“Tidak! Saya tidak akan mengikuti aturan itu.”
“Rianti, kamu harus mengikuti aturan itu! Itu syarat untuk mengikuti Ujian Nasional. Setiap siswa harus mengumpulkan foto untuk pendaftaran peserta ujian. Tidak ada salahnya kamu melepas jilbabmu sekali saja untuk foto.”
“Saya tetap tidak mau, Pak! Itu sudah menjadi prinsip saya.”
“Rianti, cobalah untuk sekali ini kamu mengalah. Kamu sudah sering membuat pihak sekolah kewalahan. Bapak minta kamu mau difoto tanpa memakai jilbab. Ini juga untuk masa depan kamu.”
“Maaf Pak, saya tetap tidak bisa. Dan saya akan berusaha agar aturan ini dibatalkan. Dan masa depan saya tidak ditentukan oleh foto itu. Ada Yang Maha Berkehendak yang mengatur masa depan saya.”
Begitulah. Rianti, putri bungsu Soedirman Kasto Wirejo. Tingkahnya selama ini sering membuat pihak sekolahnya kepayahan. Kali ini peratuaran pemerintah yang meharuskan siswa yang akan mengikuti Ujian Nasional untuk mengumpulkan foto setengah badan dengan tanpa boleh memakai jilbab ditentangnya dengan keras.
Kepala sekolah, Bapak Muhammad Yusuf sudah dibuat pusing oleh aturan itu. Di satu sisi beliau tidak ingin memaksakan peraturan itu kepada siswanya, tapi di sisi lain beliau tidak ingin ada siswanya yang tidak bisa mengikuti Ujian Nasional gara-gara tidak mengumpulakn berfoto sesuai peraturan. Bapak Muhammad Yusuf termasuk seorang pendidik yang religius, namun posisinya sebagai kepala sekolah dan sebagai tangan panjang pemerintah membuatnya serba salah.
Peraturan baru itu dikeluarkan oleh pemerintah dengan alasan agar wajah siswa terlihat jelas pada foto. Hal itu untuk mengantisipasi kecurangan dalam Ujian Nasional. Dalam Ujian Nasional tahun lalu ditemukan kecurangan berupa adanya joki peserta yang menggunakan jilbab untuk menyamarkan wajahnya dan penampilannya. Berpijak pada temuan itu, pemerintah tidak mau kecolongan lagi adanya kecurangan dalam Ujian Nasional. Salah satu solusi pemerintah adalah dengan mewajibkan peserta ujian untuk mengumpulkan foto terbaru yang tanpa mengenakan jilbab.
“Ri, kamu ikutin aja aturan itu. Kan cuma sekali kamu buka jilbab, cuman buat foto. Habis itu kan kamu bisa pake jilbab terus.” Dewi mencoba membujuk Rianti saat mereka berdua berjalan bersama pulang sekolah. Dewi adalah sahabat Rianti sejak mereka SD.
“Enggak, Wi! Apapun alasannya aku nggak mau buka jilbab.”
“Kalau kamu nggak mau buka jilbab, bagaimana nanti kalau kamu nggak dibolehin ikut ujian. Aku dan kamu udah tiga tahun sekolah, masa karena soal jilbab kamu nggak bisa ikut ujian dan nggak bisa lulus. Sayang kan Ri sekolah tiga tahun!”
“Aku tetap dengan pendirianku Wi. Aku berpikir, aneh banget negara ini. Katanya menjunjung tinggi demokrasi, perbedaan pendapat, Bhineka Tunggal Ika, bla, bla, bla, dan bla, bla, bla. Tapi nyatanya kebebasan pake jilbab aja diusik. Padahal undang-undang negara kan jelas-jelas memberi jaminan kita untuk melaksanakan peribadatan agama masing-masing. Apa yang bikin peraturan itu mau menjilat ludah sendiri?!”
“Ssssttt... jangan ngomong gitu Ri! Nanti kalau ada orang yang denger bisa panjang urusan. Bisa dituduh menghina pemerintah itu.”
“Biarin! Itu kan kenyataan.”
Berbeda dengan Rianti, Dewi tidak punya tekad untuk menentang aturan baru itu. Baginya, lulus sekolah adalah hal yang sangat berarti. Sehingga ia rela melepaskan jilbabnya untuk dapat berfoto di sekolahnya dua hari yang lalu. Begitupun teman-teman Rianti dengan sukarela melepas jilbab mereka untuk ditukarkan dengan kartu ujian.
