Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Monday, December 10, 2012

Aku ini Seorang Pemalas


Aku ini seorang pemalas. Banyak kawan-kawanku yang langsung menyetujui pernyataan yang jujur dariku itu. Dari kawan SMP, STM, kawan mahasiswa. Terlebih lagi kawan-kawan dekatku. Mereka akan langsung menerima pernyataan itu tanpa perlu melakukan penelitian kualitatif secara mendalam.

Rasa malas sepertinya timbul saat aku menginjak kelas 6 SD. Aku ini dulu pintar lho. Sejak kelas 4 SD aku selalu menduduki peringkat 3 besar, seringnya malah peringkat satu di kelas. Waktu kelas 6 ini mulai deh penyakit malas bersemayam dalam badan dan pikiranku. Saat mendekati Ujian Nasional SD aku justru malas belajar. Pada umumnya tuh, siswa sekolah akan ramai-ramai belajar dengan rajin saat mendekati ujian. Berhubung aku ini pemalas, aku santai-santai saja. Belajar cuma ala kadarnya saja dan lebih banyak nonton tivinya. Alhasil, jumlah nilai ujianku cuma menduduki peringkat empat di sekolah.

Saat SMP, sifat pemalasku menjadi-jadi. Aku sudah mulai suka bolos sekolah. setidaknya seminggu sekali aku membolos sekolah (hehe... hebat kan! Tapi jangan ditiru, ya!). Saat mendekati ujian aku juga tidak rajin belajar, sama seperti saat SD.

Dulu saat bangun kesiangan, aku bolos. Saat malas berangkat ke sekolah, aku bolos. Saat pagi hari masih mengantuk, aku bolos. Saat tahu pelajaran hari ini akan membosankan, aku bolos. Saat tahu guru yang mengajar killer, aku bolos. Saat hari senin, aku sering bolos. Hari favoritku untuk membolos adalah hari Senin (karena adanya upacara) dan hari Sabtu (karena ada pelajaran yang susah).

Saat STM, aku tetap seorang pemalas. Justru aku masuk STM karena aku sudah malas belajar. Kalau di STM itu kan lebih banyak praktek daripada teori. Lha, aku suka itu. Jadi, bakalan sedikit porsi untuk belajar. Apalagi lulusan STM kan langsung diproyeksikan untuk masuk ke dalam dunia industri kerja. Jadi, tak perlu lagi belajar. Beda kalau SMA, banyak teori, trus sesudah lulus SMA mesti kuliah. Belajar lagi.

Takdir Tuhan memang tiada yang tahu. Aku yang menghindari kuliah dan tidak pernah terpikirkan untuk kuliah, akhirnya masuk juga di perguruan tinggi. Hadeuh.....
Saat kuliah, aku tetaplah seorang pemalas. Dan teman-teman sekelasku pasti akan dengan senang hati memberikan testimoni tentang kemalasanku. Aku masih sering bolos kuliah. Datang kuliah terlambat. Bahkan, ujian pun aku datang terlambat, dan itu tidak hanya sekali tapi berkali-kali (hadeuh... parah banget ya).

Aku juga pernah tidur di kelas saat "didongengkan" dosen. Secara gitu, badan lemes, ngantuk (karena habis begadang), suasana mendukung banget, angin sepoi-sepoi berhembus sejuk, kicauan burung terdengar dari luar, dan dedaunan bergoyang-goyang tertiup angin. Ditambah lagi suara dosen yang pelan dan datar. Siapa coba yang bisa menahan godaan sebesar itu. Dan aku tidur di kelas tidak hanya sekali.

Aku ini memang pemalas. Namun, bukan berarti aku ini tidak punya cita-cita tinggi. Bukan berarti aku tidak punya semangat. Aku memang pemalas dalam beberapa hal dan aku bersemangat dalam beberapa hal yang lain.

Bagaimanapun, aku ini seorang pemalas. Demikianlah.


*Sukoharjo, 11 Desember 2012


Aku Ingin Jadi Pengusaha Sukses


Sepertinya yang harus bertanggungjawab dalam hal ini adalah Robert Kiyosaki. Dengan bukunya, Rich Dad Poor Dad, ia telah mencuci otakku. Didoktrinnya aku dengan bermacam iming-iming tentang enaknya menjadi seorang pengusaha. 

Aku pertama kali mendengar buku itu dari salah seorang teman yang menawarkan sebuah bisnis saat aku kelas 3 STM. Dua tahun kemudian aku menjumpai buku itu duduk manis pada sebuah rak di toko buku dalam Mall Lippo Cikarang. Oya, Mall Lippo Cikarang letaknya tidak terlalu jauh dari perusahaan tempatku bekerja dan dari kost tempat tinggalku. Dulu sebelum memiliki sepeda motor biasanya aku dan kawan-kawanku ke sana dengan jalan kaki.

Baiklah, aku ceritakan sedikit tentang perusahaan tempatku bekerja dulu. Namanya PT Musashi Auto Part Indonesia. Dari namanya saja sudah ketahuan ia asli Jepang (dan dari namaku juga sudah ketahuan aku ini asli Jawa, kan). Di Cikarang dan sekitarnya ada beberapa kawasan industri, di antaranya kawasan EJIP, Hyundai, Jababeka, MM 2100, dan lainnya. PT Musashi berada di kawasan EJIP. Dan aku kasih tahu kawan, hampir semua karyawan di kawasan EJIP mendambakan bisa bekerja di Musashi. Tanpa melebih-lebihkan, Musashi menjadi salah satu idola untuk menjadi tempat mencari rezeki.

Dari beberapa informasi yang aku dapat dari kawan-kawan dan dari warga sekitar, Musashi merupakan perusahaan yang memberikan gaji tertinggi, memberikan pelayanan kesehatan yang baik, menjamin kesejahteraan bagi karyawan, dan adanya serikat pekerja yang aktif bergerak (tidak semua perusahaan membolehkan adanya serikat pekerja karena dianggap mengganggu atau terkadang menghambat kebijakan dari perusahaan).


Pakaian karyawan Musashi adalah putih-putih. Sebagian menyebutnya pakaian dokter. Jadi, jika ada yang berangkat kerja memakai pakaian putih-putih bisa dipastikan ia adalah karyawan Musashi. Aku salah satunya.

Semestinya aku merasa bersyukur bisa bekerja di perusahaan besar ini. Ditambah lagi, pekerjaanku tidak terlalu berat. Aku mengoperasikan mesin frais, bubut, dan hobbing (itu semua mesin untuk membuat roda gigi kendaraan) yang otomatis. Jadi tinggal memasukkan barang mentah, atur program dengan pencet-pencet tombol, jalanlah mesin itu dengan sendirinya. Sesekali dicek ukuran dan kehalusan barang yang sudah keluar dari mesin. Hampir begitu pekerjaanku selama dua tahun. Dan biasanya aku mengoperasikan dua atau tiga mesin, pernah juga empat mesin. Kalau hanya mengoperasikan satu mesin bisa ditinggal tidur itu.

Di sebuah perusahaan tentu ada aturan tentang kedisplinan. Dan di Musashi ini, aku katakan, disiplin banget. Secara gitu, bos-nya kan orang Jepang. Terkadang si bos-bos itu keliling pabrik untuk melihat-lihat. Pokoknya disiplin banget deh.

Dengan pekerjaan seperti itu dan gaji yang memadai semestinya aku betah bekerja di situ. Namun, dasar aku ini orangnya pemalas, sepertinya bekerja berangkat pagi pulang sore, atau kalau berangkat sore pulang malam kadang malah pulang pagi, tidak cocok untukku. Terkadang saat pagi masih mengantuk dengan terpaksa berangkat ke pabrik. Atau saat sore hari waktu paling enak untuk istirahat harus berangkat kerja. Ah, itu sungguh tidak mengenakkan.

Maka, suatu malam aku beli buku Rich Dad Poor Dad seharga lima puluh ribu itu. Percayalah, itu buku berbahaya. Provokatif banget. Membuat orang jadi berpikir ulang tentang pekerjaan. Membuatnya mempertimbangkan untuk maju menjadi pengusaha. Dan, ternyata aku telah terprovokasi.

