, nilainya tidak akan bagus.”

Tak lupa, saya sampaikan bahwa perbuatan mengambil karya orang lain itu tidak baik. Membuat karya sendiri merupakan latihan agar keterampilan menulis bisa berkembang.

“Nanti ketika UAS kalau ada soal membuat puisi biar kalian bisa mengerjakannya.” Saya memberikan penekanan mengapa membuat karya sendiri itu penting.

“Saat kalian kuliah nanti, kemampuan menulis juga sangat diperlukan. Untuk menyusu skripsi kalian tidak bisa mengambil tulisan orang lain. Pasti akan ketahuan. Ada teknologi yang bisa mengecek berapa persen tulisan kita sama dengan tulisan orang lain. Dan jika ada yang ketahuan skripsinya sebagian besar copy-paste dari milik orang lain, sanksi paling ringan disuruh mengulangi menyusun skripsi dari awal.”

Saya benar-benar menekankan agar para siswa mau menulis atau mengerjakan soal sendiri dan bangga dengan hasilnya. Akhirnya, pada kesempatan yang lain, saya memberi tugas kembali untuk menulis puisi sebagai pengganti puisi-puisi hasil copy-paste sebelumnya.

Pada Ulangan Akhir Semester, soal membuat puisi memang keluar. Saya percaya bahwa para siswa akan bisa menulisnya dengan baik. Saat mengoreksi hasil UAS, saya puas dengan jawaban siswa. Pada soal menulis puisi, hampir semuanya menuliskannya dengan baik. Tak segan saya memberi nilai maksimal pada puisi-puisi tersebut.




Friday, June 16, 2017

Semua Akan Cie Cie pada Waktunya #Jilid 3

Semua Akan Cie Cie pada Waktunya

Awal tahun 2017 saya mendapatkan mimpi siang hari yang sangat horor. Sebagai desainer grafis, mimpi saya pun berkaitan dengan soal mendesain dan mencetak. Dalam mimpi tersebut, saya mendapatkan pesanan membuat kartu undangan dari lima teman yang akan menikah di awal tahun. Bayangkan, lima teman saya mau menikah dan mereka memesan kartu undangan kepada saya. Sungguh, horor maksimal!

Untunglah hal itu hanya mimpi meskipun setelah terbangun hati saya sempat berjumpalitan tak keruan juga. Saya pun teringat sebotol madu dan sari kurma yang beberapa waktu lalu saya beli. Saya ingin memimum kedua suplemen agar badan senantiasa sehat dan bugar karena saya tahu di tahun yang baru ini cobaan bagi para jomblo akan semakin berat. Ini ujian, ini ujian, demikian mantra yang perlu sering dirapal saat mendapat kartu undangan walimahan, apalagi jika berasal dari mantan.

Sebagai jomblo akhir zaman, saya merasa selalu dipandang rendah oleh orang lain yang sudah berkembang biak, eh maksudnya yang sudah menikah. Dan saya yakin, saya punya teman senasib sememprihatinkan yang tak sedikit, atau malah banyak sekali.

Saya bertanya-tanya kepada rumput yang berjoget ataupun kepada rembulan yang bersolek, mengapa para jomblo selalu dihina dan diremehkan? Mengapa... oh... mengapa?

Ada yang mengambil sudut pandang agama dalam merisak para jomblo. Dikatakan bahwa jomblo adalah makhluk yang tidak sempurna karena belum menemukan separuh jiwanya. Jomblo adalah seburuk-buruk manusia jika meninggal. Jomblo adalah orang yang tidak yakin dan tidak tawakal dengan rezeki Tuhan. Lalu mereka pun mengiming-imingi nikmatnya nikah muda. Bahkan, ada seminar nikah muda, plus menghadirkan praktisinya. Haibat sekali, bukan!

Ada yang menghitung-hitung dari segi ekonomi. Jika kamu menikah pada usia 20 tahun, saat anakmu masuk perguruan tinggi yang membutuhkan banyak biaya, kamu masih berusia sekitar 40 tahun. Artinya, kamu masih kuat mencari nafkah. Jika kamu menikah pada usia 30 atau 35 tahun, maka ketika anakmu kuliah, kamu sudah tua dan sudah tidak kuat lagi bekerja. Jadi susah kamu nanti. Begitulah ancaman-ancaman yang ditembakkan para ahli ekonomi untuk menakut-nakuti para jomblo yang kunjung naik ke pelaminan. Seolah-olah jomblo karatan bakal berkubang dalam kemiskinan.

