Lee Dong-wook dan Gong Yoo dalam serial Goblin (2016-2017) |
Hamesha tumko chaaha aur chaaha, aur chaaha... chaaha...chaha...
Selalu, kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta selamanya...
Hamesha tumko chaaha aur chaaha, kuchh bhi nahin
Selamanya aku mencintaimu, dan aku tak mencintai yang lain...
(Hamesha Tumko Chaha, ost Devdas [2002])
Dalam kisah percintaan di kebanyakan drama Korea, ada tembok penghalang berupa derajat dan harta. Dan seringnya, si laki-laki digambarkan sebagai orang kaya yang cool dengan wajah yang “cantik” --kamu tahu maksudku kan. Rumahnya megah, dan mobil sportnya berjejer di garasi. Biasanya digambarkan sebagai pewaris perusahaan besar atau setidaknya adalah anak dari orang yang harta warisannya tak akan habis tujuh turunan. Si perempuan berada pada posisi sebaliknya: digambarkan sebagai gadis periang, pekerja keras, dan bersahabat dengan kerasnya kehidupan.
Lihat saja Coffee Prince (2007). Choi Han Kyul (Gong Yoo), seorang pewaris perusahaan besar, menyukai Go Eun Chan (Yoon Eun Hye), seorang wanita tomboi yang bahkan harus menyamar menjadi laki-laki agar bisa bekerja di kedai kopi. Boys Before Flowers (2009) menampilkan bintang 4 sekawan yang tampan dan kaya—Gu Jun-pyo (Lee Min-ho), Yoon Ji-hoo (Kim Hyun-joong), So Yi-jeong (Kim Bum), dan Song Woo-bin (Kim joon). Dan di antara “para pangeran” tersebut, terseliplah si rumput liar, Geum Jan-di (Ku Hye-sun), gadis pekerja keras dari keluarga pemilik toko laundry.
Lihat pula Secret Garden (2010) yang menceritakan hubungan cinta-benci-rindu Kim Joo-won (Hyun Bin) dan Gil Ra-im (Ha Ji-won). Kim Joo-won yang saking kayanya, ia merindukan menjadi pengangguran, sedangkan Gil Ra-im harus bekerja babak belur menjadi pemain pengganti (stuntwomen).
The Heirs (2013) memperlihatkan Lee Min-ho yang berperan sebagai Kim Tan, seorang anak konglomerat. Keadaannya berbanding terbalik dengan wanita yang disukainya, Cha Eun-sang yang diperankan Park Shin-hye. Drama populer terbaru yang tayang akhir tahun 2016 sampai awal 2017, Goblin, juga menyajikan hal yang tak jauh beda. Kim Shin yang diperankan oleh Gong Yoo adalah goblin yang takkan kekurangan harta karena mudah saja baginya memperoleh uang dan emas. Sebaliknya, Ji Eun Tak –sang pengantin goblin-- yang diperankan oleh Kim Go Eun adalah gadis SMA yang mesti kerja part time di rumah makan untuk mendapatkan uang.
Begitulah gambaran sebagian besar drama Korea.
Sekarang kita tengok tetangga jauhnya, India. Kalau India, saya akan membicarakan filmnya, bukan drama atau sinema berserinya. Film Devdas (2002) –yang lirik lagunya saya kutip di awal tulisan—memiliki kisah yang serupa. Devdas (Shah Rukh Khan), anak seorang tuan tanah, menyukai Paro (Aiswarya Rai) yang “hanya” anak orang biasa. Cinta keduanya pun mesti dipisahkan. Devdas yang merana mengantarkan Paro menuju prosesi perkawinan dengan laki-laki lain. #ugh nyesekkk
Kisah Devdas termasuk salah satu pengecualian dari gambaran umum kisah cinta dalam film India. Kebanyakan film India berkebalikan dengan romansa drama Korea. Lakon dalam film India ditampilkan sebagai sosok sederhana yang pekerja keras. Ia mencintai seorang wanita dari golongan ningrat, dan karena cintanya itu ia mesti menanggung banyak derita.
Film-film angry-youngman tahun 80an dan 90an yang dibintangi Amitabh Bhachan, Sanjay Dutt, Sunny Doel, kemudian Akhsay Kumar, Aamir Khan, dan Salman Khan memperlihatkan hal di atas. Si laki-laki dari rakyat jelata yang sering berdarah-darah dipukul ke sana kemari untuk memperjuangkan cintanya, atau hal yang dicitakannya semisal melawan kejahatan atau kesewenang-wenangan. Setelah tahun 2000, bisa kita lihat film Chalte-Chalte (2003) dengan Raj (Shah Rukh Khan), seorang sopir truk ekspedisi –yang kemudian bangkrut—yang mencintai Priya, wanita dari kalangan atas. Perbedaan kondisi keduanya mengakibatkan konflik yang mengancam pernikahan mereka.