Selain buku itu, aku juga membeli tabloid Kewirausahaan yang isinya menceritakan tentang orang-orang yang sukses dengan bisnis mereka. Aku kan tambah terprovokasi. Akhirnya saat masih bekerja di perusahaan itu aku menjadi sales sepatu. Iya, sales sepatu. Percayalah, gaji bulananku waktu itu sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhanku dan untuk tabungan. Aku menjadi sales karena ingin belajar menjadi pengusaha. Kata buku, menjadi sales akan memberikan manfaat yang besar bagi kepribadian seorang pengusaha yang sukses.

Dengan modal awal hanya Rp 25.000,- aku menjadi sales dengan membawa katalog sepatu. Oya, aku mengambil sepatunya dari Bandung, dikirim lewat jasa paket. Akhirnya selama tiga bulan aku berpredikat sebagai sales sepatu. Merasa malu? Iya, awalnya. Justru itulah, tekadang rasa malu menghambat kita untuk maju (kayaknya sih begitu kata-kata yang pernah aku baca). Meskipun hasil dari menjual sepatu ini tidak seberapa besarnya, namun uang hasil usaha ini rasanya lebih “manis”, lebih berharga, lebih bangga mendapatkannya.

Aku ini seorang pemalas. maka setelah dua tahun bekerja dengan sistem kontrak, maka aku keluar -atau dikeluarkan- dari perusahaan. Aku memang sudah berniat untuk tidak selamanya menjadi karyawan perusahaan. Setelah itu, aku pulang kampung. Aduh, bahagianya pulang kampung. Kenyamanan di kampung tidak akan pernah dirasakan oleh orang yang tidak pernah meninggalkan kampung dalam waktu lama. Ibaratnya seperti kembali ke dalam pelukan ibu, begitu.

Dan aku merasa lebih tenang, tenteram, dan nyaman tinggal di kampung. Kemudian aku membuka usaha toko stationary (alat tulis) dengan modal dari hasil menjual sepeda motor. Sebenarnya motorku itu sangat kusayang. Tapi apa boleh buat. Motorku sayang motorku melayang.

Setelah satu tahun mengelola usaha itu dan tidak terlihat kemajuan yang berarti akhirnya muncul perasaan bosan padaku. Aku ingin mencoba sesuatu yang baru. Aku ingin kuliah. Teman-temanku hampir semuanya kuliah. Aku kan jadi ingin kuliah juga. Akhirnya aku masuk UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) dengan tetap mengelola usaha toko itu. Dan kau tahu hasilnya apa? Usaha tokoku terlantarkan. Kesibukan kuliah membuatku tidak bisa mengelola usaha dengan baik. Akhirnya setelah satu tahun menjadi mahasiswa, aku putuskan untuk menutup usaha toko itu.

Setelah menutup usaha toko, aku tetap berusaha mencari rezeki. Aku malu kalau terus-terusan minta pada orang tua. Aku mulai menjual pulsa, menjual makanan ringan, menjual kurma (waktu bulan Ramadhan saja), menjual buku, dan akhirnya aku mencoba membuka usaha percetakan. Auf Desain, dengan modal awal Rp 20.000,- untuk membeli katalog undangan.


Saat ini mungkin sudah banyak mahasiswa UMS -khususnya yang ikut organisasi kampus- yang mengenal nama Auf Desain. Tapi, percayalah, awal-awal usaha ini aku mulai, sungguh berat mencari orderan cetak di kampus. Pernah dalam satu bulan aku hanya membukukan keuntungan sebesar Rp 115.000,-.

Alhamdulillah, atas karunia Allah, akhirnya sejak semester enam atau tujuh (aku lupa persisnya kapan) aku bisa membiayai kuliahku sendiri hingga lulus. Ibarat burung yang keluar pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang, begitulah aku menjalani kehidupanku dalam mencari rezeki. Menjadi pengusaha memang penghasilannya tidak tetap, tapi -insya Allah- akan tetap berpenghasilan.

Dahulu memang ada beberapa orang yang mencela usahaku ini. Ada yang mengatakan bahwa aku ini hanya berpikiran bisnis terus. Atau saat aku membawa pesanan ke kampus ada yang bilang aku ini jualan terus. Aku juga tidak banyak meluangkan waktu untuk bermain seperti kawan-kawanku. Aku juga terkadang bekerja sampai malam ketika ada pesanan mendadak yang harus segera jadi. Bahkan, terkadang aku bolos kuliah saat sibuk mengerjakan pesanan.

Mungkin ada yang berkata, kalau begitu untuk apa kuliah kalau sudah punya usaha? Aku ini tetap ingin menjadi guru, kawan. Aku ingin menjadi seorang pendidik. Lihatlah generasi muda saat ini. Ayolah kita didik mereka itu biar suatu hari nanti mereka berguna untuk bangsa dan negara yang kita cintai ini.


Aku ingin menjadi guru bukan karena mengharapkan gajinya yang besar (setelah ada sertifikasi guru, gaji guru menjadi besar, bukankah banyak yang berbondong-bondong ingin menjadi guru). Makanya aku harus punya penghasilan dari usahaku agar aku tidak terlalu menggantungkan pada gaji bulanan guru. Dengan begitu, aku berharap agar aku ini bisa ikhlas mendidik murid. Begitu lho.

Saat ini -masa setelah baru saja lulus- aku lebih memilih untuk istirahat sejenak di rumah. Mengistirahatkan badan dan pikiran setelah empat tahun kuliah. Dan, sesekali HP-ku berbunyi, ada yang menanyakan tentang layanan Auf Desain, atau ada yang memesan barang cetak. Dari kamar ukuran 2 x 6 ini aku jalankan usaha Auf Desain. Percayalah.

Guru ngaji-ku pernah mengatakan bahwa orang yang menjadi pedagang atau pengusaha itu biasanya tingkat tawakkalnya lebih tinggi. Karena pedagang atau pengusaha tidak tahu apakah hari ini akan mendapat untung atau tidak, apakah besok lusa mempunyai uang untuk membeli beras atau tidak. Dan sepertinya aku mengalami hal itu. Memang setiap bulan aku tidak mendapatkan gaji besar seperti waktu bekerja di perusahaan dulu. Namun, saat ini aku merasa bahagia. Bahagia. Itu saja.




*Sukoharjo, 11 Desember 2012


Saturday, December 8, 2012

Aku ini Pemuda Culun dan Lugu

 

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah 

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat bermacam-macam orang dengan segala rupa dan karakternya. Di antara sifat-sifat itu ada sifat yang mempunyai pengaruh besar dalam sebuah komunitas atau masyarakat. Misalnya, sifat berwibawa dan tegas. Orang yang memiliki kedua sifat ini biasanya akan menjadi pusat perputaran interaksi sebuah komunitas. Kedua sifat ini juga berpotensial untuk menjadi pemimpin dalam komunitas yang bersangkutan. 

Begitu juga ada beberapa ciri fisik yang menjadi idola dan keinginan banyak orang. Misalnya postur tubuh yang tinggi, badan yang tegap, kulit putih, dan lain sebagainya. 

Bertolak belakang dengan ciri fisik dan karakter yang menjadi idola banyak orang, ada ciri fisik dan sifat yang dijauhi dan bahkan ditolak mentah-mentah dalam sebuah komunitas. Salah satunya adalah ciri fisik serta sifat culun dan lugu pada diri seseorang. 

Ciri fisik culun dan lugu dijauhi karena penampilan yang kurang modis, tidak keren, dan terlihat norak. Sifat culun dijauhi karena karakternya yang susah untuk bergaul, tertutup, dan tidak bisa diandalkan.

Dari dua ciri fisik dan sifat tersebut, Sukrisno Santoso dapat dikelompokkan ke dalam kategori kedua. Sukrisno Santoso adalah pemuda culun dan lugu. Pernyataan ini membutuhkan penelitian mendalam agar teori ini tidak hanya sekedar isu dan berupa hipotesa saja, namun dapat dibuktikan kebenarannya. 

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini diberi judul “Sukrisno Santoso adalah Orang Culun dan Lugu: Tinjauan Fisiologis dan Sosiologis.”

2. Rumusan Masalah 
Ada dua rumusan masalah yang perlu dibahas dalam penelitian ini.
a. Bagaimana ciri fisik serta sifat culun dan lugu?
b. Apakah Sukrisno Santoso adalah seorang pemuda yang culun dan lugu?

