Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Thursday, May 28, 2015

Mendaki Gunung Andong, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah #1

Puncak Gunung Andong (1.726 mdpl). Terlihat gunung Merbabu dan Merapi di kejauhan

1.726 mdpl (meter di atas permukaan laut). Itulah ketinggian gunung Andong yang berada di Magelang. Termasuk gunung dengan ketinggian yang rendah. Dengan melihat angka ketinggian tersebut, aku memperkirakan perjalanan menuju ke puncak tidak akan memakan waktu terlalu lama. Paling sekitar 2 jam.

Sabtu, 23 Mei 2015. Perjalanan dimulai dari Sukoharjo dengan mengendarai Avanza berwarna hitam metalik. Tujuh orang menaiki mobil dan empat orang dengan bersepeda motor. Rute yang dipilih ialah melalui Salatiga, karena kata temanku yang juga bertindak sebagai sopir, jalur Selo jalannya tidak terlalu bagus.

Perjalanan dimulai pukul 15.00 WIB. Dengan berpandu pada GPS, mobil berjalan menyusuri garis biru di layar. Setelah melewati Boyolali, masuk wilayah Salatiga, matahari mulai meredupkan sinarnya. Sebelum masuk kota Salatiga, mobil belok kiri menyusuri Jalan Lingkar Salatiga. Perjalanan lancar dan nyaman sampai kami tiba daerah Ngablak. Di daerah Ngablak kami belok kanan sesuai arah yang ditunjukkan oleh GPS.

Agak lama mobil kami menyusuri jalan kecil dengan lebar sekitar empat meter, namun belum terlihat papan penunjuk arah ke basecamp pendakian di desa Sawit. Akhirnya, kami bertanya kepada seorang warga. Dengan mengikuti petunjuk dari warga, kami akhirnya sampai di basecamp pendakian gunung Andong di Desa Sawit, Girirejo, meskipun sebelumnya sempat berputar-putar karena kehilangan arah. Terlihat banyak sepeda motor dan beberapa mobil yang terparkir. Ini kendaraan para pendaki, pikirku.

Setelah shalat Magrib dan Isya di masjid desa tersebut, kami menuju salah satu rumah warga yang juga berfungsi sebagai warung makan tempat istirahat para pendaki. Aku yang seharian baru makan sekali, sudah tak sabar ingin mengisi perut di warung tersebut. Di desa ini banyak rumah warga yang berubah menjadi warung makan.

Menu nasi goreng terasa nikmat disantap kala malam yang dingin –meskipun hawa dingin di sini tak sedingin basecamp pendakian gunung lain. Santap malam makin nikmat dengan hidangan kopi hitam kesukaanku, sedangkan yang lain menikmati minuman teh hangatnya.

Setelah makan, kami beristirahat sejenak sebelum mulai mendaki.

“Ayo, segera naik,” kata seorang temanku.

“Sebentar,” jawabku, “biar nasinya turun dulu.”

Sungguh tidak baik jika setelah makan langsung melakukan aktivitas yang berat. Selama satu jam kami berdiam di warung makan dan mengobrol banyak hal. Kami pun sempat mengobrol dengan tukang parkir yang pengakuannya membuatku terheran.

“Sabtu lalu, sepeda motornya ada seribu lebih. Mobilnya ada lima belas,” kata Mas Tukang Parkir menjelaskan betapa banyaknya para pendaki yang ingin mendaki gunung Andong saat akhir pekan.

“Jadi ramai banget, Mas,” lanjut Mas Tukang Parkir, “Susah buat nyari tempat mendirikan tenda. Tempatnya penuh. Buat jalan aja susah mas.”

Iya juga, bayangkan saja, gunung kecil ini didaki oleh banyak pendaki. Jika setiap sepeda motor dikendarai oleh dua orang, maka setidaknya ada dua ribu orang yang akan menuju puncak gunung Andong. Bayangkan saudara-saudara.

“Mungkin karena gunung ini rendah, jadi banyak yang ingin mendakinya,” kataku.


"Sepeda motornya ada seribu lebih. Mobilnya lima ada belas," kata Mas Tukang Parkir.

Pukul sepuluh malam, kami mulai bersiap mendaki. Setelah berdoa, kami mulai melangkahkan kaki mendaki gunung Andong dengan ditemani udara dingin.

Di awal perjalanan, kami melewati beberapa anak tangga buatan, dengan memasang batang bambu secara berundak. Setelah itu kami, jalur pendakian berupa tanah-tanah berundak.

Pohon akasia dan pinus mendominasi tetumbuhan di gunung Andong.Di beberapa tempat terdapat batu-batu besar yang bisa menjadi tempat beristirahat atau sekadar menyandarkan badan.

Kami mendaki dengan santai. Beberapa kali istirahat. Semakin ke atas, hawa semakin dingin. Namun, semakin ke atas berarti pemandangan semakin bagus. Pemukiman warga di wilayah kaki gunung tampak berkelap-kelip dilihat dari atas. Dan gunung Merbabu tampak berdiri kukuh menjadi semacam benteng bagi wilayah di kaki gunung Andong ini.

