Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Sunday, September 28, 2014

Pantai Seruni, Gunung Kidul, Yogyakarta

Pantai Seruni, Gunung Kidul, Yogyakarta


Seruni ialah nama sebuah bunga yang dalam bahasa Latin disebut dengan Chrysanthemun. Dalam bahasa Yunani disebut dengan nama Chrysous yang berarti emas.

Kali ini kita akan menjelajahi keindahan dan kedamaian pantai Seruni.

Memasuki kawasan pantai di Gunung Kidul kita dikenakan biaya retribusi 10.000,- per orang. Dengan retribusi tersebut kita bisa menikmati beberapa pantai sekaligus, khususnya yang berada dalam satu jangkauan. Di antaranya, pantai Krakal, Kukup, Baron, Drini, Pulang syawal (lebih dikenal dengan nama pantai Indrayanti), Sepanjang, Seruni, dan Pok Tunggal.

Pantai Seruni terletak di Desa Tepus, Kecamatan Tepus, Gunung Kidul, terletak paling timur di antara pantai-pantai dalam satu kawasan tersebut. Sejauh kira-kira 12 km ke arah timur dari pantai Krakal.

Selain retribusi, biaya yang kita keluarkan ialah biaya parkir di masing-masing pantai. Tarifnya ialah 3.000,- untuk sepeda motor dan 5.000,- untuk mobil.

Pantai Seruni dan Pok Tunggal berada dalam satu jalur. Hanya berjarak beberapa ratus meter. Saat ini nama pantai Pok Tunggal memang lebih terkenal dibandingkan pantai Seruni. 


Mendekati lokasi pantai Pok Tunggal dan Seruni, ada beberapa papan penunjuk arah.
Dari jalan raya ke pantai Seruni harus melewati jalan yang belum beraspal sejauh kurang dari dua kilometer. Jarak segitu ditempuh dalam waktu kurang lebih lima belas menit. Lumayan lama karena track jalannya yang berupa tatanan batu-batu kerakal. Kasar dan bergelombang. Lebih cocok buat track offroad.

Jalan menuju Pantai Seruni yang belum beraspal, masih berupa bebatuan kecil yang ditata.

Harus hati-hati melewati jalanan berbatu ini karena di samping kiri adalah tebing sedangkan bagian kanan adalah jurang, yang meskipun tidak terlalu dalam namun tetap membahayakan.

Ada papan penunjuk arah ke pantai Pok Tunggal atau ke Seruni. Kalau ke Pok Tunggal, dari jalan raya arahnya lurus mengikuti jalan. Ke pantai Seruni, belok kiri. Di sepanjang jalan, kita akan mendapati keramahan para penduduk yang sedang berada di kebun-kebun mereka.

Beratnya perjalanan bisa terbayar ketika sampai di pantai Seruni. Seruni bukan pantai yang luas. Kesan pertama kali mengunjungi pantai ini ialah sebuah ketenangan.

Pantai Seruni memang belum banyak dikunjungi wisatawan. Selain lokasinya yang sulit dijangkau, pantai ini memang termasuk baru dalam pengelolaannya.

Sebelum dibuat jalan berupa tatanan batu kerakal, dulu orang yang ingin mengunjungi pantai Seruni harus jalan kaki dari pantai Pok Tunggal. Menyusuri bibir pantai ke arah timur ketika air laut sedang surut.

Kebersihan pantai Seruni sangat terjaga. Kita bisa menikmati hamparan pasir putih yang bersih sejauh sekitar 500 meter sepanjang bibir pantai. Di sebelah barat terdapat tebing batuan kars yang menjadi tembok pemisah dengan pantai Pok Tunggal.

Di sebelah timur terdapat terbing yang pada bagian bawah di bibir pantai ada sebuah gua yang bisa dimasuki ketika air surut. Ketika pasang, pintu gua akan tertutup dengan air laut.

Tebing bagian sebelah timur Pantai Seruni yang terdapat air terjun
Air terjun di Pantai Seruni (kelihatan samar-samar karena agak jauh)

Yang lebih menarik lagi ialah adanya air terjun kecil di samping gua tersebut. Ketika musim hujan air terjun ini akan menjadi besar. Lebih mengasyikkan lagi karena air terjun ini ialah air tawar. Kita bisa mandi di air terjun itu atau membersihkan badan setelah bermain air laut.

Ada beberapa warung makan yang berdiri di pantai Seruni. Kita bisa melepas penat serta mengobati lapar dan dahaga di sana.

Saat kita menikmati keindahan pantai Seruni, kita akan benar-benar bisa menikmatinya dengan tanpa adanya banyak gangguan. Belum banyaknya pengunjung di pantai ini membuat kita bisa leluasa menikmati keindahannya.

