Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Thursday, February 25, 2016

Di Situlah Aku Benar-benar Merasa Jomblo

Menu makan siang
 Beberapa hari terakhir aku merasa tidak enak badan. Yeah, lelaki dengan tingkat ketampananan di atas KKM sepertiku bisa sakit juga, lho. Selama dua hari aku tidak masuk kerja.

Radang tenggorokan menjadi semacam rindu yang menghampiriku, lalu singgah di tubuhku beberapa hari. Apalagi cuaca pada akhir-akhir ini yang siangnya sungguh panas dan sore sering hujan. Dan aku suka minum es.

Maka pada pagi yang mendung itu badanku lemas, tenggorokanku sakit. Tanpa periksa ke dokter, aku sudah mendiagnosis diriku sendiri bahwa aku menderita sakit radang tenggorokan. Keren, kan, bisa tahu penyakit sendiri.

Seharian itu, aku tak bisa bersuara. Sakit sekali tenggorokan untuk mengeluarkan kata. Juga untuk menelan makanan. Jadilah, aku seharian hanya tiduran di sofa, sesekali membuka handphone. Namun, buku yang kuambil dan kusiapkan di atas meja tak jua kujamah karena badan terlalu lemah dan malas untuk membaca.

Di saat-saat seperti itu aku baru merasa kesepian, kesendirian. Tentu menyenangkan jika ada seseorang yang bisa menghibur, menemani, menyuapkan makanan, dan memaksakan obat untuk kuminum. Tapi, tidak ada “seseorang” itu.

Aku ingat, aku kan jomblo. Hehe....
Di situlah aku
benar-benar merasa jomblo.

Inilah salah satu susahnya menjadi jomblo. Sepi, sendiri, dimakan sunyi. Halah, apaan sih. Kita –kita? aku saja mungkin—baru menyadari sebenar-benarnya kondisi kita setelah kita merasa tidak nyaman atas kondisi tersebut. Selama ini aku happy-happy aja dengan status jomblo akhir zaman yang super ngehits di kalangan fans, tapi saat kondisi sakit seperti itu aku baru merasa memang beginilah nasib jomblo. 


Tapi begini, wahai rakyat Indonesia yang berdaulat, selalu ada hikmah dan pelajaran dari setiap hal yang menimpa kita. Saat menderita sakit itu aku bisa merasakan kembali betapa sungguh kasih sayang dan perhatian orangtua kepada anaknya.

“Minum obat,” kata Bapak.
“Beliin obat radang tenggorokan di apotek, Pak,” pintaku dengan nada memelas, tentu dengan suara yang lirih hampir tak terdengar karena betapa sakitnya tenggorokan untuk berbicara.

Segera saja Bapak pergi ke pasar dengan sepeda onthel tuanya –sepeda onthel yang sesekali ingin kupakai pergi berangkat kerja karena terlihat tua dan bagus—untuk membelikan obat.

Jadilah, pagi itu aku sarapan segelas susu hangat –buatan sendiri—dan dua potong roti dengan taburan tiga butir obat. Keren, kan.

Agak siang ibu bertanya, “Mau makan apa? Mau dimasakin telor?”
Ah, telor goreng, nanti tambah sakit. “Pengin bakso kataku,” kataku.

Tak berapa lama, semangkok bakso panas pun terhidang di atas meja. Ya ampun, orangtuaku sayang banget sama aku, kan.

Waktuku memang jarang kuhabiskan di rumah. Aku bekerja berangkat pagi pulang sore. Terkadang sore masih melanjutkan kerja sambilan, kadang sampai malam.

Jadi, hikmah dari sakit yang kuderita setidaknya aku bisa lebih lama berada di rumah –meski cuma bisa terkapar di kursi. Dan di situlah, orangtua bisa menyalurkan kasih sayangnya. Aku yakin, segede apapun seorang anak, orangtua tetaplah orangtua yang selalu ingin meluapkan kasih sayang kepada anaknya. Bahkan, hingga seorang anak itu sudah memiliki istri dan anak pula, orangtua tetaplah ingin memberikan kasih sayang yang sama.

 
Tadi saat berangkat, aku sempatkan berhenti di pinggir jalan dan memotret pagi yang berkabut ini.

Bisa kita dapati, ada seorang lelaki yang sudah beristri dan beranak, ketika mengunjungi orangtuanya, ia menjadi “manja” atau dipaksa “manja”. Misalnya, bapak-ibunya menyediakan makan untuknya, menyiapkan keperluannya. Termasuk kepada cucu-cucunya, bapak-ibu itu juga akan melimpahkan kasih sayang yang luar biasa besarnya.

Amarah yang ditunjukkan oleh orangtua pun adalah bentuk kasih sayang. Sewaktu remaja dulu, aku sering dimarahi oleh Bapak dan Ibu saat pulang sekolah nekat menerobos hujan. “Kalau hujan, ngiyup dulu,” begitu wanti-wanti Ibu. Sekarang pun tak beda jauh. Jika lupa tak membawa mantol, dan aku pulang dengan basah kuyup, serta merta Bapak-Ibu akan menceramahi agar aku selalu ingat untuk membawa mantol. Terkadang saat pagi ,setelah dijemur, mantol dilipat dan disiapkan untukku. “Jangan lupa bawa mantol. Musim hujan begini harus selalu bawa mantol,” begitu wejangan Bapak.

