Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Thursday, September 19, 2013

Air Terjun Srigethuk dan Pantai Drini di Gunung Kidul, Yogyakarta



Kedalamannya sekitar tiga sampai empat meter. Jangan coba-coba ikut nyemplung ke dalam sungai jika tidak bisa berenang. Namun, jika hati sudah nggragas ingin menceburkan badan, sewalah rompi pada petugas. Murah. Dan tenang saja, banyak petugas yang mengawasi para pengunjung agar tidak ada yang terkena bencana. Sungai berair jernih yang melintas di samping air terjun Srigethuk ini menjadi objek wisata tambahan selain air terjunnya sendiri yang memukau.

Air terjun yang terletak di Desa Wisata Bleberan, Gunung Kidul menjadi oase bagi daerah yang lebih terkenal karena kegersangannya ini. Meskipun tidak terletak di daerah tinggi, air terjun Srigethuk menawarkan pemandangan yang indah. Aliran air deras turun dari atas. Meluncur pada bebatuan. Bebatuan di bawah terlihat halus, namun tidak terasa licin ketika menjadi pijakan. Aliran air terjun itu langsung turun menuju kedung sungai yang sedalam
tiga sampai empat meter itu.

Tersedia rakit untuk menyusuri sungai dari arah masuk ke air terjun yang jaraknya sekitar tiga ratus meter. Dengan lima ribu rupiah, rakit siap mengantarkan ke tempat air terjun, atau sebaliknya, dari air terjun ke arah pintu masuk. Dengan melintasi sungai di atas rakit, pemandangan di kanan-kiri sungai terlihat menyenangkan.

Air terjun Srigethuk dan Pantai Drini menjadi tujuan rihlah (rekreasi) Forum Imtaq wa Rohmah pasca-Ramadhan tahun 2013. Setelah puas di air terjun Srigethuk, perjalanan dilanjutkan menuju Pantai Drini. Pantai Drini menyambut dengan pasir putihnya. Terasa lembut di kaki. Batu-batu karang masih menyediakan hewan-hewan kecil yang bersembunyi di sela-selanya. Dan penjual jaring masih setia menjajakan barang dagangannya. Di pantai ini banyak pengunjung yang mencari hewan-hewan kecil. Entah mau digunakan untuk apa. Untuk koleksi ataukah sekadar mencari kesenangan.

Karang pada bagian depan masih berdiri kokoh dengan menara sinyal yang di atasnya. Rerumputan dan semak ilalang masih menghiasi dataran di atas karang. Dan pemandangan dari atas bebatuan itu masih sangat indah. Menjadi tempat favorit untuk ber-eksis ria dengan berbagai pose.

Pantai Drini sudah semakin ramai sejak terakhir kali aku mengunjunginya. Pondok-pondok kayu dengan alas berbentuk lingkaran dan beratap daun rumbia semakin banyak tumbuh di sepanjang pantai. Kedai-kedai makanan berjejer menawarkan berbagai makanan dan minuman.

Setelah bermain game, naik ke karang berfoto narsis, dan dan berjalan di pantai dengan karang-karang berlumutnya, badan terasa capek. Tiada obat yang mujarab selain es degan. Satu buah es degan dicampur dengan gula jawa plus es batu yang disediakan di dalam gelas. Maka, teringat sebuah ayat, “Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.” 



Nampang diri dengan berlatarkan air terjun Srigethuk.
(Foto: dokumentasi penulis, 13 Agustus 2013)



Mengibarkan bendera IMTAQ di air terjun Srigethuk.
(Foto: dokumentasi penulis, 13 Agustus 2013)
Kedung sungai Oya, tempat favorit untuk ambyur-ambyuran.
Jangan lupa sewa pelampung dulu...
(Foto: dokumentasi penulis, 13 Agustus 2013)
Liukan sungai Oya, dipandang dari atas. Asyik dengan naik rakit menyusurinya.
(Foto: dokumentasi penulis, 13 Agustus 2013)
Air terjun mini. Air jernih mengalir menelusup di antara bebatuan.
(Foto: dokumentasi penulis, 13 Agustus 2013)
Tertarik mengarungi indahnya air terjun Srigethuk dan aliran airnya yang jernih?
(Foto: dokumentasi penulis, 13 Agustus 2013)
Biar gambar yang berbicara.
(Foto: dokumentasi penulis, 13 Agustus 2013)
Serah terima cilok dari penjual kepada Ketua Umum IMTAQ.
(Foto: dokumentasi penulis, 13 Agustus 2013)
Silakan mampir untuk sekadar membeli barang kenang-kenangan.
(Foto: dokumentasi penulis, 13 Agustus 2013)
Men-cakep-kan diri di Pantai Drini, berlatarkan karang dan lautan luas.
(Foto: dokumentasi penulis, 13 Agustus 2013)

Pemandangan dari atas karang. Memandang garis pantai dan lautan lepas.
Tempat favorit untuk berfoto bersama atau sekadar ingin narsis dan eksis.
(Foto: dokumentasi, 13 Agustus 2013)

Catatan: Lihat foto perjalanan ke Pantai Drini sebelumnya.


Friday, August 9, 2013

Pantai Drini, Pantai Sepanjang, dan Pantai Indrayanti di Gunung Kidul, Yogyakarta

Pantai Indrayanti. (Foto: http://wisatayogyakarta.net)
 
Sepekan sekali aku bersama beberapa kawan, antara 6-10 orang, ikut kajian yang dibimbing oleh seorang murabbi (guru ngaji). Murabbi kami yaitu Ustadz Yuli Aswanto, M.Pd. Sudah sejak tahun 2007 aku ikut kajian pekanan ini.

Salah satu agenda dalam kajian ialah rihlah (rekreasi). Biasanya setahun sekali, atau mungkin dua tahun sekali. Melihat situasi dan kondisi. Tahun 2010, tujuan rekreasi adalah Pantai Prangtritis dan Malioboro. Bulan Juni tahun 2013 ini giliran beberapa pantai di Gunung Kidul yang menjadi tujuan kami. Pantai Drini, Pantai Sepanjang, dan Pantai Indrayanti. Pantai dengan pasir putih.

Kami berangkat pukul delapan malam. Kami bersepuluh: Muhammad Suyamto, Wahyudi, Aji Anung Aryanto, Amrih Sukoco, Tohir Riyadi, Suratman, Herman Santoso, Mei Joko Aryanto, dan Ustadz Yuli Aswanto, serta aku sendiri. Perjalanan dimulai dengan hati sumringah. Dengan menyewa dua mobil Toyota Avanza, melajulah badan dan pikiran kami menuju keindahan dan kebasahan pantai. Meskipun sudah sering ke pantai, namun selalu menyenangkan untuk datang lagi, dan lagi.

Perjalanan malam terasa lebih menyenangkan. Suasana tidak panas dan jalanan tidak ramai. Kami tiba di Pantai Indrayanti pukul satu malam. Lalu kami langsung menuju ke Pantai Drini untuk tidur di sana, di masjid di Pantai Drini.

Pagi hari diisi dengan kegiatan bakar lele yang kami bawa dari rumah. Kami sudah mempersiapkan peralatan dan bumbu. Maka, sungguh nikmat sarapan di bibir pantai sambil memandang ombak yang berdeburan.

Air di Pantai Drini jernih.Di dasarnya tidak ada pasir, tetapi batu-batu karang yang berlumut. Pada bagian sebelah Timur ada karang yang menjadi tempat yang menyenangkan untuk berfoto ria. Setelah mengambil foto-foto narsis dan sedikit nyebur di Pantai Drini, kami menuju ke Pantai Sepanjang. Pantai sepanjang memiliki garis pantai yang cukup panjang. Di Pantai Sepanjang kami nyebur sepuasnya. Setelah itu lanjut ke Pantai Indrayanti.

Tiba di Pantai Indrayanti kami disambut hujan gerimis. Jika ingin memuaskan rasa lapar, di sinilah tempat yang cocok. Ada area makan (food area), yang menyajikan tempat yang nyaman dan pemandangan menghadap lautan. Pantai indrayanti lebih populer dengan aksen gazebo, penginapan dan resto yang dibangun oleh indrayanti tersebut serta terlihat lebih bersih. Bibir pantai penuh sesak dengan para wisatawan. Kami hanya melihat-lihat sebentar. Kemudian belanja kaos untuk kenang-kenangan.

Dan kami pun pulang dalam keadaan tepar. Capek dan bahagia.

