Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Monday, November 16, 2015

Semua akan Cie Cie pada Waktunya

Menatap di kejauhan. Oh, ternyata jodoh berlum terlihat.

Rumah seorang teman sering dijadikan tempat untuk berkumpul. Tempat itu kami sebut base camp. Biasanya kami berkumpul di base camp untuk rapat merencanakan sebuah kegiatan. Namun lama-kelamaan, tempat sakral itu tidak hanya digunakan untuk keperluan musyawarah untuk mufakat. Base camp tumbuh berkembang menjadi tempat “nongkrong”, sekadar berkumpul, makan-makan, tempat mengolahragakan jari di atas stik PS, dan yang paling penting ialah tempat curhat para barisan jomblo. Maklum, orang-orang yang sering berkumpul di base camp adalah para single fighter.

Beberapa waktu yang lalu, jagat perjombloan base camp dikejutkan dengan sebuah kabar. Kabar itu menyebutkan secara ikhfa’ (samar-samar) bahwa seorang teman yang terkenal sebagai jomblo fanatik yang sering galau ketika malam Minggu, akan segera mengakhiri masa lajangnya. Yeyeye.....

Alhamdulillah, ini adalah sebuah kabar gembira bagi orang-orang yang tergabung dalam lingkaran perjombloan base camp. Senang kan mendengar seorang teman bisa segera melepaskan jeratan jomblo. Dan seperti biasa, semua akan saling ber-ciecie. “Kapan kamu nyusul?” begitu pertanyaan abadi yang terlontar.

Sebagai jomblo yang dituakan di base camp tersebut --meski diakui wajahku masih imut-imut kayak siswa SMA *skip-- tentu aku merasa senang. Bersyukur di dalam suku jomblo tempat kami bernaung akan ada yang menjemput bidadarinya. Meski, ada sedikit keresahan juga bahwa teman yang akan menikah itu bakal tak bisa lagi berkumpul di base camp berbagi canda, berbagi cerita, berbagi nasi kucing, berbagi tempat tidur, berbagi curahan hati. Uhuk...uhuk...

Sebagai jomblo yang dituakan juga, aku kemudian menjadi sorotan. “Kamu kapan? Malah didahului *** (nama sensocerd)”.

Jika jomblo lain yang mendapat serangan telak seperti itu mungkin sudah berdarah-darah dan takluk mengibarkan bendera putih dan melambaikan tangan ke kamera. Namun, dasar aku ini jomblo bandel, yang memiliki bakat jomblo sejak lahir, segala bully-an dan segala tanya sudah kucicipi. Aku pun menanggapinya biasa saja.

Semua akan cie cie pada akhirnya. Ya, jodoh tak dapat dikejar atau ditundakan. Bukankah sudah ada nama seseorang di Lauhful Mahfudz sana. Nama seseorang yang mungkin saat ini ia juga sedang jomblo dan sabar menungguku menjemputnya.

Aku banyak mendapati teman yang sudah berusaha mendapatkan pasangan, namun seringkali gagal. Mereka dikenalkan oleh orang tuanya, guru ngajinya, atau temannya. Sudah beberapa kali ta’aruf, berkenalan, mengunjungi keluarganya, namun tetap gagal duduk di pelaminan. Sebaliknya, ada pula yang baru sekali ta’aruf dengan seseorang yang dikenalkan kepadanya, langsung jadi dan tak berapa lama gamelan ditabuh di rumahnya.

Begitulah, jodoh adalah sebuah misteri. Tak ada ceritanya kita didahului oleh orang lain dalam hal pernikahan. Memangnya menikah itu balapan Moto GP yang suka salip-salipan, saling nikung, terus dlasar itu? Enggak, kan.


Sebagai jomblo yang diidamkan oleh banyak jomblowati di luar sana (gubrakkk!!!), aku harus selalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Terus memperbaiki diri, memantaskan diri. Jika sudah waktunya, aku yakin bakal bersanding dengan kamu, iya kamu yang namanya tertulis sebagai jodohku di Lauhful Mahfudz sana.

 
Hai, orang-orang yang bersendirian, tenangkanlah perasaanmu dan lapangkanlah hatimu. Jodoh tak akan ke mana. Tak kan dipercepat, tak pula diperlambat. Bersabarlah, semua akan ciecie pada waktunya.



