Bismillahirrahmanirrahim
Lihatlah anak-anak kecil itu
Tanah yang mereka pijak adalah tanah gersang
Jalan yang lewati penuh lubang
Dan darah kering menghias di tembok-tembok kota
Batu di tangan kanan mereka
Sedang tangan kiri memegang tas
Berisi persediaan batu pula
“Inilah amunisiku!” teriak mereka
Dari jarak dua puluh meter meluncurlah batu-batu dari tangan mereka
Ke arah orang-orang yang menyandang senjata di sana
Hei, bukankah kau adalah ‘Umair
Putra Abdul Bashir yang terkenal itu
Ternyata keberanian bapakmu menurun kepadamu
‘Umair kecil dan kawan-kawannya pun pulang ke rumah
Setelah meninggalkan tawa bersama batu-batu yang mereka lemparkan
‘Umair disambut sang ibu di depan pintu
“Apa kau melakukannya lagi, ‘Umair?”
Suaranya berdengung keras
“Bukankah sudah ibu katakan,
Jangan kau melakukannya.”
“Ibu, aku berani. Dan teman-temanku juga melakukannya.
Saya tidak takut ditembak, Ibu.”
“Wahai, ‘Umair! Kau tidak takut ditembak tapi ibu yang takut kau akan tertembak.
Sampai kapan kau akan membuat ibu bersedih?”
“Ibu sering menceritakan tentang ayah yang berani maju perang
Melawan orang-orang jahat itu. Mengapa ibu melarang aku ikut seperti ayah?”
“Hafalkanlah Al-Quran, jangan kau main-main saja.
Ibu ini guru ngaji, malu bila anak ibu tak hafal Quran.”
“Aku tidak mau, aku mau ikut perang.”
Sang ibu merasa terpukul hatinya
Kemarin lusa ia mendengar kabar seorang anak tergeletak di tengah jalan
Beberapa peluru bersarang di tubuhnya
Dan anak satu-satunya terbayang-bayang
Takut akan kepergiannya sebelum waktunya
‘Umair terbangun di malam hari
Dicarinya air minum di dapur
Dilewati kamar tidur ibunya
Terlihat sosok wanita yang menengadahkan doa
Dan terdengar isak tangis yang tertahan
“Ya Rabbi, lindungilah anakku, jauhkanlah dari marabahaya
Hanya dia satu-satunya yang hamba miliki di dunia ini.”
‘Umair berjingkat-jingkat kembali ke kamarnya
Air mata merembes dari kedua matanya
“Maafkan aku, Ibu.”
“Kau pengecut!”
‘Umair tertunduk lesu ketika teman-temannya mencelanya
Sudah beberapa lama ‘Umair tidak ikut mereka
Melempari orang-orang jahat yang menyandang senjata
Hatinya pilu, malu, resah, dan tertekan
Namun, ia selalu teringat ibunya
Ayahnya sudah mati, akan bersama siapakah jika ia juga mati
Gemuruh perjuangan di dadanya ia simpan untuk sementara
Demi ibu yang dikasihinya
Terdengar kabar
Seorang komandan pasukan perjuangan akan datang
Untuk merekrut para pemuda pemberani
Dan mengumpulkan dana untuk perjuangan umat
‘Umair sudah beranjak remaja
Lima belas tahun ia
Api perjuangan masih menyala dalam dadanya
Namun, sang ibu juga masih di hatinya
Para pemuda berbondong-bondong
Para warga berlomba menyetorkan infaq
Hati ‘Umair merasa sedih
Tak bisa ikut merayakan ueforia perjuangan
“’Umair, anakku! Kemarilah, ayo ikut ibu ke komandan Hamzah.
Ibu mau memberikan wakaf untuk perjuangan bangsa kita.”
‘Umair merasa bingung
“Ibu memiliki apa? Bukankah selama ini kita makan seadanya
Sepertinya ibu juga tidak memiliki tabungan atau harta.
Apa yang akan ibu wakafkan?”
“Sudahlah, ayo iku anakku!”
Senyum terlukis di wajah sang ibu
“Wahai, Ummu ‘Umair,
Saya merasa senang bisa bertemu dengan Anda.
Saya jadi teringat dengan Abdul Bashir yang gagah berani.
Inikah anakmu?”
“Benar, ya Syaikh. Ini anak kami. Sekarang usianya sudah lima belas.
Dan dia sudah hafal Al-Quran.”
“Masya Allah. Dan saya yakin dia pasti juga punya jiwa yang berani seperti ayahnya”
Iya, benar. Aku ingin sekali mengikuti jejak ayahku.
Batin ‘Umair.
“Ya, Syaikh, kedatangan saya ke sini
karena saya ingin mewakafkan sesuatu untuk membantu perjuangan.
Mohon kiranya Syaikh mau menerimanya.”
“Dengan senang hati tentu kami akan menerimanya.
Apa yang ingin kau wakafkan, wahai Ummu ‘Umair.”
“Saya sudah membawanya, Syaikh.
Apa yang akan saya wakafkan ini merupakan milik saya satu-satunya.
Ini adalah harta yang sangat saya jaga hingga tiba saat ini untuk memberikannya kepada Syaikh.”