***


Sarapan di Pantai Drini, beralaskan pasir putih sambil memndang debur ombak lautan.
(Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Bahagia itu: makan enak, pemandangan indah, beralaskan pasir putih yang lembut,
beserta kawan-kawan di Pantai Drini. (Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Karang di Pantai Drini. Tempat yang asyik buat menjelajah dan berfoto ria.
Sangat indah melihat pemandangan pantai dan lautan dari atas sana.
(Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Narsis dulu di atas karang di Pantai Drini. (Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Ikhwan galau memandang ketidak-jelasan masa depan.
Di atas karang di Pantai Drini. :D (Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Sudut pandang yang bagus. Di atas karang di Pantai Drini.
(Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Ketahuan kalau jarang main air. Mungkin masa kecilnya kurang bahagia karena jarang main air :D.
Main air di Pantai Drini. (Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Foto bareng di Pantai Sepanjang. Garis pantai yang panjang dengan pasir putihnya.
Hayooo, siapa yang paling ganteng??? :D (Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Berlatarkan deburan ombak di Pantai Sepanjang.
(Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Menghanyutkan diri di Pantai Sepanjang. :D (Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Belanja Kaos di Pantai Indrayanti. (Foto: dokumentasi penulis - 2 Juni 2013)


Monday, July 22, 2013

Bakar


Seorang lelaki duduk menatap kekosongan. Dari emperan rumahnya terdengar suara berdebum –material bangunan baru saja tiba– dan suara mesin yang meraung-raung. Mestinya hari ini lelaki itu berada di antara suara-suara itu, menjadi buruh bangunan. Namun, ada hal yang mesti ia lakukan pagi ini.

Tetap dengan tatapan kosong ia melangkahkan kaki menuju ke arah pasar. Meski pikiran dan penglihatannya tidak mengikuti arah berjalan kedua kakinya, lelaki itu tidak perlu takut tersesat. Pasar yang ia tuju sudah ia kunjungi berkali-kali. Apalagi akhir-akhir ini istrinya yang cantik sedang terkulai sakit di pembaringan. Mau tidak mau, ia yang harus berbelanja ke pasar.

Namanya Bakar. Datang dari desa menuju ibukota dengan harapan dapat mengubah nasib. Namun, harapannya tidak kunjung terpenuhi. Bertahun-tahun ia hanya menjadi buruh bangunan dengan upah rendah. Untuk orang-orang seperti Bakar, ada pihak tertentu yang memanfaatkannya. Keterbatasan ekonomi tentu akan menggerakkan seseorang untuk melakukan apa saja.

Pak Hamid Hermawan, yang pernah naik haji tiga kali itu juga pemilik proyek pembangunan yang saat ini sedang dikerjakan, memandang Bakar sebagai orang yang tepat untuk melakukan suatu pekerjaan penting. Hasil pekerjaan yang dilakukan Bakar, sekitar enam bulan lalu terbilang sukses. Suatu pagi terdengar berita sebuah pasar di pinggiran kota terbakar habis. Para pakar berbicara mengenai penyebabnya. Ada yang mengatakan karena arus listrik yang konslet. Pakar yang lain mengatakan karena lilin yang jatuh dan membakar sekitarnya. Banyak yang lain mengatakan penyebabnya adalah kompor gas meledak. Penyebab ketiga ini banyak diamini masyarakat karena memang saat itu sedang musim kompor gas meledak. Namun, Pak Hamid dan Bakar mengetahui penyebab kebakaran yang sebenarnya.

Sesampainya di pasar, Bakar ikut duduk di sebuah pagar beton bersama beberapa tukang becak. Sebuah televisi 21 inchi terpajang di atas gardu keamanan dengan dikrangkeng besi. Setidaknya itulah salah satu hiburan bagi tukang becak yang menunggu datangnya rezeki.

“Sepertinya nih, tahun ini bakal banyak mall-mall baru. Tuh, banyak pembangunan mall di mana-mana,” kata seorang tukang becak di sela-sela mulutnya mengunyah pisang goreng.

Seorang wanita cantik yang memegang microphone melaporkan peristiwa demo penolakan pembangunan sebuah mall.

“Mengapa Anda dan rekan-rekan menolak pembangunan mall ini, Pak?” tanya reporter yang cantik itu.
“Karena nanti bisa mematikan pasar saya, Mbak,” jawab laki-laki yang wajahnya hitam dan penuh kerutan.
“Lha kalau pasarnya sepi atau malah mati nanti saya tidak bisa berjualan lagi, Mbak,” tambahnya dengan lugu.

Bakar hanya sekilas melihat tayangan berita dan melihat reporter berwajah cantik yang tampak kontras dengan latar belakangnya yang berupa tumpukan material dan mesin-mesin serta para pendemo yang wajah dan pakaiannya tentu sederhana sekali.

Istriku lebih cantik darinya. Berkata Bakar dalam hati. Dengan itu, ia teringat istrinya yang tak berdaya di tempat tidur. Beberapa hari ini kepala Bakar pusing. Istrinya, satu-satunya orang yang menemaninya dalam mengarungi kerasnya hidup di ibukota, sakit berhari-hari dan belum menunjukkan kesembuhan. Saat di Puskesmas, Bakar diberi sebuah resep dan surat rujukan ke rumah sakit.

“Pak, istri Bapak harus segera di bawa ke rumah sakit. Untuk sementara Bapak bisa meminumkan obat dalam resep ini, tapi kalau besok masih belum baikan, harus dibawa ke rumah sakit.”

Bakar menerima resep dan surat rujukan itu. Meskipun sama-sama berupa kertas, surat rujukan itu terasa lebih berat. Seberat batu. Seolah-olah tangannya tidak sanggup berlama-lama memegang surat itu sehingga dengan cepat-cepat ia masukkan ke dalam saku.

Itu kejadian tiga hari yang lalu. Dan sampai hari ini istrinya belum tampak ada kemajuan. Obat terakhir yang ia tebus dari apotek diminum istrinya kemarin siang. Saat itulah seorang utusan Pak Hamid datang menemui Bakar. Bakar tahu artinya itu.

Meskipun suara televisi terdengar keras, Bakar tidak merasa perlu untuk memperhatikannya. Pikirannya menjelajahi seisi pasar.

Sepertinya di pojok belakang kamar mandi pasar akan menjadi titik yang bagus. Di sana banyak sampah yang akan memudahkan pekerjaanku. Ah, tidak-tidak. Sebaiknya dari tengah saja. Kios pedagang minyak sepertinya menjadi titik yang bagus. Pikiran Bakar tertuju pada kios Pak Jamil, salah satu penjual minyak di pasar. Bakar ingat, ia mempunyai utang sekilo minyak goreng pada Pak Jamil.

Bakar melangkahkan kakinya memasuki pasar. Bau apek, amis, dan busuk menyergap hidungnya. Bahkan merayapi kerongkongannya. Akan tetapi, hidung Bakar sudah bersahabat dengan bau seperti itu.

Pandangan matanya mengitari seisi pasar seiring langkah kakinya. Ia lewati kios Pak Jamil. Pak Jamil sedang melayani seorang ibu. Beberapa kilo minyak goreng diberikan kepada ibu itu.

“Saya kasih potongan harga, Bu. Ibu kan sudah langganan di sini dan belinya banyak pula,” kata Pak Jamil sambil menawarkan senyum lugunya.

Setelah ibu itu pergi, Bakar mendatangi Pak Jamil. Sambil merogoh sakunya ia bertanya, “Laris, Pak?” 

“Eh, Pak Bakar. Alhamdulillah, rezeki sudah diatur. Ya beginilah, yang penting bisa buat istri masak di rumah," sahut Pak Jamil dengan nada riang.

Pak Jamil sedang merendah. Bakar tahu anak tertua Pak Jamil kuliah di universitas negeri dan kedua anaknya yang lain duduk di bangku SMA.
“Iya, rezeki sudah ada yang ngatur. semoga laris terus, Pak. Oiya, ini saya mau ngasih utang saya kemarin,” kata Bakar sambil menyodorkan beberapa lembar uang.

“Iya, terima kasih. Tidak ngambil lagi minyaknya?”
“Di rumah masih ada kok, Pak. Saya duluan ya, Pak.”
“Silakan,” tak lupa Pak Jamil mengiringi kepergian Bakar dengan senyum.

Dari pembicaraan singkat tadi Bakar sempat melirik seisi kios Pak Jamil. Selain tempatnya yang berada di tengah pasar, dengan banyaknya minyak, tentu pekerjaannya akan lebih mudah.

***

Saat perjalanan pulang dari pasar, pikiran Bakar masih tertinggal di kios Pak Jamil. Apakah aku akan melakukannya lagi? Batin Bakar. Hatinya bimbang.

Penyakit istriku semakin parah. Jika terjadi sesuatu pada istriku, aku tidak akan memaafkan diriku seumur hidup. Aku harus segera membawanya ke rumah sakit. Uang dari Pak Hamid memang cukup untuk membayar biaya rumah sakit selama beberapa hari, tetapi bagaimana jika istriku harus menginap di rumah sakit dalam waktu lama. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku ini. Uang yang akan diberikan oleh Pak Hamid nanti tentu lebih banyak lagi dan aku bisa memberikan perawatan pada istriku sampai sembuh. Aku harus melakukannya.

Lalu terbayang wajah Pak Jamil yang lugu. Rezeki sudah diatur, katanya. Kasihan juga orang-orang seperti Pak Jamil. Ada banyak pedagang yang menggantungkan hidupnya di pasar itu. Berdosakah aku bila merenggut penghidupan mereka? Ah, peduli apa dengan dosa.

