Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Monday, March 11, 2013

Orang Miskin Boleh Kuliah

Tingginya biaya kuliah membuat sebagian orang saja yang mampu mencicipinya. Tapi orang miskin boleh kuliah kalau ia mau berjuang dengan sungguh-sungguh

Aku tidak pernah memimpikan untuk kuliah. Aku berasal dari keluarga miskin. Hidup di Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo yang sebagian besar wilayahnya berupa tanah pertanian. Sebagian besar penduduk di kampungku adalah petani. Termasuk kedua orang tuaku.

Kakekku adalah seorang petani yang mempunyai beberapa petak sawah, sedangkan orang tuaku tidak mempunyai sepetak sawah pun. Baru di kemudian hari kakekku mewariskan tanah sawahnya kepada ahli warisnya, termasuk ayahku. Selain membantu mengerjakan sawah kakekku, orang tuaku juga menggarap sawah dengan sistem beli kontrak. Biasanya beli kontrak satu tahun atau beberapa tahun dari orang yang mempunyai sawah yang luas. Tentu penghasilan dari menggarap sawah beli kontrak lebih rendah jika dibandingkan menggarap sawah sendiri.

Biaya di SD tidak terlalu besar sehingga tidak membebani orang tuaku. Sewaktu SD aku termasuk siswa yang pintar. Sering menduduki peringkat satu di kelas. Namun, tidak ada beasiswa untuk prestasi itu. Barulah ketika EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) –sekarang namanya Ujian Nasional– pihak sekolah memberikan hadiah kepadaku berupa beberapa perlengkapan sekolah karena nilai EBTA-ku menduduki peringkat keempat di sekolah.

Aku dari keluarga miskin. Dahulu aku pernah meminta dibelikan sepeda saat masuk SMP. Namun, hal itu tidak pernah dikabulkan oleh orang tuaku. Aku pun harus rela memakai sepeda kakakku yang pernah dipakainya sekolah dulu. Biaya di SMP lebih besar daripada di SD dulu sehingga ayahku pernah datang ke sekolah untuk meminta keringanan dari pihak sekolah. Ayahku mengajukan beasiswa agar tidak terlalu berat membiayai sekolahku. Namun, sepertinya aku tidak berjodoh dengan yang namanya beasiswa. Dengan segala jerih payah, akhirnya orang tuaku pun bisa meluluskan aku.

Sebenarnya sewaktu di SMP prestasi akademikku agak menonjol. Meskipun tidak bisa menduduki peringkat tiga besar, teman-temanku banyak yang meminta bantuan kepadaku jika ada kesulitan memahami pelajaran. Bahkan, saat ujian pun aku menjadi tumpuan harapan bagi mereka. Mungkin karena baik hati dan tidak sombong serta suka menabung (hehe…) sehingga aku mau membantu mereka.

Saat itu aku tidak menganggap penting sebuah nilai. Apalah arti peringkat akademik. Apalah arti angka-angka di raport. Angka yang tinggi dan peringkat tiga besar pun kita tetap membayar biaya sekolah yang sama. Maka, kegairahanku terhadap kegiatan belajar di sekolah mulai berkurang.

Aku mulai berani beralasan sakit agar tidak mengikuti suatu pelajaran yang membosankan. Aku mulai berani membolos. Saat malas berangkat sekolah, aku membolos. Saat pelajarannya sulit dan aku tidak suka mengikutinya, aku membolos. Saat bangun kesiangan, aku membolos. Saat tidak mau mengikuti upacara hari Senin, aku membolos. Rata-rata aku membolos satu minggu sekali. Meskipun begitu, peringkat akademik di kelas aku tetap menduduki sepuluh besar. Dan teman-temanku tetap mengandalkanku saat ada PR atau saat ujian.

Aku adalah orang yang malas belajar di sekolah. Perasaan malas belajar itu sudah berada pada titik didihnya. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan belajar di sekolah. Setelah lulus SMP, tanpa berpikir panjang aku pun melabuhkan langkahku di SMK. Memang ada pilihan untuk masuk ke SMA. Namun, dengan masuk SMA tentu setidaknya aku harus melanjutkan kuliah. Bukankah sulit mencari pekerjaan dengan bermodalkan ijazah SMA.

Aku sadar diri dengan kondisi ekonomi keluargaku. Aku tidak akan kuliah. Lagi pula, aku sudah tidak betah berlama-lama duduk di bangku belajar. SMK adalah pilihan yang tepat. Setelah lulus SMK aku bisa langsung bekerja. Setidaknya lulusan SMK lebih mudah mendapatkan pekerjaan daripada lulusan SMA.

Meskipun saat SMK kebiasaan membolosku sudah berkurang, aku masih saja malas belajar. Untungnya, di SMK pelajaran praktek mempunyai porsi yang besar sehingga aku tidak terlalu dibosankan dengan pelajaran teori di dalam kelas. Prestasi akademikku pun tidak terlalu mengecewakan. Sekali lagi, aku memang tidak menduduki peringkat tiga besar, namun banyak teman-temanku yang mengharapkan uluran tanganku saat ada PR atau saat ujian.

Saat itu aku baru menyadari bahwa dengan nilai raport yang bagus dan menjadi peringkat satu di kelas bisa mendatangkan keuntungan. Teman-temanku yang pintar mendapat beasiswa dari sekolah. Aku sendiri tahu sebagian dari mereka termasuk dari keluarga yang mampu. Mereka mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Sebenarnya aku juga ingin mendapatkan beasiswa, namun kesadaranku untuk hal itu sudah terlambat karena sudah kelas tiga dan mendekati Ujian Nasinal.