Ahli Psikologi punya penilaian sendiri. Seseorang yang menikah akan lebih cepat dewasa karena ditempa pengalaman dan permasalahan, serta hasratnya bisa tersalurkan dengan aman. Orang yang belum menikah cenderung punya sifat kekanak-kanakan, tidak bertanggung jawab, pemalas, sering keluyuran tak jelas, dan suka membayangkan yang bukan-bukan. Apakah memang benar demikian?

Ahli kesehatan berkata lain lagi. Menikah usia muda itu memungkinkan memiliki anak yang sehat dan cerdas. Jika kamu menikah saat usiamu kepala tiga lewat, bakal susah mendapat anak dan risiko melahirkan tidak normal lebih besar. Aih... seremnya...

Ahli perbintangan berkata lebih tajam, “Kamu lahir di bawah bintang kegelapan sehingga kamu akan susah bertemu dengan jodohmu.” E, lhadalah...

Kenapa, sih, mereka pada suka mengolok-olok para jomblo seakan-akan jomblo adalah makhluk paling mengenaskan dan paling hina-dina sedunia?

Saudara-saudara sebangsa jagat maya, janganlah merisak para jomblo. Mereka itu sudah menderita tekanan batin setiap hari, janganlah kamu tambahi penderitaannya. Tak kasihankah engkau melihat wajah-wajah kuyu nan pucat yang merindukan belaian itu?

Lagipula, jodoh itu kan di tangan Tuhan. Bukan di tangan manusia. Sudah ditentukan jodoh dengan siapa dan kapan waktunya. Beruntunglah engkau yang menikah duluan. Tapi, jangan mengolok yang belum naik ke pelaminan. Itu namanya mengolok takdir Tuhan.

Kita harus meyakini bahwa semua akan cie-cie pada waktunya. Jodoh tidak bisa dipaksakan. Tidak bisa dipercepat, tidak pula bisa dilambatkan. Soal menikah bukan pula soal dulu-duluan. Bukan balapan yang siapa cepat dia hebat.

Saya yakin, semua jomblo pasti ingin segera duduk di pelaminan bersama Dian Sastro Wardoyo kekasih pujaan hatinya. Tapi, ada satu dua hal yang menjadi halangan sehingga pernikahan pun tak bisa segera diwujudkan.

Pertama, ada orang yang dia siap menikah lahir batin. Wajah tampan rupawan, pekerjaan nyaman dan mapan, kendaraannya bukan kreditan. Tapi, keluarganya belum mengizinkan dia untuk menikah dengan berbagai alasan.

Kedua, ada orang yang keluarganya sudah memberi lampu hijau, wajahnya menawan banyak menarik hati perawan. Tapi, sayang ia tak punya kerjaan. Menjadi pengangguran yang tinggal di kamar sewaan, yang setiap akhir bulan sering makan mie instan.

Ketiga, ada orang yang keluarganya oke-oke aja, kerjaannya jadi orang kantoran, duitnya banyak di tabungan.Tapi sayang, wajahnya fakir ketampanan hingga para wanita pun enggan berdekatan.

Keempat, ada orang yang keluarganya oke banget, pekerjaannya bergengsi, mobilnya sedan, wajahnya aduhai mengundang perhatian para janda dan perawan. Tapi sayang, ia takbisa move on dari mantan yang sudah ditikung oleh teman.

Dan ada alasan-alasan lainnya yang membuat para jomblo tak bisa segera melangsungkan perkawinan dengan gadis idamannya.

Orang-orang yang suka merisak itu apakah mereka paham dengan permasalahan setiap jomblo itu sehingga setiap ketemu selalu saja melemparkan olok-olok. Tak tahukah mereka kata-kata bijak yang mengatakan, “Janganlah kamu mengolok-olok para jomblo. Belum tentu kamu lebih baik daripada yang kamu olok-olok itu. Bisa jadi para jomblo yang kamu olok-olok lebih baik daripada dirimu.”

Saudara-saudara, simak dan resapilah kalimat bijak di atas.

