Saya terjebak di Pramuka, terjerumus, hingga akhirnya tenggelam di dalamnya.
Sewaktu SD, saya mengikuti Pramuka hingga mencapai Penggalang Ramu, ada piagamnya –yang sekarang entah di mana rimbanya. Saat SMP, saya tak terlalu tertarik dengan Pramuka. Kelas 1 SMP, semua siswa diwajibkan ikut Pramuka. Tapi, lha wong pada hari masuk biasa aja saya sering bolos, kok. Apalagi, pas Pramuka. Jadi, selama satu tahun, kehadiran saya di kegiatan latihan Pramuka bisa dihitung dengan jari.
Selepas SMP, saya tidak bersentuhan lagi dengan ekstrakurikuler “di sini senang di sana senang” ini. Hingga akhirnya saya terjebak di Pramuka setelah 10 tahun kemudian, yaitu pada saat menjadi guru SMP. Dulu saat SMP saya menghindari Pramuka. Lhadalah, pas jadi guru SMP mesti membina Pramuka. Kalau kata orang-orang, katanya ini hukum karma.
Inilah takdir Tuhan, kata saya.
Saat itu tahun 2013. Saya lulus kuliah jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kemudian diterima mengajar di SMP di Sukoharjo. Pada awal masuk kerja itu, ada kegiatan kemah Pramuka, Jambore Kwarcab Sukoharjo. Sebagai “anak baru”, saya tak terlalu heran ditugaskan untuk mendampingi anak-anak kemah selama 4 hari 3 malam itu. Lagipula, guru yang ada terbatas jumlahnya. Itulah, sentuhan pertama Pramuka pada saya sejak terakhir di SMP dulu.
Akhirnya, saya resmi menjadi pembina Pramuka di SMP. Saya tak paham sedikit pun soal Pramuka. Bagaimana aba-aba PBB, membuat simpul, mendirikan tenda, bahkan mengajari tepuk dan yel-yel saja tidak bisa. Miris memang.
Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu di dunia ini. Sebelum mengajarkan sesuatu kepada anggota Pramuka, tentu saya mesti belajar terlebih dahulu. Saya mesti belajar membuat simpul, mendirikan tenda, membuat yel-yel, dan lain sebagainya. Semuanya saya lakukan secara otodidak. Semakin lama, saya merasa pengetahuan dan keterampilan kepramukaan saya meningkat. Itulah gunanya belajar, bukan.
Sesungguhnya, menjadi pembina Pramuka itu capek. Banget, malahan. Setiap selesai kegiatan latihan Pramuka, biasanya badan saya terasa lemas. Latihan Pramuka seringnya di luar ruangan dan kegiatannya cukup menguras tenaga. Apalagi jika ada kegiatan kemah atau lomba Pramuka, benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan waktu. Jika boleh memilih, tentu saya tidak usah menjadi pembina Pramuka saja. Capek, bos...
Tapi, itu sudah menjadi tugas dan kewajiban. Saya berusaha untuk selalu bersikap nrima, menerima apa pun yang ditugaskan.
Pada tahun 2013, ada kegiatan pelatihan bagi pembina Pramuka: Kursus Mahir Dasar (KMD). Saya diikutkan kegiatan tersebut, dengan biaya sepenuhnya dari sekolah. Di situlah pertama kali saya mendapat bekal menjadi pembina Pramuka. Secara umum kegiatan KMD agak membosankan pada bagian penyampaian materi di ruangan. Bayangkan, ratusan orang duduk berhimpitan di dalam ruangan yang tak luas selama beberapa jam. Untuk kegiatan lapangannya cukup menyenangkan meskipun agak melelahkan.
Di kegiatan KMD itu terjadilah satu peristiwa yang cukup memalukan bagi saya. Saya mendapat hukuman menjadi petugas penurun bendera pada acara apel sore. Pada kegiatan itu, selain langkah tegap saya yang wagu dan jalan yang kebablasan (tidak pas dengan tiang bendera), saya –dan dua teman saya—hampir menjatuhkan bendera. Selama beberapa saat kami kesulitan melipat bendera itu hingga datanglah seorang pelatih untuk membantu. Itu semua terjadi di depan pembina upacara –yang kenal dengan saya-- yang mana saat itu saya sedang menaksir anak gadisnya yang cantik itu. #wakdesss
Ada ungkapan “Kesan pertama begitu menggoda”, maka dalam kasus saya yang berlaku adalah “Kesan pertama begitu memalukan”.
Sebagai seorang jomblo akhir zaman, saya memiliki pandangan bahwa: untuk mendapatkan gadis idaman, cara paling efektif dan efisian adalah dengan mengambil hati orangtuanya. #Yeah...