Suatu pagi saat matahari hendak beranjak naik, aku datang ke kantor piket untuk meminta surat ijin tidak mengikuti pelajaran karena sakit. Aku sedang tidak benar-benar sakit, hanya pura-pura sakit agar aku bisa pulang karena aku merasa malas sekali waktu itu. Aku ingat waktu itu pelajaran Fisika. Salah satu pelajaran yang menjadi musuh bebuyutanku. Saat SMP aku juga pernah pura-pura sakit sehingga minta ijin istirahat di UKS sewaktu pelajaran Fisika.

Aku mendatangi kantor piket dan mengajukan ijin untuk tidak mengikuti pelajaran. Namun, sepertinya aku tidak pandai berakting sebagai orang sakit. Yang menulis surat ijin di kantor piket saat itu adalah seorang guru wanita. Dia tidak percaya kalau aku sakit –aku memang tidak sakit, kan. Ia pun menasehatiku habis-habisan tentang kedisiplinan, pentingnya rajin belajar, dan bla bla bla. Rasanya pedas sekali dan menohok ke dalam hati.

Guru piket itu mengatakan bahwa dalam dunia kerja itu yang dibutuhkan adalah kedisiplinan. Begitu juga di sekolah. Aku tidak akan menjadi orang pandai kalau tidak disiplin dan tidak rajin belajar. Bahkan, mungkin saja aku tidak akan lulus Ujian Nasional kalau sikapku masih seperti itu. Dicerca habis-habisan seperti itu aku berteriak akan kubuktikan bahwa aku bisa lulus Ujian Nasional dengan nilai terbaik. Tentu teriakan itu hanya bergema dalam hatiku saja.

Setelah selesai memberi wejangan yang pedas kepadaku, guru piket itu pun menulis surat ijin dan memberikannya kepadaku. Meminta surat ijin saja mesti melewati hal seperti itu. Saat aku berikan surat ijin kepada guru Fisika –saat itu guru Fisikanya seorang wanita yang masih agak muda– guru itupun menyindirku dengan kata-kata, “Orang sakit kok wajahnya tetap cerah begitu”. Sekali lagi, aku tidak pandai berakting. Namun, tetap saja aku diperbolehkan pulang.

Begitulah kondisiku sewaktu SMK. Tekadku untuk lulus Ujian Nasional dengan nilai terbaik tetap membara. Saat mendekati Ujian Nasional, aku pun belajar sungguh-sungguh. Lalu Ujian Nasional aku lewati dengan lancar. Biasa-biasa saja. Beberapa hari setelah Ujian Nasional aku bersama teman-temanku langsung berangkat ke Bekasi untuk bekerja di sebuah perusahaan besar. Jadi, aku tidak tahu dengan hasil Ujian Nasional. Bisa dibilang, aku sudah mulai bekerja meski belum lulus dari SMK.

Saat itu aku sedang mengoperasikan sebuah mesin di departemen tempatku bekerja sewaktu nilai Ujian Nasional diumumkan. Jadi, aku tidak tahu siapa yang lulus, siapa yang tidak lulus, siapa mendapat nilai berapa, dan berapa nilaiku. Baru di hari setelahnya seorang temanku memberikan kabar bahwa aku menduduki peringkat kedua di sekolah. Dan satu hal lagi, aku mendapat nilai 10 untuk pelajaran Matematika. Siswa yang mendapat peringkat sepuluh besar dan siswa yang mendapat nilai 10 dipanggil maju saat acara Perpisahan. Hadiahnya berupa beberapa peralatan sekolah dan uang pembayaran SPP selama tiga tahun dikembalikan serta dikalungkan selembar selendang.

Semua itu diceritakan oleh temanku. Saat itu aku beberapa bulan kerja di perusahaan sehingga tidak menghadiri acara Perpisahan. Juga tidak bisa tampil maju untuk diberikan penghargaan. Aku membayangkan tentu orang tuaku sangat bangga jika mereka dan aku bisa hadir dalam acara itu. Aku juga tidak bisa mengambil ijazah. Baru setahun kemudian aku pulang kampung dan mengambil ijazah di sekolah. Soal pengembalian uang SPP selama tiga tahun tadi, aku meminta temanku untuk mengurusnya dan memberikannya kepada orang tuaku.

Dua tahun aku bekerja di perusahaan. Kemudian pulang kampung dan mendirikan toko perlengkapan sekolah di daerahku. Saat itu kondisi ekonomi keluargaku masih di bawah angka kesejahteraan. Maka, orang tuaku merasa kaget saat aku mengatakan bahwa aku akan kuliah. Tentu pikiran mereka bertanya-tanya, dari mana biayanya.

Aku jelaskan bahwa untuk uang masuk kuliah, aku akan menjual sepeda motorku yang dulu aku beli dari hasil kerjaku. Untuk uang SPP nanti akan diusahakan bersama-sama. Untuk uang kebutuhan sehari-hari aku berjanji tidak akan meminta kepada orang tua. Kalau dihitung-hitung kebutuhan sehari-hari untuk kuliah itu juga besar. Seperti untuk membeli kertas atau untuk print tugas. Juga untuk biaya transportasi sehari-hari, untuk iuran kalau ada tugas, dan lain-lain.

Pada awal-awal kuliah memang terasa berat. Rasa-rasanya aku tidak ditakdirkan untuk bisa menyelesaikan kuliah. SPP yang besar membuat aku dan keluargaku kewalahan. Beberapa kali aku meminjam uang kepada temanku untuk membayar kuliah. Rasanya aku tidak bisa melanjutkan lagi. Biaya kuliah terlalu besar bagiku dan keluargaku.

