|
sumber gambar: bukupocer[dot]com |
Judul : Aku dan Film India Melawan Dunia (Buku I)
Penulis : Mahfud Ikhwan
Cetakan : 2017
Tebal : viii + 150 hlm
Penerbit : EA Books
ISBN : 978-602-1318-47-8
“Seperti film porno, film India disukai sekaligus tidak diakui, dikonsumsi tapi dianggap terlalu kotor untuk dibincangkan, ditonton sendirian kemudian dihinakan di depan banyak orang.” (hal. 4)
Banyak orang yang sudah menonton film biru di dalam kamar tertutup. Akan tetapi, di depan teman-temannya ia akan berpura-pura sebagai seseorang yang lugu yang belum pernah melihat adegan-adegan dewasa itu sedikit pun. Begitu pula dengan film India. Banyak yang dengan rela menumpahkan air mata saat si tokoh utama berpisah dengan kekasihnya di film India atau ikut menggoyangkan pinggul saat si tampan dan si seksi bernyanyi dan berjoget mengelilingi pohon. Namun—sebagaimana film porno—tak ada yang membicarakan adegan-adegan film India dalam arisan bulanan atau obrolan ngalor-ngidul di kafe sepulang kerja. Intinya, film India adalah tontonan rendahan dan menjadi aib bagi orang yang menontonnya.
Generasi 90-an merasakan betul keadaan tersebut. Demikian pula yang dirasakan oleh Mahfud Ikhwan, si penulis yang masa remajanya disesak-penuhi heroisme film India, dan juga goyangan artisnya. Maka, menuliskan sesuatu—seremeh apa pun—tentang film India adalah sebuah keberanian luar biasa. Sebuah keberanian untuk melawan pandangan orang banyak, melawan dunia, melawan semesta. Kata penulisnya, dushman dunia ka, ‘sang musuh semesta’.
Sebelum diterbitkan, sebagian besar tulisan dalam buku ini diunggah dalam blog pribadi penulisnya yang beralamat di dushmanduniyaka.wordpress.com. Sebagai penikmat film India yang kadang-kadang malu mengakuinya, saya sudah sering bertamu ke blog tersebut. Sebagai sebuah blog, tulisan-tulisan Mahfud Ikhwan memang cenderung bersifat pribadi, bersifat intim. Demikian pula buku ini yang pembahasannya memang subjektif. Dalam bab “Thank You, India (Movies)!”, Mahfud Ikhwan memberikan tiga alasan mengapa ia menyayangi, merawat, dan membela film India. “Pertama, ia sulit didapat; kedua, ia membuat saya merasa kaya; dan ketiga, ia menjadikan saya merasa istimewa.” (hal.6)
Di tanah air, film India sempat menimbulkan ramai diperbincangkan saat Briptu Norman bergoyang dan bernyanyi “Chaiyya-Chaiyya” yang merupakan lagu latar film “Dil Se” (1998). Namun, peristiwa itu ibarat ngobong-obong blarak ‘membakar daun kelapa’ yang cepat dan mudah terbakar, namun cepat dan mudah pula padam. Pada satu masa, Norman dipuja dan wajahnya muncul di berbagai stasiun televisi. Masa berikutnya, ia sudah terlupakan oleh media.
Sinema India menemukan momentumnya kembali ketika muncul sinetron Mahabharata dengan deretan aktor yang tampan dan barisan aktris yang cantik. Sejak saat itu, layar kaca dibanjiri sinetron dari negeri Sungai Gangga ini. Rating sinetron India pun mengalahkan kontes dangdut, bahkan mengalahkan tayangan pertandingan sepak bola. Namun, hal itu hanya berlaku untuk sinetron yang merupakan film berseri, bukan untuk film layar lebar. Film-film India secara umum masih terpinggirkan. Membicarakan sinetron India sudah menjadi salah satu menu obrolan, tapi membicarakan film (layar lebar) India, masihlah menjadi sesuatu yang aneh.
Perjuangan Menonton Film India
Pada masa sebelum televisi menjadi barang yang memang semestinya ada di setiap rumah, menonton film India merupakan sebuah perjuangan yang berat. Dalam bab “Nonton India: Perjuangan Tak Berkesudahan”, Mahfud Ikhwan menceritakan perjuangan beratnya bersama teman-teman sekampung ketika ingin menonton film India.
Pada masa itu, di kampungnya hanya ada beberapa yang warga yang memiliki televisi dengan sumber energi berasal dari aki. Untuk menonton film India—yang seringnya tayang pada malam atau bahkan dini hari—Mahfud Ikhwan dan kawan-kawan seperjuangannya harus melobi si pemilik televisi dan memastikan akinya cukup untuk menghidupi televisi hingga beberapa jam. Tak jarang, mereka sampai ke luar kampung untuk mendapatkan televisi yang bisa dan boleh ditonton.
Munculnya pemutar video dengan layar proyektor membuat aktivitas menonton film India menjadi lebih semarak. Namun, yang tetap menjadi masalah adalah sulitnya mendapatkan video film India. Begitu juga saat teknologi CD player mulai dikenal orang-orang kampung. Meskipun CD yang berisi lagu-lagu soundtrack film India tidak terlalu sulit didapatkan, namun lagi-lagi, CD film India masih menjadi barang langka. Mencari film India ibarat mencari sebatang pulpen di dalam lapangan sepak bola.