Eh, kok jadi mellow begini ya. Ah, itu suara kereta api lewat. Tandanya aku harus bergegas mandi lalu bersiap-siap berangkat kerja, meski kondisiku belum sepenuhnya sehat. Radang tenggorokanku sudah sembuh sih, tapi gejala sakitnya seperti pilek, demam, dan batuk masih setia menemaniku. Obat yang dibelikan Bapak di apotek itu memang manjur buat mengobati sakitku. Tapi, Bapak, bisa nggak sekalian nyariin obat buat mengobati kesendirianku? Eh.


***
Sukoharjo, 26 Februari 2016
Ditulis saat pagi hari, yang sebenarnya malas mandi, tapi tetap harus mandi karena harus berangkat pagi buat mencari rezeki biar apa? biar bisa beli cilok, sisanya ditabung biar bisa beli mahar buat kamu. Ahai......

Ah, lupakan tulisan nggak jelas ini. Katanya orang sakit itu suka mengigau.
Oya, sarapan pagiku hari ialah bubur beras lauknya terik tahu dan telur dengan taburan tiga butir obat. Sepertinya yummy. Mau?



Sunday, February 21, 2016

Menangislah dalam Pelukku


: untuk kamu


Samudera yang kita arungi
tidaklah tenang ombaknya dan sepoi anginnya
Kapal kita kan terempas riuh ombak
kan terhantam amuk badai

Di saat kapal terombang-ambing
buritan retak, layar robek, dan tali putus
Ingatlah, ada aku di sampingmu

Saat kamu merasa hidup sudah sedemikian payah
ragamu letih, jiwamu lelah, hatimu pasrah
Ingatlah, ada aku di sampingmu

Marilah kita berdiri di depan geladak
hadapi ombak samudera itu
lalu bentangkan tanganmu
kan kupeluk dirimu, kugenggam tanganmu
dan dengarkan bisikku
kita akan melewati badai ini
menuju daratan pulau yang indah permai
di sana

Jika air matamu menetes
takkan kuusap dengan jemariku
tapi, kan kusediakan pundakku untukmu
dan dengarlah bisikku
menangislah dalam pelukanku
tumpahkan gundahmu

luruhkan dukamu
padaku

Jika malam nanti langit terang
bintang-bintang bersinar cemerlang
marilah kita memandang ke atas sana
dengan tangan saling menggenggam

dan bisikkanlah kepadaku
aku akan bersamamu
selamanya


***
Sukoharjo, 21 Februari 2016

Saturday, February 20, 2016

Menikmati Seni, Meratapi Sepi

Menikmati lukisan
Abaikan judul di atas yang sok puitis itu. Itu judul yang asal-asalan saja.

Begini, wahai rakyat Indonesia yang berbahagia, apa yang bakal kamu lakukan jika di suatu malam kamu merasa bosan di rumah?

Kalau aku sih, biasanya jalan-jalan. Bukan jalan kaki, tapi naik sepeda motor. Biasanya cuma muter-muter kota Solo, lewat jalan Slamet Riyadi, lewat Keraton Solo --kadang mampir warung hik di depan keraton, memesan segelas kopi hitam yang kental sambil mencomot nasi kucing dan gorengan--, terus lewat alun-alun selatan yang selalu ramai itu.

Jika kebetulan ada pameran seni di Balai Sudjatmoko --yang berlokasi satu gedung dengan Toko Buku Gramedia-- aku akan mampir sejenak ke sana. Aku bukan pelaku seni yang bisa menghasilkan karya seni yang indah. Dalam hal menggambar pun aku tak bisa membanggakan diri.

Jika menggambar sesosok manusia, aku akan menggambar sebuah lingkaran (sebagai kepala) dengan dua tanda silang (sebagai mata) dan satu garis lengkung di bawahnya (tanda bibir yang tersenyum). Lalu, kutarik garis lurus ke bawah dari lingkaran itu (sebagai badan). Dua tangan kugambar dengan garis lurus yang menyamping. Begitu juga untuk dua kaki. Sepertinya, itu pencapaian tertinggi dari bakat menggambarku.
 


Meskipun begitu, aku tetap suka melihat-lihat karya seni. Misalnya karya seni lukis dan fotografi. Di Balai Sudjatmoko tak jarang diadakan pameran seni lukis dan fotografi. Di situlah kesempatanku untuk berlagak sok nyeni dengan memandang karya-karya dua dimensi itu.

Terkadang aku bisa menangkap makna di balik gambar-gambar yang dipamerkan itu. Tapi, seringnya aku tak memahami sedikitpun maksud gambar-gambar yang aneh itu. Aku tak bisa memahami arti lukisan abstrak yang tak bisa diidentifikasi sebagai gambar bentuk apa.


 
Jika menemukan lukisan seperti itu, apa yang aku lakukan? Aku hanya akan berdiri diam di depan lukisan itu. Berusaha meniknati setiap goresannya, setiap warnanya, setiap kesan yang ditimbulkannya.

Aku berpikir, karya seni memang tak selalu harus dimaknai. Ia hanya perlu dinikmati, dihayati, diresapi, ditatap lekat-lekat tanpa ekspresi apapun kecuali wajah yang menyiratkan kedamaian.

Jika kamu mau mencoba melakukan seperti itu, percayalah, kamu sudah sukses berlagak sebagai pecinta seni meskipun kamu tak bisa membedakan apa itu lukisan beraliran impresionisme dan surrealisme.

Oya, jika beruntung, di lokasi pameran karya seni itu kamu akan mendapati anak-anak muda kekinian yang heboh berpose. Entah pose natural dengan wajah yang sok cool, sok ganteng, sok cantik dan cenderung diimut-imutin, atau pose "embuh sakkarepe dewe sing penting bahagia".