Sebenarnya pada semester tiga aku pernah mengajukan beasiswa PPA. Beasiswa PPA adalah beasiswa untuk mahasiswa berprestasi. Aku sangat mengharapkan untuk mendapatkannya. Nilai IP-ku semester 1 yaitu 3,8 (lumayan tinggi, kan). Aku juga aktif di organisasi kampus. Dengan bekal itu seharusnya aku bisa mendapatkan beasiswa. Namun, saat pengumuman penerima beasiswa PPA ditempelkan, namaku tidak tercantum di sana. Kecewa.

Hatiku menyimpan keheranan mengapa aku tidak mendapatkan beasiswa. Dengan nilai IP setinggi itu mestinya aku termasuk mahasiswa yang mendapatkan beasiswa itu karena beasiswa PPA memang diperuntukkan untuk mahasiswa dengan prestasi akademik yang baik. Aku bertambah heran ketika mengetahui bahwa temanku yang nilai IP-nya lebih rendah dariku malah mendapatkan beasiswa. Saat itu aku merasa hal itu tidak adil.

Saat semester lima aku kembali mengajukan beasiswa. Kali ini beasiswa BBM. Aku sudah kecewa dengan beasiswa PPA sehingga aku beralih ke beasiswa BBM. Beasiswa BBM diperuntukkan untuk mahasiswa yang keluarganya tidak mampu secara ekonomi. Seharusnya aku pantas mendapatkan beasiswa ini. Aku sangat membutuhkannya. Apalagi saat itu panen padi tidak terlalu bisa diharapkan karena ada serangan hama sehingga banyak petani yang merugi, termasuk orang tuaku.

Aku menunggu pengumuman beasiswa BBM dengan harap-harap cemas. Aku harus mendapatkannya. Aku dan keluargaku sudah tidak kuat lagi menanggung biaya kuliah. Aku harus merasa kecewa lagi saat membaca pengumuman para penerima beasiswa. Namaku tidak ada. Kecewa lagi.

Yang membuatku semakin bertambah kecewa yaitu ada teman-temanku yang aku tahu bahwa keluarga mereka mampu, tetapi mereka mendapatkan beasiswa. Bahkan, ada yang orang tuanya PNS, tapi mahasiswa itu mendapatkan beasiswa. Kembali aku merasa tidak mempunyai alasan untuk semangat belajar di bangku kuliah.

Perasaan kecewa itu tidak bertahan lama. Aku berusaha untuk bersikap lapang dada dan berpikiran jernih. Tidak sepantasnya aku berprasangka buruk terhadap sistem penyeleksian beasiswa. Bukankah takdir manusia itu sudah ditentukan. Bukankah rezeki manusia itu sudah tertulis. Orang-orang yang mendapatkan beasiswa itu adalah takdir mereka untuk mendapatkannya. Dan mungkin saja aku tidak mengetahui kriteria penentuan penerima beasiswa. Bukankah sudah menjadi hak panitia penyeleksi untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkannya. Aku pun mulai tenang. Aku mulai tidak mengharapkan beasiswa lagi.

Inilah jalan yang ditunjukkan kepadaku. Meskipun terasa berat, jalan ini aku lalui selangkah demi selangkah. Ketiadaan beasiswa membuat beban kuliah semakin berat. Apalagi orang tuaku juga mengatakan bahwa panen padi sudah tidak bisa diharapkan lagi karena serangan hama semakin merajalela.

Dalam sebuah kesulitan selalu ada beberapa kemudahan. Jika saat itu aku menyerah mungkin saja aku tidak akan pernah bisa menyelesaikan kuliahku. Namun, aku sudah bertekad untuk berjuang. Aku tidak akan mengandalkan orang tuaku. Aku tidak akan mengandalkan bantuan orang lain. Aku tidak akan mengandalkan beasiswa. Aku akan mengandalkan diriku sendiri.

Aku mulai semakin bersemangat dalam mencari rezeki. Aku menjual buku, menjual, menjual pulsa, menjual makanan kecil. Saat itu aku sudah menutup toko perlengkapan sekolah milikku karena aku tidak mempunyai waktu untuk mengelolanya. Hasilnya pun juga tidak terlalu besar. Lalu aku pun mulai merintis usaha percetakan dengan nama AUF DESAIN.

Inilah jalan yang ditunjukkan kepadaku. Aku mulai mulai menapaki jalan bersama AUF DESAIN. Dengan menerima orderan berupa cetak pamflet, sertifikat, stiker, bloknote, undangan pernikahan, dan lainnya, aku mengais rezeki sedikit demi sedikit. Ketidakmampuan dalam ekonomi mendorongku untuk semakin kukuh dalam berjuang untuk mendapatkan rezeki agar aku bisa menyelesaikan kuliah.

Selangkah demi selangkah akhirnya aku berhasil menapaki sisa semester yang harus aku tempuh. Hingga akhirnya penyusunan skripsi dan pendaftaran wisuda. Aku melangkah dan melihat ke belakang. Inilah jalanku. Inilah kehidupanku. Maka aku bersyukur kepada Tuhan atas karunia-Nya.

Aku orang miskin. Aku bisa kuliah.
Orang miskin boleh kuliah.