Jika mengaku sebagai teman, alangkah baiknya berusaha membantu temannya yang kesulitan mencari jodoh. Yang kesulitan ekonomi, dibantulah dengan mencarikan pekerjaan. Yang kesulitan izin orang tua, dibantulah lobi-lobi dan negosiasi dengan orang tua dan kerabatnya. Yang kesulitan melupakan mantan, dibantulah mencarikan yang pengganti yang sepadan. Yang kesulitan dengan wajanya yang pas-pasan, ya dibiarkan saja karena itu sudah suratan, kecuali kalau mau operasi plastik di Korea Selatan.

Pesan dan wasiat saya untuk para jomblo:

  • Jika kesulitan mencari rezeki, maka kerja... kerja... kerja... 
  • Jika kesulitan mencari jodoh, maka kejar... kejar... kejar...
  • Ingatlah selalu pesan bijak berikut ini, “Hai, orang-orang yang bersendirian, tenangkanlah perasaanmu dan lapangkanlah hatimu. Jodoh tak akan ke mana. Takkan dipercepat, tak pula diperlambat. Bersabarlah, semua akan cie-cie pada waktunya.”





Film India: Antara Pujian dan Cacian

sumber gambar: bukupocer[dot]com

Judul : Aku dan Film India Melawan Dunia (Buku I)
Penulis : Mahfud Ikhwan
Cetakan : 2017
Tebal : viii + 150 hlm
Penerbit : EA Books
ISBN : 978-602-1318-47-8