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada pagi hari yang cerah, 16 Agustus 2014, di kota Sukoharjo



Di atas karang Pantai Seruni

Pantai Pok Tunggal, Gunungkidul, Yogyakarta

Pantai Pok Tunggal

Perjalanan dari kota Sukoharjo dimulai pukul 23.30 WIB. Kami berenam dengan mengendarai sepeda motor memilih perjalanan malam dengan beberapa pertimbangan. Pertama, untuk mendapatkan perjalanan lebih tenang, lalu lintas tidak ramai, dan cuaca tidak panas. Kedua, agar bisa merasakan camping di pantai. Ketiga, agar bisa puas mengunjungi pantai-pantai di Gunungkidul.

Masuk ke kawasan wisata pantai, per orang dikenakan biaya retribusi 10.000,-. Dengan retribusi tersebut kita bisa menikmati pantai-pantai dalam satu kawasan. Di antaranya, pantai Krakal, Kukup, Baron, Drini, Pulang syawal (lebih dikenal dengan nama pantai Indrayanti), Sepanjang, Seruni, dan Pok Tunggal.

Selain retribusi, biaya yang kita keluarkan ialah biaya parkir di masing-masing pantai. Tarifnya ialah 3.000,- untuk sepeda motor dan 5.000,- untuk mobil.

Tujuan pertama kami ialah pantai Pok Tunggal. Tiba di dekat pantai Krakal, sekitar pukul 02.00 WIB, kami bertanya kepada seorang warga lokasi pantai Pok Tunggal. Ternyata, lokasinya berada sejauh 12 km ke arah timur.

Kami pun melaju ke arah timur, melewati pantai Drini dan Pulang Syawal. Saat sampai pada pertigaan kami bingung belok ke arah mana. Akhirnya kami berbelok ke arah pantai Slili. Di pantai Slili terlihat beberapa kendaraan roda dua dan roda empat terparkir. Beberapa orang terlihat tidur di emperan warung atau di dalam pondok kayu di pinggir pantai. Beberapa orang masih asyik mengobrol.

Di pantai Slili banyak terlihat pondok makan. Sepertinya pantai ini menjadi salah satu tempat favorit untuk menikmati makanan dengan pemandangan laut yang indah.

Berdasarkan petunjuk dari seorang pengunjung di pantai Slili, kami melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju pantai Pok Tunggal.

Mendekati lokasi pantai Pok Tunggal ada beberapa papan pemunjuk arah. Kami belok kanan mengikuti arah petunjuk. Terus terang, saya merasa sedikit kaget karena jalan ke arah pantai Pok Tunggal belum beraspal. Masih berupa cor semen pada beberapa bagian dan sebagian besar yang lain berupa tumpukan kerakal.

Jalan ke pantai tidak mulus, cenderung offroad. Saya yang mengendarai motor matic merasa kesulitan melewati. Jalanan gelap karena tidak ada lampu penerangan.Suasana gelap, tenang, dan sepi. Seperti di hutan. Sempat terbesit sedikit was-was jika ada sesuatu halangan di tengah jalan.

Setelah sekitar lima belas menit melewati jalan offroad, akhirnya kami tiba di pantai Pok Tunggal. Dari pinggir jalan terlihat beberapa tenda (dome) sudah berdiri di bibir pantai. Bagi yang tidak membawa dome bisa menyewa di lokasi setempat.

Kami segera mendirikan tenda. Pukul 03.00 WIB tenda berdiri, kami pun istirahat: tidur.

Pukul setengah lima saya terbangun. Tidak terdengar adzan Subuh. Di Pok Tunggal tidak ada masjid. Yang ada hanya sebuah mushola kecil berukuran 3 x 3 meter.

Kami memilih shalat Subuh di pantai, dengan berwudhu dengan air laut. Karena air laut itu dapat menyucikan sehingga bisa dipakai untuk berwudhu. Sunrise tak bisa terlihat karena pantai ini dipagari bukit kapur. Jika sunset mungkin bisa dinikmati.

Pasir putih yang menjadi ciri khas pantai-pantai di Gunungkidul juga terdapat di pantai Pok Tunggal. Pasir-pasir di sini agak besar dan kasaragak, menghiasi bibir pantai sejauh kurang lebih 1 km.

Di sebelah timur terdapat jalur pendakian menuju bukit Panjung. Sebuah tempat yang menyenangkan untuk menikmati pantai dari atas. Di tempat tersebut juga ada beberapa warung makan. Terdapat pula area yang cukup untuk mendirikan tenda. Sepertinya menyenangkan mendirikan tenda di atas bukit ini.