Kemudia Bakar teringat pada kata-kata Pak Hamid.
“Untuk perubahan yang lebih baik memang harus ada pengorbanan. Harus ada orang yang berkorban. Kau paham itu kan, Bakar?”
“Iya, Pak,” jawab bakar sambil mengangguk.

Kata-kata omong kosong! Bakar berbicara dalam hati. Apa peduliku dengan segala ocehanmu itu. Aku hanya membutuhkan uangmu. Iya, uang. Hanya itu yang menjadi tali pengikat antara kita. Kau tentu punya banyak uang. Proyekmu banyak, banyak pula uang yang kau keruk. Dan sayangnya, aku menjadi salah satu pemulus jalanmu dalam mengeruk uang.

Tak peduli uang siapa yang kau ambil. Tak peduli berapa banyak orang yang kau buat hidupnya susah. Yang penting kau bisa memberiku uang. Itu saja.

“Laksanakan pekerjaan ini dengan baik, Bakar. Seperti perkerjaan terakhir dulu.”
Pak Hamid menyudahi pertemuan dengan menyodorkan sebuah amplop.

“Setelah selesai, amplop yang akan kaudapatkan lebih tebal lagi.”
“Terima kasih banyak, Pak!”

***

Sesudah matahari tenggelam, Bakar menunggui istrinya yang demamnya semakin panas.
“Besok aku akan membawamu ke rumah sakit,” kata Bakar sambil membelai kepala istrinya.

“Uang dari mana, Kang?” tanya istri Bakar keluar dari bibirnya yang kering.
“Tenanglah. Aku akan mendapatkan uang yang cukup untuk mengobatimu sampai sembuh.”

“Iya, tapi uang dari mana?” suara istri Bakar terdengar pelan seperti tiada tenaga lagi meskipun untuk berbicara.
“Rezeki sudah ada yang mengatur,” kata Bakar.

Rezeki sudah ada yang mengatur. Rezeki sudah ada yang mengatur. Bakar mengulang-ulang kata-kata itu dalam hati.

“Ada orang baik yang akan memberikan uang pada kita. Untuk biaya pengobatanmu,” kata Bakar dengan menekankan kata baik pada kalimatnya. Baik? Di zaman sekarang ini siapa orang yang baik itu? Justu orang yang terkenal baik malah sejatinya busuk hatinya.

Setelah istrinya terlelap tidur, Bakar keluar rumah, duduk di emperan sambil menatap proyek pembangunan yang tidak berhenti pada malam hari itu. Sampai kapan aku terus hidup seperti ini? Menjadi buruh bangunan dengan upah yang hanya cukup buat makan. Setelah pekerjaan terakhir ini, aku akan pulang kampung saja. Setidaknya di kampung aku tidak akan mati kelaparan. Ada kebun yang bisa aku tanami. Setidaknya aku tidak harus melakukan pekerjaan kotor yang akan aku lakukan sebentar lagi. Kotor? Dosa? Kotor. Dosa.

Aku membutuhkan uang itu. Tak peduli pekerjaan kotor. Tak peduli dosa. Itu perbuatannya Pak Hamid. Aku hanya salah satu tangannya saja. Kalau dosa, tentu Pak Hamid yang menanggung dosa lebih banyak. Mengapa aku memikirkan masalah dosa segala. Aku membutuhkan uang. Aku akan melakukannya.

Setelah lewat tengah malam, Bakar berjalan menuju pasar, tapi tidak melalui jalan seperti biasanya. Ia sudah mengatur rencana arah perjalanannya, cara masuk ke pasar, dan cara menyelesaikan pekerjaan itu tanpa ada orang yang mengetahuinya.

Pasar sepi, namun pikiran Bakar terasa riuh. Setelah sampai di depan kios Pak Jamil, Bakar mengeluarkan korek api dari sakunya. Terbayang wajah Pak Jamil yang lugu. Terbayang wajah simbok-simbok penjual bumbu dan sayuran. Kemudian terbayang wajah istrinya yang pucat dengan bibir yang kering.

Ah, sialan. Umpat Bakar dalam hati. Aku tidak peduli dengan semua itu. Teriaknya dengan kencang dalam hati. Ia nyalakan korek. Nyala api menari-nari di depannya membawa senyum cerah istri yang dicintainya. Kemudian tersungging senyum di bibir Bakar.

***

Pagi hari diawali dengar berita yang menggemparkan. Bakar duduk di atas pagar bersama para tukang becak. Beberapa penjual di pasar berdiri berdesakan. Tak luput pula beberapa pembeli ikut berdesakan melupakan apa yang hendak dibelinya.

Seorang reporter yang cantik –wanita yang sama yang melaporkan berita kemarin pagi– berdiri dengan memegang microphone. Di belakangnya tampak puing-puing bekas kebakaran.

“Pemirsa, telah terjadi kebakaran pada rumah salah seorang pengusaha terkenal yang inisialnya HW. Diduga kebakaran terjadi sekitar dini hari tadi. Seperti yang Anda lihat, kini rumah besar ini sudah hancur tinggal puing-puing saja. Untunglah penghuninya sempat menyelamatkan diri dan sekarang berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dugaan kuat penyebab kebakaran adalah adanya arus listrik yang konslet.”

“Oh, makanya kita kalau masang kabel harus hati-hati biar tidak konslet,” kata seorang tukang becak.
“Iya, iya,” beberapa orang di sekitarnya membenarkan ucapan itu.

Bakar tersenyum kecil. Diduga penyebab kebakaran adalah adanya arus listrik yang konslet. Namun, Bakar tahu penyebab kebakaran yang sebenarnya. Bakar tersenyum lagi. Kemudian ia berjalan pulang sambil mengajak seorang tukang becak untuk mengantarkan istrinya ke Puskesmas.

***

20 Januari 2013


---------------------------------------------------------------------------------
*Cerpen ini masuk dalam 10 nominator Lomba "Percikan Api" BOM CERPEN" 2013


Friday, July 12, 2013

Cinta Sewangi Daun Teh


Jujur saja, aku takpernah membayangkan bakal jatuh cinta dengan Galuh, salah satu akuntan di kantor tempatku bekerja. Aku bertemu dengannya baru beberapa kali. Dan selama ini tak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama.

Wajah Galuh yang semanis gula-gula itu mulai membayangi pikiranku setelah atasanku, Pak Zaenal, menawarkan seorang gadis untuk dijadikan pendamping hidupku.

“Selain cantik, dia juga baik. Sepertinya kalian berdua cocok. Bagaimana?” tanya atasanku yang berkumis lebat itu, suatu kali saat makan siang.

“Siapa dia, Bos?” Aku biasa memanggil atasanku dengan sebutan Bos.

“Namanya Galuh. Galuh Paramita, akuntan bagian pemasaran.”

“Galuh Paramita? Aku pernah melihatnya beberapa kali. Dia memang cantik Bos, tapi aku tidak mempunyai perasaan apa-apa kepadanya.”

Kemudian terbayang wajah gadis berparas ayu dengan jilbab ungunya yang melambai. Senyumnya yang manis. Pandangan matanya yang berbinar.

“Kalau kau mau, sekali waktu aku akan mempertemukanmu dengannya. Biar kau bisa menimbang, apakah dia cocok kau jadikan istri atau tidak,” tambah bosku dengan sinar mata sungguh-sungguh.

***

Pertama kali bertemu dengannya adalah saat aku fotokopi berkas laporan. Dia terlihat gagah meskipun wajahnya tampak lugu. Pakaiannya berkesan sederhana. Beberapa kali bertemu dengannya, ia memberikan senyum yang menyenangkan. Sekalipun aku belum pernah berbicara dengannya, hanya sempat bertukar senyum saat bertemu di jalan.

Aku tahu namanya saat Paman Zaenal menawariku untuk bertemu dengan seorang laki-laki di kantor –yang kata pamanku dia cocok menjadi suamiku. Awalnya aku takut. Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang belum aku kenal. Pamanku memang ada-ada saja. Paman berniat menjadi comblangku. Aku bertanya-tanya siapa yang paman tawarkan padaku. Kemudian sedikit terlintas bayangan laki-laki berpenampilan sederhana dengan senyumnya yang bersahaja itu. Ah, mungkin aku terlalu berharap.

Namanya Bagus. Aku bersama pamanku bertemu dengannya seusai jam kerja kantor di sebuah rumah makan. Dan aku jatuh cinta padanya. Oh, jatuh cinta. Sejak kapan? Sepertinya sejak pandangan pertama.

***

Aku jatuh cinta padanya. Entah mengapa aku jatuh cinta padanya. Sejak bertemu di rumah makan, wajahnya selalu hadir dalam mimpiku. Bahkan dalam keadaan terjaga pun seolah-olah ia hadir menawarkan senyum manisnya itu.

Aku dan Galuh sudah sepakat untuk mengikat hati. Aku akan segera memberitahukan kepada orang tuaku tentang keinginanku untuk menyunting Galuh. Begitu juga, Galuh akan memberitahukan kesepakatan kami kepada orang tuanya di Bandung.