Seperti film porno, film India disukai sekaligus tidak diakui, dikonsumsi tapi dianggap terlalu kotor untuk dibincangkan, ditonton sendirian kemudian dihinakan di depan banyak orang.” (hal. 4)
Banyak orang yang sudah menonton film biru di dalam kamar tertutup. Akan tetapi, di depan teman-temannya ia akan berpura-pura sebagai seseorang yang lugu yang belum pernah melihat adegan-adegan dewasa itu sedikit pun. Begitu pula dengan film India. Banyak yang dengan rela menumpahkan air mata saat si tokoh utama berpisah dengan kekasihnya di film India atau ikut menggoyangkan pinggul saat si tampan dan si seksi bernyanyi dan berjoget mengelilingi pohon. Namun—sebagaimana  film porno—tak ada yang membicarakan adegan-adegan film India dalam arisan bulanan atau obrolan ngalor-ngidul di kafe sepulang kerja. Intinya, film India adalah tontonan rendahan dan menjadi aib bagi orang yang menontonnya.
Generasi 90-an merasakan betul keadaan tersebut. Demikian pula yang dirasakan oleh Mahfud Ikhwan, si penulis yang masa remajanya disesak-penuhi heroisme film India, dan juga goyangan artisnya. Maka, menuliskan sesuatu—seremeh apa pun—tentang film India adalah sebuah keberanian luar biasa. Sebuah keberanian untuk melawan pandangan orang banyak, melawan dunia, melawan semesta. Kata penulisnya, dushman dunia ka, ‘sang musuh semesta’.
Sebelum diterbitkan, sebagian besar tulisan dalam buku ini diunggah dalam blog pribadi penulisnya yang beralamat di dushmanduniyaka.wordpress.com. Sebagai penikmat film India yang kadang-kadang malu mengakuinya, saya sudah sering bertamu ke blog tersebut. Sebagai sebuah blog, tulisan-tulisan Mahfud Ikhwan memang cenderung bersifat pribadi, bersifat intim. Demikian pula buku ini yang pembahasannya memang subjektif. Dalam bab “Thank You, India (Movies)!”, Mahfud Ikhwan memberikan tiga alasan mengapa ia menyayangi, merawat, dan membela film India. “Pertama, ia sulit didapat; kedua, ia membuat saya merasa kaya; dan ketiga, ia menjadikan saya merasa istimewa.” (hal.6)
Di tanah air, film India sempat menimbulkan ramai diperbincangkan saat Briptu Norman bergoyang dan bernyanyi “Chaiyya-Chaiyya” yang merupakan lagu latar film “Dil Se” (1998). Namun, peristiwa itu ibarat ngobong-obong blarak ‘membakar daun kelapa’ yang cepat dan mudah terbakar, namun cepat dan mudah pula padam. Pada satu masa, Norman dipuja dan wajahnya muncul di berbagai stasiun televisi. Masa berikutnya, ia sudah terlupakan oleh media.
Sinema India menemukan momentumnya kembali ketika muncul sinetron Mahabharata dengan deretan aktor yang tampan dan barisan aktris yang cantik. Sejak saat itu, layar kaca dibanjiri sinetron dari negeri Sungai Gangga ini. Rating sinetron India pun mengalahkan kontes dangdut, bahkan mengalahkan tayangan pertandingan sepak bola. Namun, hal itu hanya berlaku untuk sinetron yang merupakan film berseri, bukan untuk film layar lebar. Film-film India secara umum masih terpinggirkan. Membicarakan sinetron India sudah menjadi salah satu menu obrolan, tapi membicarakan film (layar lebar) India, masihlah menjadi sesuatu yang aneh.
Perjuangan Menonton Film India
Pada masa sebelum televisi menjadi barang yang memang semestinya ada di setiap rumah, menonton film India merupakan sebuah perjuangan yang berat. Dalam bab “Nonton India: Perjuangan Tak Berkesudahan”, Mahfud Ikhwan menceritakan perjuangan beratnya bersama teman-teman sekampung ketika ingin menonton film India.
Pada masa itu, di kampungnya hanya ada beberapa yang warga yang memiliki televisi dengan sumber energi berasal dari aki. Untuk menonton film India—yang seringnya tayang pada malam atau bahkan dini hari—Mahfud Ikhwan dan kawan-kawan seperjuangannya harus melobi si pemilik televisi dan memastikan akinya cukup untuk menghidupi televisi hingga beberapa jam. Tak jarang, mereka sampai ke luar kampung untuk mendapatkan televisi yang bisa dan boleh ditonton.
Munculnya pemutar video dengan layar proyektor membuat aktivitas menonton film India menjadi lebih semarak. Namun, yang tetap menjadi masalah adalah sulitnya mendapatkan video film India. Begitu juga saat teknologi CD player mulai dikenal orang-orang kampung. Meskipun CD yang berisi lagu-lagu soundtrack film India tidak terlalu sulit didapatkan, namun lagi-lagi, CD film India masih menjadi barang langka. Mencari film India ibarat mencari sebatang pulpen di dalam lapangan sepak bola.