Saat matahari beranjak naik, pengunjung mulai berdatangan. Beberapa warung makan mulai buka. Payung-payung mulai dikembangkan untuk disewakan. Dan suara peluit sesekali terdengar, bunyi pengatur kendaraan yang parkir.

Kami segera membereskan tenda karena di sini ada aturan pendirian tenda hanya boleh dilakukan pukul 18.00 - 07.00. Setelah itu, nasi goreng seafood menjadi santapan pagi kami. Rasanya mak nyuss menikmati rasa pedas manis asin di lantai dua warung makan sambil memandang keindahan lautan.

Kami memutuskan untuk bermain air sekaligus sebagai mandi pagi. Saat pagi ternyata air pasang sehingga sangat menyenangkan untuk "nyebur" ke dalam air laut.

Pantai Pok Tunggal sangat menawan pada siang hari. Pada malam hari, pantai ini menjadi area camping yang menawarkan suasana malam di pantai.

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada tengah malam, 6 Agustus 2014, di Basecamp IMTAQ, kota Sukoharjo


Jalan menuju Pantai Pok Tunggal, berupa bebatuan kecil yang ditata.

Berfoto dari atas bukit Panjung di Pantai Pok Tunggal
Sebuah area di atas bukit Panjung yang bisa digunakan untuk tempat mendirikan tenda
Menikmati makan pagi: nasi goreng sea food di lantai 2 sebuah warung makan
Pantai Pok Tunggal pada pagi hari saat air laut pasang

Mendaki Gunung Lawu: Yang Pertama dan Terakhir

Berfoto di Puncak Hargo Dumilah (3.265 mdpl), kondisi hujan gerimis & angin kencang.

"Yang pertama dan terakhir." 

Itulah komentar singkat kawanku saat tiba di gerbang Cemoro Sewu. Sebelumnya adalah sebuah ujian berat. Berangkat saat beranjak malam. Langit berawan, gelap, diiringi guyuran gerimis. Tak lupa kabut pun menemani sepanjang perjalanan. Udara sangat dingin menggigit kulit. Alhasil, pendakian ke puncak Gunung Lawu ini menjadi pendakian yang sangat berat.

Beberapa kali istirahat sepuluh atau lima belas menit. Niat hendak tidur 'tuk mengobati kantuk tidak terlaksana karena diganggu oleh hawa dingin. Untuk mengatasi hawa dingin ialah tetap terus berjalan, meski tertatih-tatih.

Beberapa kali berseloroh, melempar gurauan, "Ayo, turun saja."
Tapi niat menggapai puncak sudah bulat.

Dulu, hanya membutuhkan waktu 6 jam saja untuk mencapai puncak. Itu pun menurutku masih terasa agak lambat karena ada kawan yang sering minta "break". Turun hanya membutuhkan waktu 4 jam saja.

Malam tahun baru 2014 ini, berangkat pukul 20.00, sampai puncak pukul 07.00. Lama sekali? Memang, karena sering istirahat. Untuk sekadar membasahi kerongkongan atau ngemil makanan ringan. Jika menemukan tempat yang nyaman untuk istirahat maka bisa setengah jam atau satu jam berdiam diri, mencoba memejamkan mata meskipun akhirnya tidak bisa.

Pemandangan di puncak luar biasa. Tidak ada apa-apa. Tidak ada sunrise, tidak ada langit biru, tidak ada pemandangan bukit menghijau. Karena gerimis masih mengiringi, kabut setia menemani. Langit pun berawan menyembunyikan mentari.

Tidak bisa mengambil gambar indah. Yang ada malah kamera basah terkena air hujan. Momen untuk narsis diri pun tak ada. Hanya gambar buram. Seburam pemandangan, sesuram beratnya perjalanan. Tapi anehnya, aku bahagia. Bahagia bisa sampai di puncak. 3265 m dpl.

Turun pukul 08.00 dengan langkah tertatih. Sampai di pos bawah pukul 12.30.
Lalu aku pun balas dendam, memesan segelas jeruk panas dan soto ayam di warung Pojok.

"Bagaimana," tanyaku.
"Yang pertama dan terakhir," jawab kawanku.

Eh, ngomong-ngomong ada yang mau ke Merapi.
Hemm... pikir-pikir dulu, liat waktu dan logistik dulu.


***
Sukoharjo, 5 Januari 2014

 

Yen ing Tawang Ono Lintang




Banyak yang mengira lagu "Yen ing Tawang Ono Lintang" mengisahkan kerinduan seorang pemuda kepada kekasihnya. Tahukah Anda bahwa lagu tersebut merupakan ungkapan kasih sayang seorang ayah kepada putrinya.