3. Tujuan Penelitian 
Ada dua tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini.
a. Mengidentifikasi ciri fisik serta sifat culun dan lugu.
b. Menganalisis ciri fisik serta sifat Sukrisno Santoso berdasarkan ciri fisik serta sifat culun dan lugu.


B. Pembahasan
1. Ciri fisik serta Sifat Culun dan Lugu 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Daring 2008 kata culun berarti ‘kecil’, sedangkan lugu berarti ‘tidak banyak tingkah; bersahaja; sewajarnya; apa adanya’.

Dalam interaksi sosial kata culun biasa dinisbatkan pada ciri fisik seseorang yang menggambarkan karakter yang dimarginalkan (dipinggirkan) dalam kehidupan sosial. Makna leksikal kata culun yaitu ‘kecil’ menunjukkan bahwa orang menyandang kata ini merasa dikecilkan atau dianggap kecil (tidak berarti) oleh sebagian besar anggota komunitas.

Lugu merupakan sifat seseorang yang belum terpengaruh oleh sifat-sifat buruk. Lugu juga bermakna tidak tahu apa-apa atau pikirannya dangkal. Misalnya pada kalimat yang dicontohkan dalam KBBI berikut ini. 
Orang desa pada umumnya masih banyak yang lugu, sopan, dan hormat kepada orang lain.

Ciri fisik di sini mencakup bentuk fisik seseorang atau gaya dan penampilannya. Berikut ini ciri fisik orang culun dan lugu. 

a. Gaya Rambut Model Belah Pinggir 
Orang culun identik dengan gaya rambut belah pinggir. Orang culun tidak terlalu memperhatikan penampilan rambutnya. Ia juga tidak mau meniru gaya-gaya rambut orang-orang terkenal seperti artis atau musisi.

b. Memakai Kacamata 
Meskipun tidak semua orang culun memakai kacamata, namun kacamata -terutama yang ukuran besar- identik dengan orang culun. Kacamata ini digunakan bukan untuk gaya atau agar terlihat keren. Namun, pemakaian kacamata ini berhubungan dengan hobi orang culun yaitu suka membaca. Karena sering membaca, maka orang culun memerlukan kacamata.

c. Berpakaian Rapi 
Yang dimaksud berpakaian rapi yaitu orang culun biasa memakai model pakaian yang standar, tidak mencolok, seringnya baju dimasukkan ke dalam celana.


Orang culun biasanya adalah orang yang lugu. Orang culun dan lugu mempunyai sifat-sifat tertentu yang mudah untuk dikenali. Berikut ini beberapa sifat atau karakter orang culun dan lugu.

a. Pendiam
Sifat ini dimiliki oleh orang culun dan lugu karena mereka kurang mempunyai rasa percaya diri. Dalam sebuah komunitas sosial biasanya orang culun dan lugu jarang berbicara. Ia akan berbicara seperlunya saja.

b. Pemalu 
Orang culun dan lugu biasanya juga pemalu. Sifat pemalu ini berhubungan dengan sifat pendiam. Orang yang pemalu akan melahirkan sifat pendiam. Orang culun dan lugu sangat takut menjadi pusat perhatian. Lebih-lebih lagi, ia sangat takut ditertawakan orang lain.

c. Minder atau Tidak Percaya Diri
Orang culun dan lugu lahir dari sifa tidak percaya diri. Ketiadaan sifat percaya diri pada seseorang akan membuat ia merasa minder di hadapan orang lain.

d. Kutu Buku 
Orang culun dan lugu identik dengan buku-buku yang selalu dibawa dan dibaca. Orng culun dan lugu mempunyai julukan kutu buku. Kutu buku adalah orang yang senang membaca dan menelaah buku di mana saja (KBBI, 2008).


Setelah mengidentifikasi ciri fisik serta sifat orang culun dan lugu, berikutnya akan dilakukan analisis terhadap ciri fisik dan sifat Sukrisno Santoso berdasarkan ciri fisik serta sifat orang culun dan lugu di atas. 

2. Analisis Ciri Fisik dan Sifat Sukrisno Santoso 

Setelah dilakukan pengumpulan data, seleksi, dan klasifikasi data, beriktu ini analisis ciri fisik dan sifat Sukrisno Santoso berdasarkan ciri fisik serta sifat orang culun dan lugu.

a. Ciri Fisik Sukrisno Santoso 

1) Gaya Rambut Model Belah Pinggir
Gaya rambut yang sering ditampilkan oleh Sukrisno Santoso yaitu gaya rambut dengan model sisir belah pinggir. Berikut ini data yang menunjukkan hal tersebut.

"Waktu SD gaya rambutku belah pinggir. begitu juga saat SMP khususnya kelas 1 sampai kelas 2. Saat kelas 3 aku mengubah gaya rambut menjadi belah tengah. Dulu aku suka rambut yang panjang. Meskipun aku sering dimarahi orang tua karena rambutku yang agak panjang. Saat di sekolah juga pernah mendapat teguran dari guru karena rambut agak panjang. Rambutku yang agak panjang suka aku belah pinggir. Rambutku termasuk lebat sehingga sering terlihat tidak rapi.
Gara-gara rambut agak panjang dan belah pinggir ini ada temanku yang memanggilku Diaz. Diaz itu tokoh dalam sebuah sinetron yang waktu itu lagi ngetop. Diaz diperankan oleh Rafi Ahmad dan rambutnya agak panjang serta belah pinggir. Ingat, aku dipanggil Diaz bukan karena wajahku mirip Rafi Ahmad, tapi cuma gaya rambutnya yang hampir sama. 
Saat STM gaya rambutku menjadi belah tengah. Barulah saat kuliah aku lebih senang dengan gaya belah pinggir. Meskipun sekarang aku lebih sering terlihat dengan rambut pendek, namun dengan gaya sisir model pinggir."

2) Memakai Kacamata 
Sukrisno Santoso mempunyai gangguan penglihatan. Matanya minus setengah sehingga memakai kacamata. Berikut ini data yang menunjukkan hal tersebut.

"Aku merasakan penglihatanku agak terganggu saat STM. Jjika aku duduk di kursi barisan belakang –seringnya seperti itu- aku tidak bisa melihat jelas tulisan di papan tulis. Saat itu aku tidak memakai kacamata. Malu aku kalau memakai kacamata. Lagipula dulu aku tak punya uang untuk membeli kacamata.
Saat duduk di bangku kuliah aku baru memakai kacamata. Sampai sekarang pun aku memakai kacamata –kadang-kadang juga sih. Oya, setelah dicek sebelum membeli kacamata ternyata mataku minus setengah."

3) Berpakaian Rapi 
Sukrisno Santoso tidak menyukai memakai pakaian yang modis. Koleksi pakaiannya sebagian besar modelnya standar.

"Pakaianku di lemari tidak ada yang aneh-aneh. Sejak SMP sampai kuliah aku ini orangnya tidak suka dengan model-model pakaian terbaru. Saat kuliah pun aku lebih sering memakai baju batik dengan celana bahan kain (nama bahannya nggak tahu, pokoknya yang halus, bukan jeans). 
Aku punya satu celana yang agak wow gitu, yaitu celana jeans kombor (model gede kayak yang dipakai para rapper/penyanyi rap atau hiphop). Itu pun cuma satu karena dulu aku pernah suka dengan musik rap atau hiphop. Dan sekarang celana itu aku museumkan di almari. Masih kelihatan seperti baru karena jarang kupakai.
Ada juga sih celana jeans yang lain tapi sudah rusak dan tak tahu kemana rimbanya. Yang satu ini ada sobekan di bagian lututnya. Tapi, sumpah deh, itu bukan sobekan karena mengikuti gaya biar terlihat modis. Celana itu sobek saat aku jatuh dengan kecepatan tinggi di jalan Pantura saat mudik dari Bekasi."

b. Sifat Sukrisno Santoso 
Sukrisno Santoso adalah orang yang culun dan lugu. Berikut ini buktinya.

1) Pendiam dan Pemalu

Berikut ini pengakuan dari Sukrisno Santoso

"Aku ini lelaki pendiam dan pemalu. Tidak suka banyak bicara dan tidak suka diperhatikan orang banyak."