*Sukoharjo, 11 Maret 2013




Saturday, March 2, 2013

Duka Seribu Tahun


:: PUISI

 

Duka Seribu Tahun

Syairku adalah huruf-huruf yang mati
Membeku dalam hampa asa yang semu

Kisahku adalah rangkaian kata yang tertunduk lesu
Setelah kau terjang dengan ombak janjimu

Dukaku adalah duka seribu tahun
Ketika kau patahkan ranting pohon
Yang dulu pernah kau tanam

Senyumku adalah senyum pilu
Yang merajut bersama tangis sendu

Jika mentari esok bersinar
Kan hilang jua embun yang menyelimuti hati
Kan sirna jua bau wangi tubuhmu
Kan lenyap jua jejak langkahmu

* 11 September 2012 

***


Nyanyian Langit Malam

Sementara itu
Langit sudah bersih dari awan
kemudian muncul bintang-bintang
Dan rembulan
Namun,
Langit tak seindah dulu
Saat kaku ada di sampingku
* 16 Oktober 2012

***


Pohon Kering

Aku memandang pohon kering yang tertiup angin
Lalu satu per satu rantingnya patah

Esok, batang itu juga kan tumbang
Menyisakan akar yang rapuh
Hingga ia terlupakan  

* 16 Oktober 2012

***

Ijinkan Aku Menikmati Luka Hati

:: PUISI


Di hadapanmu
Aku seperti anak remaja
Yang merengek cinta
Dan memohon kasih

Tapi apa daya
Diri ini tak mampu membendungnya
Jika bisa perasaaan ini kucerabut
Dan kuterbangkan bersama angin malam
Tapi apa daya

Jika rasa ini bisa kupangkas
Dan kutenggelamkan ke dasar samudera
Tapi apa daya

Orang bilang
Cinta tak mengenal kasta
Tak mengenal usia
Kedudukan atau rupa
Aku bilang, benarlah itu
Setidaknya bagi diriku

Orang bilang
Cinta itu buta
Aku bilang, cinta itu membuka mata

Aku bukanlah Qais
Yang menciumi dinding-dinding rumah Layla
Hingga ketika kerinduan semakin memuncak
Pertemuan dengan Layla
Membuatnya Qais gila
Aku bukan Majnun itu

Aku juga bukan unta di padang sahara
Atau batu kerikil di jalanan
Aku punya rasa

Suatu hari nanti
Akan jelas arah
Kemana rasa ini akan berlabuh

Namun, saat ini
Ijinkan aku menikmati luka hati
Meresapi duka dan gelisah
Sejenak saja
 

***
* 4 September 2012 


Daun Kering


:: Cerpen


Aku bermimpi melihat keranda mayat. Aku juga melihat sesosok tubuh terbujur kaku berpakaian kemeja kotak-kotak warna coklat. Wajahnya memang tidak jelas jadi aku tidak tahu dia. Tapi kemeja kotak-kotak itu aku tahu pemiliknya. Ahmad pemilik kemeja itu.

Jika hanya sekali memimpikan itu tentu aku akan menganggapnya angin lalu saja. Namun, dalam satu minggu ini aku sudah bermimpi seperti itu tiga kali. Tiga kali mimpi yang sama. Maka aku mengambil kesimpulan bahwa teman baikku itu akan segera meninggalkan dunia ini.

Aku merasa sedih. Ahmad adalah teman yang baik. Dia banyak membantuku. Jika aku ada tugas kuliah yang membuat pusing kepala, aku datang kepadanya. dia selalu baik kepadaku. Maka, mimpiku yang berulang tiga kali menyita pikiranku. Apalagi jika aku sedang berada di dekatnya. Aku melihat wajahnya pucat. Seperti mayat. Hatiku sedih, namun aku berkata pada diriku bahwa tidak akan terjadi apa-apa padanya.

“Mad, kalau aku ada salah, aku minta maaf ya.”
Aku melihat wajah pucatnya terhenyak.

“Apa maksudmu?” kata Ahmad.
“Misalnya aku ada salah, aku minta maaf, begitu,” kataku.
“Kamu ini aneh. Tidak biasanya ngomongin seperti ini. Kayak mau pergi jauh saja.”

Iya, benar, Ahmad. Akan ada yang pergi jauh. Yaitu dirimu. Aku berkata dalam hati. Kembali kesedihan menyelimutiku. Sepertinya aku tidak tega jika teman baikku ini meninggal dalam usia muda.

Minggu pagi, waktunya lari pagi. Aku mencari celana olahragaku tapi belum ketemu juga. Seisi lemari sudah aku bolak-balik. Belum ketemu juga. Setelah beberapa saat, aku menyerah untuk mencarinya. Kemudian aku teringat sebuah kardus besar di bawah tempat tidur. Biasanya di situ aku menempatkan pakaian lama yang sudah tidak kupakai. Mungkin saja celanaku di situ.

Benar saja. Celanaku berada di dalam kardus pada tumpukan paling atas. Aku sudah tidak ingat kapan aku menaruh celana ini di dalam kardus itu. Aku mengambilnya dan aku mengibaskannya. Kotor dan berdebu. Tidak bisa kupakai. Sepertinya aku harus melupakan acara lari pagi. Sebagai gantinya, aku jalan-jalan saja.

Aku letakkan kembali celana itu ke dalam kardus. Kain warna coklat di dalam kardus menarik perhatianku. Lalu aku mengambilnya. Ya, ampun. Aku kaget. Ini adalah kemeja kotak-kotaknya Ahmad. Ternyata aku lupa mengembalikan kemeja ini kepadanya. Aku jadi teringat kembali dengan sahabatku itu. Aku punya firasat kuat bahwa aku akan berpisah dengannya. Kasihan Ahmad. Padahal umurnya masih muda.