Melihat tingkah anak-anak muda kekinian itu menjadi hiburan tersendiri. Anggap saja itu sebagai bonus dari pameran seni.



 

***
Sukoharjo, 21 Februari 2016


Perhatikan dua anak mudi kekinian yang asyik mencari angle foto. Mereka tersenyum dan cekikikan saat sekilas pandanganku mengarah ke mereka.

Ini contoh pose yang sok cantik, cenderung diimut-imutin. Tapi, bukan aku yang motret, lho.
Ini contoh pose yang "embuh sakkarepe dhewe sing penting bahagia". Ini juga bukan aku yang motret.


Thursday, February 18, 2016

Semua akan Cie Cie pada Waktunya #Jilid 2

Semua akan Cie Cie pada Waktunya
“Hai, orang-orang yang bersendirian, tenangkanlah perasaanmu dan lapangkanlah hatimu. Jodoh tak akan ke mana. Tak kan dipercepat, tak pula diperlambat. Bersabarlah, semua akan cie-cie pada waktunya.”

Setelah menulis Semua Akan Cie-cie pada Waktunya, kini aku menulis Semua Akan Cie-cie pada Waktunya #jilid 2. Anggap saja ini hiburan bagi para jomblo akhir zaman. Selama masih banyak para jomblo yang di-bully, selama itu pula aku akan menulis "Semua Akan Cie-cie pada Waktunya" sampai jilid berapapun –jika masih bisa terus menulis, sih.

Jadi begini, wahai penduduk bumi, belum lama ini aku menghadiri pesta walimahan seorang kawan. Eh, sebenarnya aku tidak hadir saat pesta walimahan yang dilangsungkan mulai pukul sembilan pagi hari di tanggal merah itu, tapi aku datang pada sore harinya. Alasannya, pagi hari itu aku sedang mengerjakan kewajiban seorang jomblo yang urgen, yaitu mencuci baju. Lagipula, pukul sembilan pagi itu aku belum mandi. Usai mencuci baju, aku pun segera mandi. Mandinya di umbul Ponggok, Klaten. : D

Alasan lainnya aku datang sore hari agar bisa lebih leluasa berbincang dengan sang manten. Sebagai kawan lama, tentu aku ingin pula berbincang-bincang dengannya. Kalau datang pagi pasti suasana ramai dan sulit untuk mengobrol santai dengannya.

Alasan lainnya lagi, kalau datang pagi bakal mendapatkan pertanyaan sakral sepanjang masa: “Kapan kamu nikah?” Bukan apa-apa sih, cuma aku bosan menjawab pertanyaan seperti itu. Lha, gimana? Sejak zaman Megalithikum hingga zaman android sekarang ini, pertanyaannya itu-itu saja. Tidak ada variasi. Paling cuma berbeda redaksi, namun sama intinya. Mbok ya, kreatif dikit bikin pertanyaannya, sudah era globalisasi lho ini.

Lagipula, wahai para pembaca setia, kalau aku datang pagi di sana bakal banyak akhwat. Secara gitu, kawanku itu berada di pergaulan yang akhwatnya berkerudung besar. Takutnya, salah satu kerudung akhwat itu melambai-lambai dan menampar hatiku. Aiiih ... sakitnya tuh di sini.

Kata pak Ustaz, kita harus jaga pandangan, jaga hati, dan jaga istri –bagi yang punya. Sebagai jomblo yang tampan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, aku harus berusaha menjaga diri agar tidak mudah tergoda oleh pesona wanita dunia. Pun berusaha menjaga pesona ketampananku agar tidak menarik perhatian akhwat-akhwat itu. : D #Oke, skip lebay mode on ini.

Hari berikutnya pascawalimahan itu, foto sang manten sudah diunggah ke media sosial. Beberapa komentar mengungkapkan pujian betapa tampannya pengantin laki-laki dan betapa cantiknya pengantin perempuan. Mereka berdua pasangan yang serasi. Dan, di situlah kadang aku merasa tidak tampan lagi.

Berbahagialah kawanku yang sudah mendapatkan jodoh itu. Mungkin banyak jomblo yang iri sambil membatin, giliranku kapan duduk di kursi berhiaskan bunga-bunga indah itu?

Aku? Sebagai pemegang teguh risalah “Semua akan Cie-cie pada Waktunya”, aku sudah lama berusaha tak iri dengan kebahagiaan orang lain saat mendapatkan jodohnya. Aku haqqul yaqin, Tuhan sudah menetapkan jodoh bagi hamba-Nya. Kita hanyalah manusia yang bisa berusaha, Tuhan Yang Maha Berkehendak.

Sebagaimana rezeki, jodoh juga mesti diupayakan. Ingin mendapatkan rezeki tentu kita harus bekerja keras –meskipun rezeki kita sudah dijatah oleh Tuhan. Pun begitu, ingin mendapatkan jodoh, kita mesti berusaha.

Bukan hasilnya yang kita lihat. Banyak orang memiliki harta melimpah, namun dari hasil korupsi. Apakah hartanya akan berkah dan membuatnya bahagia? Dalam mencari rezeki, tentu harus yang halal dan berkah. Seberapapun hasil yang didapat –sekali lagi—yang penting halal dan berkah. Mencari jodoh juga begitu, jangan hanya yang penting cepat menikah. Mestilah melalui cara yang baik. Kalau suka dengan seseorang, langsung bilang saja. Maksudnya, bilang sama bapaknya. 


Jika sudah berusaha untuk mendapatkan jodoh namun belum berhasil pula, bagaimana? Sekali lagi, jodoh sudah ditetapkan oleh Tuhan. Janganlah risau dan galau. Jomblo yang sering galau itu mudah depresi, lho. 