2) Kurang Percaya Diri
Sukrisno Santoso adalah orang yang kurang percaya diri sebagaimana pengakuannya berikut ini.

"Sejak SMP sampai STM aku ini punya sifat kurang percaya diri. Aku tidak berani tampil ke depan. Aku tidak berani bergaya aneh-aneh. Aku tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Aku ini merasa minder jika berada di antara orang banyak."

3) Kutu Buku

Sukrisno Santoso adalah seorang kutu buku. Ia suka membaca buku dan suka membawa buku ke mana-mana. Ia juga suka membaca buku di manapun berada.

"Sepertinya tidak adil menyebut orang yang suka membaca dengan sebutan kutu buku. Masak dibilang kutu, terima nggak? Tapi begitulah. Aku ini suka membaca. Dulu saat SD aku ingat sangat menyukai buku cerita yang aku pinjam di perpustakaan sekolah. Ada tiga buku yang sangat aku suka sehingga sampai sekarang masih sedikit ingat ceritanya. 
Yang pertama, buku Berkelana dalam Rimba Gunung Hitam menceritakan tentang petualangan beberapa anak muda ke dalam hutan rimba. Ini buku cerita yang sangat menarik. 
Kedua, buku cerita yang mengisahkan tentang kerajaan Krakatau. Ceritanya nih dulu di Krakatau ada kerajaan. Kemudian karena ada konflik dengan pihak lain akhirnya kerajaan tersebut tenggelam ke dalam dasar lautan namun tidak hancur. Maksudnya, kerajaan Krakatau hidup dan berkembang di dasar lautan. Kok bisa ya? Namanya juga cerita dongeng. Oya, aku ingat, ada naga juga dalam cerita itu. 
Yang ketiga, buku yang mengisahkan seorang anak yang bercita-cita untuk memburu dan membunuh harimau yang telah menewaskan ayahnya dan beberapa penduduk desa. Cerita ini cukup menegangkan. Jadi sejak SD aku ini suka membaca. 
Saat SMP dan STM aku juga suka membaca. Aku suka pergi ke perpustakaan dan meminjam buku untuk dibaca. Buku yang paling aku ingat aku baca saat STM yaitu buku tentang Pak Harto. Buku itu lumayan tebal. Dan sekarang aku tidak ingat isi buku itu. 
Saat di Bekasi aku ingat buku yang pertama kali aku beli adalah Jilbab Wanita Shalihah. Aneh ya? Laki-laki kok beli buku tentang jilbab. Saat itu aku ingin mengetahui bagaimana karakter wanita shalihah, makanya aku beli buku tentang pakaian wanita muslimah yang sesuai aturan agama. Aku juga membeli buku Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki. Ini buku yang tebal sekali. Saat itu juga aku berlangganan majalah otomotif. Juga sesekali membeli Koran atau tabloid. Pernah juga membeli majalah komik yiatu Shonen Magz.
Saat kuliah, aku makin gila baca. Dulu di awal-awal semester aku ke perpustakaan seminggu sekali. Dulu aku punya target membaca dua buku seminggu. Namun semakin lama, karena bertambahnya kesibukan target itu susah terpenuhi. Bahkan kadang satu buku tidak selesai aku baca dalam satu minggu. 
Kebiasaan “buruk” yang kumiliki terkait hobi membaca buku ini yaitu aku suka membaca buku saat diterangkan dosen. Buku yang aku baca tidak ada hubungannya dengan materi perkuliahan. Kadang aku membaca buku agama, karya sastra, bisnis, umum, dan banyak lainnya. Sampai pernah seorang dosenku menegur aktivitasku ini, namun tanpa menyebutkan nama. Dosen itu mengatakan bahwa tentu ada yang tidak normal dengan orang yang membaca buku lain saat diterangkan sebuah materi. Aku merasa itu ditujukan kepadaku. Tapi, apa aku harus bilang Wow gitu? Aku cuek saja sambil tetap meneruskan membaca buku. Hehe…. "


Hasil analisis di atas mengungkapkan bahwa Sukrisno Santoso mempunyai ciri fisik dan sifat yang sesuai dengan ciri fisik dan sifat orang culun dan lugu. 



C. Penutup 


1. Simpulan 
Orang culun dan lugu mempunyai ciri fisik dan sifat tertentu yang mudah dikenali. Ciri fisik orang culun dan lugu yaitu: 1) gaya rambut model belah pinggir, 2) memakai kacamata, dan 3) berpakaian rapi. Sifat orang culun dan lugu yaitu: 1) pendiam, 2) pemalu, 3) minder atau tidak percaya diri, dan kutu buku.

Sukrisno Santoso adalah orang culun dan lugu. Hal ini berdasarkan ciri fisik dan sifat yang melekat pada diri Sukrisno Santoso bersesuaian dengan ciri fisik orang culun dan lugu yaitu, 1) gaya rambut model belah pinggir, 2) memakai kacamata, 3) berpakaian rapi, 4) pendiam dan pemalu, 5) minder atau tidak percaya diri, dan 6) kutu buku.

2. Saran
Berdasarkan hasil analisis maka peneliti menyampaikan beberapa saran.
a. Keculunan dan keluguan itu adalah hak segala bangsa. Oleh sebab itu, maka diskriminasi terhadap orang culun dan lugu di dunia harus dihapuskan.
b. Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan ketertiban dalam kehidupan sosial masyarakat yang menyangkut dengan tindakan diskriminasi terhadap orang culun dan lugu hendaknya diselenggarakan dengan seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.



Wednesday, December 5, 2012

Tujuh Menit di Halte


Menit pertama 

Di sebuah halte yang di belakangnya terdapat selokan berisi sampah yang berbau busuk, duduk seorang ibu muda dengan gelisah. Wajah dan penampilannya menyiratkan bahwa ia adalah seorang wanita karir dan tentu jabatannya tidak rendah. Kukunya yang berhiaskan warna merah hati menandakan ia tidak suka berlama-lama di dapur. Dan bisa ditebak pasti siang tadi ia makan siang di restoran mewah.

Dengan sesekali melihat jam tangan yang berkilauan –sepertinya terbuat dari emas- wajahnya penuh ketegangan. Ada rasa amarah dalam kerutan-kerutan di dahinya.

“Nunggu siapa, Bu?” tanya tukang becak yang dari tadi nge-tem di samping halte.
“Nunggu suami,” jawabnya ketus.
“Kalau suaminya tidak datang, naik becak saja, Bu.” 
“Maaf, saya tidak terbiasa naik becak,” masih dengan nada ketus. 

“Memangnya suaminya dari mana, Bu?” tanya seorang ibu muda yang duduk di sampingnya. 
“Suami saya dari kantor. Saya terburu-buru, habis ini saya mau berangkat ke Bandung. Eh, suami saya belum sampai di sini. Padahal, janjinya dia akan sudah ada di sini sewaktu saya datang.”
“Iya, laki-laki memang begitu, Bu,” sahut ibu muda tadi, “sewaktu pacaran dulu aja nggak pernah pakai terlambat. Kalau sudah menikah, sukanya terlambat kalau menjemput.


Menit ketiga

Sekelompok pelajar SMA datang dari arah seberang jalan.
Melihat para pelajar yang masih muda-muda mengingatkan ibu tadi pada masa remajanya dulu ketika wajahnya cantik dan kulitnya masih lembut. Sekarang kecantikannya sudah berkurang, meskipun ada beberapa laki-laki di kantor yang masih menyanjung kecantikannya. Terutama atasannya yang berkepala botak, setiap hari selalu saja ada bahan untuk pujian kepadanya. Dari wajahnya yang cantik, kulitnya yang putih, bajunya yang modis, sampai cara berjalan yang anggun. Dan setiap mendapat pujian seperti itu ia berpura-pura memperlihatkan raut wajah yang marah dan jengkel. Namun, hatinya senang mendengar pujian-pujian itu. 

“Ke Bandung acara apa, Bu?” ibu yang duduk di sampingnya tadi bertanya.
“Saya ada meeting penting di Bandung. Ini saya harus segera ke bandara. Sungguh keterlaluan suami saya itu. Dia selalu saja membuat saya jengkel.
“Ditelepon saja, Bu.” 
“Saya sudah berusaha menelepon dan SMS. Nomornya tidak aktif. Huh, benar-benar keterlaluan. 

