Sagra adalah sebuah kota kecil yang terletak tak
jauh dari hutan belantara yang bernama Hutan Gayantra. Kota ini dibuni oleh
beberapa ribu penduduk dengan seorang pemimpin bernama Duwarka. Duwarka adalah
sosok pemimpin yang ambisius. Ia berusaha menumpuk kekayaan sebanyak mungkin.
Ia memandang sumber daya alam berupa bebatuan, pohon, dan sungai sebagai sumber
kekayaan yang dapat dieksploitasinya.
Duwarka hidup makmur, tetapi rakyatnya banyak yang
menderita. Mereka banyak bekerja di tempat penambangan batu-batuan atau
penebangan pohon di hutan. Salah satu dari mereka adalah keluarga Sativa.
Sativa tinggal bersama ayah dan ibunya. Ayahnya yang bernama Murali bekerja
sebagai penebang pohon di hutan.
“Ayah,” sapa Sativa selepas belajar pada suatu
malam.
“Kata guruku
di sekolah,” kata Sativa, “jika kita terus menebangi pohon di hutan, lama-lama
hutan menjadi gundul dan bisa terjadi bencana alam.”
Pak Murali menghela napas.
“Benar kata gurumu, Iva,” kata Pak Murali, “tetapi
kita tidak punya pilihan. Tuan Duwarka memiliki proyek besar yang membutuhkan
banyak kayu. Sebenarnya ayah juga tidak suka dengan apa yang ayah kerjakan.”
“Ayah, apakah bencana akan benar-benar menimpa kita
kalau hutannya habis?”
“Semoga tidak, Iva. Besok Minggu, ayah ajak kamu
jalan-jalan ke bukit. Sudah lama kita tidak jalan-jalan bersama, kan.”
“Wah, asyik… Kita akan jalan-jalan.”
***
Pada hari Minggu, Sativa sudah siap sejak pagi. Ia
senang bisa naik ke bukit karena selama ini ia tidak diperbolehkan ke bukit
sendirian. Terlalu berbahaya, kata ayahnya. Masih banyak binatang buas di hutan.
“Apakah kamu lelah, Iva?” tanya Pak Murali.
“Tidak, Ayah,” jawab Sativa dengan nada suara yang
ceria.
Aauuuuuu….
Dari kejauhan terdengan suara lolongan serigala.
Sativa melihat ke arah ayahnya.
“Tidak apa-apa, Iva, itu dari tempat yang jauh di
dalam hutan,” kata Pak Murali menenangkan anaknya.
Selama setengah hari, Sativa dan ayahnya menjelajah
perbukitan. Mereka melihat pohon-pohon yang menjulang, binatang-binatang yang
mencari makan, dan rumput-rumput yang menghampar luas.
“Di sana terlihat sangat gersang, ya,” kata Sativa
sambil menunjuk wilayah pinggiran hutan.
“Iya, di sana pohon-pohon ditebangi. Makin hari
makin gersang,” kata Pak Murali dengan nada muram.
“Ayo, kita pulang, Iva.”
Dalam perjalanan pulang, mereka dikejutkan oleh
teriakan dua penggembala ternak.
“Tolong…! Ada serigala…”
Pak Murali dan Sativa segera mendekati para
penggembala.
“Ada serigala yang menyerang kami. Kambing kami
sudah lari tak tentu arah. Serigala itu masih ada di sini.”
Mereka berdiri saling memunggungi. Terdengar eraman
serigala dari berbagai arah. Dalam hitungan detik, tiga ekor serigala melompat
ke arah mereka. Pak Murali mengayunkan pisaunya sambil berusaha melindungi
Sativa.
***
“Ada apa?
Mengapa kalian lari-lari?” tanya ibu Sativa menyambut kedatangan suami dan
anaknya.
“Ketika pulang, ada serigala menyerang,” kata Pak
Murali. “Untunglah kami tidak apa-apa. Namun, Iva sedikit kena gigitan pada
tangannya. Segeralah kamu obati.”
Sativa merasakan demam pada malam harinya. Tangannya
yang tergigit serigala terasa sedikit nyeri. Dalam tidur yang kurang nyenyak,
Sativa bermimpi berjalan keluar rumah. Ia berjalan ke arah hutan. Ada desakan
kuat yang mendorongnya ke hutan.
Di hutan, Sativa bertemu dengan seorang anak
laki-laki dengan rambut gondrong dan pakaian seadanya.
“Namaku Rimba,” kata anak laki-laki itu. “Aku minta
maaf atas kejadian tadi siang. Seharusnya aku tidak menggigitmu.”
Sativa merasa bingung. Antara sadar dan tidak sadar,
ia mendengarkan anak laki-laki yang bernama Rimba itu.
“Bagaimanapun, aku ucapkan selamat datang di hutan.
Selamat bergabung dengan kami!” ucap Rimba sembari berlari masuk ke dalam
hutan.