Tenang saja, yang penting ikhtiar dengan cara-cara yang baik. Berdoa kepada Tuhan. Serahkan urusan jodoh kepada Tuhan. Lalu, suatu hari nanti kamu akan melihat bahwa apa yang ditakdirkan untukmu selama ini –yaitu jomblo berkepanjangan-- adalah baik bagi dirimu. Yakinlah, semua akan cie-cie pada waktunya. Kalau belum cie-cie, berarti belum waktunya.


***
SuKoharjo, 19 Februari 2016
Ditulis saat sepertiga malam terakhir setelah sesaat mengamati bintang-bintang di langit sambil membatin: siapakah jodohku?




Wednesday, February 17, 2016

Draf Naskah Drama Permadi-Prameswari

Tokoh Raden Permadi diperankan oleh Muhammad Ibnu Najib

Sebelum menulis secara lengkap naskah drama, aku membuat drafnya dulu. Berikut ini draf naskah drama yang berjudul "Permadi-Prameswari"

Sinopsis Cerita
Kasultanan Demak mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang perdagangan, pertanian, maupun pelayaran. Pelabuhan yang dibangun menjadi pusat perdagangan dengan pedagang-pedagang dari luar Tanah Jawa. Lahan-lahan pertanian yang dibuka menghasilkan hasil bumi yang melimpah. Tata aturan yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah ditegakkan untuk menjamin keamanan dan ketertiban. Rakyat hidup tenteram dan makmur.

Penyebaran agama Islam berjalan pesat, baik di daerah pesisir pantai maupun di pedalaman. Beberapa kerajaan sekitar pun menerima ajaran Islam, lalu tunduk di bawah kekuasaan Sultan Demak sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawi. Keadaan tersebut membuat sebagian kecil raja-raja di Jawa menjadi was-was dan menaruh kebencian. Salah satunya yaitu Prabu Prajaka yang sangat membenci Kasultanan Demak.

Prabu Prajaka mempunyai putra bernama Raden Permadi. Raden Permadi adalah pemuda yang tampan, baik budinya, dan pemberani. Raden Permadi jatuh cinta kepada seorang wanita cantik bernama Prameswari, putri salah satu senopati Kasultanan Demak, Senopati Priyambaka. Begitupun dengan Prameswari, menaruh hati juga kepada putra mahkota yang berbudi halus itu. Namun, mereka tak mungkin bersatu. Meskipun menaruh rasa suka, Prameswari tak mau menikah dengan Raden Permadi karena Prameswari beragama Islam, sedangkan Raden Permadi masih menganut agama lama. Lagi pula, ayah Raden Permadi, Prabu Prajaka, sangat memusuhi Kasultanan Demak.

Prabu Prajaka bersama Patih Sulindra dan para senopatinya membuat rencana penyerangan ke Kasultanan Demak. Raden Permadi ingin menggagalkan rencana itu, namun tekad ayahnya tak bisa diundurkan. Raden Permadi merasa bimbang. Jika peperangan terjadi, ia harus membela siapa. Membela ayah dan negerinya tercinta ataukah membela kekasih hatinya, Prameswari.

Pasukan Prabu Prajaka menyerang Kasultanan Demak. Senopati Priyambaka, yang ditunjuk sebagai senopati utama, menghadang di garis depan. Pertemupuran berjalan sengit. Korban berjatuhan. Prabu Prajaka dan Senopati Priyambaka melakukan perang tanding. Keduanya sama-sama hebat. Dalam kemelut perang itu, Raden Permadi menengahi pertempuran antara ayahnya dengan Senopati Priyambaka. 


Raden Permadi membujuk ayahnya untuk menghentikan pertempuran. Raden Permadi menerangkan bahwa ia mencintai putri dari Senopati Priyambaka. Dikatakan pula oleh Raden Permadi bahwa ia sudah memeluk Islam. Prabu Prajaka luluh hatinya. Ia tersadar kebenciannya selama ini tidaklah beralasan. Akhirnya, pertempuran dihentikan. Prabu Prajaka dan Senopati Priyambaka sepakat untuk menikahkan anak mereka.



PEMBABAKAN




Alokasi waktu yang disediakan untuk pementasan drama ini sekitar 30 menit. Aku harus membayangkan adegan demi adegan setiap babaknya sehingga waktu pementasan yang terbatas itu bisa cukup untuk menyampaikan keseluruhan cerita.

Awalnya aku akan menjadikannya 4 babak. Namun, waktu yang terbatas dan berdasar pementasan yang pernah dilakukan, 4 babak terlalu lama sedangkan cerita harus dipadatkan. Oleh karena itu, aku memutuskan membuatnya menjadi 3 babak. 

Membuat cerita menjadi 3 babak tidak pula menjadi pekerjaan yang mudah. Setiap babaknya harus mengandung alur yang penting. Babak pertama berisi latar belakang dan pengenalan tokoh secara umum. Dengan demikian, pada babak pertama ini akan lebih banyak dialog. Di babak pertama ini pula, konflik mulai muncul.

Babak kedua puncak konflik. Adegan masih didominasi dialog, tapi dengan penambahan unsur ketegangan. Pada babak ketiga, konflik memuncak, kemudian penyelesaian. Dialog dan gerak (adegan perang) berimbang di babak ketiga ini. Berikut ini hasil pembabakan yang aku susun.
 