Kegandrungan Mahfud Ikhwan terhadap film India sempat menurun saat ia merasakan “lelah” memburu film-film India. Namun, komputer dan internet menjadi berkah tersendiri bagi pencinta film India. Film-film India bisa dengan mudah ditemukan di internet. Sayang, untuk film-film lawas, belum ada subtitle-nya. Di sinilah keisengan Mahfud Ikhwan bermula. Ia mencoba menerjemahkan beberapa film India hingga akhirnya ia menyadari tidak berbakat dalam hal tersebut.
Banjir Kuch Kuch Hota Hai Menenggelamkan Angry Young Man
Film India masa kini berbeda dengan masa sebelum tahun 2000, atau lebih khususnya sebelum masa “banjir” film “Kuch Kuch Hota Hai”. Film yang melambungkan nama Shah Rukh Khan (SRK) itu telah menenggelamkan film-film angry young man yang berjaya pada tahun 70-an hingga 90-an. Dari film-film angry young man itulah generasi 90-an mengenal Amitab Bachchan, Jackie Shroff, Anil Kapoor, dan Sunny Deol. Juga Ajay Devgan, Akhsay Kumar, Sanjay Dutt, Salman Khan, Aamir Khan. Muhajjah
Pada masa itu, SRK hanyalah aktor yang tak diperhitungkan yang sering berperan sebagai antagonis. Tapi, semuanya berubah sejak “Kuch Kuch Hota Hai” menyerang. SRK merajai Bollywood. SRK yang sebelumnya berakting bagus sebagai antagonis dalam beberapa film pada awal 90-an menjelma menjadi SRK yang perayu dan pandai menguras air mata. Mahfud Ikhwan yang menggandrungi genre angry young man pun merasa benci-rindu dengan SRK. Hal tersebut diungkapkannya dalam bab “Shah Rukh Khan si Bajingan”.
Saya sendiri menyukai SRK meskipun beberapa filmnya memang membosankan untuk ditonton. Salah satu film SRK yang berkesan bagi saya yaitu “Shakti: The Power”, yang kebetulan menjadi salah satu film favorit Mahfud Ikhwan karena menampilkan Nana Patekar. Siapakah Nana Patekar?
Soal pengidolaan aktor, dengan terang Mahfud Ikhwan menyebut Nana Patekar. Ia membahasnya dalam bab tersendiri dengan cukup panjang dalam “Nana dan Saya”. Nana Patekar dengan tatapan menelisik setajam elang itu memang mudah membuat orang penasaran. Mahfud Ikhwan, bisa dibilang merasa “jatuh cinta pada pandangan pertama” dengan Nana. Ia melihat penampilan Nana pada sebuah film India yang ditontonnya pada dini hari. Sejak saat itu, Mahfud Ikhwan selalu mencari informasi tentang Nana Patekar dan film di mana ia berperan yang seringnya sebagai tokoh antagonis, atau tokoh abu-abu.
Soal idolanya ini, Mahfud Ikhwan menyebutkan, “Saya menyukainya bahkan sebelum tahu namanya. Tak seperti kata orang Jawa bahwa rasa suka muncul dari seringnya berjumpa, saya menyukainya karena ia begitu sulit ditemui. Ia begitu misterius. Hampir selalu muncul tanpa pengenal, tanpa inisial, tapi daya pukaunya luar biasanya.” (hal.49)
***
Salah satu yang patut diapresiasi dari perfilman India yaitu kebanggaan para sineasnya untuk menampilkan latar India, budaya dan patriotisme India. Nasionalisme sangat terasa dalam sebagian besar film-film India. Mahfud Ikhwan menyebutkan, “Pada dasarnya sinema India, hampir secara keseluruhan hingga usianya yang ke seratus tahun, disadari atau tidak adalah usaha panjang, terus-menerus, kadang memutus-asakan, untuk menjaga, menemukan, atau menemukan kembali keindiaan.” (hal.110-111)
Disebutkan beberapa film India yang menggambarkan karakter keindiaan di antaranya “Rang De Basanti” (2006), “Delhi-6” (2009), serta film-film angry young man yang karakter tokoh utamanya “Inspektur Vijay” dianggap sebagai “gambaran sejati tentang India”.
***
Buku Aku dan Film India Melawan Dunia merupakan buku pertama tentang film India yang saya baca. Dan saya belum menemukan buku lain semisalnya. Sampul buku ini menampilkan Irfaan Khan dalam pakaian yang sederhana yang berasal dari poster film “Billu” (2009). Dengan perpaduan warna merah dan hitam, membuat buku ini menegaskan posisinya yang tidak berada di arus utama, tidak dalam budaya populer, dan—sepertinya—tidak bakalan best seller. Judulnya terlihat mencolok dengan warna putih. Secara umum, buku ini terlihat seperti malu-malu tapi ingin diperhatikan, sederhana tetapi tampak angkuh.
Membaca buku Aku dan Film India Melawan Dunia mungkin masuk dalam daftar aktivitas yang tak ingin dilakukan di tempat umum. Bagaimanapun, film India (bukan sinetron India) belumlah menjadi tontonan populer di Indonesia. Menonton dan membahasnya—juga membaca buku tentang film India—masihlah menjadi hal yang bisa mendatangkan tatapan sinis. Jika memang berani malu atau memang tak peduli dengan omongan orang, maka bacalah buku ini di depan umum. Dan selamat menikmati. Chaiyya…. Chaiyya….

