Minggu
selepas azan Subuh, Sheikha---anak kami—sudah bangun. Minggu yang penuh
semangat. Sejak beberapa hari yang lalu, istri saya sudah meminta untuk
membelikan jeruk lemon. Rencana kami pada Minggu pagi adalah mencari jeruk
lemon ke pasar.
Pagi yang belum
sarapan ternyata mengubah rencana. Mumpung libur, kami sepakat ke alun-alun
Sukoharjo untuk mencari sarapan. Kami sudah mandi. Sheikha pun sudah bersih
wangi dan memakai baju cantik. Gasss… berangkat…
Pukul 07.30.
Perjalanan dimulai.
Sampai di tengah
perjalanan, kami berubah pikiran. Bagaimana kalau kita random trip saja, usul
istri saya. Sebagai suami yang penurut dan penuh perhatian, saya “iyain” aja.
Kalau ke arah timur---Tawangmangu—sudah sering sehingga tidak terlalu menarik.
Saya pun berinisiatif membelokkan kendaraan ke arah barat. Klaten, sepertinya
menarik.
Kami melewati
persawahan yang hijau, jalan yang berkelok. Jalan alternatif Sukoharjo-Klaten
ini mengingatkan kami pada masa dulu ketika manten anyar. Kami beberapa kali ke
Jogja melewati jalan ini hingga hafal nama daerah yang kami lewati. Bahkan,
kami hafal di mana ada lubang di tengah jalan, kami tahu mana bangunan yang
dulu belum ada.
Sampai di Jalan Raya
Delanggu, kendaraan bermotor terlihat ramai lalu-lalang. Ini hari Minggu, gitu
loh. Ke manakah tujuan kita hari ini? Kami perlu ke tempat alam yang luas yang
bisa dipakai Sheikha buat jalan-jalan dan eksplorasi lingkungan. Klaten
sebagian besar menyediakan wisata air. Ciblon, renang. Sheika suka. Namun, pada
hari Minggu, semua tempat wisata pastinya ramai. Kami berusaha menghindari
keramaian.
Hutan Pinus
pilihannya. Di kawasan hutan, Sheikha bisa bebas menjelajah. Tingkat kepadatan
pengunjung pastinya juga rendah mengingat luasnya kawasan hutan pinus. Kami pun
melaju melewati Kota Klaten dengan alun-alunnya yang selalu sibuk itu.
Sepanjang perjalanan, kami melihat-lihat Klaten yang relatif tak berubah sejak
tahun-tahun lalu.
Istri saya takjub
dengan suasana Klaten yang dikatakannya bernuansa tahun 90-an. Beberapa
bangunan masih tampak dengan ormanen lawas. Di sisi kiri dan kanan jalan utama
terdapat jalur lambat. Pepohonan yang rindang membuat jalanan terasa teduh.
Selepas Prambanan,
kami berbelok kiri. Menelusuri jalan ke arah Patuk. Menuju Bukit Bintang, jalan
menanjak dan berkelok. Sopir butuh konsentrasi. Dan kopi, tentunya. Untungnya,
saya sudah membawa bekal tumbler kopi. Gunung Kidul Handayani menyambut senyum
kami.
Untuk menuju hutan
pinus, dari perbatasan perbatasan Gunung Kidul kami berbelok ke arah barat.
Jalan menyempit. Heha Skyview yang menyajikan wahana instagrammable, kami
lewati. Dulu kami pernah mampir di parkiran objek wisata yang sering ramai ini.
Di sini, pemandangan perbukitan dan kota Jogja di kejauhan bisa menemani
pengunjung menikmati hidangan makanan di restonya.
Kami ingin wisata
alam. Kami ingin ke Hutan Pinus Pengger. Hutan Pinus Pengger adalah objek
wisata paling timur dari serangkaian wisata hutan pinus di Wonosadi. Beberapa
bus terparkir di tempat parkir Pengger. Cukup ramai, tetapi tidak seramai
dahulu sebelum pandemi. Tempat parkir masih luas. Setelah membayar tiket masuk
sebesar sepuluh ribu rupiah per orang, kami menjelajahi Hutan Pinus Pengger.
Hutan yang ditanami pinus ini terbilang bersih. Terdapat beberapa wahana untuk
berfoto. Beberapa gazebo guna melepas lelah, atau duduk-duduk di rumput juga
menyenangkan. Rebahan juga boleh.
