Menu makan siang |
Radang tenggorokan menjadi semacam rindu yang menghampiriku, lalu singgah di tubuhku beberapa hari. Apalagi cuaca pada akhir-akhir ini yang siangnya sungguh panas dan sore sering hujan. Dan aku suka minum es.
Maka pada pagi yang mendung itu badanku lemas, tenggorokanku sakit. Tanpa periksa ke dokter, aku sudah mendiagnosis diriku sendiri bahwa aku menderita sakit radang tenggorokan. Keren, kan, bisa tahu penyakit sendiri.
Seharian itu, aku tak bisa bersuara. Sakit sekali tenggorokan untuk mengeluarkan kata. Juga untuk menelan makanan. Jadilah, aku seharian hanya tiduran di sofa, sesekali membuka handphone. Namun, buku yang kuambil dan kusiapkan di atas meja tak jua kujamah karena badan terlalu lemah dan malas untuk membaca.
Di saat-saat seperti itu aku baru merasa kesepian, kesendirian. Tentu menyenangkan jika ada seseorang yang bisa menghibur, menemani, menyuapkan makanan, dan memaksakan obat untuk kuminum. Tapi, tidak ada “seseorang” itu.
Aku ingat, aku kan jomblo. Hehe....
Di situlah aku benar-benar merasa jomblo.
Inilah salah satu susahnya menjadi jomblo. Sepi, sendiri, dimakan sunyi. Halah, apaan sih. Kita –kita? aku saja mungkin—baru menyadari sebenar-benarnya kondisi kita setelah kita merasa tidak nyaman atas kondisi tersebut. Selama ini aku happy-happy aja dengan status jomblo akhir zaman yang super ngehits di kalangan fans, tapi saat kondisi sakit seperti itu aku baru merasa memang beginilah nasib jomblo.
Tapi begini, wahai rakyat Indonesia yang berdaulat, selalu ada hikmah dan pelajaran dari setiap hal yang menimpa kita. Saat menderita sakit itu aku bisa merasakan kembali betapa sungguh kasih sayang dan perhatian orangtua kepada anaknya.
“Minum obat,” kata Bapak.
“Beliin obat radang tenggorokan di apotek, Pak,” pintaku dengan nada memelas, tentu dengan suara yang lirih hampir tak terdengar karena betapa sakitnya tenggorokan untuk berbicara.
Segera saja Bapak pergi ke pasar dengan sepeda onthel tuanya –sepeda onthel yang sesekali ingin kupakai pergi berangkat kerja karena terlihat tua dan bagus—untuk membelikan obat.
Jadilah, pagi itu aku sarapan segelas susu hangat –buatan sendiri—dan dua potong roti dengan taburan tiga butir obat. Keren, kan.
Agak siang ibu bertanya, “Mau makan apa? Mau dimasakin telor?”
Ah, telor goreng, nanti tambah sakit. “Pengin bakso kataku,” kataku.
Tak berapa lama, semangkok bakso panas pun terhidang di atas meja. Ya ampun, orangtuaku sayang banget sama aku, kan.
Waktuku memang jarang kuhabiskan di rumah. Aku bekerja berangkat pagi pulang sore. Terkadang sore masih melanjutkan kerja sambilan, kadang sampai malam.
Jadi, hikmah dari sakit yang kuderita setidaknya aku bisa lebih lama berada di rumah –meski cuma bisa terkapar di kursi. Dan di situlah, orangtua bisa menyalurkan kasih sayangnya. Aku yakin, segede apapun seorang anak, orangtua tetaplah orangtua yang selalu ingin meluapkan kasih sayang kepada anaknya. Bahkan, hingga seorang anak itu sudah memiliki istri dan anak pula, orangtua tetaplah ingin memberikan kasih sayang yang sama.
Tadi saat berangkat, aku sempatkan berhenti di pinggir jalan dan memotret pagi yang berkabut ini. |
Bisa kita dapati, ada seorang lelaki yang sudah beristri dan beranak, ketika mengunjungi orangtuanya, ia menjadi “manja” atau dipaksa “manja”. Misalnya, bapak-ibunya menyediakan makan untuknya, menyiapkan keperluannya. Termasuk kepada cucu-cucunya, bapak-ibu itu juga akan melimpahkan kasih sayang yang luar biasa besarnya.
Amarah yang ditunjukkan oleh orangtua pun adalah bentuk kasih sayang. Sewaktu remaja dulu, aku sering dimarahi oleh Bapak dan Ibu saat pulang sekolah nekat menerobos hujan. “Kalau hujan, ngiyup dulu,” begitu wanti-wanti Ibu. Sekarang pun tak beda jauh. Jika lupa tak membawa mantol, dan aku pulang dengan basah kuyup, serta merta Bapak-Ibu akan menceramahi agar aku selalu ingat untuk membawa mantol. Terkadang saat pagi ,setelah dijemur, mantol dilipat dan disiapkan untukku. “Jangan lupa bawa mantol. Musim hujan begini harus selalu bawa mantol,” begitu wejangan Bapak.
Eh, kok jadi mellow begini ya. Ah, itu suara kereta api lewat. Tandanya aku harus bergegas mandi lalu bersiap-siap berangkat kerja, meski kondisiku belum sepenuhnya sehat. Radang tenggorokanku sudah sembuh sih, tapi gejala sakitnya seperti pilek, demam, dan batuk masih setia menemaniku. Obat yang dibelikan Bapak di apotek itu memang manjur buat mengobati sakitku. Tapi, Bapak, bisa nggak sekalian nyariin obat buat mengobati kesendirianku? Eh.
***
Sukoharjo, 26 Februari 2016
Ditulis saat pagi hari, yang sebenarnya malas mandi, tapi tetap harus mandi karena harus berangkat pagi buat mencari rezeki biar apa? biar bisa beli cilok, sisanya ditabung biar bisa beli mahar buat kamu. Ahai......
Ah, lupakan tulisan nggak jelas ini. Katanya orang sakit itu suka mengigau.
Oya, sarapan pagiku hari ialah bubur beras lauknya terik tahu dan telur dengan taburan tiga butir obat. Sepertinya yummy. Mau?
0 komentar:
Post a Comment