Sativa terbangun dengan ketakutan. Sebuah mimpi yang
aneh, batinnya.
Ternyata serigala yang menggigit Sativa bukan
sembarang serigala. Ia adalah serigala jelmaan yang menjaga hutan. Ialah
serigala jelmaan anak laki-laki bernama Rimba. Gigitan Rimba membuat Sativa
merasakan keanehan pada tubuhnya. Ia menjadi tidak gampang lelah. Ia bisa
berlari sangat cepat. Ia bisa melompat tinggi. Ia bisa mencium aroma dari jarak
jauh. Dan pada malam hari, ia menjadi suka memandangi bulan.
Selama beberapa waktu, Sativa sering pergi ke hutan
tanpa memberi tahu ayah dan ibunya. Di hutan, ia bertemu dengan Rimba dalam
wujud anak laki-laki. Rimba membantu Sativa melatih kekuatan barunya. Mereka menjadi
teman baik.
“Aku marah kepada manusia yang suka merusak hutan,”
kata Rimba.
“Aku juga tidak suka mereka menebangi hutan,” kata
Sativa.
“Akan kuusir mereka dari hutan. Ibuku punya banyak
pasukan serigala di hutan. Semua bisa dikerahkan untuk mengusir manusia yang
memasuki hutan,” kata Rimba dengan geram.
***
Peristiwa serangan serigala membuat para penduduk
enggan untuk pergi ke Hutan Gayantra. Penebangan pohon terhenti. Hal tersebut
membuat Duwarka murka.
“Akan kuhancurkan serigala-serigala itu dengan
pasukanku yang perkasa!” kata Duwarka di hadapan penduduk.
Duwarka menyiapkan pasukannya untuk memburu serigala
di hutan. Ia memimpin sendiri serangan ini. Ia ingin segera membereskan masalah
serigala ini agar penebangan hutan dapat dilanjutkan kembali.
Pasukan Duwarka berderap berangkat menuju hutan.
Sativa, yang mengetahui rencana Duwarka segera
berlari menuju hutan. Ia mencari Rimba.
“Bahaya, kalian harus segera pergi,” kata Sativa
kepada Rimba. “Pasukan Duwarka menuju kemari.”
“Apa? Manusia-manusia itu mau menyerang kami? Kami
tidak akan mundur!” kata Rimba dengan tegas.
“Aku akan segera memberi tahu ibuku agar segera
menyiapkan pasukan serigala untuk mengusir manusia-manusia itu,” kata Rimba
yang kemudian menjelma menjadi sosok serigala dan berlari ke dalam hutan.
“Aku akan membantumu,” kata Sativa sambil mengejar
Rimba.
***
Pasukan Duwarka sudah memasuki hutan. Mereka membawa
panah, tombak, dan senapan api.
“Ayo, kita buru serigala-serigala itu!” teriak
Duwarka.
Rimba dan ibunya serta serigala-serigala yang sudah
mengepung pasukan Duwarka, bersiap-siap untuk menyergap mereka. Sativa
mengenakan pakaian yang menutupi wajahnya sehingga ia tidak akan dikenali. Ia
akan membantu para serigala untuk mengusir pasukan Duwarka.
Aauuuu….
Satu auman Rimba menjadi pertanda serangan serigala
dimulai. Pasukan Duwarka, meskipun dipersenjatai dengan lengkap merasa kaget
dengan serangan mendadak tersebut. Mereka memanah, melempar tombak, dan menembakkan senjata api tak tentu arah. Mereka
kocar-kacir mendapat serangan serigala dari segala arah. Sativa membantu para
serigala dengan mendorong dan
menjatuhkan pasukan Duwarka. Ia mengambil senjata dari lawannya dan membuang
jauh.
Pasukan Duwarka kewalahan menghadapi amukan
serigala. Ditambah lagi satu sosok manusia yang sangat lincah dan kuat yang
membuat pasukan Duwarkan jatuh bangun.
“Munduuurrr….!” teriak Duwarka.
Pasukan Duwarka melarikan diri menjauhi hutan.
“Hahaha… akhirnya mereka takut juga,” kata Rimba.
“Iya, semoga mereka tidak berani lagi ke hutan untuk
menebangi pohon,” kata Sativa.
“Kamu tidak apa-apa, Sativa?”
“Aku baik-baik saja, meskipun badanku kotor semua.”
“Sativa, atas nama penghuni hutan, aku mengucapkan terima kasih atas bantuanmu.”
Akhirnya, Duwarka tidak berani lagi mengusik para
serigala di hutan. Ia juga tidak berani melanjutkan penebangan pohon di Hutan Gayantra.
Rimba dan Sativa merasa senang karena hutan tidak akan diusik lagi. Mereka
tetap menjadi teman yang saling membantu.
***
Cerita "Rimba dan Sativa" terinspirasi dari film Wolfwalkers (2020) karya sutradara Tomm Moore dan Ross Stewart