Sekali lagi ia melihat jarum jam di tangannya.


Menit kelima

Sebuah mobil kelas atas meluncur kemudian perlahan-lahan berhenti di depan halte. Seorang laki-laki paruh baya duduk di belakang setir itu. Pikirannya resah dan gelisah. Ia baru sadar HP-nya tertinggal di kamar hotel. Bagaimana kalau istri saya menelepon ke HP saya. Semoga saja si Vita mematikan HP saya. Pikir laki-laki itu. Dialah suami ibu muda yang menunggu di halte.

Ia turun dari mobil disambut dengan hujaman kata-kata kemarahan dari ibu tadi.
“Kamu ini bagaimana, sih? Aku sudah tergesa-gesa ke bandara tapi kamu terlambat.”
“Maaf, sayang. Aku tadi ada meeting penting di kantor.”
“Kamu memang tidak pernah mementingkan aku,” kata sang istri dengan keras.
“Kamu jangan menyalahkan aku begitu, dong. Aku tadi sudah ngebut untuk ke sini.”

“HP kamu kenapa tidak kamu aktifin juga?”
“HP saya sedang rusak, lagi saya servis di counter.”
“Kamu ini memang selalu begitu. Membuatku kesal.”
“Kamu jangan begitu, Ma. Aku sudah berkorban untuk datang ke sini. Padahal masih ada meeting penting di kantor."

Pertengkaran itu terjadi mengiringi angin lalu lalang kendaraan di jalan.
Tukang becak yang melihat prahara rumah tangga itu hanya bisa tersenyum. Begitu juga seorang ibu yang duduk di halte, sedikit tersenyum dan menganggapnya sebagai hal yang biasa sebagaimana sering dialaminya dengan suaminya.


Menit keenam

“Sudahlah, kamu memang selalu mengabaikan aku, Pa. Jangan-jangan kamu punya wanita lain, ya?”
“Kenapa Mama bisa bilang begitu. Mama jangan menuduh sembarangan.”

Laki-laki itu jadi terpancing emosinya. Suara keras dibalas dengan suara yang lebih keras lagi.
“Ya, sudahlah kalau Mama memang marah-marah terus. Papa akan pergi kalau begitu. Mama memang tidak menghargai pengorbanan Papa.”
”Pergi saja sana. Papa memang tidak bisa diharapkan.”

Dengan wajah kaku dan tertekuk karena menahan marah, laki-laki itu membuka pintu mobil, kemudian masuk ke dalamnya dan menutupnya dengan keras.
“Dasar wanita,” katanya.
 

Kemudian meluncurlah mobil kelas atas itu semakin lama semakin cepat meninggalkan seorang ibu muda di halte.

“Dasar laki-laki,” kata ibu muda itu.
Kini ia malah bingung. Sekarang siapa yang akan mengantarkannya ke bandara. Ah, ia jadi ingat dengan seseorang yang pasti mau mengantarnya.

Ia tekan nomor telepon kemudian beberapa saat terdengar suara dari seberang, “Selamat siang, cantik. Ada apa menelepon saya?”
“Begini, Pak. Saya terburu mau ke bandara. Kalau tidak keberatan, bisakah Bapak mengantar saya ke bandara sekarang?”
“Oh, pasti bisa. Saya akan siap mengantar kamu kapan saja. Sekarang saya jemput kamu di mana?”
“Saya di halte seberang kantor, Pak.” 


Menit ketujuh 


Datanglah mobil yang kelasnya lebih atas lagi dari mobil sang suami tadi, berhenti di depan halte. Pintu terbuka, keluarlah seorang pria botak dengan membawa senyum nakal di wajahnya.


* Sukoharjo, 6 Desember 2012


Sunday, November 25, 2012

Sepanjang Rel Kereta Api


Di sepanjang rel kereta api, berjalanlah seorang nenek dengan memanggul sayuran di punggungnya. Usianya memang sudah renta. Namun, kakinya melangkah dengan mantap menyusuri rel kereta api menuju ke pasar. Jarak dari rumahnya ke pasar sejauh satu kilometer.

Udara pagi menyelimuti tubuh nenek itu. Wajahnya yang penuh kerutan menandakan bahwa ia sudah lama menanggung kesusahan hidup. Namun pada wajahnya juga terpancar kekuatan sehingga setiap pagi ia sanggup berjalan menyusuri rel kereta api sejauh satu kilometer menuju pasar.

Si nenek mempunyai beberapa anak yang semuanya sudah menjadi “orang”. Di rumah ia tinggal bersama anak bungsunya yang pegawai negeri di kecamatan. Sebenarnya soal makan, ia tidak perlu mengkhawatirkannya. Untuk kebutuhan sehari-hari ia dan anaknya juga tidak kekurangan. Namun, nenek itu malu jika selalu meminta pada anaknya.

Seminggu yang lalu ia melihat kain batik yang bagus di sebuah toko di pasar. Ia tanyakan harganya kemudian ia hitung-hitung tabungannya. Belum cukup. Hari ini ia membawa seluruh tabungannya. Dengan tambahan hasil berjualan sayuran pagi ini ia bisa membeli kain batik yang diinginkannya.

Sampai di pasar nenek itu segera menggelar dagangannya. Satu dua pembeli datang, menanyakan harga dan menawar. Kemudian pergi membawa beberapa ikat sayur dan memberikan beberapa lembar uang pada si nenek. Begitulah sepanjang pagi hingga sayuran si nenek habis.

Si nenek berjalan dengan tersenyum, menyapa orang-orang di pasar yang dikenalnya. Ia menuju toko kain.

Saat matahari sepenggalah naik memancarkan sinar yang hangat, si nenek berjalan pulang menyusuri rel kereta api. Hatinya merasa senang. Tangannya mengelus-elus kain batik yang baru dibelinya. Betapa halusnya. Ia sudah mempunyai rencana. Ia akan menjahitkannya dan akan ia pakai saat pesta perkawinan anak Pak Lurah nanti. Ia membayangkan dirinya sendiri memakai pakaian batik hingga perjalanan jauh tak terasa melelahkan baginya. Dahinya sudah mulai berkeringat. Namun, kakinya masih berjalan mantap dan di kejauhan rumahnya sudah kelihatan atapnya.

Dari jauh terdengar suara kereta api datang. Suara belnya meraung-raung. Seperti biasa, si nenek menyingkir ke arah pinggir. Namun, nahas baginya, kakinya tersandung kayu yang menopang rel kereta api. Si nenek jatuh dan kereta api semakin mendekat. Ketakutan membayang pada wajahnya dan didekapnya kain batik yang baru dibelinya erat-erat. Namun aneh, si nenek kemudian malah tersenyum, seperti menyambut datangnya teman lama.


*Sukoharjo, 26 November 2012

Sebuah Bangku di Bawah Pohon Saat Angin Berhembus di Sore Hari


Seorang lelaki shalih duduk di atas bangku panjang di halaman masjid. Angin berhembus pelan, sesekali agak kencang sehingga menggugurkan daun-daun pohon akasia yang menaungi lelaki shalih itu.

Sore yang cerah itu, dengan memegang mushaf di tangan, melantunlah ayat-ayat suci dari lisannya yang fasih. Betapa merdunya, betapa menggetarkannya suara itu. Seakan-akan dedaunan yang beterbangan ikut menikmati syahdunya lantunan ayat-ayat Tuhan. Pohon-pohon pun bergoyang seirama naik turunnya irama qira’ahnya.

Siapa yang tak tertarik pada lelaki shalih itu. Dialah yang menjadi muazin masjid. Dia yang mengajar anak-anak TPQ membaca Al-Quran. Wajahnya selalu tenang dan bercahaya. Seakan-akan sinar rembulan selalu berpancar dari wajahnya.

Sore itu ayat-ayat suci menjadi hidangan bagi ruhaninya. Dirasakan oleh lelaki shalih itu bahwa hidupnya bergitu tenang, bahagia. Tiada beban dan tekanan. Namun, menginjak usianya yang hampir dua puluh lima, ia terkadang merasa kesepian. Tentu ia ingin segera menemukan pendamping hidupnya sehingga lengkaplah agamanya.