‘Umair bertanya-tanya
Apa yang dimiliki ibunya
Mereka orang miskin tidak mempunyai apa-apa
“Wahai, Syaikh yang mulia,
Terimalah wakaf saya berupa anak laki-laki saya satu-satunya ini.
Hanya dia yang saya miliki.
Saya melahirkannya, membesarkannya,
Menjaganya agar terhindar dari mara bahaya.
Saya menyayanginya sepenuh hati.
Maka satu-satunya milik saya yang berharga ini
Saya wakafkan di jalan Allah.
Kiranya Syaikh mau membimbingnya
Hingga menjadi tentara Allah yang perkasa.
Sebagaimana dulu Syaikh juga membimbing suami saya
Hingga suami saya menjemput maut dengan kebahagiaan.”
‘Umair merasa sedang tidak berada di alam nyata
Mengigaukah ibunya?
Ketika kecil dulu ia tidak diperbolehkan ikut melempari orang-orang jahat itu
Syaikh Hamzah menundukkan kepala
Beberapa lama keadaan hening
Sesekali terdengar suara tembakan dari kejauhan
“Wahai, Syaikh. Saya mohon terimalah.
Itulah harapan saya selama ini.
Saya menjaga dan membesarkannya untuk ini.”
Kini ‘Umair mengerti apa yang dilakukan ibunya dulu
Ternyata ibunya sudah mempunyai rencana seperti ini
Sehingga ibunya tidak mau ia terluka atau terbunuh ketika masih kecil dulu
Air mata ‘Umair membasahi pipinya
Giginya gemeletak menahan gejolak perasaan dalam hatinya
Syaikh Hamzah mendongakkan kepala
Kedua pipinya basah
Wahai, Ummu ‘Umair.
Inilah sebaik-baik wakaf yang aku terima sampai saat ini.
Sungguh engkau wanita berhati mulia.
Kau sudah rela ditinggal pergi suamimu.
Sekarang pun kau memberikan putramu satu-satunya.
Aku menerimanya.
Dan aku berjanji akan mendidiknya hingga ia menjadi tentara Allah
Yang akan menghancurkan musuh-musuh-Nya.”
Ummu ‘Umair pun menangis bahagia
Ruangan kecil itu pun menjadi saksi atas tangis bahagia tiga insan
Yang menggelorakan perjuangan dalam dadanya
“Wahai, Umair. Sekarang kau ikut Syaikh Hamzah
Taatilah beliau. Jadilah anak yang bisa aku banggakan.
Dan jangan sekali-kali kau pulang
Sebelum kemenangan kau raih
Atau sebelum nyawamu melayang.”
“Aku berjanji, Ibu.
Inilah yang aku dambakan setiap hari.
Yang aku impikan setiap malam.
Ternyata ini pula yang selama ini ibu pikirkan.”
Bulan berganti tahun
Suara tembakan sesekali masih terdengar
Dentuman bom terkadang menggelegar menggetarkan dada
Ummu ‘Umair senantiasa mengikuti kabar tentang anaknya
Sudah meraih kemenangan kah? Atau sudah tersenyum dalam kematian?
Di bulan ketiga saat matahari sedang panas-panasnya
Terdengar kabar pos tentara musuh hancur luluh
Gedung hancur, kendaraan tempur meledak
Pesawat tempur tinggal puing-puing
Tentara musuh bergelimpangan sekian banyaknya
Seorang utusan mengabarkan kepada Ummu ‘Umair
‘Umair menjadi salah satu tentara perjuangan yang menyerang pos musuh
Dan ia gugur dalam pertempuran yang meluluhlantakkan markas musuh tersebut
Ummu ‘Umari tersenyum
Inilah berita bahagia yang ditunggu-tunggunya
Keesokan harinya
Para tetangga berkunjung ke rumah Ummu ‘Umair
“Wahai, Ummu ‘Umair. Bersabarlah atas kepergian putramu.
Janganlah tangisi ia. Lihatlah kedua matamu bengkak.
Pasti kau menangis semalaman.”
Ummu Abdillah menghibur dengan nada simpati
“Wahai, saudariku
Jika kau datang ke sini untuk berbela sungkawa,
Maka kau salah tempat atau salah waktu.
Di sini hanya ada kebahagiaan.
Aku merasa bahagia karena cita-cita tertinggiku dan anakku sudah terpenuhi.
Aku semalaman tidak menangis.
Mataku bengkak karena aku kurang tidur.
Aku membuat kueh semalaman untuk menjamu tamuku
Yang akan mengucapkan selamat kepadaku.”
“Masya Allah, begitukah?!”
“Iya. Maka jika kau ingin berbela sungkawa
Maka berbalik arahlah.
Jika kau ingin mengucap selamat,
Maka ahlan wa sahlan, silakan masuk
Dan cicipilah hidangannya.”
“Engkau wanita berhati mulia, wahai Ummu ‘Umair.”
“Aku berharap masih memiliki anak lagi
Sehingga aku bisa mengorbankannya di jalan Allah.”
“Semoga Allah merahmatimu, wahai saudariku.”
*Sukoharjo, 19 November 2012