Saat cuti akhir tahun, aku pulang ke kampung halaman. Hijaunya kebun teh yang terhampar luas menyambut kepulanganku. Di kampung halamanku, Karanganyar, memang banyak ditemui kebun teh. Selalu ada kebahagiaan saat kembali ke kampung halaman. Kedatanganku disambut dengan suka cita oleh keluargaku. Oleh-oleh pun berhamburan dari dalam tasku untuk menyenangkan hati mereka.

Suatu malam saat gerimis, aku menghampiri bapakku yang duduk termenung menatap halaman rumah yang remang-remang.

“Bapak,” sapaku dengan suara pelan.
“Iya, Le? Belum tidur?” kata bapakku sambil mengepulkan asap rokok dari bibirnya.

Terasa berat saat akan mengungkapkan keinginanku untuk menikahi Galuh. Dengan terbata-bata dan jantung yang berdetak kencang akhirnya aku sanggup mengucapkannya. Aku ceritakan semua tentang Galuh. Pekerjaan yang lebih berat adalah menunggu jawaban dari bapak.

“Kau tadi bilang dia rumahnya mana, Le?” tanya bapakku.
“Bandung, Pak,” jawabku dengan hati yang tidak tenang.

Bapakku diam sejenak. Setelah dua kali mengisap rokok, beliau berkata, “Apa kamu benar-benar sudah mantap dengannya?”

“Sudah, Pak,” jawabku.
“Kalau bapak tidak setuju bagaimana, Le?”

Aku terdiam. Terasa berdesir dadaku mendengarnya. Kemudian bapak bangkit dari duduknya dan melangkah masuk ke dalam rumah. Aku terbengong di halaman rumah. Menatap butir-butir air hujan. Menatap daun-daun teh yang basah. Menatap udara yang gelap.

Mengapa?

***

“Alasannya apa, Pak?” tanyaku dengan bergetar.

Mataku terasa panas. Ada sesuatu yang terasa hangat keluar membasahi pipiku. Ibuku hanya duduk diam sambil memegang cangkir tehnya tanpa sekalipun diminum.

“Galuh, anakku, ayah mau cerita. Dahulu kala, di Sunda ini ada sebuah kerajaan yang merdeka. Yang mempunyai kedaulatan dan kekuasaan. Kerajaan yang kuat dengan raja yang bijaksana sehingga rakyatnya pun hidup makmur.”

Aku mendengarkan cerita ayahku dengan menunduk.

“Suatu kali,” lanjut ayahku, “ada seorang berhati rakus dari kerajaan Jawa berniat menghancurkan kedaulatan kerajaan itu. Dengan rencana liciknya ia mengkhianati perjanjian antara dua kerajaan. Rencana pernikahan antara raja Jawa dan putri dari kerajaan Sunda itu berakhir mengecewakan. Orang rakus itu menghendaki kerajaan Sunda menjadi daerah taklukan. Padahal, sesuai perjanjian mestinya dua kerajaan itu berkedudukan sama, tidak ada yang di atas, tidak ada yang di bawah.”

Ayah mengambil cangkir teh di depannya dan meminum isinya beberapa teguk. Aku merasa bingung dengan maksud cerita ayah tadi.

“Raja Sunda dan putrinya sudah berada di kerajaan Jawa itu. Mereka dipaksa untuk tunduk kepada Raja Jawa dan menjadikan putri Sunda sebagai persembahan, sebagai tanda ketundukan. Kau tahu, Nak, orang Sunda mempunyai harga diri. Tidak akan pernah kerajaan Sunda tunduk pada kerajaan lain. Meskipun dengan kekuatan yang sangat sedikit, Raja Sunda dan putrinya mempertahankan harga diri. Maka pesta yang semestinya adalah pesta perkawinan berubah menjadi pembantaian. Itu semua karena kerakusan orang-orang Jawa. Mereka semua tewas, termasuk Raja Sunda dan putrinya. Orang-orang Jawa itu tidak bisa dipercaya.[1]

Ayah kembali meneguk tehnya. Aku mulai tahu muara dari cerita ini. Ayahku orang yang berpendirian keras. Aku hanya bisa mengalirkan air mata. Itukah alasannya? Karena Mas Bagus adalah orang Jawa? Aku pun masuk ke dalam kamar dan memeluk kesedihan. Kemudian air mata yang deras keluar dengan sendirinya.

***

Dari ibuku aku mendapat penjelasan. Ternyata bapakku sudah memilihkan calon istri untukku. Sudah ditimbang bibit, bobot, dan bebet-nya[2]. Dan yang terlebih penting lagi, berdasarkan primbon[3], weton[4]-ku dan weton gadis yang menjadi pilihan bapakku setelah dihitung ternyata cocok. Kalau aku menikah dengan gadis itu maka hidup kami akan bahagia, tenteram, dikaruniai banyak anak, serta banyak rezeki. Begitu penjelasan ibuku.

Kepalaku pusing mendengar penjelasan seperti itu. Apakah jaman sekarang masih relevan hitung-hitungan seperti itu. Aku sudah dewasa. Aku berhak menentukan pasangan hidupku. Aku berpikir bagaimana caranya aku membujuk bapakku. Aku harus mencari kesempatan yang baik untuk membicarakannya lagi dengan bapakku.

***

Minggu pagi yang cerah. Setidaknya begitulah semestinya. Namun, perbincangan dengan ayahku tadi malam membuat pagi ini begitu suram. Matahari yang bersinar terang dan bunga-bunga yang berwarna-warni di halaman tak mampu mengusir kesedihan dan kebimbangan dari hatiku.

Sebuah mobil memasuki pintu gerbang. Mobil yang sudah aku kenal. Kedatangannya pun sudah aku nanti. Aku memberitahu pamanku masalah yang aku hadapi. Sepertinya pamanku tidak setengah-setengah menjadi comblangku. Paman berjanji akan berbicara dengan ayahku.

Dari dapur kudengar ayah dan pamanku tertawa. Mereka tampak begitu senang dan akrab. Paman merupakan saudara tua ayahku. Kumasukkan tiga bungkus teh cap Wangi –teh kesukaan ayahku– ke dalam teko berisi air panas. Setelah warnanya pekat kemerahan, dengan beberapa sendok gula, kuaduk hingga gula itu habis bercampur dengan air teh. Kuhidangkan dua cangkir teh dan kuletakkan teko di atas meja tamu. Pamanku melirikku dengan memberikan senyumnya. Seolah-olah berkata, ”Tenanglah, Galuh. Biar Paman atasi.”

Sebenarnya perbuatan menguping pembicaraan orang lain itu tidak baik. Tapi ini menyangkut hidupku. Aku duduk di atas kursi yang telah kugeser di balik pintu kamarku. Dengan begitu aku bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan oleh ayah dan pamanku. Dalam hati aku berdoa. Berdoa dengan setulus-tulusnya. Semoga hati ayah mencair setelah dibujuk oleh paman.

Setelah beberapa jenak berbasa-basi akhirnya pamanku masuk ke inti persoalan.

“Kamu memang tidak berubah, Adi Danar,” kata pamanku.

“Apa maksudmu, Kang?”

“Kamu ini masih keras kepala seperti dulu. Galuh berbicara kepadaku tentang perbincangan yang kau lakukan dengan anak semata wayangmu itu tadi malam.”

“Oh, begitu,” tanggap ayahku.

“Mengapa kamu masih saja tidak suka dengan orang Jawa, Adi Danar?”

“Kakang sudah tahu alasannya kan!”

Kemudian terdengar suara air teh diseruput dari cangkirnya.

“Aku tidak percaya dengan orang Jawa. Di mataku, mereka sama. Aku tidak mau menyerahkan hidup anakku pada orang Jawa.”

Suara ayahku mulai terdengar ketus.

“Apa kamu akan mempertaruhkan hidup anakmu hanya berdasar cerita masa lalu?” Suara paman semakin meninggi. Sepertinya suasana di ruang tamu semakin panas.

“Itu kenyataan, Kang. Orang-orang Jawa sekarang sifatnya tidak berbeda dengan pendahulu mereka yang suka berkhianat dan rakus.”

“Kamu menelan mentah-mentah cerita Perang Bubat itu? Sebegitu bencikah kamu dengan orang Jawa sampai kamu mau mengorbankan kebahagiaan anakmu?” Terdengar nada suara paman semakin tinggi.

Aku mendengar perdebatan itu dengan hati deg-degan. Suara ayah dan paman sudah mulai meninggi. Tak terasa pipiku basah. Oh, Tuhan, begitu beratkah cobaan yang aku alami.

“Adi Danar,” terdengar suara pamanku, “tak perlu kita menanam kebencian dalam hati kita hanya berdasar cerita dalam buku yang belum pasti kebenarannya itu. Apakah kamu akan menurunkan kebencian itu kepada anak cucumu? Apakah kamu memang suka mengibarkan rasa kebencian itu tanpa sedikitpun berpikir dengan nalar? Orang-orang Jawa itu baik. Justru kamu sebagai orang Sunda yang mempunyai sifat tidak baik karena menyimpan kebencian dalam hatimu.”

Keadaan sejenak hening. Aku menunggu-nunggu tanggapan ayahku.