Suasana gor olahraga ramai. Orang-orang terlihat asyik dengan olahraganya masing-masing. Ada juga yang asyik menikmati sarapan di pinggir-pinggir jalan di depan gor. Kendaraan lalu lalang di jalan. Ini adalah Minggu yang ramai.

Aku melihat Ahmad di depan gor. Ia sedang memainkan bola basket. Napasnya tampak terengah-engah. Namun, tetap saja wajah terlihat pucat seperti mayat. Ia melambai kepadaku. Kubalas lambaian itu lalu aku segera menuju ke sana.

Aku menyeberang jalan. Aku tidak tahu berapa lama lagi waktuku untuk bisa bertemu sehabatku itu. Aku ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin yang aku bisa sebelum ia pergi. Oh, Ahmad, sahabatku yang baik.

Aku dikagetkan oleh suara decit melengking yang panjang dari arah kanan. Lalu tiba-tiba saja sebuah mobil sudah berada di depan pandanganku.

Yang kulihat setelah itu adalah orang-orang banyak yang berlari ke arahku. Aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba telentang di tengah jalan. Dari kejauhan aku melihat Ahmad berlari sambil mulutnya mengisyaratkan teriakan. Namun, suaranya tidak terdengar olehku. Perlahan-lahan Ahmad terlihat mengecil dan menjauh. Menjauh semakin menjauh. Menjauh meninggalkan gelap dalam pandanganku.


 

*Sukoharjo, 3 Maret 2013


Sunday, February 10, 2013

Dari Eminem Hingga Fahd Al-Kanderi


Seorang kulit putih menyanyi rap? Adalah sebuah keganjilan jika ada orang kulit putih yang terjun dalam dunia musik dan memilih rap atau hip-hop sebagai aliran musik yang digelutinya. Ialah Eminem, seorang penyanyi rap terkenal dari Amerika. Dia berkulit putih, dan karena hal itu ia diremehkan saat ikut “main lumpur” dalam dunia rap. Namun, akhirnya Eminem menjadi penyanyi rap paling terkenal.

Dahulu aku sangat suka lagu-lagu Eminem. Untuk menggambarkan mengapa aku suka lagu-lagunya Eminem, aku kutipkan tulisan seorang penggemar Eminem di blognya http://hereshetalks.blogspot.com, “Ada kedalaman makna yang sangat menyentuh dari semua lagu-lagunya, bagaimana ia bercerita mengenai kehidupannya, mengenai pesan untuk anak muda, bagaimana ia mencintai anaknya Hailie Jade Mathers. Ia dapat menyentuh fans lewat tiap baris lirik, mengajak mereka berpikir mengenai kehidupan, kesetaraan, cinta, melawan kekerasan, menghargai persahabatan persaudaraan, dan kepercayaan, mengajak menjauhi obat-obatan terlarang, mengenal kerasnya dunia penuh publisitas yang sama sekali tidak menyenangkan.

“Dalam lagu "Stan", ia menceritakan ketergila-gilaan seorang fans pada dirinya, dan betapa sulitnya menjadi figur bagi komunitas remaja yang sebagian besar bermasalah. Lewat lagu "Beautiful", ia mengajak semua fansnya untuk mensyukuri semua yang diberikan Tuhan pada kita, untuk tidak menghakimi seseorang karena kita tak tahu apa yang ia jalani. "Mockingbird" menceritakan kecintaannya yang mendalam pada putrinya, lucu namun mengagumkan cara ia menggambarkannya. Dan tahukah Anda bahwa ia menulis lagu "Mosh", yang berisi kritik mengenai perang Irak?”

Dulu aku sering mendengarkan dan menyanyikan lagu rap dengan bergaya layaknya seorang penyanyi rapper. Sampai-sampai ada teman sekerjaku yang kadang mengejekku karena sering bergaya kayak rapper. Kau tahulah, musik rap bukanlah jenis musik yang banyak penggemarnya. Oya, aku juga suka musik RnB yang enak banget buat dugem (kayaknya sih begitu). Mendengarkannya bisa membuat kepala mengangguk-angguk.

Setelah aku keluar –atau dikeluarkan– dari perusahaan, aku mulai suka dengan lagu-lagu pop yang cengeng yang dulu sering ditayangkan di MTV. Menjadi pengangguran membuat diriku sering bersantai setiap pagi sambil menonton televisi. Kalau pagi jam 10 sampai jam 12 ada acara MTV Ampuh. Karena seringnya menonton, akhirnya aku jadi suka lagu pop juga. Padahal, sebelumnya aku tidak suka, bahkan benci dengan lagu pop yang kebanyakan cengeng dan lebay itu.

Aku mulai ditarik ke jalan yang benar (berarti sebelumnya tersesat ya?) oleh seorang ustadz untuk ikut mengaji. Mengaji secara rutin seminggu sekali. Setelah beberapa lama ikut mengaji aku mulai suka dengan nasyid. Saat itu grup nasyid yang sedang terkenal seperti Raihan, Saujana, Izzis, Shoutul Harokah, … (apalagi ya, aku lupa). Jadilah aku penggemar nasyid.

Tak hanya menyanyi untuk dinikmati sendiri saja, aku bersama kawan-kawan beberapa kali tampil menyanyikan nasyid dalam acara-acara tertentu. Memang tidak terkenal, tapi setidaknya sudah “memiliki nama” di tingkat kecamatan. Namun, karena personilnya banyak yang kemudian sibuk, akhirnya matilah grup nasyid itu.

Setelah itu aku mulai suka dengan nasyid berbahasa Arab yang tanpa iringan musik. Biasanya nasyid jenis ini berirama menghentak dan mengobarkan semangat. Aku merasa heran, meskipun tanpa iringan musik, nasyid seperti ini terasa enak didengar.