Kegandrungan Mahfud Ikhwan terhadap film India sempat menurun saat ia merasakan “lelah” memburu film-film India. Namun, komputer dan internet menjadi berkah tersendiri bagi pencinta film India. Film-film India bisa dengan mudah ditemukan di internet. Sayang, untuk film-film lawas, belum ada subtitle-nya. Di sinilah keisengan Mahfud Ikhwan bermula. Ia mencoba menerjemahkan beberapa film India hingga akhirnya ia menyadari tidak berbakat dalam hal tersebut.
Banjir Kuch Kuch Hota Hai Menenggelamkan Angry Young Man
Film India masa kini berbeda dengan masa sebelum tahun 2000, atau lebih khususnya sebelum masa “banjir” film “Kuch Kuch Hota Hai”. Film yang melambungkan nama Shah Rukh Khan (SRK) itu telah menenggelamkan film-film angry young man yang berjaya pada tahun 70-an hingga 90-an. Dari film-film angry young man itulah generasi 90-an mengenal Amitab Bachchan, Jackie Shroff, Anil Kapoor, dan Sunny Deol. Juga Ajay Devgan, Akhsay Kumar, Sanjay Dutt, Salman Khan, Aamir Khan. Muhajjah
Pada masa itu, SRK hanyalah aktor yang tak diperhitungkan yang sering berperan sebagai antagonis. Tapi, semuanya berubah sejak “Kuch Kuch Hota Hai” menyerang. SRK merajai Bollywood. SRK yang sebelumnya berakting bagus sebagai antagonis dalam beberapa film pada awal 90-an menjelma menjadi SRK yang perayu dan pandai menguras air mata. Mahfud Ikhwan yang menggandrungi genre angry young man pun merasa benci-rindu dengan SRK. Hal tersebut diungkapkannya dalam bab “Shah Rukh Khan si Bajingan”.
Saya sendiri menyukai SRK meskipun beberapa filmnya memang membosankan untuk ditonton. Salah satu film SRK yang berkesan bagi saya yaitu “Shakti: The Power”, yang kebetulan menjadi salah satu film favorit Mahfud Ikhwan karena menampilkan Nana Patekar. Siapakah Nana Patekar?
Soal pengidolaan aktor, dengan terang Mahfud Ikhwan menyebut Nana Patekar. Ia membahasnya dalam bab tersendiri dengan cukup panjang dalam “Nana dan Saya”. Nana Patekar dengan tatapan menelisik setajam elang itu memang mudah membuat orang penasaran. Mahfud Ikhwan, bisa dibilang merasa “jatuh cinta pada pandangan pertama” dengan Nana. Ia melihat penampilan Nana pada sebuah film India yang ditontonnya pada dini hari. Sejak saat itu, Mahfud Ikhwan selalu mencari informasi tentang Nana Patekar dan film di mana ia berperan yang seringnya sebagai tokoh antagonis, atau tokoh abu-abu.
Soal idolanya ini, Mahfud Ikhwan menyebutkan, “Saya menyukainya bahkan sebelum tahu namanya. Tak seperti kata orang Jawa bahwa rasa suka muncul dari seringnya berjumpa, saya menyukainya karena ia begitu sulit ditemui. Ia begitu misterius. Hampir selalu muncul tanpa pengenal, tanpa inisial, tapi daya pukaunya luar biasanya.” (hal.49)
***
Salah satu yang patut diapresiasi dari perfilman India yaitu kebanggaan para sineasnya untuk menampilkan latar India, budaya dan patriotisme India. Nasionalisme sangat terasa dalam sebagian besar film-film India. Mahfud Ikhwan menyebutkan, “Pada dasarnya sinema India, hampir secara keseluruhan hingga usianya yang ke seratus tahun, disadari atau tidak adalah usaha panjang, terus-menerus, kadang memutus-asakan, untuk menjaga, menemukan, atau menemukan kembali keindiaan.” (hal.110-111)
Disebutkan beberapa film India yang menggambarkan karakter keindiaan di antaranya “Rang De Basanti” (2006), “Delhi-6” (2009), serta film-film angry young man yang karakter tokoh utamanya “Inspektur Vijay” dianggap sebagai “gambaran sejati tentang India”.
***
Buku Aku dan Film India Melawan Dunia merupakan buku pertama tentang film India yang saya baca. Dan saya belum menemukan buku lain semisalnya. Sampul buku ini menampilkan Irfaan Khan dalam pakaian yang sederhana yang berasal dari poster film “Billu” (2009). Dengan perpaduan warna merah dan hitam, membuat buku ini menegaskan posisinya yang tidak berada di arus utama, tidak dalam budaya populer, dan—sepertinya—tidak bakalan best seller. Judulnya terlihat mencolok dengan warna putih. Secara umum, buku ini terlihat seperti malu-malu tapi ingin diperhatikan, sederhana tetapi tampak angkuh.
Membaca buku Aku dan Film India Melawan Dunia mungkin masuk dalam daftar aktivitas yang tak ingin dilakukan di tempat umum. Bagaimanapun, film India (bukan sinetron India) belumlah menjadi tontonan populer di Indonesia. Menonton dan membahasnya—juga membaca buku tentang film India—masihlah menjadi hal yang bisa mendatangkan tatapan sinis. Jika memang berani malu atau memang tak peduli dengan omongan orang, maka bacalah buku ini di depan umum. Dan selamat menikmati. Chaiyya…. Chaiyya….
***
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di basabasi.co pada tanggal 1 April 2017.