“Aku masih tidak percaya dengan orang Jawa. Aku masih beranggapan mereka mempunyai hati yang jelek.”

Brakk…

Aku kaget setengah mati. Hampir-hampir aku terjatuh dari kursi. Suara meja yang digebrak membuat jantungku semakin berdetak kencang.

“Hah, jadi kamu menghina istriku? Istriku orang Jawa dan dia adalah istri terbaik sedunia. Kamu sebagai saudaraku malah menghina istriku? Hatimu memang sudah penuh dengan kebencian.”

Itu suara pamanku. Aku mengenali suara tinggi itu saat paman memarahi anak buahnya di kantor. Saat paman marah tidak ada anak buahnya yang berani mengangkat kepala. Semua tertunduk lesu mendengarkan luapan amarah pamanku. Kini aku mendengar paman memarahi ayahku.

Aku sudah tidak bisa konsentrasi mendengarkan pembicaraan antara ayah dan paman. Yang aku dengar suara mereka semakin ketus dan bernada tinggi. Kemudian terdengar langkah kaki, pintu dibuka kemudian ditutup lagi dengan menimbulkan suara agak keras. Terdengar suara mesin mobil kemudian berjalan menjauh.

Aku membaringkan tubuh. Rasanya capek sekali. Pikiranku yang capek. Dan lagi-lagi hanya air mata yang bisa menghiburku.

Sisa-sisa air mata membekas pada wajahku yang pucat. Makan malam terasa beku. Aku makan dengan kepala tertunduk. Tak ada nafsu untuk mengunyah makanan. Hal yang sama dilakukan oleh ibuku. Ayahku pun tak jauh berbeda. Makannya tidak lahap seperti biasanya.

“Galuh.” Keheningan makan malam dipecah oleh suara ayahku.
“Iya, ayah,” jawabku dengan tetap menundukkan kepala. Tak ada keberanian untuk memandang ayahku.
“Apa kamu benar-benar mencintai orang Jawa itu? Siapa namanya?”
“Namanya Bagus. Iya, aku mencintainya.” Suaraku terdengar sangat pelan. Seakan-akan takut ada orang yang mencuri dengar. Bahkan, seakan-akan aku takut mendengar suaraku sendiri.

“Kapan-kapan undang dia kemari. Biar ayah melihatnya. Kita lihat nanti apakah ayah bisa menerimanya atau tidak.”

Kata-kata ayahku dengar serta merta membuat kepalaku mendongak. Aku memandang ayahku dengan heran.
“Katakan padanya,” lanjut ayahku, “ayah mau bertemu dengannya.”

Mataku berkaca-kaca. Aku merasa haru. Meskipun ayahku tidak dengan tegas menerima Mas Bagus, tapi mengundang Mas Bagus kemari adalah tanda terbukanya hati ayahku.
“Iya, ayah,” jawabku dengan anggukan yang mantap.

***

“Pak, aku mau bicara.”
Aku berjalan di belakang bapak dengan langkah kaki yang terasa berat. Tanaman teh sudah mulai dipanen kemarin. Di sebelah kanan rumah, pucuk-pucuk daun teh yang berwarna hijau muda sudah tidak tampak lagi. Namun, di sebelah kiri rumah, warna hijau muda masih menghampar luas.

“Masalah yang kau bicarakan kemarin dulu itu?” tanya ayahku.
“Iya, Pak.”

“Le, bapakmu ini sudah hidup lama. Dan kebun teh penginggalan kakekmu ini telah menemani bapakmu selama ini. Kebun teh inilah rumah bapak. Hasil dari kebun teh ini pula yang mampu membiayai sekolahmu dan sekolah adik-adikmu.”

Memang benar kebun teh ini yang telah menyangga kehidupan keluargaku. Aku jadi teringat, dahulu aku suka bermain petak umpet di kebun teh ini bersama kawan-kawan sekampungku.

“Le, bapak sudah tua. Yang diinginkan orang tua hanyalah agar anak-anaknya hidup bahagia. Sebenarnya, Bapak sudah mencarikan calon istri untukmu. Gadis itu Bapak anggap cocok dengan kamu.”

Aku hanya diam mendengarkan sambil tetap berjalan di belakang bapak. Pematang kebun untuk tempat berjalan hanya cukup untuk satu orang sehingga aku tidak bisa berjalan menjajari bapak.

“Bapak sudah memikirkannya, Le. Kebahagiaanmu tentu kamu yang lebih paham. Kamu sudah besar. Bapak tidak bisa lagi mengatur-ngatur kamu seperti sewaktu kamu kecil dulu. Sebagai orang tua, Bapak hanya bisa merestui dan mendoakan agar kamu mendapatkan yang kamu cita-citakan.”

Awalnya aku merasa bingung mendengar kata-kata bapak. Namun kemudian aku tersadar dan memahami apa yang disampaikan bapak. Aku tidak menduga bapak akan mengatakan hal seperti itu. Dengar serta merta warna hatiku menjadi cerah.

Terlihat dari kejauhan sebuah truk datang.

“Itu truk yang akan mengangkut daun teh kita,” kata ayahku sambil membelokkan arah langkah kaki menuju rumah.
“Daun-daun teh kita akan diangkut ke pabrik teh Wangi di Sragen sana.”

Aku masih berjalan di belakang bapak, tapi langkah kakiku terasa lebih ringan.

“Ngomong-ngomong, kalau kamu menikah mau nanggap[5] apa, Le?”
“Heh?” Aku kaget mendengar pertanyaan yang tidak terduga itu.

“Terserah bapak saja,” jawabku dengan terbata-bata sambil tak terasa bibirku tersenyum. Terbayang wajah gadis ayu dengan mata yang berbinar-binar dan senyum yang menawan.


_________________________________________________
[1] Kisah Perang Bubat dalam Serat Pararaton
[2] Bibit, bebet, bobot: falsafah Jawa. Bibit: dari keluarga baik-baik; bebet: memiliki harta yang cukup; bobot: kualitas atau karakter orang yang baik.
[3] Primbon: perhitungan Jawa berkaitan dengan baik buruknya waktu kegiatan, watak manusia, dan jodoh.
[4] Weton: hari kelahiran berdasarkan hitungan Jawa
[5] Nanggap (Jawa): mengadakan hiburan pesta perkawinan

_________________________________________________

 


*Cerpen ini termasuk dalam 33 nominator Lomba Penulisan Cerpen TIngkat Mahasiswa Se-Indonesia 2013 yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) OBSESI STAIN Purwokerto.
Cerpen ini dimuat dalam Buku Antologi Cerpen Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia yang diterbitkan oleh Obsesi Press Purwokerto, 2013.

Monday, March 11, 2013

Orang Miskin Boleh Kuliah

Tingginya biaya kuliah membuat sebagian orang saja yang mampu mencicipinya. Tapi orang miskin boleh kuliah kalau ia mau berjuang dengan sungguh-sungguh

Aku tidak pernah memimpikan untuk kuliah. Aku berasal dari keluarga miskin. Hidup di Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo yang sebagian besar wilayahnya berupa tanah pertanian. Sebagian besar penduduk di kampungku adalah petani. Termasuk kedua orang tuaku.

Kakekku adalah seorang petani yang mempunyai beberapa petak sawah, sedangkan orang tuaku tidak mempunyai sepetak sawah pun. Baru di kemudian hari kakekku mewariskan tanah sawahnya kepada ahli warisnya, termasuk ayahku. Selain membantu mengerjakan sawah kakekku, orang tuaku juga menggarap sawah dengan sistem beli kontrak. Biasanya beli kontrak satu tahun atau beberapa tahun dari orang yang mempunyai sawah yang luas. Tentu penghasilan dari menggarap sawah beli kontrak lebih rendah jika dibandingkan menggarap sawah sendiri.

Biaya di SD tidak terlalu besar sehingga tidak membebani orang tuaku. Sewaktu SD aku termasuk siswa yang pintar. Sering menduduki peringkat satu di kelas. Namun, tidak ada beasiswa untuk prestasi itu. Barulah ketika EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) –sekarang namanya Ujian Nasional– pihak sekolah memberikan hadiah kepadaku berupa beberapa perlengkapan sekolah karena nilai EBTA-ku menduduki peringkat keempat di sekolah.

Aku dari keluarga miskin. Dahulu aku pernah meminta dibelikan sepeda saat masuk SMP. Namun, hal itu tidak pernah dikabulkan oleh orang tuaku. Aku pun harus rela memakai sepeda kakakku yang pernah dipakainya sekolah dulu. Biaya di SMP lebih besar daripada di SD dulu sehingga ayahku pernah datang ke sekolah untuk meminta keringanan dari pihak sekolah. Ayahku mengajukan beasiswa agar tidak terlalu berat membiayai sekolahku. Namun, sepertinya aku tidak berjodoh dengan yang namanya beasiswa. Dengan segala jerih payah, akhirnya orang tuaku pun bisa meluluskan aku.