“Kamu ini maunya apa sih? Bapak sudah susah-susah cari duit buat biayain sekolah kamu. Tapi sekarang, gara-gara prinsip konyolmu itu kamu terancam nggak bisa ikut ujian, artinya kamu nggak bisa lulus. Kamu mau nyakiti membuat Bapak Ibumu?!” Soedirman Kasto Wirejo membentak putri bungsunya setelah membaca surat dari pihak sekolah yang memberitahukan ketidakmauan Rianti berfoto tanpa jilbab.
“Maafkan saya, Pak! Saya sangat menyayangi Bapak Ibu, saya nggak akan tega menyakiti Bapak Ibu.” Aliran dingin mulai merambat di pipi Rianti.
“Emang apa yang kamu lakukan sekarang ini selain menyakiti Bapak dan Ibu kamu? Masalah jilbab aja kamu rela nggak ikut ujian. Apa jilbab kamu itu bisa menolong hidup kamu?”
“Maafin saya, Pak!”
Langkah kaki Rianti memasuki kamar meninggalkan kedua orangtuanya dalam kejengkelan. Teman-temannya tidak ada yang mendukungnya. Lebih-lebih orang tuanya yang baru saja memarahinya. Rianti hanya punya satu harapan.
Di sunyi sepertiga malam, Rianti bersimpuh bersujud mengadukan masalahnya kepada pemilik harapan itu.
Wahai Dzat Yang Maha Mendengar, hamba hanyalah makhluk kecil di antara milyaran makhluk-Mu... Tapi hamba yakin Engkau akan mendengarkan keluh kesah satu makhluk-Mu yang dhaif dan hina ini.Wahai Dzat Yang Berkehendak, bumi ini dipenuhi oleh milyaran kehendak makhluk-Mu... Tapi hamba yakin kehendak-Mu adalah di atas segala kehendak.Wahai Dzat Yang Maha Penyayang, hamba sadar hamba makhluk penuh dosa... Tapi hamba berani berharap Engkau akan menyayangi satu makhluk-Mu yang hanya mengharap ridlo-Mu ini.Wahai Dzat Yang Maha Kuasa, Engkau berkuasa atas segala hal, maka hamba mohon tolonglah hamba yang berusaha menegakkan din yang Engkau turunkan.
Setiap kata keluar dari hatinya dengan diiringi air mata suci penuh harap.
***
Abdullah Azzam.
Rianti terus mengingat-ingat nama itu. Bukan karena pemilik nama itu adalah seorang ikhwan yang bertampang cakep –meskipun ikhwan itu memang goodlooking menurut pandangan kebanyakan wanita– tapi karena ikhwan itu mempunyai prinsip yang sama dengannya. Ikhwan yang merupakan ketua Rohis itu menggerakkan teman-temannya melakukan aksi demonstrasi kepada pihak sekolah dan memasang banyak selebaran agar peraturan tentang jilbab itu dicabut.
Setelah itu, ia bersama aktivis Rohis lainnya melayangkan surat keberatan atas peraturaan tentang jilbab yang ditandatangani siswa yang tidak setuju terhadap dengan peraturan itu kepada kepala sekolah. Kebanyakan siswa yang ikut menandatangani surat itu adalah aktivis Rohis. Rianti termasuk salah satu yang membubuhkan tanda tangannya pada surat itu. Rianti belum tahu tanggapan kepala sekolah terkait surat keberatan itu. Yang pasti keesokan harinya, Abdullah Azzam dipanggil kepala sekolah dan mendapatkan Surat Peringatan dari sekolah.
Dari teman-temannya, Rianti mengetahui kalau kepala sekolah mengancam akan menyoret ketua Rohis itu dari daftar peserta ujian kalau ia tidak menghentikan aksinya. Rianti merasa kasihan kepada ikhwan itu. Sebenarnya ikhwan itu tidak dirugikan secara pribadi atas peraturan jilbab itu, tapi kata-kata ikhwan itu saat melakukan aksi demo selalu diingat Rianti.
Bukan karena kita sebagai ikhwan dirugikan atas peraturan konyol itu, tetapi saudari-saudari kita yang seiman dengan kita yang dirugikan. Dan lebih-lebih lagi, peraturan itu menyelisihi syariat islam. Itu adalah peraturan yang menentang Al-Quran dan Sunnah. Itu adalah peraturan thaghut yang harus kita tentang. Saya tidak akan tidur dengan tenang selama peraturan itu belum dicabut. Saya ajak saudara-saudara sekalian untuk bersama-sama saya berjuang di jalan Allah. Allahu Akbar!!!
Kata-kata itu menjadi salah satu pemicu semangat Rianti untuk teguh tidak akan melepaskan jilbabnya di hadapan orang yang bukan mahramnya meski sedetikpun. Rianti berpikir, mungkin ikhwan itu yang menjadi perantara pertolongan Allah.