Babak 1
Prameswari beserta para dayang (Bawang Putih, Bawang Merah, Bawang Ungu, Bawang Bombay) bercengkrama di kaputren. Datanglah Raden Permadi beserta tiga pengawalnya. Raden Permadi berdialog dengan Prameswari. Raden Permadi mengungkapkan perasaannya dan keinginannya untuk menyunting Prameswari. Namun, Prameswari menolak karena perbedaan agama. Raden Permadi pergi membawa duka. Ayah Prameswari, Senopati Priyambaka datang mengabarkan bahwa ia ditunjuk sebagai senopati utama dalam menghadapi serangan Prabu Prajaka.

Babak 2
Prabu Prajaka beserta Pratih Sulindra dan ketiga senopatinya bermusyawarah membuat rencana penyerangan ke Demak. Raden Permadi datang dan membujuk ayahnya agar mengurungkan penyerangan itu, namun, Prabu Prajaka tetap bersikeras akan menyerang Demak. Prabu Prajaka beserta Pratih Sulindra dan ketiga senopatinya meninggalkan ruangan. Tinggal sendiri Raden Permadi meratapi nasibnya yang menanggung dilemma.


Babak 3
Pasukan Prabu Prajaka dan Senopati Priyambaka berhadap-hadapan. Terjadi pertempuran yang sengit. Pasukan Prabu Prajaka dan Senopati Priyambaka saling menyerang. Di tengah kecamuk perang itu, Raden Permadi datang menengahi. Prameswari pun datang membujuk ayahnya.
Raden Permadi mengatakan bahwa ia mencintai putri dari Senopati Priyambaka. Raden Permadi juga mengatakan bahwa ia sudah memeluk agama Islam.
Raden Permadi dan Prameswari berdialog meratapkan cinta mereka yang tak bisa diwujudkan karena permusuhan Prabu Prajaka dengan Demak. Akhirnya, Prabu Prajaka luluh hatinya dan menghentikan peperangan.



Setelah selesai menyusun draf, aku menyusun naskah drama. Dialognya tidak aku buat panjang-panjang. Yang penting pesannya tersampaikan. Naskah drama ini mengalami beberapa revisi. Naskah drama ini selengkapnya dapat dibaca di sini.


 

Sunday, February 14, 2016

Tragedi Upacara Penurunan Bendera

"Ini ikatan apa? Cara membuatnya bagaimana?"
Pada suatu hari, langit mendung, angin bertiup sepoi-sepoi, dan ada tukang cilok menjajakan dagangannya. Waktu itu aku mengikuti kegiatan KMD, yaitu semacam training untuk pembina Pramuka. FYI, di sekolah tempatku mengajar, aku menjadi pembina Pramuka, lho. Jadi, kamu boleh panggil aku “Kakak Pembina”.

Pelatihan itu diikuti oleh ratusan peserta yang berasal dari beberapa kabupaten. Peserta mendirikan tenda di lapangan dan kebun. Untuk MCK, peserta menggunakan kamar mandi yang ada di rumah penduduk. Namun, karena jumlah kamar mandi tidak memadai akibatnya setiap mandi harus antre.

Suatu pagi, waktu MCK, aku pergi ke masjid yang ada kamar mandi yang bersih dan airnya lancar—meski tempatnya agak jauh dari lokasi perkemahan. Di masjid tersebut, aku bertemu dengan teman yang berbeda kelompok. Kami pun mengobrol agak lama sambil menunggu giliran mandi.


Selesai mandi, aku kembali ke tenda. Di tenda, aku disambut dengan kabar yang cetar menggelegar. Bahwa ternyata saat aku mandi tadi, telah dilaksanakan apel pagi (upacara penaikan bendera) –seperti hari sebelumnya. Semua peserta wajib mengikuti apel. Tentu saja aku tidak ikut karena antre mandi tadi. Beberapa teman sekelompokku yang ada di tenda juga tidak ikut apel. Yang ikut apel dari kelompokku hanya 2 orang. Padahal, kelompokku terdiri dari 7 atau 8 orang (aku lupa jumlah pastinya).

Pada saat apel pagi, panitia mengecek setiap kelompok, apakah lengkap atau tidak. Alhasil, kelompokku yang hanya ikut 2 orang itu pun segera mendapat perhatian panitia. Dan, panitia menjatuhkan hukuman kepada kelompokku. Hukumannya adalah kelompokku menjadi petugas apel sore (upacara penurunan bendera). Uaaaahhhh....gegerlah seisi tenda.

Oke, hukuman harus dijalani. Dibagilah petugasnya, 1 orang menjadi pemimpin upacara dan 3 orang menjadi petugas penurunan bendera. Aku sih penginnya jadi pemimpin upacara aja, karena cuma modal teriak-teriak, mudah. Tapi, aku kebagian menjadi petugas penurunan bendera.

Sore hari, saat akan apel, kami menunggu panitia yang akan melatih kami. Hari sebelumnya, kelompok yang menjadi petugas bendera dilatih terlebih dahulu oleh penitia. Beberapa saat kami menunggu tapi tidak ada yang datang melatih. Akhirnya, kami latihan sendiri.

Pemimpin upacara tidak perlu latihan, cukup menghafal urutan upacara dan menghafal apa yang harus diteriakkan. Aku bersama dua kawan yang berada di samping kanan-kiriku berlatih berjalan dengan aba-aba “langkah tegap maju jalan”. Kemudian, “haluan kanan maju jalan” dan seterusnya sampai selesai.

“Langkah tegap maju jalan,” aba-aba diberikan oleh kawan di samping kananku. Kami pun berjalan dengan langkah tegap. Okey, its good. Lancar. Lumayan kaku juga karena terakhir kali aku menjadi petugas pengibar bendera yaitu saat masih SD.