Sore yang cerah itu di sela-sela merdu lantunan ayat-ayat suci Tuhan, sesekali pikirannya melayang tak tentu arah. Kemudian saat sadar ia mengucap istigfar berkali-kali karena telah melalaikan ayat-ayat yang mestinya ia hadapi dengan kekhusyukan.

Tiada bisa dipunkiri lagi. Duduknya di bangku panjang di bawah pohon akasia sore itu -dan sore-sore sebelumnya- karena maksud tertentu. Bayangan warna biru muda menyeruak dalam pikirannya. Sesosok gadis dalam balutan jilbab yang anggun telah menyita hati dan pikirannya.

Ia sudahi bacaan Qurannya. Ia letakkan mushaf di atas bangku di sampingnya. Pikirannya semakin melayang sebagaimana daun-daun yang melayang-layang di depannya. Lalu datanglah angin utara yang agak kencang kembali menggugurkan daun-daun pohon akasia lebih banyak. Hembusan angin itu juga membawa kedatangan sesosok gadis berjilbab biru muda. Berjalan perlahan seperti sedang menikmati taburan dedaunan yang menghujani kerudungnya.

Lelaki shalih itu terpana. Pandangan matanya seperti mempunyai kehendak sendiri. Kehendak itu adalah menikmati keindahan sosok yang berjalan menyusuri jalan di depan masjid itu. Saat sadar akan khilafnya ia menundukkan pandangan dan mengucap istigfar. Namun, sesaat kemudian, matanya sudah melekat pada sosok gadis itu lagi.

Lelaki shalih itu sudah kecanduan. Ia telah meminum secawan anggur dan ia ingin meminumnya lagi, lagi, dan lagi. Betapa manis anggur terasa baginya meskipun sesungguhnya ia hendak menolaknya. Ia pun menyalahkan matanya atas pandangannya yang berhasrat.

Saat gadis berjilbab biru muda itu mulai menjauh, barulah lelaki shalih itu sedikit demi sedikit mendapatkan kesadarannya. Hatinya bergetar, tangannya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. Kemudian ia menundukkan kepala dalam-dalam. Mengucap istigfar dengan lirih, terus-menerus.

Ia mengakui kekhilafannya. Lalu dengan tangan yang masih bergetar ia bermaksud mengambil mushaf yang berada di sampingnya. Berharap lantunan ayat-ayat suci akan mampu mengobati hatinya dan menghapus dosanya. Diraihnya mushaf itu. Namun, karena tangannya masih bergetar, tanpa sadar mushaf itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. “Astagfirullah” teriak lelaki shalih itu dengan keras.


*Sukoharjo, 26 November 2012





Saturday, November 24, 2012

Motorku Sayang Motorku Melayang

Hasil kerja keras memeras keringat (kasihan amat, sampai keringat pun diperas) selama dua tahun adalah sepeda motor Satria FU150. Ini motor keren, kawan. Aku jadi kelihatan tambah cakep kalau nongkrong di atas motor ini. Aku sayang banget sama motor ini (kayak kekasih aja pakai disayang-sayang). Maklum, motor ini aku beli dengan usahaku sendiri.

Banyak kenangan bersama motorku ini. Aku pernah mengendarainya dari Bekasi ke Bandung dalam rangka bertemu seorang kawan yang bekerja di sana. Aku juga pernah mengendarainya beberapa kali dari Bekasi ke Solo atau sebaliknya waktu mudik atau balik. Aku sering mengajaknya ngebut di jalan. Apalagi di jalan Pantura yang jalannya lurus, rata, dan lebar itu, paling enak ngebut di situ. Dan beberapa kali pula aku dijatuhkannya di atas aspal.

Motor ini juga sering aku bawa mejeng di bundaran Jababeka, yang selalu ramai setiap malam Minggu. Juga mengantarku jalan-jalan ke Jakarta, ke PRJ (Pekan Raya Jakarta), ke mall-mall, ke tempat kawan lama, de el el pokoknya.

Setelah kerja dua tahun, kemudian aku keluar -atau dikeluarkan- dari perusahaan, aku membuka sebuah toko stationary (jual alat tulis). Buat modal, aku jual motor kesayangan itu. Meski eman-eman, tetap kurelakan ia pergi karena kata buku yang pernah aku baca, “Tiada kesuksesan tanpa pengorbanan”. Jadilah Satria-ku sebagai korban. Ia kujual dan aku beli motor yang lebih murah, Shogun 125.

Setelah setahun semenjak membuka usaha, aku mempunyai keinginan untuk kuliah. Aku ini berasal dari keluarga miskin. Jadi, sebelumnya tidak pernah kepikiran untuk kuliah. Dalam hal ini sepertinya kawan-kawanku mesti bertanggung jawab. Kawan-kawanku banyak yang kuliah. Karena sering bergaul dengan mereka dan mereka sering membicarakan tentang kuliah, aku jadinya juga ingin kuliah.

Membicarakan dengan orang tua menjadi hal yang sulit. Sebenarnya bapak sama ibu sudah merasa tenteram saat aku bekerja di perusahaan dulu. Aku dianggap sudah bisa mandiri dan bisa mendapatkan penghasilan sendiri sehingga tidak akan merepotkan orang tua lagi. Namun, karena sifatku yang keras kepala, harus tetep kuliah. Biaya akan aku cari sendiri. Uang masuk pertama akan aku usahakan sendiri.

Jalan satu-satunya adalah aku menjual hartaku satu-satunya, sepeda motor Shogun 125 milikku. Saat itu biaya masuk ke perguruan tinggi sebesar 4.500.000,00. Jadilah motorku berubah menjadi sebuah Kartu Tanda Mahasiswa yang selalu terselip dalam dompetku. Kuliah memang mahal.

Saat aku menikmati masa-masa kuliah, mau tak mau aku tetap mengenang sepeda motorku yang telah merelakan dirinya untuk kujual. Teringat pula aku dengan masa-masa bekerja selama dua tahun di kota Bekasi. Teringat pula akan kerasnya kehidupan yang pernah aku jalani.


*Sukoharjo, 24 November 2012


Wednesday, November 21, 2012

Buku Catatan Mimpi


Baiklah, aku mengaku. Sewaktu masih SMP aku mempunyai buku catatan harian. Eh, bukan buku catatan harian. Aku mengisi buku itu bukan dengan tulisan-tulisan yang menceritakan kejadian yang aku alami setiap hari. Aku mengisinya dengan tulisan-tulisan yang menceritakan mimpiku setiap malam. Jadi, ini namanya buku catatan harian atau apa ya? Baiklah, aku sebut saja ini buku catatan mimpi.

Orang menulis kejadian-kejadian sehari-hari itu sudah biasa. Banyak orang yang mempunyai buku catatan harian (diary). Namun, jika yang ditulis adalah mimpi yang dialami ketika tidur saya kira sangat sedikit orang yang melakukannya. Atau mungkin hanya aku saja ya. Aneh?

Kita lupakan sejenak keanehanku itu –dan jangan kau mengejekku atas perbuatanku itu. Kita berbicara tentang buku catatan mimpiku. Dulu aku berpikir, mengapa kita bisa bermimpi? Mengapa setiap mimpi selalu samara-samar dan susah untuk diingat-ingat? Mengapa kita tidak bisa mengendalikan mimpi? Mimpi yang kita alami hampir selalu berbeda setiap malam. Kemudian aku berpikir pasti menarik jika aku menuliskan mimpi-mimpiku.

Kemudian mulailah aku mengisi buku catatanku dengan mimpi-mimpi yang aku alami hampir setiap malam. Kesulitan utama dalam menuliskan mimpi adalah mengingat-ingat mimpi apa yang aku alami semalam. Sangat sulit mengingat-ingat kejadian dalam mimpi. Apalagi kejadian, tempat, dan orang dalam mimpi selalu samar, susah untuk diidentifikasi.

Jika aku menuliskan mimpi ketika pagi hari biasanya aku masih bisa mengingat banyak kejadian-kejadian dalam mimpi. Jika aku menuliskannya siang atau malam hari, sangat sulit untuk mengingatnya. Jadi hanya bisa beberapa kalimat saja untuk menggambarkan mimpi itu.