Hari-hari mendekati ujian suasana sekolah menjadi semakin tegang. Rianti tetap tidak mau menuruti peraturan itu, Abdullah Azzam juga semakin keras menentang. Sudah dua kali Azzam mendapatkan surat peringatan dari pihak sekolah. Sedangkan Rianti sudah menjadi sasaran kemarahan orang tuanya setiap hari. Apalagi saat wakil kepala sekolah mendatangi rumahnya. Rianti hanya bisa memegang prinsipnya dengan air mata.
***
Dua hari mendekati ujian.
“Rianti, saya sudah berusaha memberikan kelonggaran kepada kamu. Saya sudah melobi pemerintah daerah yang terkait untuk memberikan kesempatan kepada kamu. Saya diberi batas terakhir hari ini untuk membujuk kamu. Saya bisa mendaftarkan kamu menjadi peserta ujian akhir nasional asal kamu mau berfoto. Sekali ini saja Rianti. Bapak mohon.”
Rianti mendapati pandangan penuh harap pada mata Bapak Kepala Sekolah. Ini kesempatan terakhir baginya. Akankah ia melanggar syari’at agamanya meski cuma untuk beberapa detik saja, atau ia tetap teguh dengan resiko tidak dapat mengikuti Ujian Nasional yang artinya ia tidak bisa lulus sekolah tahun ini.
Mata Rianti berkaca-kaca menahan kebimbangan hatinya. Dilema ini membuatnya bimbang. Kemudian Rianti ingat Abdullah Azzam. Ikhwan itu masih tetap memperjuangkan pencabutan peraturan itu. Bagaimana dengan harga diri Rianti sebagai seorang muslimah kalau ia mengikuti aturan itu, sedangkan seorang ikhwan yang bernama Abdullah Azzam yang nota bene tidak bersinggungan dengan jibab saja dengan lantang dan pantang menyerah menentang aturan itu.
“Rianti, bagaimana keputusan kamu?”
***
Mentari pagi menyambut embun yang bermalas-malasan di atas dedaunan. Kicau burung menyelingi suara alunan nasyid dari kamar Rianti. Hari ini adalah hari ujian akhir nasional dimulai. Rianti tetap di kamarnya tidak segera beranjak untuk pergi ke sekolah. Hari ini adalah hari yang baru bagi Rianti. Tekadnya mempertahankan kewajiban sebagai seorang muslimah, membuatnya tidak akan bertemu lagi dengan teman-teman sekolahnya. Iya, Rianti memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah. Orang tuanya akhirnya memaklumi keputusan Rianti.
Sebagai ganti sekolah, Rianti bertekad akan masuk pondok pesantren. Ia yakin, itulah jalan yang terbaik baginya. Hari ini Rianti sudah mengemas pakaiannya. Kesedihan meninggalkan teman-temannya ia hempaskan bersama kenangannya selama tiga tahun di sekolah. Kini ia berwajah dan berhati ceria menyambut masa depan yang baru.
Setelah selesai mengemas pakaiannya, Rianti membuka kembali surat bersampul biru muda yang merupakan kenangan terakhir dari sesuatu yang berhubungan dengan sekolahnya. Surat dari Abdullah Azzam.
Assalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh
Segala puji bagi Allah, Dzat Yang Maha Berkehendak. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada qudwah kita Nabi Muhammad SAW dan kepada orang-orang yang senantiasa berpegang teguh di jalan Allah.
Ukhti Rianti yang dirahmati Allah,
Maafkan ana lancang berkirim surat kepada Anti. Ana berlindung kepada Allah dari fitnah. Ana salut dengan keputusan Anti. Itu merupakan keputusan yang berat tentunya. Hari ini Anti menjelma menjadi bidadari dunia bagi ana, karena Anti rela mengorbankan sekolah Anti untuk suatu kebenaran. Ana bersama teman-teman Rohis hanya bisa berdoa agar Allah senantiasa membimbing Anti dan menunjukkan jalan yang terbaik untuk Anti.
Maafkan ana kalau ana tidak bisa memberikan bantuan lebih kepada Anti. Tapi yakinlah Allah adalah Maha Pemberi Pertolongan bagi hamba-hambanya yang terdzalimi.
Ana kira tidak baik ana berpanjang lebar dalam surat ini. Hanya doa ana yang mengiringi setiap langkah Anti. Ana berharap semoga Allah masih memberikan nikmat kesempatan kepada ana untuk dapat berjumpa kembali dengan Anti.
Wassalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh
Abdullah Azzam
Rianti tersenyum membaca surat itu... dan ia tersenyum lagi... dan tersenyum lagi. Ia rasai begitu indah pagi ini.
*Sukoharjo, 21 Maret 2009