Saat puncak gunung mulai terlihat, langkah kaki kami terasa lebih ringan. Kami lebih bersemangat berjalan mendaki. Ada tiga puncak di gunung Andong: Puncak Makam, Puncak Andong, dan Pucak Alap-alap. Puncak Alap-alap biasanya dituju oleh para pendaki dari basecamp Nggogik yang katanya jalurnya lebih susah untuk didaki. Puncak Makam mendapatkan namanya karena di sini terdapat makam di dalam sebuah bangunan rumah batu bata. Puncak Andong merupakan puncak yang paling tinggi (1.726 amsl).

Bikin minuman hangat dulu biar nggak panik.
Waktu menunjukkan pukul 24.00 WIB. Kami memutuskan untuk mendirikan tenda di Puncak Makam, setelah mencari-cari celah di antara tenda para pendaki lain. Tenda kami berada di pinggir jalan pendakian, berdiri di atas tanah berukuran 2 x 2 meter. Di kanan, kiri, dan belakang, juga di depan seberang jalan, sudah berdiri tenda pendaki lain. Puncak ini penuh dengan tenda. Juga di Puncak Andong dan Puncak Alap-alap yang terlihat dari banyaknya cahaya lampu, senter, maupun kompor yang dinyalakan. 

Udara tidak begitu dingin sebagaimana dinginnya udara di puncak gunung lain. Kami memasak air dan membuat minuman penghangat. Pukul 02.00 WIB aku memutuskan untuk tidur. Namun, tenda yang berdiri di tepat di pinggir jalan tidak bisa memberikan ketenangan. Sebentar-sebentar terdengar langkah kaki. Juga sering terdengar tawa para pendaki lain yang tidak terlelap. Akhirnya, sampai pukul 04.00 WIB aku tidak bisa benar-benar tertidur.
Menanti pagi. Puncak gunung Andong masih diselimuti awan. Matahari udah bangun tuh.
Setelah shalat Subuh –dengan memperkirakan arah kiblat karena bintang tak terlihat tertutup oleh awan, bersama pendaki lain aku berdiri memandang ke arah timur, arah terbitnya matahari. Awalnya, samar-samar warna merah pucat membersit dari puncak gunung. Semakin lama warna itu semakin cerah. Pagi itu kabut sedang menyelimuti gunung. Warna putihnya yang bergerak seirama tiupan angin bak salju yang turun. Sungguh, pemandangan yang menakjubkan. Untuk beberapa jenak, aku terpesona oleh tarian awan putih itu, yang muncul dari Puncak Andong kemudian turun menyusuri gunung dengan arah yang dikemudikan oleh angin.
Sepertinya aku nggak bakat narsis. Kacamatanya bagus bangettttsss......... #ehm
Matahari perlahan-lahan menyapa dari balik Puncak Andong. Cahayanya yang semakin terang menyingkap keindahan Puncak Andong. Pemandangan yang indah ini diabadikan oleh para pendaki, termasuk aku. Terlihat beberapa orang sibuk berpose dan berselfie ria.

Kami berjalan menuju Puncak Andong yang jaraknya sekitar sepuluh menit perjalanan dari Puncak Makam. Kami melangkahkan kaki dengan pelan, berjalan membelok-belok di antara tenda para pendaki. Benar juga kata Mas Tukang Parkir: susah untuk berjalan menuju puncak karena banyak tenda yang berdiri.

Para pendaki menikmati pagi: gunung berselimut awan.

Ramainya pendaki gunung Andong di akhir pekan.

"Kayak gini lupa hutang." Bener banget, Mas. : )
Balita aja sampai di Puncak Andong. *Model anonim. *Sorry, Pak, Bu, saya ambil fotonya.
Di Puncak Andong, sudah banyak orang yang mengabadikan momen di tempat berdirinya sebuah papan bertuliskan “Andong Peak, 1.726 amsl”. Tempat tersebut menjadi spot favorit untuk mengambil gambar karena di belakangnya berdiri gunung Merbabu. Puncak gunung Merapi pun kelihatan, berada di belakang gunung Merbabu. Pemandangan puncak gunung Merbabu dan Merapi inilah yang menjadi daya tarik keindahan Puncak Andong.

Pemandangan dari gunung Andong. Lihat, itu gunung Merbabu.

Salah satu medan jalur pendakian. *Tapi foto ini waktu turun.

"Tetap semangat. Di basecamp sudah menunggu soto dan es teh." : )
Pukul 09.30 WIB kami mulai turun gunung setelah membereskan tenda dan mengumpulkan sampah kami. Kami membawa turun sampah kami. Ingat kata-kata para pecinta alam: “Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak.” Artinya kita jangan meninggalkan sampah di gunung. Kita mesti membawa turun sampah yang kita buat di gunung agar gunung tetap terpelihara kebersihannya.
 

Perjalanan turun lebih ringan dan lebih cepat. Satu jam kemudian kami sudah sampai di basecamp. Setelah beristirahat sejenak, kami pulang. Melewati jalur Selo, yang ternyata jalannya lumayan baik dan waktu tempuhnya lebih cepat. Pukul 12.00 WIB aku sampai di rumah, merasa lelah. Aku sudah meninggalkan jejak kaki di puncak gunung Andong –meskipun akan terhapus. Dan aku membawa pulang sekantong kenangan keindahan alam di puncak gunung Andong.