***
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di basabasi.co pada tanggal 1 April 2017. 


KURMA: Kemah yang Tak Biasa

Kerennya....

Forum IMTAQ wa Rohmah memiliki banyak agenda kegiatan setiap tahun
. Salah satu kegiatan yang paling berkesan di IMTAQ adalah KURMA yang merupakan kependekan dari Kemah Ukhuwah Remaja Masjid. Dulu cukup disebut Mukhoyam, biasanya dilaksanakan selama 3 hari 2 malam. Sudah berapa kali Kurma dilaksanakan, saya tak tahu pasti. Seingat saya, dulu diagendakan setahun sekali. Namun, karena kondisional terkadang terlaksana dua tahun sekali.

KURMA berbeda dengan kemah pada umumnya. Kurma bukan kemah hura-hura yang penuh nyanyi-nyanyi dan joget-joget. Kurma bukan pula satu macam kegiatan outdoor seperti hiking atau mendaki. Kurma bukan pula seperti kemah Pramuka.


Peserta Kemah
Selama ini peserta Kurma tidak pernah banyak. Biasanya berkisar antara 20-30 orang. Target peserta Kurma adalah remaja usia SMP dan SMA serta mahasiswa. Kemah ini cukup berat sehingga anak usia SD tidak diperbolehkan ikut. Para peserta yang akan ikut Kurma mestilah memiliki badan yang sehat. Tak kalah penting ialah para peserta mendapat izin orangtuanya.

Kurma tahun 2008, saat masih unyu-unyu
Kurma tahun 2009 di Selo, Boyolali
Ini anaknya siapa, sih

Lokasi Kemah
Lokasi untuk Mukhoyam atau Kurma biasanya di lereng gunung. Tempat yang dekat dengan hutan serta jauh dari keramaian. Dan biasanya udaranya sangat dingin. Tempat yang pernah menjadi lokasi Kurma di antaranya Buper Sekipan, Tawangmangu. Di sini sangat dingin. Apalagi kalau malam hari. Siang hari saja udaranya cukup dingin. Dahulu –sebelum tahun 2010—tempat ini memang sudah cukup terkenal tapi belum seramai sekarang ini.

Selain Sekipan, Buper lain yang dipakai untuk Kurma adalah Segorogunung, Kemuning. Tempatnya di daerah bukit yang banyak ditanami sayuran oleh warga. Di daerah ini juga terdapat kebun teh yang sangat luas. Pemandangan di Segorogunung sangat indah, baik siang maupun malam. Siang dengan hamparan hijau sayuran dan kebun tehnya, malam dengan kerlap-kerlip lampu kota di kejauhan yang tampak seperti bintang-bintang yang bersinar.

Buper Kayu Ijo, Ngargoyoso juga sering digunakan untuk kegiatan Kurma. Letaknya tepat di atas air terjun Parangijo. Jadi, kegiatan kemah di sini bisa sekaligus bermain di air terjunnya. Tempat di Tawangmangu yang terakhir digunakan untuk kemah yaitu Buper Tlogo Dringo. Ini adalah tempat paling tinggi dan paling dingin yang pernah digunakan. Tlogo Dringo sering digunakan sebagai lokasi diksar organisasi pecinta alam.

Kurma pernah pula dilaksanakan di lereng gunung Merbabu, tepatnya di daerah Selo, Boyolali. Tempatnya cukup ekstrim, karena tidak terlalu jauh dari lokasi kemah terdapat jurang. Tempat ini termasuk jarang digunakan untuk kemah dan sepertinya sekarang sudah jarang atau tidak ada lagi yang menggunakannya.




Kegiatan Kurma
Kegiatan Kurma cukup berat. Outbond dan permainnya seru serta cukup menguras tenaga dan pikiran. Ada permainan meniti jembatan tali, berayun dari ketinggian 2 meter lebih, dan kegiatan fisik lainnya. Ada tuh yang waktu berayun dia takmau melepaskan talinya hingga dia berayun-ayun terus di atas. Mungkin saking takutnya kali.

Pernah suatu malam yang gelap dan dingin, sekira pukul dua dini hari, para peserta dibangunkan kemudian disuruh guling-guling di rumput. Untungnya sih, waktu itu saya menjadi panitia jadi tidak ikut guling-guling. Dalam kondisi menahan kantuk berat, mereka berguling, salto ke depan mencapai jarak tertentu. Percayalah, itu sungguh kegiatan yang sangat berat. Rata-rata kepalanya langsung pusing. Sampai ada yang muntah segala.

Malam yang lain, para peserta dibangunkan disuruh membongkar tenda dan dimulailah game perang gerilya. Sewaktu di Buper Sekipan, malam hari peserta dibangunkan dan diajak mengikuti permainan Rangers Patrol. Rangers Patrol adalah permainan perang dengan misi mengambil slayaer (kain) milik musuh. Para peserta berkelompok dan berpencar, lalu bergerilya mencari kelompok lain. Maka, tak ayal terjadi banyak tubrukan dan gulat di rumput untuk saling merebut slayer. Ini permainan yang sangat seru, menegangkan, dan menyenangkan.