Saat mendekati tiang bendera, kawanku memberi aba-aba haluan kanan. Tapi, oh sayangnya aba-abanya telat sehingga posisi kami saat haluan kanan berada sekitar satu meter dari tiang bendera. Tidak pas di tengah. Barulah saat di depan tiang bendera, kami bergeser beberapa langkah ke kanan agar pas di tengah-tengah. Itu baru latihan, maklum tidak bisa pas. Nanti yang beneran harusnya lebih baik.

Akhirnya, panitia memberi aba-aba agar apel sore segera dilaksanakan. Semua peserta berbaris. Ada ratusan, laki-laki dan perempuan. Semuanya guru dari berbagai daerah. Jadi, kamu bisa bayangkan betapa dredegnya kami saat itu.

Aku dan kawan-kawan menempati posisi. Pemimpin upacara memasuki lapangan. Lancar. Kemudian, pembina upacara memasuki lapangan. Eh, kok kayaknya aku kenal dengan pembina upacaranya. Iya, itu pembina upacaranya aku kenal. Semakin dredeg aku jadinya.

Waktunya penurunan bendera. Aba-aba diberikan oleh kawanku. Jika tadi latihan posisinya meleset 1 meter dari tiang bendera, semoga pas upacara betulan ini tidak meleset.

Kami berjalan dengan langkah tegap. Terasa semua mata tertuju pada kami. Tapi, aku berusaha cuek saja. Tiang bendera sudah semakin dekat. Semakin dekat. Lho, kok temanku tidak segera memberi aba-aba. “Haluan kanan maju jalan,” akhirnya keluar aba-aba dari kawanku, tapi ..... tiang bendera sudah lewat, Bro. Hei, kita sudah melewati tiang bendera, teriakku dalam hati.

Dada mulai deg-degan. Keringat dingin mulai mengucur. Tibalah kami di dekat tiang bendera. Jika tadi pada latihan, kami meleset sejauh 1 meter, pada upacara betulan ini kami dengan sukses meleset sejauh 3 meter. Lalu, kawanku pun memberi aba-aba langkah ke kanan sampai kami berada tepat di depan tiang bendera.

Perasaan kami saat itu sudah tidak karuan. Belum selesai kami menenangkan diri, di depan kami sudah menunggu tugas yang lebih berat, yaitu menurunkan dan melipat bendera. Sialnya, tadi kami belum latihan menurunkan dan melihat bendera. Aku menjadi petugas bendera terakhir kali saat duduk di bangku SD. Jadi, aku sudah lupa cara melipat bendera yang benar.

Kami menurunkan bendera dengan pelan. Saat sudah berada dalam jangkauan, bendera itu segera kami pegang. Karena kurang hati-hati, pegangan terhadap bendera itu terlepas dan hampir saja bendera itu jatuh ke tanah. Seketika terdengar teriakan tertahan dari peserta upacara, “Eh!”

Bendera jatuh ke tanah bukan perkara sepele, lho. Itu perkara besar. Di Pramuka, jika kami menjatuhkan hasduk atau bendera regu saja, pasti akan dihukum.

Bisik-bisik mulai terdengar lagi. Semakin menambah bulir-bulir keringat yang mengucur deras. Kepanikan kami ditambah dengan komentar pembina upacara, “Bagaimana ini?”

Karena aku berposisi di tengah, aku memegang dan berusaha melihat bendera itu dibantu kawan di samping kananku. Seperti yang tadi aku katakan bahwa aku lupa cara melipat bendera, kawanku pun tak lebih baik dariku.

Kami kebingungan, bendera kami bolak-balik tapi tetap belum bisa terlipat. Akhirnya, datang malaikat penyelamat kami. Seorang panitia datang membantu melipat bendera. Bendera pun terlipat rapi. Mungkin baru kali ini ya ada orang membantu melipat bendera saat upacara.

Kami pun kembali ke posisi kami dengan langkah tegap, kepala didongakkan, dan dada dibusungkan. Tapi percayalah, hati kami saat itu benar-benar remuk redam. Hancurlah kehormatan kami. Selama berjalan itu tak henti-hentinya terdengar bisik-bisik peserta.

Seusai upacara, senyum dan tawa masih terdengar. Kami akui, kami memang melakukan hal yang konyol dan memalukan. Namun, terdengar celetukan dari seorang peserta, “Tidak apa-apa, belum tentu yang lain juga bisa.” Wah ini, kata-kata penyemangat. Benar juga, kita dengan mudah mengomentari kesalahan yang orang lain perbuat. Padahal, kalau kita yang melakukannya belum tentu juga berhasil. Persis kayak komentator sepakbola itu.

Sore itu menjadi sore yang luar biasa. Tapi, apakah aku merasa malu setelah itu? Tidak. Sekali-kali tidak. Aku mah apalah gitu. Cuek aja.

Demikianlah peristiwa konyol dan memalukan itu berakhir, setidaknya bagi kedua kawanku karena sebenarnya bagiku ada hal yang lebih merisaukan. Peristiwa memalukan itu justru tak terlalu berefek padaku.

Jadi begini, kamu pasti pernah kan suka dengan seseorang. Jika bertemu dengan orangtua dari seseorang yang kamu sukai itu pasti kamu akan berusaha tampil sebaik mungkin agar calon mertuamu itu mempunyai kesan yang baik terhadapmu.

Lha, di sinilah kerisauanku. Saat itu aku sedang menyukai seorang gadis cantik yang baik dan salehah. Aih, jadi senyum-senyum sendiri. Lanjut... aku sih maunya juga tampil dengan baik agar memberi kesan yang baik terhadap orangtua gadis itu.