Sekarang aku sudah lupa mimpi apa saja yang aku tuliskan dalam buku catatan mimpiku itu. Dan sayangnya, buku buku catatan mimpi itu kini sudah tak bisa aku temukan lagi. Entah raib di mana. Jika masih ada tentu buku itu akan menjadi “artefak” yang berharga bagiku.

Mengenang masa lalu terkadang bisa menjadi sebuah penyegaran bagi pikiran. Untuk menambah motovasi, inspirasi, sebagai bahan evaluasi dan pembenahan diri.

Oya, ngomong-ngomong, kau mimpi apa tadi malam?


*Sukoharjo, 22 November 2012


Bengawan Solo, Riwayatmu Dulu, Kini, dan Nanti

Solo sedang ramai
Banyak polisi
Ada razia

Seperti tadi malam
Jam setengah sepuluh
Di sebuah warung hik, warung khas Solo
Mendengarkan seorang komandan polisi
Yang berseragam lengkap
Dengan membawa senjata
Dan di tangannya tergenggam segelas teh hangat
Membincangkan soal terorisme

Ia katakan,
Itu karena banyak orang
Tidak mengakui negara Indonesia
Lalu ia menceritakan
Tentang cara mendidik anaknya
Disuruhnya menanam tumbuhan setiap sebelum mandi
Betapa banyak yang bisa ditanam dalam sebulan

Anak buahnya datang
Komandan, sudah selesai, katanya
Aku lihat jalan di depan
Para polisi sudah mulai pergi
Razia sudah selesai

Sang Komandan pun pergi
Sambil meninggalkan senyum
Yang kubalas senyum
Aku pun segera pergi
Karna aku sedang tidak membawa STNK dan SIM

Siang ini, pembawa berita yang cantik
Mengabarkan
Ada penembakan teroris
Nyawa dibalas nyawa
Begitukah
Sampai kapan

Dan air Bengawan Solo terus mengalir
Sampai jauh
Melewati kota dan desa
Menjadi saksi
Atas tingkah polah manusia
Sepanjang zaman


*Sukoharjo, 1 September 2012


Aku ini Lelaki Pendiam dan Pemalu


Sumpah, aku ini adalah lelaki pendiam dan pemalu. Jika tak percaya, coba tanyalah kawan-kawanku SD atau SMP. Jangan meragukan perkataanku itu. Jika aku bilnag bahwa aku lelaki pemalas dan suka bolos sekolah, banyak yang percaya. Namun, saat aku bilang aku ini lelaki pendiam dan pemalu, mengapa banyak yang tak percaya –termasuk kau juga tak percaya, kan.

Baiklah aku ceritakan sedikit tentang lelaki pendiam dan pemalu ini. Ketika SMP aku ini lebih banyak diam daripada berbicara. Aku mengidap penyakit yang namanya KPD ‘Kurang Percaya Diri’. Pakaianku biasa, nggak pakai yang gaul-gaul. Rambutku agak panjang dengan belah pinggir. gaya rambut belah pinggir memang identik dengan anak pendiam yang culun kan.

Tapi jangan salah ya, meski culun begini aku nggak jelek-jelek amat lho. Buktinya dulu aku disamakan dengan peran Diaz dalam salah satu sinetron (Diaz diperankan oleh Rafi Ahmad). Mungkin kau ingat dulu dalam sebuah sinetron, Rafi Ahmad memerankan Diaz dengan rambut yang agak panjang dan belah pinggir. Dulu rambutku juga agak panjang dan belah pinggir. (Jadi, ternyata yang disamakan hanya model rambutnya saja, tapi tampangnya beda jauh, haduwh…)

Aku sering tidak berani bicara dengan orang lain. Apalagi berbicara di depan orang banyak, bisa jatuh pingsan aku. Pernah aku naik bus bersama kakakku. Ketika sudah hampir sampai tujuan, aku disuruh kakakku untuk bilang ke sopir agar bus berhenti. Sumpah, waktu itu aku nggak berani. Ya karena itu tadi, karena aku ini lelaki pendiam dan pemalu.

Sifatku ini sepertinya menurunkan sifat yang lain, yaitu susah untuk mengingat nama orang. Saat SMP aku sangat jarang bergaul dan berbicara dengan siswi di kelas. Sampai-sampai saat kelas tiga pun ada beberapa siswi yang sering aku lupa namanya.

Ada peribahasa Jawa, “Gong lumaku tinabuh” yang artinya kira-kira ‘gong akan berbunyi jika ada yang menabuhnya (memukulnya). Itu merupakan ungkapan untuk menggambarkan orang yang banyak diam, hanya berbicara jika ada yang bertanya. Sepertinya ungkapan itu cocok untukku. Aku lahir dari keluarga miskin –dan aku tidak mengeluh soal itu, aku justru bersyukur. Kau tahu kan, orang miskin itu sering merasa rendah diri. Orang yang rendah diri biasanya jadi pendiam.

Biarpun dulu aku termasuk “berotak encer” (saat SD aku sering menduduki rangking 3 besar, kalau SMP aku menduduki rangking 10 besar), aku tidak menonjolkan kelebihanku itu. Saat SMP aku berpandangan bahwa nilai itu tidak penting. Jadi saat SMP aku sering bolos sekolah. Aku juga jarang belajar saat menjelang ujian. Namun, teman-temanku mengakui kecerdasanku sehingga aku sering menjadi “tumpuan harapan” saat ujian sekolah. Dan aku selalu saja tidak menolak jika ada yang menanyakan jawaban soal ujian. Ternyata sifat pendiam dan pemalu menurunkan sifat penurut.

Meski aku pendiam dan pemalu aku tidak menjadi objek diskriminasi di kelas. Bagaimana mereka mau berbuat jahat kepadaku jika saat ujian mereka mengharapkan bantuanku. Selain itu, aku juga berteman akrab dengan ketua kelas yang bertampang sangar, berbadan besar, dan berkulit hitam. Bisa dibilang ketua kelasku ini salah satu yang “megang” sekolah. Jadi, ibaratnya aku punya bodyguard gitu.

Jadi, sekarang kau percaya kan bahwa aku ini lelaki pendiam dan pemalu.
(Sekarang pun aku ini masih lelaki pendiam dan pemalu lho.)


*Sukoharjo, 22 November 2012


Monday, November 19, 2012

Bait Perjuangan


Bismillahirrahmanirrahim

Lihatlah anak-anak kecil itu
Tanah yang mereka pijak adalah tanah gersang
Jalan yang lewati penuh lubang
Dan darah kering menghias di tembok-tembok kota

Batu di tangan kanan mereka
Sedang tangan kiri memegang tas
Berisi persediaan batu pula
“Inilah amunisiku!” teriak mereka
Dari jarak dua puluh meter meluncurlah batu-batu dari tangan mereka
Ke arah orang-orang yang menyandang senjata di sana

Hei, bukankah kau adalah ‘Umair
Putra Abdul Bashir yang terkenal itu
Ternyata keberanian bapakmu menurun kepadamu

‘Umair kecil dan kawan-kawannya pun pulang ke rumah
Setelah meninggalkan tawa bersama batu-batu yang mereka lemparkan
‘Umair disambut sang ibu di depan pintu
“Apa kau melakukannya lagi, ‘Umair?”
Suaranya berdengung keras
“Bukankah sudah ibu katakan,
Jangan kau melakukannya.”
“Ibu, aku berani. Dan teman-temanku juga melakukannya.
Saya tidak takut ditembak, Ibu.”

“Wahai, ‘Umair! Kau tidak takut ditembak tapi ibu yang takut kau akan tertembak.
Sampai kapan kau akan membuat ibu bersedih?”
“Ibu sering menceritakan tentang ayah yang berani maju perang
Melawan orang-orang jahat itu. Mengapa ibu melarang aku ikut seperti ayah?”
“Hafalkanlah Al-Quran, jangan kau main-main saja.
Ibu ini guru ngaji, malu bila anak ibu tak hafal Quran.”
“Aku tidak mau, aku mau ikut perang.”