Sebenarnya sewaktu di SMP prestasi akademikku agak menonjol. Meskipun tidak bisa menduduki peringkat tiga besar, teman-temanku banyak yang meminta bantuan kepadaku jika ada kesulitan memahami pelajaran. Bahkan, saat ujian pun aku menjadi tumpuan harapan bagi mereka. Mungkin karena baik hati dan tidak sombong serta suka menabung (hehe…) sehingga aku mau membantu mereka.

Saat itu aku tidak menganggap penting sebuah nilai. Apalah arti peringkat akademik. Apalah arti angka-angka di raport. Angka yang tinggi dan peringkat tiga besar pun kita tetap membayar biaya sekolah yang sama. Maka, kegairahanku terhadap kegiatan belajar di sekolah mulai berkurang.

Aku mulai berani beralasan sakit agar tidak mengikuti suatu pelajaran yang membosankan. Aku mulai berani membolos. Saat malas berangkat sekolah, aku membolos. Saat pelajarannya sulit dan aku tidak suka mengikutinya, aku membolos. Saat bangun kesiangan, aku membolos. Saat tidak mau mengikuti upacara hari Senin, aku membolos. Rata-rata aku membolos satu minggu sekali. Meskipun begitu, peringkat akademik di kelas aku tetap menduduki sepuluh besar. Dan teman-temanku tetap mengandalkanku saat ada PR atau saat ujian.

Aku adalah orang yang malas belajar di sekolah. Perasaan malas belajar itu sudah berada pada titik didihnya. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan belajar di sekolah. Setelah lulus SMP, tanpa berpikir panjang aku pun melabuhkan langkahku di SMK. Memang ada pilihan untuk masuk ke SMA. Namun, dengan masuk SMA tentu setidaknya aku harus melanjutkan kuliah. Bukankah sulit mencari pekerjaan dengan bermodalkan ijazah SMA.

Aku sadar diri dengan kondisi ekonomi keluargaku. Aku tidak akan kuliah. Lagi pula, aku sudah tidak betah berlama-lama duduk di bangku belajar. SMK adalah pilihan yang tepat. Setelah lulus SMK aku bisa langsung bekerja. Setidaknya lulusan SMK lebih mudah mendapatkan pekerjaan daripada lulusan SMA.

Meskipun saat SMK kebiasaan membolosku sudah berkurang, aku masih saja malas belajar. Untungnya, di SMK pelajaran praktek mempunyai porsi yang besar sehingga aku tidak terlalu dibosankan dengan pelajaran teori di dalam kelas. Prestasi akademikku pun tidak terlalu mengecewakan. Sekali lagi, aku memang tidak menduduki peringkat tiga besar, namun banyak teman-temanku yang mengharapkan uluran tanganku saat ada PR atau saat ujian.

Saat itu aku baru menyadari bahwa dengan nilai raport yang bagus dan menjadi peringkat satu di kelas bisa mendatangkan keuntungan. Teman-temanku yang pintar mendapat beasiswa dari sekolah. Aku sendiri tahu sebagian dari mereka termasuk dari keluarga yang mampu. Mereka mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Sebenarnya aku juga ingin mendapatkan beasiswa, namun kesadaranku untuk hal itu sudah terlambat karena sudah kelas tiga dan mendekati Ujian Nasinal.

Suatu pagi saat matahari hendak beranjak naik, aku datang ke kantor piket untuk meminta surat ijin tidak mengikuti pelajaran karena sakit. Aku sedang tidak benar-benar sakit, hanya pura-pura sakit agar aku bisa pulang karena aku merasa malas sekali waktu itu. Aku ingat waktu itu pelajaran Fisika. Salah satu pelajaran yang menjadi musuh bebuyutanku. Saat SMP aku juga pernah pura-pura sakit sehingga minta ijin istirahat di UKS sewaktu pelajaran Fisika.

Aku mendatangi kantor piket dan mengajukan ijin untuk tidak mengikuti pelajaran. Namun, sepertinya aku tidak pandai berakting sebagai orang sakit. Yang menulis surat ijin di kantor piket saat itu adalah seorang guru wanita. Dia tidak percaya kalau aku sakit –aku memang tidak sakit, kan. Ia pun menasehatiku habis-habisan tentang kedisiplinan, pentingnya rajin belajar, dan bla bla bla. Rasanya pedas sekali dan menohok ke dalam hati.

Guru piket itu mengatakan bahwa dalam dunia kerja itu yang dibutuhkan adalah kedisiplinan. Begitu juga di sekolah. Aku tidak akan menjadi orang pandai kalau tidak disiplin dan tidak rajin belajar. Bahkan, mungkin saja aku tidak akan lulus Ujian Nasional kalau sikapku masih seperti itu. Dicerca habis-habisan seperti itu aku berteriak akan kubuktikan bahwa aku bisa lulus Ujian Nasional dengan nilai terbaik. Tentu teriakan itu hanya bergema dalam hatiku saja.

Setelah selesai memberi wejangan yang pedas kepadaku, guru piket itu pun menulis surat ijin dan memberikannya kepadaku. Meminta surat ijin saja mesti melewati hal seperti itu. Saat aku berikan surat ijin kepada guru Fisika –saat itu guru Fisikanya seorang wanita yang masih agak muda– guru itupun menyindirku dengan kata-kata, “Orang sakit kok wajahnya tetap cerah begitu”. Sekali lagi, aku tidak pandai berakting. Namun, tetap saja aku diperbolehkan pulang.

Begitulah kondisiku sewaktu SMK. Tekadku untuk lulus Ujian Nasional dengan nilai terbaik tetap membara. Saat mendekati Ujian Nasional, aku pun belajar sungguh-sungguh. Lalu Ujian Nasional aku lewati dengan lancar. Biasa-biasa saja. Beberapa hari setelah Ujian Nasional aku bersama teman-temanku langsung berangkat ke Bekasi untuk bekerja di sebuah perusahaan besar. Jadi, aku tidak tahu dengan hasil Ujian Nasional. Bisa dibilang, aku sudah mulai bekerja meski belum lulus dari SMK.

Saat itu aku sedang mengoperasikan sebuah mesin di departemen tempatku bekerja sewaktu nilai Ujian Nasional diumumkan. Jadi, aku tidak tahu siapa yang lulus, siapa yang tidak lulus, siapa mendapat nilai berapa, dan berapa nilaiku. Baru di hari setelahnya seorang temanku memberikan kabar bahwa aku menduduki peringkat kedua di sekolah. Dan satu hal lagi, aku mendapat nilai 10 untuk pelajaran Matematika. Siswa yang mendapat peringkat sepuluh besar dan siswa yang mendapat nilai 10 dipanggil maju saat acara Perpisahan. Hadiahnya berupa beberapa peralatan sekolah dan uang pembayaran SPP selama tiga tahun dikembalikan serta dikalungkan selembar selendang.

Semua itu diceritakan oleh temanku. Saat itu aku beberapa bulan kerja di perusahaan sehingga tidak menghadiri acara Perpisahan. Juga tidak bisa tampil maju untuk diberikan penghargaan. Aku membayangkan tentu orang tuaku sangat bangga jika mereka dan aku bisa hadir dalam acara itu. Aku juga tidak bisa mengambil ijazah. Baru setahun kemudian aku pulang kampung dan mengambil ijazah di sekolah. Soal pengembalian uang SPP selama tiga tahun tadi, aku meminta temanku untuk mengurusnya dan memberikannya kepada orang tuaku.

Dua tahun aku bekerja di perusahaan. Kemudian pulang kampung dan mendirikan toko perlengkapan sekolah di daerahku. Saat itu kondisi ekonomi keluargaku masih di bawah angka kesejahteraan. Maka, orang tuaku merasa kaget saat aku mengatakan bahwa aku akan kuliah. Tentu pikiran mereka bertanya-tanya, dari mana biayanya.

Aku jelaskan bahwa untuk uang masuk kuliah, aku akan menjual sepeda motorku yang dulu aku beli dari hasil kerjaku. Untuk uang SPP nanti akan diusahakan bersama-sama. Untuk uang kebutuhan sehari-hari aku berjanji tidak akan meminta kepada orang tua. Kalau dihitung-hitung kebutuhan sehari-hari untuk kuliah itu juga besar. Seperti untuk membeli kertas atau untuk print tugas. Juga untuk biaya transportasi sehari-hari, untuk iuran kalau ada tugas, dan lain-lain.

Pada awal-awal kuliah memang terasa berat. Rasa-rasanya aku tidak ditakdirkan untuk bisa menyelesaikan kuliah. SPP yang besar membuat aku dan keluargaku kewalahan. Beberapa kali aku meminjam uang kepada temanku untuk membayar kuliah. Rasanya aku tidak bisa melanjutkan lagi. Biaya kuliah terlalu besar bagiku dan keluargaku.

Sebenarnya pada semester tiga aku pernah mengajukan beasiswa PPA. Beasiswa PPA adalah beasiswa untuk mahasiswa berprestasi. Aku sangat mengharapkan untuk mendapatkannya. Nilai IP-ku semester 1 yaitu 3,8 (lumayan tinggi, kan). Aku juga aktif di organisasi kampus. Dengan bekal itu seharusnya aku bisa mendapatkan beasiswa. Namun, saat pengumuman penerima beasiswa PPA ditempelkan, namaku tidak tercantum di sana. Kecewa.