Saat itulah, dimulai “perseteruan batin” dalam diri saya. Saya yang tidak bisa apa-apa di Pramuka, mesti mengambil hati calon mertua yang seorang pengurus kwartir ranting dan pelatih pembina Pramuka. Betapa beratnya misi saya itu.
Lanjut...
Setelah mengikuti KMD saya sedikit lebih percaya diri dalam membina Pramuka. Sambil terus belajar, saya mengajarkan apa yang saya bisa kepada anggota Pramuka binaan saya. Saya belajar keterampilan kepramukaan secara otodidak. Mengambil sumber belajar dari buku dan internet.
Di sekolah saya dilaksanakan kemah Pramuka setahun sekali, biasanya di daerah Karanganyar, selama 3 hari 2 malam. Kegiatan kemah itu menyenangkan, saya suka berkegiatan di alam, di hutan. Kemah-kemah Pramuka itu membuat saya semakin nyaman di Pramuka. Nyaman? Kalau udah nyaman itu biasanya akan betah bertahan, iya nggak?
Beberapa kali, sekolah saya mengirim delegasi Pramuka untuk mengikuti lomba. Pada tahun 2016, saya membersamai dua regu mengikuti Kemah Bakti Dasa Darma (Kembadarma) di buper Borobudur, Magelang. Dalam kemah yang diadakan oleh Dewan Ambalan SMAIT Ihsanul Fikri, Magelang ini kami membawa pulang piala yang cukup banyak.
Lomba kemah yang kedua yaitu Kemah Ukhuwah Wilayah (Kemwil) Pramuka SIT se-Jawa Tengah di lapangan tembak Akmil, Magelang. Kemah selama 4 hari 3 malam ini diikuti oleh ribuan anggota Pramuka. Untuk tingkat SMP setidaknya ada 36 regu. Kemwil ini sangat menyenangkan dan berkesan. Dan sekolah kami pulang membawa piala juara umum.
Dalam kegiatan kemah Pramuka saya selalu terlibat. Dan lelahnya sungguh terasa. Tapi dalam rasa lelah itu ada kepuasan tatkala melihat anak didik bisa berkembang dan menunjukkan prestasi di Pramuka.
Kembali ke soal gadis cantik yang saya taksir itu, eh maksudnya kembali ke pembina upacara yang memiliki anak gadis yang cantik itu. Kita sebut saja namanya Pak A. Sebagai laki-laki yang baik saya harus menunjukkan kepada Pak A bahwa saya layak dijadikan menantu. Saya ikuti kegiatan-kegiatan Pramuka dan berharap suatu saat Pak A bisa melihat saya ketika menunjukkan prestasi, bukan saat terjadi tragedi seperti KMD dulu itu.
Ketika ada Kursus Mahir Lanjut (KML), saya pun ikut –lagi-lagi dengan biaya sepenuhnya dari sekolah. Sebagai pelatih pembina Pramuka, Pak A kemungkinan besar bakal menjadi peatih di KML ini. Saya mengikuti KML dengan baik, selamat sentausa tidak kurang satu apapun. Pada malam api unggun, saya ditunjuk menjadi pemimpin upacara api unggun. Betapa membanggakannya!
Suara saya terdengar lantang di lapangan meneriakkan aba-aba. Semestinya pada momen seperti ini Pak A melihat saya, tapi ternyata saat itu Pak A sedang tidak menjadi pelatih. Duh, sia-sia penampilan saya sebagai pemimpin upacara yang telah menguras habis suara.
Pada suatu kali, saya pernah satu mobil dengan Pak A. Di dalam mobil itu terjadilah percakapan. Salah satunya, Pak A mengatakan, “Nanti Mas Kris ikut KPD.”
“Iya, Pak,” jawab saya. Apapun akan saya lakukan demi anak bapak. Hehehe ...
Oya, KPD itu Kursur Pelatih Tingkat Dasar. Pelatihan bagi calon pelatih Pembina Pramuka yang dilaksanakan selama 10 hari. Saya bisa membayangkan beratnya pelatihan itu, tapi waktu itu saya iyain aja. Saya akan membuktikan bahwa pembina Pramuka adalah calon menantu idaman.
Semakin saya mengikuti kegiatan Pramuka, semakin saya memahami Pramuka, semakin saya merasa nyaman dengan
Awalnya saya memang tidak suka, merasa berat, dan merasa tidak mampu menjadi pembina Pramuka. Tapi, seperti pepatah: witing tresna jalaran saka kulina. ‘Cinta karena terbiasa’.
Demikianlah.
Ada cinta di Pramuka.
0 komentar:
Post a Comment