Dhilalah, saudara-saudara pembaca yang berbudi baik, orangtua gadis idamanku itu ada saat kejadian konyol dan memalukan itu. Bagaimana perasaanmu jika seperti itu? Lha, semrawut dan embuh, to.

Itu belum seberapa. Inilah faktanya, orangtua gadis itu ialah pembina upacara. Waduh... makanya tadi aku bilang perasaanku semakin dredeg saat tahu siapa pembina upacaranya.

Aku berpikir, dari sekian ratus orang, mengapa aku yang harus jadi petugas bendera. Dan, dari sekian banyak pejabat di kepramukaan, mengapa harus orangtua gadis itu yang menjadi pembina upacara. Sungguh kebetulan yang ruarrr binasah.

Tapi, setelah kupikir lagi, mungkin ini tanda-tandanya jodoh. Mungkin orang lain mendapatkan jodohnya setelah melalui pertemuan-pertemuan yang mengesankan. Dan aku bertemu dengan orangtua gadis itu juga dalam peristiwa yang mengesankan, maksudnya berkesan karena peristiwanya konyol dan memalukan.

Demikian.


***
Sukoharjo, 15 Februari 2016


*Mungkin kamu penasaran bagaimana kisah selanjutnya antara aku dengan gadis cantik yang baik dan salehah itu. Yeah, kamu tahulah, seperti kata orang-orang: jodoh itu di tangan Tuhan. Nantikan saja tulisan-tulisan selanjutnya (jika ada, sih).



Thursday, February 11, 2016

Ingin Membahagiakan Ibu


Pagi tadi aku lupa ngopi. Tapi taklupa buat sarapan soto surabaya di warung pinggir jalan raya itu. Namun, siangnya aku lupa makan siang.

Gara-garanya, aku menjadi penguji Ujian Praktik sekolah mata pelajaran TIK dengan materi Ms Word, Ms Excel, email, dan blog. Kukira, sebelum Dhuhur sudah selesai. Ternyata pukul 14.00 baru usai. Aku hanya istirahat sejenak dengan shalat Dhuhur yang tak sampai lima belas menit.

Pukul 14.00 aku mengajar Jurnalistik hingga tiba waktu Ashar yang berbarengan dengan turunnya hujan yang cukup deras.

Dan, amboi... aku lupa tak membawa mantol. That's perfect.

Aku pulang berbasah kuyup. Untungnya hujan sudah tak cukup deras. Sepanjang perjalanan aku menyanyikan puisi --biasalah puisinya SDD-- berlagak menikmati guyuran air hujan, padahal kedinginan juga.

Aku sudah membayangkan bakal kena ceramah dari ibu setibanya di rumah. Ceramah yang intinya jangan hujan-hujanan dan kenapa tidak membawa mantol.

Melewati persawahan --yang petak-petak sawahnya tampak seperti kolam karena terendam air hujan-- aku ditakjubkan dengan sekelompok ibu-ibu yang membungkuk di sawah, berjalan mundur sambil tangannya menancapkan bibit-bibit padi. Ya Allah, hatiku trenyuh.

Ibu-ibu itu memakai mantol plastik tipis yang transparan. Di tengah gerimis seperti itu, ya ampun, tentu dingin sangat.

Melihat ibu-ibu itu bekerja, aku sekonyong-konyong aku merasa seperti kerupuk yang tersiram air. Jika selama ini aku merasa sudah bekerja keras, dibandingkan dengan ibu-ibu itu aku bagai kerupuk krecek di hadapan nasi kebuli.

Lalu, aku teringat ibu. Ibu dulu juga terkadang menjadi buruh tanam seperti itu. Atau melakukannya di tanah sawah milik sendiri saat musim tanam. Betapa berat pekerjaan seperti itu. Membungkuk dengan kaki terendam air, lalu berjalan mundur sambil menanam bibit padi. Ya Allah, berikanlah ibu umur panjang yang penuh keberkahan.

Sesampainya di rumah --dengan basah kuyup-- aku segera melepas jaket yang basah. Ibu keluar rumah dan melihatku, namun ajaibnya tak ada omelan yang dilayangkan ibu kepadaku. Ibu hanya bilang, "Kok, nggak bawa mantol." Kujawab, "Iya, tadi lupa."

Lalu aku segera ke dapur. Mengambil sepiring nasi dan lauk tempe goreng. Sayur yang dimasak ibu yaitu sayur bobor: tahu yang diiris kotak-kotak dicampur sayur apa namanya, aku lupa. Bukan hidangan yang mewah, malah sederhana sekali. Namun, menurutku, masakan ibu selalu enak.

Taklupa aku menyeduh segelas kopi. Dan lucunya, aku teringat kamu. #oke, skip bagian ini.

Lalu aku menikmati makan siangku --meski sudah sore sebenarnya-- di dalam kamar. Di sela-sela makan itu aku berpikir ingin sekali membahagiakan ibu --begitu kan lazimnya keinginan seorang anak.