Hatiku menyimpan keheranan mengapa aku tidak mendapatkan beasiswa. Dengan nilai IP setinggi itu mestinya aku termasuk mahasiswa yang mendapatkan beasiswa itu karena beasiswa PPA memang diperuntukkan untuk mahasiswa dengan prestasi akademik yang baik. Aku bertambah heran ketika mengetahui bahwa temanku yang nilai IP-nya lebih rendah dariku malah mendapatkan beasiswa. Saat itu aku merasa hal itu tidak adil.

Saat semester lima aku kembali mengajukan beasiswa. Kali ini beasiswa BBM. Aku sudah kecewa dengan beasiswa PPA sehingga aku beralih ke beasiswa BBM. Beasiswa BBM diperuntukkan untuk mahasiswa yang keluarganya tidak mampu secara ekonomi. Seharusnya aku pantas mendapatkan beasiswa ini. Aku sangat membutuhkannya. Apalagi saat itu panen padi tidak terlalu bisa diharapkan karena ada serangan hama sehingga banyak petani yang merugi, termasuk orang tuaku.

Aku menunggu pengumuman beasiswa BBM dengan harap-harap cemas. Aku harus mendapatkannya. Aku dan keluargaku sudah tidak kuat lagi menanggung biaya kuliah. Aku harus merasa kecewa lagi saat membaca pengumuman para penerima beasiswa. Namaku tidak ada. Kecewa lagi.

Yang membuatku semakin bertambah kecewa yaitu ada teman-temanku yang aku tahu bahwa keluarga mereka mampu, tetapi mereka mendapatkan beasiswa. Bahkan, ada yang orang tuanya PNS, tapi mahasiswa itu mendapatkan beasiswa. Kembali aku merasa tidak mempunyai alasan untuk semangat belajar di bangku kuliah.

Perasaan kecewa itu tidak bertahan lama. Aku berusaha untuk bersikap lapang dada dan berpikiran jernih. Tidak sepantasnya aku berprasangka buruk terhadap sistem penyeleksian beasiswa. Bukankah takdir manusia itu sudah ditentukan. Bukankah rezeki manusia itu sudah tertulis. Orang-orang yang mendapatkan beasiswa itu adalah takdir mereka untuk mendapatkannya. Dan mungkin saja aku tidak mengetahui kriteria penentuan penerima beasiswa. Bukankah sudah menjadi hak panitia penyeleksi untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkannya. Aku pun mulai tenang. Aku mulai tidak mengharapkan beasiswa lagi.

Inilah jalan yang ditunjukkan kepadaku. Meskipun terasa berat, jalan ini aku lalui selangkah demi selangkah. Ketiadaan beasiswa membuat beban kuliah semakin berat. Apalagi orang tuaku juga mengatakan bahwa panen padi sudah tidak bisa diharapkan lagi karena serangan hama semakin merajalela.

Dalam sebuah kesulitan selalu ada beberapa kemudahan. Jika saat itu aku menyerah mungkin saja aku tidak akan pernah bisa menyelesaikan kuliahku. Namun, aku sudah bertekad untuk berjuang. Aku tidak akan mengandalkan orang tuaku. Aku tidak akan mengandalkan bantuan orang lain. Aku tidak akan mengandalkan beasiswa. Aku akan mengandalkan diriku sendiri.

Aku mulai semakin bersemangat dalam mencari rezeki. Aku menjual buku, menjual, menjual pulsa, menjual makanan kecil. Saat itu aku sudah menutup toko perlengkapan sekolah milikku karena aku tidak mempunyai waktu untuk mengelolanya. Hasilnya pun juga tidak terlalu besar. Lalu aku pun mulai merintis usaha percetakan dengan nama AUF DESAIN.

Inilah jalan yang ditunjukkan kepadaku. Aku mulai mulai menapaki jalan bersama AUF DESAIN. Dengan menerima orderan berupa cetak pamflet, sertifikat, stiker, bloknote, undangan pernikahan, dan lainnya, aku mengais rezeki sedikit demi sedikit. Ketidakmampuan dalam ekonomi mendorongku untuk semakin kukuh dalam berjuang untuk mendapatkan rezeki agar aku bisa menyelesaikan kuliah.

Selangkah demi selangkah akhirnya aku berhasil menapaki sisa semester yang harus aku tempuh. Hingga akhirnya penyusunan skripsi dan pendaftaran wisuda. Aku melangkah dan melihat ke belakang. Inilah jalanku. Inilah kehidupanku. Maka aku bersyukur kepada Tuhan atas karunia-Nya.

Aku orang miskin. Aku bisa kuliah.
Orang miskin boleh kuliah.


*Sukoharjo, 11 Maret 2013




Saturday, March 2, 2013

Duka Seribu Tahun


:: PUISI

 

Duka Seribu Tahun

Syairku adalah huruf-huruf yang mati
Membeku dalam hampa asa yang semu

Kisahku adalah rangkaian kata yang tertunduk lesu
Setelah kau terjang dengan ombak janjimu

Dukaku adalah duka seribu tahun
Ketika kau patahkan ranting pohon
Yang dulu pernah kau tanam

Senyumku adalah senyum pilu
Yang merajut bersama tangis sendu

Jika mentari esok bersinar
Kan hilang jua embun yang menyelimuti hati
Kan sirna jua bau wangi tubuhmu
Kan lenyap jua jejak langkahmu

* 11 September 2012 

***


Nyanyian Langit Malam

Sementara itu
Langit sudah bersih dari awan
kemudian muncul bintang-bintang
Dan rembulan
Namun,
Langit tak seindah dulu
Saat kaku ada di sampingku
* 16 Oktober 2012

***


Pohon Kering

Aku memandang pohon kering yang tertiup angin
Lalu satu per satu rantingnya patah

Esok, batang itu juga kan tumbang
Menyisakan akar yang rapuh
Hingga ia terlupakan  

* 16 Oktober 2012

***

Ijinkan Aku Menikmati Luka Hati

:: PUISI


Di hadapanmu
Aku seperti anak remaja
Yang merengek cinta
Dan memohon kasih

Tapi apa daya
Diri ini tak mampu membendungnya
Jika bisa perasaaan ini kucerabut
Dan kuterbangkan bersama angin malam
Tapi apa daya

Jika rasa ini bisa kupangkas
Dan kutenggelamkan ke dasar samudera
Tapi apa daya

Orang bilang
Cinta tak mengenal kasta
Tak mengenal usia
Kedudukan atau rupa
Aku bilang, benarlah itu
Setidaknya bagi diriku

Orang bilang
Cinta itu buta
Aku bilang, cinta itu membuka mata

Aku bukanlah Qais
Yang menciumi dinding-dinding rumah Layla
Hingga ketika kerinduan semakin memuncak
Pertemuan dengan Layla
Membuatnya Qais gila
Aku bukan Majnun itu

Aku juga bukan unta di padang sahara
Atau batu kerikil di jalanan
Aku punya rasa

Suatu hari nanti
Akan jelas arah
Kemana rasa ini akan berlabuh

Namun, saat ini
Ijinkan aku menikmati luka hati
Meresapi duka dan gelisah
Sejenak saja
 

***
* 4 September 2012 


Daun Kering


:: Cerpen


Aku bermimpi melihat keranda mayat. Aku juga melihat sesosok tubuh terbujur kaku berpakaian kemeja kotak-kotak warna coklat. Wajahnya memang tidak jelas jadi aku tidak tahu dia. Tapi kemeja kotak-kotak itu aku tahu pemiliknya. Ahmad pemilik kemeja itu.

Jika hanya sekali memimpikan itu tentu aku akan menganggapnya angin lalu saja. Namun, dalam satu minggu ini aku sudah bermimpi seperti itu tiga kali. Tiga kali mimpi yang sama. Maka aku mengambil kesimpulan bahwa teman baikku itu akan segera meninggalkan dunia ini.

Aku merasa sedih. Ahmad adalah teman yang baik. Dia banyak membantuku. Jika aku ada tugas kuliah yang membuat pusing kepala, aku datang kepadanya. dia selalu baik kepadaku. Maka, mimpiku yang berulang tiga kali menyita pikiranku. Apalagi jika aku sedang berada di dekatnya. Aku melihat wajahnya pucat. Seperti mayat. Hatiku sedih, namun aku berkata pada diriku bahwa tidak akan terjadi apa-apa padanya.

“Mad, kalau aku ada salah, aku minta maaf ya.”
Aku melihat wajah pucatnya terhenyak.

“Apa maksudmu?” kata Ahmad.
“Misalnya aku ada salah, aku minta maaf, begitu,” kataku.
“Kamu ini aneh. Tidak biasanya ngomongin seperti ini. Kayak mau pergi jauh saja.”

Iya, benar, Ahmad. Akan ada yang pergi jauh. Yaitu dirimu. Aku berkata dalam hati. Kembali kesedihan menyelimutiku. Sepertinya aku tidak tega jika teman baikku ini meninggal dalam usia muda.

