Menit pertama
Di sebuah halte yang di belakangnya terdapat selokan berisi sampah yang berbau busuk, duduk seorang ibu muda dengan gelisah. Wajah dan penampilannya menyiratkan bahwa ia adalah seorang wanita karir dan tentu jabatannya tidak rendah. Kukunya yang berhiaskan warna merah hati menandakan ia tidak suka berlama-lama di dapur. Dan bisa ditebak pasti siang tadi ia makan siang di restoran mewah.
Dengan sesekali melihat jam tangan yang berkilauan –sepertinya terbuat dari emas- wajahnya penuh ketegangan. Ada rasa amarah dalam kerutan-kerutan di dahinya.
“Nunggu siapa, Bu?” tanya tukang becak yang dari tadi nge-tem di samping halte.
“Nunggu suami,” jawabnya ketus.
“Kalau suaminya tidak datang, naik becak saja, Bu.” “Maaf, saya tidak terbiasa naik becak,” masih dengan nada ketus.
“Memangnya suaminya dari mana, Bu?” tanya seorang ibu muda yang duduk di sampingnya.
“Suami saya dari kantor. Saya terburu-buru, habis ini saya mau berangkat ke Bandung. Eh, suami saya belum sampai di sini. Padahal, janjinya dia akan sudah ada di sini sewaktu saya datang.”
“Iya, laki-laki memang begitu, Bu,” sahut ibu muda tadi, “sewaktu pacaran dulu aja nggak pernah pakai terlambat. Kalau sudah menikah, sukanya terlambat kalau menjemput.
Menit ketiga
Sekelompok pelajar SMA datang dari arah seberang jalan. Melihat para pelajar yang masih muda-muda mengingatkan ibu tadi pada masa remajanya dulu ketika wajahnya cantik dan kulitnya masih lembut. Sekarang kecantikannya sudah berkurang, meskipun ada beberapa laki-laki di kantor yang masih menyanjung kecantikannya. Terutama atasannya yang berkepala botak, setiap hari selalu saja ada bahan untuk pujian kepadanya. Dari wajahnya yang cantik, kulitnya yang putih, bajunya yang modis, sampai cara berjalan yang anggun. Dan setiap mendapat pujian seperti itu ia berpura-pura memperlihatkan raut wajah yang marah dan jengkel. Namun, hatinya senang mendengar pujian-pujian itu.
“Ke Bandung acara apa, Bu?” ibu yang duduk di sampingnya tadi bertanya.
“Saya ada meeting penting di Bandung. Ini saya harus segera ke bandara. Sungguh keterlaluan suami saya itu. Dia selalu saja membuat saya jengkel.
“Ditelepon saja, Bu.” “Saya sudah berusaha menelepon dan SMS. Nomornya tidak aktif. Huh, benar-benar keterlaluan.
Sekali lagi ia melihat jarum jam di tangannya.
Menit kelima
Sebuah mobil kelas atas meluncur kemudian perlahan-lahan berhenti di depan halte. Seorang laki-laki paruh baya duduk di belakang setir itu. Pikirannya resah dan gelisah. Ia baru sadar HP-nya tertinggal di kamar hotel. Bagaimana kalau istri saya menelepon ke HP saya. Semoga saja si Vita mematikan HP saya. Pikir laki-laki itu. Dialah suami ibu muda yang menunggu di halte.
Ia turun dari mobil disambut dengan hujaman kata-kata kemarahan dari ibu tadi.
“Kamu ini bagaimana, sih? Aku sudah tergesa-gesa ke bandara tapi kamu terlambat.”
“Maaf, sayang. Aku tadi ada meeting penting di kantor.”
“Kamu memang tidak pernah mementingkan aku,” kata sang istri dengan keras.
“Kamu jangan menyalahkan aku begitu, dong. Aku tadi sudah ngebut untuk ke sini.”
“HP kamu kenapa tidak kamu aktifin juga?”
“HP saya sedang rusak, lagi saya servis di counter.”
“Kamu ini memang selalu begitu. Membuatku kesal.”
“Kamu jangan begitu, Ma. Aku sudah berkorban untuk datang ke sini. Padahal masih ada meeting penting di kantor."
Pertengkaran itu terjadi mengiringi angin lalu lalang kendaraan di jalan.
Tukang becak yang melihat prahara rumah tangga itu hanya bisa tersenyum. Begitu juga seorang ibu yang duduk di halte, sedikit tersenyum dan menganggapnya sebagai hal yang biasa sebagaimana sering dialaminya dengan suaminya.
Menit keenam
“Sudahlah, kamu memang selalu mengabaikan aku, Pa. Jangan-jangan kamu punya wanita lain, ya?”
“Kenapa Mama bisa bilang begitu. Mama jangan menuduh sembarangan.”
Laki-laki itu jadi terpancing emosinya. Suara keras dibalas dengan suara yang lebih keras lagi.
“Ya, sudahlah kalau Mama memang marah-marah terus. Papa akan pergi kalau begitu. Mama memang tidak menghargai pengorbanan Papa.”
”Pergi saja sana. Papa memang tidak bisa diharapkan.”
Dengan wajah kaku dan tertekuk karena menahan marah, laki-laki itu membuka pintu mobil, kemudian masuk ke dalamnya dan menutupnya dengan keras.
“Dasar wanita,” katanya.
Kemudian meluncurlah mobil kelas atas itu semakin lama semakin cepat meninggalkan seorang ibu muda di halte.
“Dasar laki-laki,” kata ibu muda itu.
Kini ia malah bingung. Sekarang siapa yang akan mengantarkannya ke bandara. Ah, ia jadi ingat dengan seseorang yang pasti mau mengantarnya.
Ia tekan nomor telepon kemudian beberapa saat terdengar suara dari seberang, “Selamat siang, cantik. Ada apa menelepon saya?”
“Begini, Pak. Saya terburu mau ke bandara. Kalau tidak keberatan, bisakah Bapak mengantar saya ke bandara sekarang?”
“Oh, pasti bisa. Saya akan siap mengantar kamu kapan saja. Sekarang saya jemput kamu di mana?”
“Saya di halte seberang kantor, Pak.”
Menit ketujuh
Datanglah mobil yang kelasnya lebih atas lagi dari mobil sang suami tadi, berhenti di depan halte. Pintu terbuka, keluarlah seorang pria botak dengan membawa senyum nakal di wajahnya.
* Sukoharjo, 6 Desember 2012
Ceritanya menarik. Saya suka.
ReplyDeleteLam kenal.
terima kasih atas apresiasinya
Delete