Gambar ilustrasi: http://sinarharapan.co |
Kesempatan pulang kampung --bagi sebagian besar perantau-- hanya ada dua kali. Saat lebaran dan akhir tahun. Libur lebaran terasa lebih meriah daripada libur akhir tahun.
Lebaran bermakna berkumpul kembali dengan orang-orang terkasih di kampung halaman.
Bagi para perantau, lebaran menjadi salah satu momen untuk menumpahkan kangen pada keluarga yang menyayangi, pada rumah yang menaungi, pada sahabat yang membersamai, pada opor ayam dan ketupat yang berbumbu kehangatan, pada pohon-pohon, tanah, bukit, dan angin di kampung halaman.
Dengan tekat bulat, para perantau pun menapaki perjalanan ratusan kilometer menuju rumah tempat asal. Segala perjuangan dilalui. Tabungan pun dikuras untuk membeli tiket yang biasanya berlipat harganya. Juga untuk membeli oleh-oleh bagi keluarga di rumah.
Yang mengendarai sepeda motor dan mobil, segala persiapan dilakukan, dari service mesin hingga pemilihan rute mudik.
Dan semua perantau menggantung harap bisa selamat sampai rumah dan merayakan lebaran bersama orang-orang tercinta.
Namun, seringkali jalanan menjadi tak bersahabat. Berlimpahnya kendaraan para perantau menuju kampung halaman tak diimbangi ruas jalan yang memadai, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dan masalah ini sudah ada sejak dahulu.
Di sebagian wilayah, masalah ini sudah bisa teratasi. Di sebagian yang lain belum teratasi, atau malah memburuk.
Dalam padatnya arus lalu lintas, jalanan memakan korban. Setiap tahun selalu ada korban. Sebagian perantau itu napasnya terhenti di tengah jalan.
Harapan orang di kampung halaman untuk bertemu sanak keluarga yang merantau pun pupus, berubah menjadi kesedihan yang mendalam.
Sewaktu masih berstatus perantau, saya beberapa kali pulang mengendarai sepeda motor. Dalam beberapa perjalanan itu, saya mengalami setidaknya tiga kali kecelakaan --bekasnya masih ada sampai sekarang, di tangan dan kaki.
Alhamdulillah, Tuhan masih memberi kesempatan saya untuk melanjutkan hidup.
Perjalanan paling berat yang saya lalui yaitu berkendara selama 18 jam yang jika kondisi normal hanya ditempuh dalam waktu 12 jam. Namun, para pemudik sekarang sebagiannya menempuh waktu puluhan jam, hingga 2-3 hari karena jalanan yang macet.
Selain rawan kecelakaan karena kesehatan badan yang menurun, kondiai tersebut juga bisa menurunkan kesehatan mental. Diperlukan kesabaran tingkat tinggi untuk melaluinya.
Begitulah perjuangan para perantau yang pulang ke kampung halaman.
Jika mencari rezeki adalah sebentuk jihad, sebuah kesungguhan, maka perjalanan pulang kampung termasuk dalam lingkaran jihad itu.
Kesungguhan mencari rezeki untuk keluarga adalah ibadah yang mulia. Dan pulang kampung untuk berbagi kebahagiaan dengan keluarga juga ibadah yang mulia.
Para perantau yang saat ini sudah berkumpul bersama keluarga, selamat merayakan kebahagiaan dalam waktu yang singkat namun berharga ini.
Para perantau yang takbisa kembali kepada keluarganya, tapi kembali kepada Tuhan, semoga amal ibadahnya diterima Tuhan YME.
Setelah libur lebaran usai, hampir semua perantau itu tentu berangkat lagi ke kota tempat mendulang rezeki. Sekali lagi, mereka akan melalui perjalanan yang berat --meskipun biasanya tak seberat perjalanan pulang kampung.
Saat balik ke perantauan nanti, persiapkanlah bekal perjalanan yang baik. Dan sebaik-baik bekal adalah takwa.
***
(Sukoharjo, 2 Syawal 1437 H)
0 komentar:
Post a Comment