Aku ingin segera membahagiakan ibu. Setidaknya aku ingin segera mencarikan menantu yang baik, cantik, dan shalihah bagi ibu. Hal itu sekaligus sebagai jawaban pertanyaan ibu beberapa waktu yang lalu, "Lha, kapan kamu mau menikah?"
: )
#kode

**
Sukoharjo, 11 Februari 2016






Wednesday, February 10, 2016

Ataukah Rindu


 













Gerimis yang mengiris senja kelabu ini
mengingatkan aku pada satu hal
bahwa hari ini aku belum minum kopi

Segera kuseduh segelas kopi
kuhirup aromanya yang menguar
lalu kucecap rasa nikmat yang khas itu

Tiba-tiba aku teringat padamu
bukankah itu suatu hal yang lucu
Ah, ataukah karena aku sedang tertikam rindu

***
Sukoharjo, 10 Februari 2016






Sunday, February 7, 2016

Gendut itu Lucu dan Imut


:untuk kaum gendut sedunia

 

Pada zaman dulu, sebagaian besar masyarakat memandang wanita cantik itu ialah wanita yang gemuk dan montok karena hal itu melambangkan kemakmuran. Saat ini, di sebagian negara hal tersebut masih berlaku. Di Indonesia, hal itu sudah usang.

Entah sejak kapan masyarakat kita memiliki opini bahwa “cantik itu langsing”. Aku kira tidak adil mengatakan bahwa wanita cantik hanyalah wanita yang memiliki tubuh langsing, tinggi semampai, dan kulit putih. Kalau kita meyakini opini seperti itu, lha negara yang semua penduduknya berkulit hitam bagaimana? Nggak ada yang cantik? Atau negara yang rerata postur tubuh penduduknya memang tak tinggi, apa dibilang tak menarik juga?

Cantik itu relatif, jadinya termasuk opini, bukan fakta. Seorang wanita bisa saja tampak cantik di mata seseorang. Tapi. bagi orang lain, wanita itu tampak biasa-biasa saja. That is opinion.
Wanita berkulit putih memang cantik, tapi yang bekulit hitam memiliki daya cantik tersendiri.


Cantik itu relatif, hanya soal selera pandangan mata, dan tentu saja soal cinta. Kalau sudah cinta, pasti kekasih hati dianggap wanita tercantik.

Anggap saja ada manis-manisnya gitu. Wanita yang pipinya berlesung pipit memang terlihat manis, tapi yang pipinya tembam memiliki daya manis tersendiri. Anggap saja ada imut-imutnya gitu. Pun, wanita yang langsing memang terlihat seksi, tapi yang tak langsing alias gendut pun memiliki daya pikat tersendiri. Anggap saja, ada lucu-lucunya gitu.

Ada daya tarik tersendiri dalam setiap diri wanita. Dan apalah arti cantik luar yang hanya bertahan beberapa puluh tahun saja. Cantik hati itu yang terpenting. Itulah the real beauty. Halah, apa ini, ngelantur....

Inti dari ocehan saya di atas ialah setiap orang memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Orang gendut –selain memiliki kelebihan berat badan tentunya—juga memiliki kelebihan tersendiri.




Kata Meme, orang gendut itu ngangenin, lho. Apa iya, sih? Katanya pula, orang gendut itu enak dipeluk. Entah, aku nggak tahu benar atau enggak. Tapi, kalau lihat bayi kecil gitu emang keliatahan lucu kalau gemuk dan montok. Penginnya menggendong, memeluk, dan mencubiti pipinya. Iya, kan. Gendut itu emang lucu dan imut.

Lihat saja boneka panda, hampir semuanya gendut. Dan itu yang membuatnya disukai. Coba kalau boneka pandanya kurus, siapa yang mau beli. Atau lihat kucing, deh. Kalau kucingnya gendut –yang masih dalam taraf wajar-- pasti terlihat lucu dan penginnya mengelus-elusnya. Coba, kalau kucingnya kurus, pasti membatin, “Ini kucing kurang makan, ya.”






Oya, aku mengenal beberapa orang gendut yang terlihat selalu ceria. Senyumnya selalu mengembang dan punya banyak aktivitas (baca: suka polah; nggak suka diam). Inilah gendut yang bermartabat. Gendut yang bisa mengekspresikan diri dan tidak menjadikan kegendutannya sebagai penghalang untuk menikmati hidup. Halah, ngomong apa ini.....

Gendut di atas, aku katakan yang masih dalam taraf wajar, lho. Kalau kiranya gendut banget, ya perlu diet lah. Bukan buat cantik, tapi biar lebih sehat. Jika kamu selama ini sudah diet mati-matian dan ternyata hasilnya nihil, yang sabar aja, ya. Ingatlah quote yang nendang ini: Gendut adalah langsing yang tertunda. 



Jika kamu mau berusaha, pasti bisa kok buat menurunkan berat badan. Minimal nggak gendut banget, atau malah ideal. Yakinlah, semua akan kurus pada waktunya. Kalau belum kurus  berarti belum waktunya.



Yang tahu tubuhmu yaitu dirimu sendiri. Kamu bisa merasakan apakah gendutmu itu berlebihan atau gendut biasa saja. Kamu bisa mengukur kesehatanmu sendiri. Kalaupun gendut, tapi sehat dan bugar, ya bagus itu. Tapi kalau kegendutanmu itu sudah berimplikasi pada masalah kesehatan, itu perlu ditangani.


***
Sukoharjo, 8 Februari 2016

 

*Pesanku buat kaum gendut: jangan merasa minder dengan badan gendutmu. Badanmu itu “properti” milik Tuhan, jadi kamu nggak usah merasa badanku kurang menarik dibanding yang lain.

Jika ada temanmu yang suka nge-bully kamu karena badanmu gendut, dan kamu merasa dizalimi hingga tingkat kejengkelanmu berada di atas puncak gunung, berdoa saja sama Tuhan, “Ya Tuhan, tolong gendutin dia melebihi gendutnya aku.” Biar kapok. Tapi bersabar, tetap lebih baik.