Sang ibu merasa terpukul hatinya
Kemarin lusa ia mendengar kabar seorang anak tergeletak di tengah jalan
Beberapa peluru bersarang di tubuhnya
Dan anak satu-satunya terbayang-bayang
Takut akan kepergiannya sebelum waktunya

‘Umair terbangun di malam hari
Dicarinya air minum di dapur
Dilewati kamar tidur ibunya
Terlihat sosok wanita yang menengadahkan doa
Dan terdengar isak tangis yang tertahan
“Ya Rabbi, lindungilah anakku, jauhkanlah dari marabahaya
Hanya dia satu-satunya yang hamba miliki di dunia ini.”

‘Umair berjingkat-jingkat kembali ke kamarnya
Air mata merembes dari kedua matanya
“Maafkan aku, Ibu.”

“Kau pengecut!”
‘Umair tertunduk lesu ketika teman-temannya mencelanya
Sudah beberapa lama ‘Umair tidak ikut mereka
Melempari orang-orang jahat yang menyandang senjata
Hatinya pilu, malu, resah, dan tertekan
Namun, ia selalu teringat ibunya
Ayahnya sudah mati, akan bersama siapakah jika ia juga mati
Gemuruh perjuangan di dadanya ia simpan untuk sementara
Demi ibu yang dikasihinya

Terdengar kabar
Seorang komandan pasukan perjuangan akan datang
Untuk merekrut para pemuda pemberani
Dan mengumpulkan dana untuk perjuangan umat

‘Umair sudah beranjak remaja
Lima belas tahun ia
Api perjuangan masih menyala dalam dadanya
Namun, sang ibu juga masih di hatinya

Para pemuda berbondong-bondong
Para warga berlomba menyetorkan infaq

Hati ‘Umair merasa sedih
Tak bisa ikut merayakan ueforia perjuangan
“’Umair, anakku! Kemarilah, ayo ikut ibu ke komandan Hamzah.
Ibu mau memberikan wakaf untuk perjuangan bangsa kita.”

‘Umair merasa bingung
“Ibu memiliki apa? Bukankah selama ini kita makan seadanya
Sepertinya ibu juga tidak memiliki tabungan atau harta.
Apa yang akan ibu wakafkan?”
“Sudahlah, ayo iku anakku!”
Senyum terlukis di wajah sang ibu

“Wahai, Ummu ‘Umair,
Saya merasa senang bisa bertemu dengan Anda.
Saya jadi teringat dengan Abdul Bashir yang gagah berani.
Inikah anakmu?”
“Benar, ya Syaikh. Ini anak kami. Sekarang usianya sudah lima belas.
Dan dia sudah hafal Al-Quran.”
“Masya Allah. Dan saya yakin dia pasti juga punya jiwa yang berani seperti ayahnya”

Iya, benar. Aku ingin sekali mengikuti jejak ayahku.
Batin ‘Umair.

“Ya, Syaikh, kedatangan saya ke sini
karena saya ingin mewakafkan sesuatu untuk membantu perjuangan.
Mohon kiranya Syaikh mau menerimanya.”
“Dengan senang hati tentu kami akan menerimanya.
Apa yang ingin kau wakafkan, wahai Ummu ‘Umair.”
 
“Saya sudah membawanya, Syaikh.
Apa yang akan saya wakafkan ini merupakan milik saya satu-satunya.
Ini adalah harta yang sangat saya jaga hingga tiba saat ini untuk memberikannya kepada Syaikh.”

‘Umair bertanya-tanya
Apa yang dimiliki ibunya
Mereka orang miskin tidak mempunyai apa-apa

“Wahai, Syaikh yang mulia,
Terimalah wakaf saya berupa anak laki-laki saya satu-satunya ini.
Hanya dia yang saya miliki.
Saya melahirkannya, membesarkannya,
Menjaganya agar terhindar dari mara bahaya.
Saya menyayanginya sepenuh hati.
Maka satu-satunya milik saya yang berharga ini
Saya wakafkan di jalan Allah.
Kiranya Syaikh mau membimbingnya
Hingga menjadi tentara Allah yang perkasa.
Sebagaimana dulu Syaikh juga membimbing suami saya
Hingga suami saya menjemput maut dengan kebahagiaan.”

‘Umair merasa sedang tidak berada di alam nyata
Mengigaukah ibunya?
Ketika kecil dulu ia tidak diperbolehkan ikut melempari orang-orang jahat itu

Syaikh Hamzah menundukkan kepala
Beberapa lama keadaan hening
Sesekali terdengar suara tembakan dari kejauhan

“Wahai, Syaikh. Saya mohon terimalah.
Itulah harapan saya selama ini.
Saya menjaga dan membesarkannya untuk ini.”

Kini ‘Umair mengerti apa yang dilakukan ibunya dulu
Ternyata ibunya sudah mempunyai rencana seperti ini
Sehingga ibunya tidak mau ia terluka atau terbunuh ketika masih kecil dulu
Air mata ‘Umair membasahi pipinya
Giginya gemeletak menahan gejolak perasaan dalam hatinya
 
Syaikh Hamzah mendongakkan kepala
Kedua pipinya basah
Wahai, Ummu ‘Umair.
Inilah sebaik-baik wakaf yang aku terima sampai saat ini.
Sungguh engkau wanita berhati mulia.
Kau sudah rela ditinggal pergi suamimu.
Sekarang pun kau memberikan putramu satu-satunya.
Aku menerimanya.
Dan aku berjanji akan mendidiknya hingga ia menjadi tentara Allah
Yang akan menghancurkan musuh-musuh-Nya.”

Ummu ‘Umair pun menangis bahagia
Ruangan kecil itu pun menjadi saksi atas tangis bahagia tiga insan
Yang menggelorakan perjuangan dalam dadanya

“Wahai, Umair. Sekarang kau ikut Syaikh Hamzah
Taatilah beliau. Jadilah anak yang bisa aku banggakan.
Dan jangan sekali-kali kau pulang
Sebelum kemenangan kau raih
Atau sebelum nyawamu melayang.”

“Aku berjanji, Ibu.
Inilah yang aku dambakan setiap hari.
Yang aku impikan setiap malam.
Ternyata ini pula yang selama ini ibu pikirkan.”

Bulan berganti tahun
Suara tembakan sesekali masih terdengar
Dentuman bom terkadang menggelegar menggetarkan dada

Ummu ‘Umair senantiasa mengikuti kabar tentang anaknya
Sudah meraih kemenangan kah? Atau sudah tersenyum dalam kematian?

Di bulan ketiga saat matahari sedang panas-panasnya
Terdengar kabar pos tentara musuh hancur luluh
Gedung hancur, kendaraan tempur meledak
Pesawat tempur tinggal puing-puing
Tentara musuh bergelimpangan sekian banyaknya

Seorang utusan mengabarkan kepada Ummu ‘Umair
‘Umair menjadi salah satu tentara perjuangan yang menyerang pos musuh
Dan ia gugur dalam pertempuran yang meluluhlantakkan markas musuh tersebut

Ummu ‘Umari tersenyum
Inilah berita bahagia yang ditunggu-tunggunya

Keesokan harinya
Para tetangga berkunjung ke rumah Ummu ‘Umair
“Wahai, Ummu ‘Umair. Bersabarlah atas kepergian putramu.
Janganlah tangisi ia. Lihatlah kedua matamu bengkak.
Pasti kau menangis semalaman.”
Ummu Abdillah menghibur dengan nada simpati

“Wahai, saudariku
Jika kau datang ke sini untuk berbela sungkawa,
Maka kau salah tempat atau salah waktu.
Di sini hanya ada kebahagiaan.
Aku merasa bahagia karena cita-cita tertinggiku dan anakku sudah terpenuhi.
Aku semalaman tidak menangis.
Mataku bengkak karena aku kurang tidur.
Aku membuat kueh semalaman untuk menjamu tamuku
Yang akan mengucapkan selamat kepadaku.”

“Masya Allah, begitukah?!”
“Iya. Maka jika kau ingin berbela sungkawa
Maka berbalik arahlah.
Jika kau ingin mengucap selamat,
Maka ahlan wa sahlan, silakan masuk
Dan cicipilah hidangannya.”

“Engkau wanita berhati mulia, wahai Ummu ‘Umair.”
“Aku berharap masih memiliki anak lagi
Sehingga aku bisa mengorbankannya di jalan Allah.”
“Semoga Allah merahmatimu, wahai saudariku.”


*Sukoharjo, 19 November 2012