Chuck Noland nekat berlayar dengan perahu yang hanya terbuat dari beberapa batang kayu yang diikat dengan tali dari kulit pohon. Bersama Wilson, ia bertekad meninggalkan pulau tempatnya terdampar selama 4 tahun. Di tengah perjalanan, saat terasa kepayahan yang luar biasa, Wilson, teman satu-satunya jatuh ke dalam air dan mengapung menjauh.
Chuck yang menyadari Wilson tidak berada di tempatnya, mencari-cari dan segera menemukan Wilson sudah berada jauh dari jangkauannya. Ia berenang menuju Wilson, tapi tali yang diikatkannya ke perahu tak cukup panjang. Chuck memanggil-manggil Wilson. Suaranya ditingkahi suara ombak dan tangisnya yang pecah kemudian. Akhirnya, Chuck kembali ke perahu, terlentang dan menangis sesenggukan sambil berulangkali mengucapkan, "Maafkan aku." Serasa dalam kepedihan Chuck karena ditinggalkan oleh Wilson yang telah menemaninya selama 4 tahun di pulau terpencil.
Adegan di atas terdapat dalam film Cast Away. Chuck Noland diperankan Tom Hanks, sedangkan Wilson diperankan oleh...sebuah bola voli. Iya, Wilson adalah bola voli yang digambari wajah oleh Chuck. Karena merasa kesepian, Chuck menjadikan sebuah bola voli sebagai teman. Ia berbincang dengannya, berunding, bahkan berdebat. Tentu yang terdengar hanya suara Chuck. Saat Wilson jatuh ke laut dan menjauh dari jangkauannya, Chuck merasa sangat kehilangan.
Demikianlah tentang kehilangan.
Adegan film di atas mengingatkan saya tentang dua nama wanita yang saya ajak berbincang-bincang selama beberapa malam, sekira sepuluh tahun silam. Jangan salah, dua nama wanita itu bukan milik seseorang, tapi miilk sesuatu. Dua nama wanita itu adalah nama dua unit mesin yang selama berbulan-bulan (mungkin lebih dari setahun) menjadi partner saya dalam bekerja.
Mesin-mesin itu menemani saya, pagi, siang, juga malam hingga pagi lagi saat saya mendapat jatah sift malam. Mesin itu saya rawat, saya lap, saya bersihkan setiap hari --karena memang demikianlah prosedur pemakaiannya. Mesin-mesin itu tak jarang menjengkelkan ketika macet, dan kadang saya menendangnya dengan sepatu safety saya yang keras. Tentu saja, mesin-mesin itu bergeming.
Di akhir masa kontrak kerja, saya merasa ada sesuatu yang hilang. Ada kepedihan ketika mesin-mesin yang saya operasikan setiap hari tidak akan lagi bisa saya lihat. Sebelumnya saya tidak memberi nama mesin-mesin itu. Beberapa hari terakhir sebelum kepergian saya, barulah mereka saya beri nama. Tak hanya itu, saya pun berbincang dengan kedua "wanita" itu. Tentu saja, keduanya tak menjawab.
Jika Chuck memberi "nyawa" pada sebuah bola voli, saya melakukannya pada dua mesin produksi. Bola voli dan mesin hanyalah sebuah benda mati. Tapi, karena Chuck maupun saya memberikan hati dan perasaan kepada mereka, jadilah mereka menjadi sesuatu yang berharga. Dan ketika mereka pergi, pergi pula secuil hati milik Chuck dan saya.
Demikianlah. Kehilangan tak semata karena sesuatu itu asalnya berharga. Kita yang menjadikan sesuatu itu berharga. Kita yang menjadikan sesuatu menjadi bagian dari hidup kita. Kita merasa kehilangan karena kita merasa memiliki.
Bisa pula dipersamakan dengan harta dan kekuasaan. Harta dan kekuasaan adalah sesuatu yang netral. Tapi, bagi seseorang yang telah memasukkan harta dan kekuasan itu ke dalam hatinya, ketika keduanya hilang atau terenggut dari kita, pedihlah rasanya.
Pun demikian dengan seseorang. Seseorang itu hanyalah orang lain kecuali kita menjadikan ia bagian dari kita. Kita menjadikan ia milik kita. Dan sebaliknya, ia memiliki diri kita. Kita memberikan hati dan perasaan kepadanya. Hingga, ketika ia pergi dari kehidupan kita, rasa kehilangan yang sangat akan melanda diri kita. Kita merasa hati kita dibawanya pergi juga.
Demikianlah tentang kehilangan.
(Sukoharjo, 2 April 2017)
0 komentar:
Post a Comment