Novel Rindu Karya Tere Liye |
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika Penerbit
Tahun Terbit: 2014
Jumlah halaman: 544 halaman
***
Rindu, sebuah novel tentang perjalanan. Perjalanan raga, juga perjalanan batin.
Sejumlah calon jamaah haji melakukan perjalanan laut menuju tanah suci. Mereka naik kapal Blitar Holland, sebuah kapal uap yang terkenal.
Di dalam kapal itu terjadilah interaksi antarpenumpangnya. Ada Gurutta Ahmad Karaeng yang ahli agama dan bijaksana. Ada Daeng Andipati, seorang pengusaha, yang membawa serta istri dan kedua anaknya yang bertingkah lucu dan menggemaskan, Anna dan Elsa. Ada Ambo Uleng, seorang pemuda murung yang patah hati dan menjadi kelasi kapal hanya agar bisa "melarikan diri" dari kesedihannya.
Dalam pelayaran yang panjang itu, setiap orang membawa perang batin sendiri-sendiri. Mereka memendam konflik batin yang berkepanjangan. Pada akhirnya, semua akan terurai seiring melajunya kapal membelah lautan.
Berikut ini beberapa kutipan dari novel Rindu karya Tere Liye.
"Izinkan aku menyampaikan rasa simpati yang mendalam atas kehidupanmu yang keras dan menyesakkan. Tidak semua orang sanggup menjalaninya. Maka saat itu ditakdirkan kepada kita, insya Allah karena kita mampu memikulnya."
"Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia."
(hal. 312)
"Maka ketahuilah, Nak, saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain."
(hal. 313)
Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa pun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita.sendiri.
(hal. 313)
Kita tidak perlu membuktikan apapun kepada siapa pun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena, toh, kalaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang sebaik itu.
(hal. 313-314)
Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin.
(hal. 315)
Lihatlah kemari, wahai gelap malam. Lihatlah seorang yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaan sendiri.
Lihatlah kemari, wahai lautan luas. Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi dia tidak pernah bisa bijak untuk dirinya sendiri.
(hal. 315)
Hidup ini akan rumit sekali jika kita sibuk membahas hal yang seandainya begini, seandainya begitu.
(hal. 331)
"Untukmu, dalam situasi pagi ini mungkin kebahagiaan itu adalah berhenti membahas seandainya begini, seandainya begitu. Maka bahagia sudahlah kau."
(hal 332)
"Selalu menyakitkan saat kita membenci sesuatu. Apalagi jika itu ternyata membenci orang yang seharusnya kita sayangi."
(hal. 372)
"Pikirkan dalam-dalam, kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal, kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan membencinya. Toh, itu hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengatur-aturnya. Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang lain, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri."
(hal. 373)
"Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya, Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati."
(hal. 374)
Buku ini sangat bagus.. rekomendasi dong kira2 buku apalagi yg bagus..
ReplyDeleteBuku ini sangat bagus.. rekomendasi dong kira2 buku apalagi yg bagus..
ReplyDelete