Dalam Jab Tak Hai Jan (2014), Samar (Shah Rukh Khan) dan Meera (Katrina Kaif) saling jatuh cinta. Meera adalah putri pengusaha sukses, sedangkan Samar adalah seorang pekerja serabutan yang pernah menjadi penyapu salju, penjual ikan, pelayan restoran, dan penyanyi jalanan.
Film-film India masa sekarang memang sudah sangat berkurang kadar konflik fisiknya, berbeda pada era 80an dan 90an. Namun secara umum, film-film India tak menampilkan aktor dengan wajah lembut dengan pakaian jas rapi dan mobil mewah yang mentereng –seperti dalam drama Korea. Lakon dalam film India ditampilkan sebagai laki-laki biasa dengan pekerjaan biasa, namun penuh dengan perjuangan hidup yang luar biasa. Dalam ceritanya, si lakon akan diguncangkan hidupnya, diombang-ambingkan ombak dan diempaskan ke batu karang, hingga berdarah-darah raganya, berdarah-darah pikiran dan perasaannya.
Dengan melihat perbandingan drama Korea dan film India, maka aku akan katakan bahwa hidupku bukan semacam drama Korea. Pada suatu waktu, aku justru seperti sedang melakoni sebuah film India.
Kamu tahu, aku kadang merasa sedang dipukul dari berbagai arah. Hingga berdarah bibirku, bengkak pipiku, remuk tulangku. Dan hujan pun mengguyur deras. Tapi sebagaimana dalam film-film India, tokoh utama selalu bisa bangkit dan tertawa. Bukan tertawa karena menang, tapi tertawa terhadap keadaan babak belurnya. Setelah menertawai kondisinya, ia akan bangkit menghantam, mengalahkan lawan.
Menertawai keadaan diri yang memprihatinkan itu sungguh sulit. Tapi, aku selalu berusaha melakukannya. Kamu tahu kenapa? Karena hidup ini keras dan tak akan menjadi lunak dengan ratapan. Tertawa ketika jatuh dan terguling adalah cara untuk menghibur diri. Bahwa hidup ini memang beginilah jalannya. Jika tak bisa mengubahnya menjadi suatu keadaan yang nyaman tenteram, mengapa tak menikmati keadaan yang sekarang mesti penuh derita?
Aku berusaha menertawakan diriku sendiri saat masa kuliah dahulu, ketika aku mengajukan beasiswa berprestasi dan tak lolos. Hei, temanku yang nilainya di bawahku malah mendapat beasiswa. Aku juga tertawa saat mengajukan beasiswa kurang mampu dan tak lolos juga. Hei, temanku yang orangtuanya PNS mendapat beasiswa.
Dahulu, aku juga berusaha tersenyum dan tertawa ketika menghadiri pernikahan seseorang yang sebelumnya pernah ada kisah di antara aku dan dia. Dan aku membawa kado pernikahan untuknya. Hei, hidup ini sungguh lucu bukan.
Atau aku akan tersenyum dan tertawa ketika naik sepeda motor, hujan-hujanan karena lupa membawa mantol. Aku akan berusaha menikmati hujan dengan bersenandung meski badan menggigil.
Aku pernah tersenyum dan tertawa ketika akan keluar dari perusahaan dan bakal berpisah dengan teman-temanku dan dengan mesin-mesin yang selalu menemani malam-malamku yang sudah kuanggap selayaknya teman –bahkan, mesin-mesin itu aku beri nama dan kadang aku bercerita kepada mesin-mesin itu. Mungkin kamu bisa membayangkan tentang seseorang yang sedang terpuruk dan hanya benda mati yang bersedia mendengarkan keluh kesahnya sambil tersenyum sinis.
Menyenangkan sekali bisa menertawakan diri sendiri dalam kondisi seperti itu. Meskipun kamu tahu, kan, ada deru tangis di kedalaman batin sana.
Menurutku, kemampuan menertawakan diri adalah sebuah bekal untuk menjalani hidup dengan cara yang lebih baik, lebih menyenangkan. Orang lain mungkin saja merasa kasihan dengan kondisi kita. Tapi, heh, kita tertawa menikmatinya bukan?!
Aku akhiri tulisan ini dengan potongan lirik lagu Hamesha Tumko Chaha lagi.
O pritam, o pritam bin tere mere is jivan mein kuchh bhi nahin... nahin... nahin... kuchh bhi nahin
Kekasihku, kekasihku, tanpamu hidupku bukanlah apa-apa, bukan apa-apa, bukanlah apa-apa sama sekali
Hamesha tumko chaaha aur chaaha, aur chaaha... chaaha...chaha...
Selalu, kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta selamanya...
Haan chaaha chaaha chaaha chaaha
Ya, kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta
Bas chaaha chaaha chaaha chaaha
Hanya kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta
Haan chaaha chaaha chaaha chaaha
Ya, kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta
Aur chaaha chaaha chaaha chaaha...
Kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta
(Sukoharjo, 24 Februari 2017. 01.00 WIB)