Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Saturday, October 17, 2015

Saya Guru, dan Saya Jomblo


Saya Sukrisno Santoso --biasa di panggil Pak Kris-- guru Bahasa Indonesia di sebuah SMP di Kabupaten Sukoharjo.

Dan saya JOMBLO. Yakin, deh. Percayalah! Jomblo Ori. Nggak KW-KW-an.
Mengapa saya harus memproklamasikan diri sebagai jomblo di awal obrolan ini? Agar tidak ada yang bertanya. Saya mah kreatif, sebelum ditanya, memberi jawaban dulu. #Yeah...

Karena begini pembaca sebangsa dan setanah air, kerap kali saya mendapat pertanyaan, “Sudah berkeluarga belum?” saat berada di forum guru – orang tua siswa, forum pertemuan guru-guru, forum pelatihan. Atau saat bertemu dengan orang baru, misalnya di taman, di toko buku, di lapangan, atau di tempat walimahan. #Walimahan? Ugh!

Usia saya saat ini ** tahun (sencored). Saya belum menikah bukannya tidak laku, hanya saja belum ada yang mau. Eh, sama saja, yak?!

Oke, kita kembali fokus ke pembicaraan tentang hubungan kita posisi saya sebagai guru. Sebagai guru, saya menghadapi banyak murid, tepatnya 109 murid --saat ini. Saya tidak mempunyai anak kandung --kan saya jomblo high quality : D -- sehingga saya tidak memiliki bekal atau keterampilan mendidik anak yang bisa saya terapkan terhadap murid-murid saya di sekolah. Di situlah saya harus banyak belajar bagaimana mendidik anak.

Kamu tahu, kan, bagaimana tingkah anak-anak yang memasuki masa remaja. Tingkahnya banyak yang menjengkelkan nan memancing emosi. Ada tuh yang suka mukul-mukul meja. Ditegur, gantian temannya yang mukul meja. Ditegur lagi, gantian teman yang lain. Di situlah saya belajar bersabar.

Saya sudah menjelaskan panjang kali lebar materinya, kemudian memberi tugas. Ada yang bertanya,”Tadi tugasnya apa, Pak?” Saya jelaskan kembali. Setelah selesai, ada yang bertanya lagi, “Bagaimana, Pak? Saya belum paham tugasnya?” Lagi-lagi saya jelaskan. “Oh, begitu! Terus tugasnya diapakan, Pak?” Arrrgggg.... Saya pun marah kemudian berubah menjadi besar dan berwarna hijau mengucap istighfar, kemudian menjelaskan kembali. Sabar... sabar... jadi guru harus sabar, hibur saya dalam hati.

Banyak murid yang mempunyai masalah dengan temannya. Saling olok, saling pukul, ujung-ujungnya marahan, terus nangis, terus lari-lari keliling lapangan tujuh kali, terus ngambek tidak mau masuk sekolah. Di situ saya belajar bagaimana berkomunikasi dengan dua belah pihak yang sedang perang dingin dan berusaha mendamaikan sengketa.

Ada tuh, disuruh baris-berbaris malah pada bercanda saja. Diberi aba-aba “Siap, grak!” malah masih ngobrol aja. Waktu shalat, disuruh berwudlu, jawabannya sih “Iya, Pak!”, tapi masih dengan tenang duduk-duduk --pura-pura membersihkan sepatu. Di situlah saya belajar untuk tegas.

Ada pula beberapa murid yang berlaku tak sopan, melakukan kesalahan, melanggar tata tertib. Di situ saya belajar bagaimana menegur dan menasehati anak dengan bahasa kasih. Ciee...bahasa kasih....

Dari interaksi selama ini dengan anak-anak yang menginjak remaja itu, saya berpandangan bahwa sebagian dari diri mereka masih belum lepas dari karakter anak-anak –yang suka bermain, berteriak, berlarian, naik ke meja, bermain perang-perangan. Saya maklumi segala “kenakalan” mereka. Saya percaya, seiring waktu berjalan, kedewasaan akan tumbuh dalam diri mereka.

Proses pembelajaran di sekolah itu tidak melulu materi pelajaran dan ujian. Ada banyak pelajaran hidup yang bisa di petik di ladang sekolah. Dan, tak hanya murid yang mengambil pelajaran dari gurunya, guru pun bisa banyak mengambil pelajaran dari murid-muridnya.

Saya banyak mengambil pelajaran dari murid-murid saya. Saya belajar mendidik mereka, berusaha mematangkan diri sendiri, agar pantas jadi pendamping kamu, iya kamu jadi seorang ayah dan pendidik yang berkualitas. Iya, saya belajar menjadi “ayah” bagi murid-murid saya. Jadi, meskipun jomblo, saya memiliki sedikit pengetahuan dan keterampilan mendidik anak, hasil dari interaksi saya selama ini dengan murid-murid saya.#Yeah, ganbate!

Sukoharjo, 17 Oktober 2015

0 komentar:

Post a Comment