Dikisahkan, sejarah penciptaan lagu tersebut, sang pengarang (Andjar Any) sedang menunggu-nunggu kelahiran putrinya dengan harap-harap cemas. Istrinya sedang berjuang sekuat tenaga di ruang bersalin untuk melahirkan sang putri yang sudah dinanti-nantikan kelahirannya.

Sementara, sang ayah, duduk di luar gedung dengan pikiran yang galau. Dipandangnya langit malam yang berhiaskan banyak bintang. Maka, terciptalah lagu indah yang sangat menyentuh hati ini. Yen ing tawang ono lintang, jika di langit ada bintang.

***
Yen ing tawang ono lintang... cah ayu
[jika di langit ada bintang... wahai cantik]
[if there are stars in the sky... my pretty]

Aku ngenteni tekamu
[aku menanti hadirmu]
[I awaits your presence]

Marang mega ing angkasa... nimas
[kepada awan di langit... dinda]
[to the clouds in the sky... my love]

Ingsun takok'ke pawartamu
[aku menanyakan kabarmu]
[I asked how are you there]

Janji-janji aku eling... cah ayu
[semua janji aku ingat... wahai cantik]
[I remember all the promises... my pretty]

Sumedhot rasaning ati
[terputus rasanya hati]
[heart feels fallen]

Lintang-lintang ngiwi-iwi... nimas
[bintang-bintang menggoda aku... dinda]
[the stars tease me... my love]

Tresnaku sundhul wiyati
[cintaku tak berbatas / setinggi langit]
[boundless love / to the skies]

Dhek semana...janjiku disekseni mega kartika
[semenjak itu...janjiku disaksikan awan bintang]
[since that... my words witnessed by clouds and stars]

Kairing rasa tresna asih
[teriring rasa cinta kasih]
[accompanied by the love]

Yen ing tawang ono lintang... cah ayu
[jika di langit ada bintang... wahai cantik]
[if there are stars in the sky... my pretty]

Rungokno tangising ati
[dengarkan tangisan hatiku]
[listen to the cries of my heart]

Binarung swaraning ratri... nimas

[resapi suara hatiku di malam hari... dinda]
[listen to the sound of my heart in the night... my love]

Ngenteni mbulan ndadari
[menunggu bulan purnama]
[waiting for the full moon]

(Terjemahan lagu copas dari http://matcreation.blogspot.com/2012/07/yen-ing-tawang-ono-lintang.html)


***
Sukoharjo, 16 Januari 2014

Wayang Kulit, Wedang Ronde, dan Secangkir Politik

Foto: Dalang Enthus Susmono (Solopos.com)

Pukul setengah sebelas malam. Setelah badan berlelah bermain futsal, aku meluncur ke alun-alun Satyanegara, Sukoharjo. Beberapa hari terakhir terlihat spanduk terpampang di pinggir-pinggir jalan. Pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Enthus Susmono asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

Pagelaran wayang kulit dilaksanakan di ruas jalan depan alun-alun. Orang-orang sudah berjubel. Jumlahnya ribuan. Kursi tertata sejauh seratus meter. Banyak yang berdiri karena tidak kebagian kursi. Termasuk aku.

Ki Enthus memainkan wayang dengan piawai. Padatnya penonton, aroma jagung bakar, bau rokok, dan suara tawa yang mengiringi sabetan wayang kulit, membuka gambaran-gambaran bergerak di benakku. Teringat masa kecil dulu, ketika pagelaran wayang kulit menjadi tontonan yang heboh dan tuntunan bagi masyarakat. Setahun sekali, kampungku mengadakan pagelaran wayang kulit. Kata orang-orang tua, sebagai tanda syukur terhadap Sang Pemberi Rezeki.

Bersama bapak, dahulu aku selalu girang menonton wayang. Dibelikan oleh bapak, kacang rebus yang dibungkus kertas membentuk kerucut. Dan atau jagung bakar rasa pedas manis. Saat itu, banyak para penjual yang berjejer di pinggir jalan dekat lokasi pementasan.

Peperangan yang menjadi adegan favoritku. Gatotkaca dengan gagah melawan para raksasa. Dengan diiringi musik gamelan yang menghentak-hentak, menambah adegan perang menjadi tontonan yang menarik. Kemudian biasanya aku terbangun di belakang kelir di pagi hari. Lalu berjalan pulang terhuyung-huyung karena masih setengah sadar.