Semakin lama, kesenanganku pada musik mulai luntur. Jangan kau tanya tentang musik pop jaman sekarang, aku sudah membuangnya jauh-jauh. Lalu aku mulai bisa menikmati lantunan murottal Al-Quran. Pasti kau tahu Muhammad Thaha Junaid, seorang anak dengan suara yang indah saat melantunkan ayat-ayat suci. Semakin lama aku semakin tenggelam dalam lantunan murottal yang ternyata lebih indah, lebih enak didengar, lebih merdu, dan lebih menenteramkan daripada musik rap, pop, atau nasyid.

Akhir-akhir ini, aku suka dengan lantunan suara Fahd al-Kanderi. Suaranya indah, irama qira’ahnya merdu sekali. Iramanya sangat enak untuk didengarkan atau diikuti sebagai hafalan. Jika kau belum pernah mendengar murottalnya, cobalah search di internet dan dengarkan. Maka, ketika mendengarkan lantunan ayat-ayat suci yang merdu dan menggetarkan itu seolah-olah semua masalah hilang.

Begitulah, fase perjalanan selera musikku. Mulai dari rap, hip-hop, RnB, pop, nasyid. Hingga sekarang, aku telah menemukan suara yang lebih indah, lebih merdu, dan lebih menenteramkan hati daripada segala jenis musik. Itulah suara lantunan ayat-ayat suci. Jika saat ini kau masih suka mendengarkan musik, aku member petuah berharga kepadamu (hadeuh, lagaknya kayak orang tua nih), “Tinggalkanlah musik itu. Carilah kenikmatan dalam lantunan ayat-ayat suci.”

Sebelum aku akhiri tulisan ini, aku sampaikan bahwa aku menulis ini karena ada seorang kawan yang bertanya kepadaku, apakah aku bisa menyanyi nasyid. Mendapat pertanyaan seperti itu, kenanganku langsung terbang pada masa lalu terkait dengan musik-musik kegemaranku. Maka, aku katakan sekarang, “Aku sudah tidak menyanyi lagi.”

Demikianlah.


*Sukoharjo, 11 Februari 2013

Monday, December 10, 2012

Aku ini Seorang Pemalas


Aku ini seorang pemalas. Banyak kawan-kawanku yang langsung menyetujui pernyataan yang jujur dariku itu. Dari kawan SMP, STM, kawan mahasiswa. Terlebih lagi kawan-kawan dekatku. Mereka akan langsung menerima pernyataan itu tanpa perlu melakukan penelitian kualitatif secara mendalam.

Rasa malas sepertinya timbul saat aku menginjak kelas 6 SD. Aku ini dulu pintar lho. Sejak kelas 4 SD aku selalu menduduki peringkat 3 besar, seringnya malah peringkat satu di kelas. Waktu kelas 6 ini mulai deh penyakit malas bersemayam dalam badan dan pikiranku. Saat mendekati Ujian Nasional SD aku justru malas belajar. Pada umumnya tuh, siswa sekolah akan ramai-ramai belajar dengan rajin saat mendekati ujian. Berhubung aku ini pemalas, aku santai-santai saja. Belajar cuma ala kadarnya saja dan lebih banyak nonton tivinya. Alhasil, jumlah nilai ujianku cuma menduduki peringkat empat di sekolah.

Saat SMP, sifat pemalasku menjadi-jadi. Aku sudah mulai suka bolos sekolah. setidaknya seminggu sekali aku membolos sekolah (hehe... hebat kan! Tapi jangan ditiru, ya!). Saat mendekati ujian aku juga tidak rajin belajar, sama seperti saat SD.

Dulu saat bangun kesiangan, aku bolos. Saat malas berangkat ke sekolah, aku bolos. Saat pagi hari masih mengantuk, aku bolos. Saat tahu pelajaran hari ini akan membosankan, aku bolos. Saat tahu guru yang mengajar killer, aku bolos. Saat hari senin, aku sering bolos. Hari favoritku untuk membolos adalah hari Senin (karena adanya upacara) dan hari Sabtu (karena ada pelajaran yang susah).

Saat STM, aku tetap seorang pemalas. Justru aku masuk STM karena aku sudah malas belajar. Kalau di STM itu kan lebih banyak praktek daripada teori. Lha, aku suka itu. Jadi, bakalan sedikit porsi untuk belajar. Apalagi lulusan STM kan langsung diproyeksikan untuk masuk ke dalam dunia industri kerja. Jadi, tak perlu lagi belajar. Beda kalau SMA, banyak teori, trus sesudah lulus SMA mesti kuliah. Belajar lagi.

Takdir Tuhan memang tiada yang tahu. Aku yang menghindari kuliah dan tidak pernah terpikirkan untuk kuliah, akhirnya masuk juga di perguruan tinggi. Hadeuh.....
Saat kuliah, aku tetaplah seorang pemalas. Dan teman-teman sekelasku pasti akan dengan senang hati memberikan testimoni tentang kemalasanku. Aku masih sering bolos kuliah. Datang kuliah terlambat. Bahkan, ujian pun aku datang terlambat, dan itu tidak hanya sekali tapi berkali-kali (hadeuh... parah banget ya).

Aku juga pernah tidur di kelas saat "didongengkan" dosen. Secara gitu, badan lemes, ngantuk (karena habis begadang), suasana mendukung banget, angin sepoi-sepoi berhembus sejuk, kicauan burung terdengar dari luar, dan dedaunan bergoyang-goyang tertiup angin. Ditambah lagi suara dosen yang pelan dan datar. Siapa coba yang bisa menahan godaan sebesar itu. Dan aku tidur di kelas tidak hanya sekali.