Sheikha terlihat
antusias dengan tempat baru. Ia melangkah ke mana saja pandangannya tertuju.
Naik-turun, melompati pagar. Tentu kami yang kewalahaan. Maklum, timbunan lemak
telah mengurangi ketangkasan kami dalam menjelajah alam.
Tak lupa, mendoan
goreng, mie goreng, dan es degan menjadi hidangan pengobat lapar dan dahaga.
Sheikha suka degan, dan es batu. Kami makan di sebuah warung dengan pemandangan
bukit pinus di sekeliling dan dataran rendah di kejauhan.
Pukul sebelas siang,
kami cabut dari hutan pinus. Ke mana lagi setelah ini?
Saya selalu penasaran,
Hutan Pinus Mangunan dengan Hutan Pinus Pengger apakah termasuk satu kawasan.
Jika satu kawasan, semestinya dari Pengger bisa menuju Mangunan. Dari Mangunan
bisa ke Imogiri atau ke Kota Jogja.
Setelah bertanya ke
petugas parkir—dan mengonfirmasinya dengan google map—kami menuusuri jalan
sepanjang hutan pinus menuju Mangunan. Kami melewati Puncak Becici, kawasan
wisata hutan pinus yang lebih besar dari Pengger. Saya sudah beberapa kali ke
Becici.
Dari Becici, kami
terus ke barat. Kami melewati kawasan wisata Lintang Sewu, kemudian Pinus Asri.
Setelah itu, kami sampai di Hutan Pinus Mangunan, Dlingo. Wilayah Mangunan cukup
terkenal dengan beberapa tempat wisata. Hutan Pinus Mangunan salah satunya.
Cukup ramai siang itu. Kami tidak berhenti di Mangunan. Sheikha sedang tidur
dengan lelap di pangkuan emaknya.
Selepas Hutan Pinus
Mangunan, kami melewati Rumah Hobbit dan Seribu Batu. Objek wisata yang cukup
terkenal. Kami melewati semuanya sambil melihat orang-orang yang lalu-lalang
menikmati wisata alam tersebut. Dalam pikiran, saya sudah memiliki tujuan ke
mana kami akan menghentikan kendaraan kami.
Kami menyusuri Jalan
Imogiri yang naik turun dan berkelok. Jalanannya bagus, halus. Dengan
pemandangan perbukitan yang hijau dan dataran rendah dengan kotak-kotak
bangunan di kejauhan. Dulu kami pernah ke Kebun Buah Mangunan ketika istri saya
hamil lima bulan. Habis Subuh, kami berangkat dari penginapan dengan
mengendarai sepeda motor. Jalanan sepi, dan dingin. Sungai Oya yang meliuk
menyambut kami di Kebun Buah Mangunan. Tentu saja kami juga disambut oleh
semangkuk soto, sepiring mendoan, dan segelas teh manis.
Dari Jalan Imogiri,
kami menuju barat, kemudian berbelok ke arah selatan. Jalan Parangtritis. Entah
berapa lama saya tidak pergi ke Pantai Parangtritis. Sudah terlalu sering
sehingga bosan dengan suasana Parangtritis, saya lebih senang menjelajah
pantai-pantai yang relatif baru dan belum banyak dikenal orang.
Sheikha masih tidur
lelap, emaknya ikutan tidur. Jalan Parangtritis ramai lancar. Beberapa bus dan
mobil berseliweran. Beberapa sepeda motor melintas, dengan sepasang kekasih
duduk di atasnya.
Kami sampai di pos
retribusi kawasan Pantai Parangtritis, sepuluh ribu per orang. Sebelum sampai
Parangtritis, kami membelokkan kendaraan ke arah barat. Kami tidak ke
Parangtritiis. Terlalu ramai di sana. Kami melewati Parangkusumo, kemudian
Gumuk Pasir. Fenomena alam yang unik, membuat Gumuk Pasir selalu mendapat
kunjungan yang ramai. Tempat ini seperti gurun pasir. Kita bisa main
sandboarding di sini. Atau sekadar meluncur dengan menaiki papan kayu. Pukul
12.00, Gumuk Pasir sedang panas-panasnya.
Di seberang Gumuk
Pasir adalah Pantai Cemara Sewu. Di parkiran tampak beberapa bus dan mobil.