Pada Kurma yang lain, malam hari diisi dengan kegiatan uji nyali. Karena dekat dengan hutan dan jauh dari perkampungan penduduk, lokasi Kurma gelap. Ada permainan uji nyali mengambill slayer di tempat yang agak jauh dan gelap, katakanlah masuk ke dalam hutan. Waktu di Buper Kayu Ijo, saya menjadi “penunggu” slayer, mengawasi para peserta dari tempat persembunyian.

Para peserta secara sendiri-sendiri mencari-cari slayer yang ditaruh secara acak. Ada peserta yang dengan gagah berani mencari dan langsung menemukan slayer. Ada peserta yang terlihat takut, berjalan pelan-pelan sambil menengok kanan kiri. Ada peserta yang saking takutnya mengucap “Allahu akbar” dengan keras dan berulang-ulang. Ada yang lari tanpa mengambil slayer. Ah, lucu kalau mengingat tingkah para peserta waktu itu.

Oh ya, adakah yang ingat saat permainan sepakbola hutan? Yaitu sepakbola yang tempatnya di hutan sehingga banyak pohon penghalang. Membuat permainannya semakin susa, kan. Siapa ya, yang dulu niat hati mau menendang bola tapi malah kena batang pohon. Tahu sendiri akibatnya kalau mau mengadu kaki dengan batang pohon.









Masak
Memasak mandiri adalah ciri khas Mukhoyam atau Kurma. Para peserta secara berkelompok mempersiapkan perlengkapan dan bahan masak selama kemah. Dulu mereka memasak tanpa kompor. Jadi mereka membuat tungku api dengan batu atau batu bata dan mencari kayu bakar. Sialnya jika udara lembap atau habis turun hujan, kayu-kayu tidak ada yang kering. Semakin susahlah menghidupkan api. 
Yang pernah ikut Kurma pasti tahu ternyata betapa susahnya memasak makanan.

Asap membubung, memencar memenuhi pertendaan. Membuat tenggorokan sakit dan mata pedih. Kok susah banget sih membuat api yang besar. Masak di hutan dengan peralatan sekadarnya, jika beruntung dan pintar masak bakal mendapat menu makan yang enak. Setidaknya nasinya bisa matanglah. 

Soalnya pernah kelompok saya menanak nasi, hasilnya setengah matang. Ada tempe setengah jadi yang ketika digoreng tidak jadi akhirnya dibuat sambal. Maka menu utama pagi itu adalah nasi setengah matang dan sambal tempe setengah jadi. Rasanya, begitulah. Tapi habis juga sih, namanya juga kelaparan, di hutan pula, dan adanya hanya itu.




***

Kegiatan kemah, susahnya kalau sedang hujan. Saat kemah di Tlogo Dringo, sampai lokasi disambut oleh hujan. Pakaian dan perbekalan basah. Sempat terlintas dalam pikiran ketua panitia untuk membatalkan acara. Namun, dengan tekad kuat dan kebersamaan, acara tetap berlanjut meski para peserta tidur dalam kondisi kedinginan. Semua pakaian termasuk pakaian dalam basah. Esoknya, mereka pun menjemur semua pakaian dan perbekalan. Dalam kondisi seperti ini, ada aja yang bikin lucu. Ada yang kehilangan pakaian dalamnya karena saat dijemur, bercampur. Semoga tidak ada tragedi semvak yang tertukar. Ah, konyol...

Sepulang kemah biasanya badan akan pegal-pegal dan bakalan bugar setelah 1-2 hari. Hal ini karena kegiatan kemah memang padat dan berat, tapi menyenangkan kok. Sebagian besar peserta yang ikut Kurma pasti ketagihan untuk ikut lagi.

Mukhoyam/Kurma memang meninggalkan banyak kesan. Dinginnya tempat yang membuat mereka tak pernah mandi selama kemah, beratnya outbond, asyiknya permainan, serunya perang-perangan, “enaknya” masakan setengah matang, suara dengkuran saat malam, dan kejadian-kejadian lucu selama kemah bakal menjadi kenangan yang tak terlupa.