Aku ini memang pemalas. Namun, bukan berarti aku ini tidak punya cita-cita tinggi. Bukan berarti aku tidak punya semangat. Aku memang pemalas dalam beberapa hal dan aku bersemangat dalam beberapa hal yang lain.

Bagaimanapun, aku ini seorang pemalas. Demikianlah.


*Sukoharjo, 11 Desember 2012


Aku Ingin Jadi Pengusaha Sukses


Sepertinya yang harus bertanggungjawab dalam hal ini adalah Robert Kiyosaki. Dengan bukunya, Rich Dad Poor Dad, ia telah mencuci otakku. Didoktrinnya aku dengan bermacam iming-iming tentang enaknya menjadi seorang pengusaha. 

Aku pertama kali mendengar buku itu dari salah seorang teman yang menawarkan sebuah bisnis saat aku kelas 3 STM. Dua tahun kemudian aku menjumpai buku itu duduk manis pada sebuah rak di toko buku dalam Mall Lippo Cikarang. Oya, Mall Lippo Cikarang letaknya tidak terlalu jauh dari perusahaan tempatku bekerja dan dari kost tempat tinggalku. Dulu sebelum memiliki sepeda motor biasanya aku dan kawan-kawanku ke sana dengan jalan kaki.

Baiklah, aku ceritakan sedikit tentang perusahaan tempatku bekerja dulu. Namanya PT Musashi Auto Part Indonesia. Dari namanya saja sudah ketahuan ia asli Jepang (dan dari namaku juga sudah ketahuan aku ini asli Jawa, kan). Di Cikarang dan sekitarnya ada beberapa kawasan industri, di antaranya kawasan EJIP, Hyundai, Jababeka, MM 2100, dan lainnya. PT Musashi berada di kawasan EJIP. Dan aku kasih tahu kawan, hampir semua karyawan di kawasan EJIP mendambakan bisa bekerja di Musashi. Tanpa melebih-lebihkan, Musashi menjadi salah satu idola untuk menjadi tempat mencari rezeki.

Dari beberapa informasi yang aku dapat dari kawan-kawan dan dari warga sekitar, Musashi merupakan perusahaan yang memberikan gaji tertinggi, memberikan pelayanan kesehatan yang baik, menjamin kesejahteraan bagi karyawan, dan adanya serikat pekerja yang aktif bergerak (tidak semua perusahaan membolehkan adanya serikat pekerja karena dianggap mengganggu atau terkadang menghambat kebijakan dari perusahaan).


Pakaian karyawan Musashi adalah putih-putih. Sebagian menyebutnya pakaian dokter. Jadi, jika ada yang berangkat kerja memakai pakaian putih-putih bisa dipastikan ia adalah karyawan Musashi. Aku salah satunya.

Semestinya aku merasa bersyukur bisa bekerja di perusahaan besar ini. Ditambah lagi, pekerjaanku tidak terlalu berat. Aku mengoperasikan mesin frais, bubut, dan hobbing (itu semua mesin untuk membuat roda gigi kendaraan) yang otomatis. Jadi tinggal memasukkan barang mentah, atur program dengan pencet-pencet tombol, jalanlah mesin itu dengan sendirinya. Sesekali dicek ukuran dan kehalusan barang yang sudah keluar dari mesin. Hampir begitu pekerjaanku selama dua tahun. Dan biasanya aku mengoperasikan dua atau tiga mesin, pernah juga empat mesin. Kalau hanya mengoperasikan satu mesin bisa ditinggal tidur itu.

Di sebuah perusahaan tentu ada aturan tentang kedisplinan. Dan di Musashi ini, aku katakan, disiplin banget. Secara gitu, bos-nya kan orang Jepang. Terkadang si bos-bos itu keliling pabrik untuk melihat-lihat. Pokoknya disiplin banget deh.

Dengan pekerjaan seperti itu dan gaji yang memadai semestinya aku betah bekerja di situ. Namun, dasar aku ini orangnya pemalas, sepertinya bekerja berangkat pagi pulang sore, atau kalau berangkat sore pulang malam kadang malah pulang pagi, tidak cocok untukku. Terkadang saat pagi masih mengantuk dengan terpaksa berangkat ke pabrik. Atau saat sore hari waktu paling enak untuk istirahat harus berangkat kerja. Ah, itu sungguh tidak mengenakkan.

Maka, suatu malam aku beli buku Rich Dad Poor Dad seharga lima puluh ribu itu. Percayalah, itu buku berbahaya. Provokatif banget. Membuat orang jadi berpikir ulang tentang pekerjaan. Membuatnya mempertimbangkan untuk maju menjadi pengusaha. Dan, ternyata aku telah terprovokasi.

Selain buku itu, aku juga membeli tabloid Kewirausahaan yang isinya menceritakan tentang orang-orang yang sukses dengan bisnis mereka. Aku kan tambah terprovokasi. Akhirnya saat masih bekerja di perusahaan itu aku menjadi sales sepatu. Iya, sales sepatu. Percayalah, gaji bulananku waktu itu sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhanku dan untuk tabungan. Aku menjadi sales karena ingin belajar menjadi pengusaha. Kata buku, menjadi sales akan memberikan manfaat yang besar bagi kepribadian seorang pengusaha yang sukses.