Ramai juga Cemara Sewu. Kami terus ke barat. Mencari pantai yang relatif sepi.
Mentok di barat, kami tiba di Pantai Depok.
Pantai Depok adalah
surga kuliner seafood. Kita bisa berbelanja ikan di tempat pelelangan ikan atau
pasar ikan yang cukup luas. Jangan sampai kalap, karena di sini dijual banyak
jenis ikan, dengan harga yang standar. Ikan yang kita beli bisa kita berikan ke
warung makan untuk dimasakkan sesuai dengan selera kita. Pasti puas makan
seafood di sini.
Kami tidak jadi masuk
ke Pantai Depok karena ternyata ramai. Parkiran penuh. Maklum, jam makan siang.
Kami berbalik ke timur. Sebelum Pantai Cemara Sewu tadi kami melihat pantai
kecil yang terlihat sepi.
Kami berhenti di
Pantai Tall Wolu. Pantai kecil dengan jumlah warung makan yang bisa dihitung
dengan jari satu tangan. Kami langsung memesan makan siang. Ikan bakar manis
dengan sambal kecap lombok. Ikan yang disajikan jenisnya cakalang. Ukurannya
sedang, agak memanjang dengan tekstur daging yang tebal dan padat.
Sheikha mau juga makan
nasi dengan lauk ikan. Dan es susu cokelat untuk minumnya.
Menghabiskan satu
porsi nasi dan satu ekor ikan cakalang cukup membuat perut kewalahan. Setelah
salat, kami beristrirahat dan bermain di bawah rindangnya pohon cemara udang.
Pohon cemara udang bentuknya tidak lancip, tapi melebar seperti pohon talok.
Daunnya berbentuk seperti batang lidi.
Pohon cemara udang
efektif memecah angin di pantai yang relatif kencang. Pohon ini banyak dijumpai
di pantai daerah Bantul sehingga ada pantai dengan nama Pantai Cemara Sewu
(karena banyaknya pohon cemara) dan Pantai Gua Cemara (karena banyaknya pohon
cemara sehingga terlihat seperti gua).
Setelah matahari tidak
terlalu terik, kami menyongsong air laut yang sedari tadi memanggil-manggil.
Sheikha yang awalnya terlihat takut karena ombaknya yang besar, menjadi girang
setelah ombak menjilat kaki mungilnya yang menjejak pasir pantai.
Ini adalah kedua
kalinya Sheikha bermain di pantai. Anak kecil selalu suka air. Sheikha
kegirangan setiap air laut “mengejarnya” di pantai. Ia berlarian maju mundur.
Ketika air surut, ia berlari menuju air laut. Saya mesti selalu mengejarnya dan
memegang tangannya. Ombak di pantai kawasan Bantul memang relatif besar.
Selama hampir satu
jam, kami berlarian, berteriak, berbasah-basahan, bermain pasir.
Waktunya untuk pulang,
jangan sampai kemalaman sampai di rumah. Setelah berbersih diri dan menenggak
es degan, kami menyalakan kendaraan dan memulai perjalanan pulang. Ada tiga
rute yang bisa kami ambil. Pertama, kembali membelah hutan Wonosadi dengan
jalan naik turun berkelok dengan risiko jalanan yang relatif gelap. Pilihan
kedua, melewati jalur Ring Road Selatan kemudian ke timur menuju Solo. Terakhir
lewat Kota Jogja dengan risiko macet.
Kami sepakat lewat
Kota Jogja, melewati Malioboro, meskipun kami tahu bakal terjadi kemacetan.
Jalanan kota menuju Malioboro cukup lancar. Mendekati Malioboro, kemacetan
mulai terjadi. Di Malioboro, kendaraan berjalan 10 km/jam, kadang berhenti
sejenak. Kami tidak turun di Malioboro, hanya menikmatinya dari dalam
kendaraan.
Malioboro masih
seperti dulu: ramai, riuh, dan ngangeni.
Kami melanjutkan
perjalanan pulang, menuju Solo. Melewati Klaten, setelah berhenti sejenak di
Masjid Al-Aqsha yang megah itu. Sampai rumah, waktu menunjukkan pukul 21.00.
Sungguh perjalalan
yang melelahkan. Namun, kami merasa bahagis. Dan seporsi mie rebus
menyempurnakan kebahagiaan kami hari itu.
***
Sukoharjo, Oktober
2021