Beberapa hari terakhir ada sesuatu yang terasa kurang dalam hidupku. Tersebab kopi Menoreh-ku habis beberapa hari yang lalu. Belum ada kesempatan untuk membelinya lagi ke Jogja. Kopi yang dihargai 15.000/100 gr itu memang sangat cocok bagi lidahku.
Kopi Angkring pun belum sempat kubeli lagi di Toko Podjok Pasar Gedhe. Selalu tak ada waktu untuk ke sana pada masa libur lebaran ini.
Aku pun minum kopi sachetan yang terasa kurang greget di lidahku.
Aku suka menikmati kopi hitam pada pagi hari di teras rumah. Biasanya dibarengi dengan aktivitas membaca buku atau melihat-lihat perkembangan dunia dalam jaringan. Dan bertambah syahdu ditemani kicauan burung-burung yang bertengger di dalam sangkar. Begitulah cara menikmati kopi kesukaanku.
Tentang kopi, setiap orang memiliki selera sendiri-sendiri. Seseorang bisa saja menggandrungi satu jenis kopi yang bagi orang lain diemohinya. Ada yang suka kopi murni, ada yang suka ditambah creamer, ada yang suka latte atau cappucino.
Ada yang suka ngopi di warung kaki lima, ada yang hobi ngopi di kafe dalam mall. Ada yang menganggap kopi terenak adalah buatan istri.
Begitu pun pilihan-pilihan hidup yang lain. Tentang pekerjaan, ada orang yang sangat getol untuk menjadi PNS, sedang orang lain di seberang sana sama sekali takminat pekerjaan itu.
Ada orang yang enjoy berdagang, sedang yang lain ragu dan malu melakukannya. Ada orang yang senang bekerja terikat waktu dan menetapi target, sedang yang lain suka bekerja dengan kreativitas yang bebas.
Ada orang yang nyaman mencari rezeki di perantauan, sedang yang lain takmau meninggalkan kampung halaman.
Setiap orang memiliki alasan-alasan tersendiri dalam memilih pekerjaan. Tapi, banyak orang memandang seseorang dengan pekerjaan tertentu lebih mulia derajatnya dan lebih tinggi kedudukannya daripada seseorang dengan pekerjaan lain.
Orang memandang lebih tinggi kedudukan guru PNS di sekolah negeri yang terkenal daripada guru honorer atau guru yayasan di sekolah kecil di tempat terpencil.
Orang memandang lebih mulia derajat pegawai bank daripada penjual bakso.
Orang memandang lebih hebat seorang perantau di kota besar daripada orang yang hanya bekerja di kampung halaman.
Pekerjaan yang wah, prestisius, bergaji tinggi, dan berperan sebagai orang "penting" dianggap sebagai jalan menuju kebahagiaan. Sedang, pekerjaan yang "remeh" dan berpenghasilan kecil dianggap sebagai "jalan sesat" yang ujungnya adalah ketakbahagiaan.
Tapi,
Aku sering melihat bagaimana ibu-ibu tua penjual makanan melayani pembeli dengan riang dan senyum yang tulus. Terlihat jelas ada kebahagiaan di balik senyum dan binar mata mereka.
Hal ini berkebalikan dengan kebanyakan senyum para pegawai bank, instansi, atau perusahaan besar yang senyumnya lebar tapi terasa hambar. Adakah kebahagiaan yang menyusup ke dalam hati seiring senyum mereka itu.
Aku bukan bermaksud mengatakan bahwa orang-orang sederhana itu lebih bahagia daripada orang-orang dengan pekerjaan mentereng. Nyatanya, banyak pula pekerja kecil yang susah dan suka mengeluh, banyak pula orang kaya yang bahagia selalu.
Menurut hematku, kebahagiaan tidak tergantung pada pekerjaan yang kita jalani. Tidak tergantung pada harta yang kita miliki. Tapi, kebahagiaan lebih tergantung bagaimana cara pandang kita terhadap apa yang kita miliki: pekerjaan, harta, keluarga, dll.
Sebagaimana kopi, kita punya pilihan terhadap pekerjaan yang kita sukai. Sebagaimana kopi, kita bisa memilih cara "menikmati" pekerjaan kita. Apapun kopi kesukaan kita dan pekerjaan yang kita jalani, semua bermuara pada satu tujuan yaitu kebahagiaan.
(Sukoharjo, 10 Juli 2016)