Dengan modal awal hanya Rp 25.000,- aku menjadi sales dengan membawa katalog sepatu. Oya, aku mengambil sepatunya dari Bandung, dikirim lewat jasa paket. Akhirnya selama tiga bulan aku berpredikat sebagai sales sepatu. Merasa malu? Iya, awalnya. Justru itulah, tekadang rasa malu menghambat kita untuk maju (kayaknya sih begitu kata-kata yang pernah aku baca). Meskipun hasil dari menjual sepatu ini tidak seberapa besarnya, namun uang hasil usaha ini rasanya lebih “manis”, lebih berharga, lebih bangga mendapatkannya.

Aku ini seorang pemalas. maka setelah dua tahun bekerja dengan sistem kontrak, maka aku keluar -atau dikeluarkan- dari perusahaan. Aku memang sudah berniat untuk tidak selamanya menjadi karyawan perusahaan. Setelah itu, aku pulang kampung. Aduh, bahagianya pulang kampung. Kenyamanan di kampung tidak akan pernah dirasakan oleh orang yang tidak pernah meninggalkan kampung dalam waktu lama. Ibaratnya seperti kembali ke dalam pelukan ibu, begitu.

Dan aku merasa lebih tenang, tenteram, dan nyaman tinggal di kampung. Kemudian aku membuka usaha toko stationary (alat tulis) dengan modal dari hasil menjual sepeda motor. Sebenarnya motorku itu sangat kusayang. Tapi apa boleh buat. Motorku sayang motorku melayang.

Setelah satu tahun mengelola usaha itu dan tidak terlihat kemajuan yang berarti akhirnya muncul perasaan bosan padaku. Aku ingin mencoba sesuatu yang baru. Aku ingin kuliah. Teman-temanku hampir semuanya kuliah. Aku kan jadi ingin kuliah juga. Akhirnya aku masuk UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) dengan tetap mengelola usaha toko itu. Dan kau tahu hasilnya apa? Usaha tokoku terlantarkan. Kesibukan kuliah membuatku tidak bisa mengelola usaha dengan baik. Akhirnya setelah satu tahun menjadi mahasiswa, aku putuskan untuk menutup usaha toko itu.

Setelah menutup usaha toko, aku tetap berusaha mencari rezeki. Aku malu kalau terus-terusan minta pada orang tua. Aku mulai menjual pulsa, menjual makanan ringan, menjual kurma (waktu bulan Ramadhan saja), menjual buku, dan akhirnya aku mencoba membuka usaha percetakan. Auf Desain, dengan modal awal Rp 20.000,- untuk membeli katalog undangan.


Saat ini mungkin sudah banyak mahasiswa UMS -khususnya yang ikut organisasi kampus- yang mengenal nama Auf Desain. Tapi, percayalah, awal-awal usaha ini aku mulai, sungguh berat mencari orderan cetak di kampus. Pernah dalam satu bulan aku hanya membukukan keuntungan sebesar Rp 115.000,-.

Alhamdulillah, atas karunia Allah, akhirnya sejak semester enam atau tujuh (aku lupa persisnya kapan) aku bisa membiayai kuliahku sendiri hingga lulus. Ibarat burung yang keluar pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang, begitulah aku menjalani kehidupanku dalam mencari rezeki. Menjadi pengusaha memang penghasilannya tidak tetap, tapi -insya Allah- akan tetap berpenghasilan.

Dahulu memang ada beberapa orang yang mencela usahaku ini. Ada yang mengatakan bahwa aku ini hanya berpikiran bisnis terus. Atau saat aku membawa pesanan ke kampus ada yang bilang aku ini jualan terus. Aku juga tidak banyak meluangkan waktu untuk bermain seperti kawan-kawanku. Aku juga terkadang bekerja sampai malam ketika ada pesanan mendadak yang harus segera jadi. Bahkan, terkadang aku bolos kuliah saat sibuk mengerjakan pesanan.

Mungkin ada yang berkata, kalau begitu untuk apa kuliah kalau sudah punya usaha? Aku ini tetap ingin menjadi guru, kawan. Aku ingin menjadi seorang pendidik. Lihatlah generasi muda saat ini. Ayolah kita didik mereka itu biar suatu hari nanti mereka berguna untuk bangsa dan negara yang kita cintai ini.


Aku ingin menjadi guru bukan karena mengharapkan gajinya yang besar (setelah ada sertifikasi guru, gaji guru menjadi besar, bukankah banyak yang berbondong-bondong ingin menjadi guru). Makanya aku harus punya penghasilan dari usahaku agar aku tidak terlalu menggantungkan pada gaji bulanan guru. Dengan begitu, aku berharap agar aku ini bisa ikhlas mendidik murid. Begitu lho.

Saat ini -masa setelah baru saja lulus- aku lebih memilih untuk istirahat sejenak di rumah. Mengistirahatkan badan dan pikiran setelah empat tahun kuliah. Dan, sesekali HP-ku berbunyi, ada yang menanyakan tentang layanan Auf Desain, atau ada yang memesan barang cetak. Dari kamar ukuran 2 x 6 ini aku jalankan usaha Auf Desain. Percayalah.

Guru ngaji-ku pernah mengatakan bahwa orang yang menjadi pedagang atau pengusaha itu biasanya tingkat tawakkalnya lebih tinggi. Karena pedagang atau pengusaha tidak tahu apakah hari ini akan mendapat untung atau tidak, apakah besok lusa mempunyai uang untuk membeli beras atau tidak. Dan sepertinya aku mengalami hal itu. Memang setiap bulan aku tidak mendapatkan gaji besar seperti waktu bekerja di perusahaan dulu. Namun, saat ini aku merasa bahagia. Bahagia. Itu saja.




*Sukoharjo, 11 Desember 2012