Pagelaran wayang kulit ini sedikit memberi hiburan untukku, yang terkadang merasa kangen dengan masa lalu. Ditemani sebungkus kacang rebus dan sebatang jagung bakar. Seperti dahulu.

Semakin malam, udara semakin dingin. Wedang ronde menjadi pilihan yang maknyus untuk menghangatkan badan. Aroma jahe yang kuat, ronde yang kenyal, kacang yang renyah, hmmm... inilah nikmat.

Wedang ronde adalah minuman tradisional yang bermanfaat untuk menghangatkan badan, menghilangkan sakit kepala, masuk angin, perut kembung dan menyembuhkan penyakit yang mengganggu tenggorokan.

Aku heran juga, campuran bahan-bahan yang sepertinya tidak selaras ini bisa menghasilkan minuman yang nikmat. Air Jahe dicampur dengan tepung ketan sebagai bahan membuat ronde bisa menghadirkan perpaduan rasa yang khas. Apalagi dicampur dengan kacang yang renyah. Setiap bahan memang rasanya berbeda-beda. Tidak menyatu. Namun, perpaduan rasa yang tidak menyatu itulah daya tarik rasa wedang ronde ini.

Sebagaimana para penonton wayang kulit kali ini, di kursi bagian depan, duduk Bupati dan Wakil Bupati, beserta jajarannya. Kemudian di belakangnya para pejabat instansi pemerintah daerah. Di belakangnya adalah warga biasa.

Ada bapak-bapak, ada yang terlihat sudah sepuh, dengan asap yang mengepul dari bibirnya. Ada ibu-ibu, ada yang bersandar santai pada kursi, ada yang bersandar pada suaminya. Ada para pemuda dan remaja. Ada anak-anak juga yang datang bersama orang tuanya.

Warga Sukoharjo seperti menyatu dalam pagelaran wayang kulit ini. Dari berbagai umur, berbagai profesi, berbagai daerah. Mereka menyatu meskipun tidak sama. Datang dan duduk berdampingan meski tidak saling kenal.

Kembali ke wayang, kepiawaian Ki Enthus yang kusaksikan langsung sama seperti yang sering aku lihat di televisi dulu. Ki Enthus, selalu memasukkan kritik sosial politik dalam setiap pementasannya. Tak lupa kali ini. Berbagai petuah tentang ketatanegaraan diwasiatkan melalui dialog para wayang.

Para wayang menjadi duta pemberi nasehat, menjadi utusan pemberi tuntunan. Bahwa seorang pemimpin haruslah menepati janji. Bahwa menjadi pemimpin adalah menjadi pelindung dan pengayom rakyat. Jabatan adalah amanah dari rakyat yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Kelir menampilkan negeri Ngamarta yang sedang geger karena Werkudara dan Harjuna perang tanding. Dua kekuatan utama negeri Ngamarta dipertemukan untuk saling mengalahkan. Hal itu terjadi tak lain karena ulah para penghasut dan pendengki, yaitu Pendeta Durna dan Patih Sengkuni.

Werkudara hendak membunuh punakawan, atas perintah Prabu Pandu, atas hasutan Durna dan Sengkuni. Werkudara yang berwatak ksatria segera menjalankan tugas. Namun, dihadang oleh Harjuna sebagai bendara punakawan. Kakak beradik itu pun saling pukul, saling menghantamkan senjata. Gada Rujakpolo pun melayang-layang.

Keadaan semakin kacau karena Sengkuni mengerahkan para buto untuk membantu melenyapkan punakawan. Saat keadaan bertambah kisruh, Prabu Kresna, sang penguasa Dwarawati, mengutus Gatotkaca, Setyaki, dan Hanoman untuk menghancurkan para buto. Dan seperti pagelaran wayang kulit yang selalu kutonton, para buto takluk di tangan para ksatria. Akhirnya, Werkudara menyadari kesalahannya. Para penghasut dan pendengki gagal menghancurkan Pandawa.

Lakon tersebut banyak memberi pendidikan politik bagi masyarakat. Politik tidak harus diajarkan di sekolah dan kampus. Atau di hotel-hotel dalam acara penataran. Atau di layar kaca yang menyilaukan.

Dengan wayang kulit, pendidikan politik bisa ditanamkan pada masyarakat dengan cara yang menghibur. Bukan dengan cara debat yang memuakkan, atau kata-kata manis yang menjemukan. Seharusnya politik bisa dinikmati masyarakat sebagaimana mereka menikmati teh atau kopi.

Di malam Minggu yang dingin ini, aku menikmati wayang kulit, wedang ronde, dan secangkir politik.

***

Sukoharjo, 19 Januari 2014