Minggu pagi, waktunya lari pagi. Aku mencari celana olahragaku tapi belum ketemu juga. Seisi lemari sudah aku bolak-balik. Belum ketemu juga. Setelah beberapa saat, aku menyerah untuk mencarinya. Kemudian aku teringat sebuah kardus besar di bawah tempat tidur. Biasanya di situ aku menempatkan pakaian lama yang sudah tidak kupakai. Mungkin saja celanaku di situ.

Benar saja. Celanaku berada di dalam kardus pada tumpukan paling atas. Aku sudah tidak ingat kapan aku menaruh celana ini di dalam kardus itu. Aku mengambilnya dan aku mengibaskannya. Kotor dan berdebu. Tidak bisa kupakai. Sepertinya aku harus melupakan acara lari pagi. Sebagai gantinya, aku jalan-jalan saja.

Aku letakkan kembali celana itu ke dalam kardus. Kain warna coklat di dalam kardus menarik perhatianku. Lalu aku mengambilnya. Ya, ampun. Aku kaget. Ini adalah kemeja kotak-kotaknya Ahmad. Ternyata aku lupa mengembalikan kemeja ini kepadanya. Aku jadi teringat kembali dengan sahabatku itu. Aku punya firasat kuat bahwa aku akan berpisah dengannya. Kasihan Ahmad. Padahal umurnya masih muda.

Suasana gor olahraga ramai. Orang-orang terlihat asyik dengan olahraganya masing-masing. Ada juga yang asyik menikmati sarapan di pinggir-pinggir jalan di depan gor. Kendaraan lalu lalang di jalan. Ini adalah Minggu yang ramai.

Aku melihat Ahmad di depan gor. Ia sedang memainkan bola basket. Napasnya tampak terengah-engah. Namun, tetap saja wajah terlihat pucat seperti mayat. Ia melambai kepadaku. Kubalas lambaian itu lalu aku segera menuju ke sana.

Aku menyeberang jalan. Aku tidak tahu berapa lama lagi waktuku untuk bisa bertemu sehabatku itu. Aku ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin yang aku bisa sebelum ia pergi. Oh, Ahmad, sahabatku yang baik.

Aku dikagetkan oleh suara decit melengking yang panjang dari arah kanan. Lalu tiba-tiba saja sebuah mobil sudah berada di depan pandanganku.

Yang kulihat setelah itu adalah orang-orang banyak yang berlari ke arahku. Aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba telentang di tengah jalan. Dari kejauhan aku melihat Ahmad berlari sambil mulutnya mengisyaratkan teriakan. Namun, suaranya tidak terdengar olehku. Perlahan-lahan Ahmad terlihat mengecil dan menjauh. Menjauh semakin menjauh. Menjauh meninggalkan gelap dalam pandanganku.


 

*Sukoharjo, 3 Maret 2013


Sunday, February 10, 2013

Dari Eminem Hingga Fahd Al-Kanderi


Seorang kulit putih menyanyi rap? Adalah sebuah keganjilan jika ada orang kulit putih yang terjun dalam dunia musik dan memilih rap atau hip-hop sebagai aliran musik yang digelutinya. Ialah Eminem, seorang penyanyi rap terkenal dari Amerika. Dia berkulit putih, dan karena hal itu ia diremehkan saat ikut “main lumpur” dalam dunia rap. Namun, akhirnya Eminem menjadi penyanyi rap paling terkenal.

Dahulu aku sangat suka lagu-lagu Eminem. Untuk menggambarkan mengapa aku suka lagu-lagunya Eminem, aku kutipkan tulisan seorang penggemar Eminem di blognya http://hereshetalks.blogspot.com, “Ada kedalaman makna yang sangat menyentuh dari semua lagu-lagunya, bagaimana ia bercerita mengenai kehidupannya, mengenai pesan untuk anak muda, bagaimana ia mencintai anaknya Hailie Jade Mathers. Ia dapat menyentuh fans lewat tiap baris lirik, mengajak mereka berpikir mengenai kehidupan, kesetaraan, cinta, melawan kekerasan, menghargai persahabatan persaudaraan, dan kepercayaan, mengajak menjauhi obat-obatan terlarang, mengenal kerasnya dunia penuh publisitas yang sama sekali tidak menyenangkan.

“Dalam lagu "Stan", ia menceritakan ketergila-gilaan seorang fans pada dirinya, dan betapa sulitnya menjadi figur bagi komunitas remaja yang sebagian besar bermasalah. Lewat lagu "Beautiful", ia mengajak semua fansnya untuk mensyukuri semua yang diberikan Tuhan pada kita, untuk tidak menghakimi seseorang karena kita tak tahu apa yang ia jalani. "Mockingbird" menceritakan kecintaannya yang mendalam pada putrinya, lucu namun mengagumkan cara ia menggambarkannya. Dan tahukah Anda bahwa ia menulis lagu "Mosh", yang berisi kritik mengenai perang Irak?”

Dulu aku sering mendengarkan dan menyanyikan lagu rap dengan bergaya layaknya seorang penyanyi rapper. Sampai-sampai ada teman sekerjaku yang kadang mengejekku karena sering bergaya kayak rapper. Kau tahulah, musik rap bukanlah jenis musik yang banyak penggemarnya. Oya, aku juga suka musik RnB yang enak banget buat dugem (kayaknya sih begitu). Mendengarkannya bisa membuat kepala mengangguk-angguk.

Setelah aku keluar –atau dikeluarkan– dari perusahaan, aku mulai suka dengan lagu-lagu pop yang cengeng yang dulu sering ditayangkan di MTV. Menjadi pengangguran membuat diriku sering bersantai setiap pagi sambil menonton televisi. Kalau pagi jam 10 sampai jam 12 ada acara MTV Ampuh. Karena seringnya menonton, akhirnya aku jadi suka lagu pop juga. Padahal, sebelumnya aku tidak suka, bahkan benci dengan lagu pop yang kebanyakan cengeng dan lebay itu.

Aku mulai ditarik ke jalan yang benar (berarti sebelumnya tersesat ya?) oleh seorang ustadz untuk ikut mengaji. Mengaji secara rutin seminggu sekali. Setelah beberapa lama ikut mengaji aku mulai suka dengan nasyid. Saat itu grup nasyid yang sedang terkenal seperti Raihan, Saujana, Izzis, Shoutul Harokah, … (apalagi ya, aku lupa). Jadilah aku penggemar nasyid.

Tak hanya menyanyi untuk dinikmati sendiri saja, aku bersama kawan-kawan beberapa kali tampil menyanyikan nasyid dalam acara-acara tertentu. Memang tidak terkenal, tapi setidaknya sudah “memiliki nama” di tingkat kecamatan. Namun, karena personilnya banyak yang kemudian sibuk, akhirnya matilah grup nasyid itu.

Setelah itu aku mulai suka dengan nasyid berbahasa Arab yang tanpa iringan musik. Biasanya nasyid jenis ini berirama menghentak dan mengobarkan semangat. Aku merasa heran, meskipun tanpa iringan musik, nasyid seperti ini terasa enak didengar.

Semakin lama, kesenanganku pada musik mulai luntur. Jangan kau tanya tentang musik pop jaman sekarang, aku sudah membuangnya jauh-jauh. Lalu aku mulai bisa menikmati lantunan murottal Al-Quran. Pasti kau tahu Muhammad Thaha Junaid, seorang anak dengan suara yang indah saat melantunkan ayat-ayat suci. Semakin lama aku semakin tenggelam dalam lantunan murottal yang ternyata lebih indah, lebih enak didengar, lebih merdu, dan lebih menenteramkan daripada musik rap, pop, atau nasyid.

Akhir-akhir ini, aku suka dengan lantunan suara Fahd al-Kanderi. Suaranya indah, irama qira’ahnya merdu sekali. Iramanya sangat enak untuk didengarkan atau diikuti sebagai hafalan. Jika kau belum pernah mendengar murottalnya, cobalah search di internet dan dengarkan. Maka, ketika mendengarkan lantunan ayat-ayat suci yang merdu dan menggetarkan itu seolah-olah semua masalah hilang.

Begitulah, fase perjalanan selera musikku. Mulai dari rap, hip-hop, RnB, pop, nasyid. Hingga sekarang, aku telah menemukan suara yang lebih indah, lebih merdu, dan lebih menenteramkan hati daripada segala jenis musik. Itulah suara lantunan ayat-ayat suci. Jika saat ini kau masih suka mendengarkan musik, aku member petuah berharga kepadamu (hadeuh, lagaknya kayak orang tua nih), “Tinggalkanlah musik itu. Carilah kenikmatan dalam lantunan ayat-ayat suci.”

Sebelum aku akhiri tulisan ini, aku sampaikan bahwa aku menulis ini karena ada seorang kawan yang bertanya kepadaku, apakah aku bisa menyanyi nasyid. Mendapat pertanyaan seperti itu, kenanganku langsung terbang pada masa lalu terkait dengan musik-musik kegemaranku. Maka, aku katakan sekarang, “Aku sudah tidak menyanyi lagi.”

Demikianlah.


*Sukoharjo, 11 Februari 2013