***
Sukoharjo, 6 November 2015



Thursday, November 5, 2015

Ketika SD, Aku Berkelana dalam Rimba

Sebuah kabin di tengah hutan di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah
Sewaktu SD, aku pernah meminjam beberapa buku perpustakaan. Salah satu buku yang sangat berkesan yaitu karya Mochtar Lubis yang berjudul Berkelana dalam Rimba. Buku ini menceritakan kisah beberapa remaja bersama seorang dewasa, Paman Rokhtam, yang berkelana di sebuah rimba yang terkenal angker dan jarang disambangi orang.

Rimba Gunung Hitam namanya, hutan yang diyakini oleh penduduk banyak dihuni orang bunian atau makhluk halus. Beberapa kisah mistis melengkapi keangkeran hutan hujan tropis yang lebat itu, misalnya orang yang mengaku melihat makhluk aneh, orang yang hilang takpernah kembali, orang yang lari dari hutan sambil teriak-teriak, kemudian terganggu jiwanya, sampai kisah orang yang diculik orang hutan dan ditempatkan di atas pohon yang tinggi.

Rombongan Paman Rokhtam menjelajahi rimba selama beberapa hari. Banyak hal yang mereka temuai. Banyak pengetahuan yang mereka dapatkan. Perjalanan itu tentu menjadi petualangan yang berkesan bagi beberapa remaja yang energik itu.

Aku mendapatkan banyak pengetahuan tentang kehidupan biotik, khususnya yang berada di hutan. Beberapa spesies dijelaskan secara detail. Ada pula spesies unik, misalnya hewan yang mengeluarkan suara yang sangat keras di malam hari, seperti suara jeritan anak kecil. Atau bunga bangkai yang besar, berwarna putih kotor, dan mengeluarkan bau busuk seperti bangkai. Lebih menarik lagi, buku ini juga dilengkapi beberapa sketsa binatang atau tumbuhan.

Terdapat pula pelajaran survival di dalam hutan: menyiapkan perbekalan, membagi tugas, memilih lokasi untuk berkemah, mendirikan tenda (bivak), mengumpulkan buah dan daun yang bisa dimakan, dan lain-lain.

Pada konflik cerita, Rombongan Paman Rokhtam memergoki para pemburu ilegal yang memburu beberapa binatang dan menempatkannya di dalam kerangkeng. Mereka berusaha melepaskan hewan-hewan itu meski dengan mempertaruhkan nyawa. Di sinilah sikap mencintai alam diamanatkan oleh penulisnya.


Cover buku Berkelana dalam Rimba karya Mochtar Lubis

Aku dulu sangat menikmati buku itu. Bahasanya ringan, mudah dipahami, dan ada selipan humor oleh tingkah laku delapan remaja yang berbeda karakter. Karakter tokoh-tokohnya digambarkan dengan kuat.

Setelah kukembalikan buku itu ke perpustakaan, aku takpernah melihat buku itu hingga kini. Buku itu sudah tidak dicetak lagi. Mendapatkan yang bekas pun susah. Aku berharap suatu hari nanti bisa menemui buku yang memberikan gambaran yang berkesan tentang hutan dan isinya itu.


***
Sukoharjo, 6 November 2015






Sunday, November 1, 2015

Piknik Tak Harus Mahal

Lihat, betapa kerennya jomblo militan tingkat atas ini!

Apakah kamu sering merasa suntuk, penat, jenuh dengan kesibukan sehari-hari? Apakah kamu terkadang merasa hatimu begitu kosong, sering melamun, membayangkan masa lalu, mengingat-ingat kenangan? Apakah kamu sering jengkel, gampang marah, cepat naik pitam?

Mungkin kamu kurang piknik. Atau mungkin kamu adalah jomblo kesepian yang kurang piknik.

Mendengar kata piknik, terbayang di benak kita adalah sebuah tempat yang indah yang jauh dari rumah kita. Tempat yang menawarkan ketenangan, ketenteraman, panorama eksotik, pantai dengan pasir putihnya, atau bukit yang menghijau. Atau sebuah tempat yang ingar bingar suara tawa orang-orang yang bermain, wahana-wahana baru, canggih, dan menantang, serta restoran mewah dengan aneka menu yang menggoda selera. Lalu saat kamu melihat isi dompet, semua bayangan itu buyar, punah, hancur, sebagaimana hancurnya hati seorang jomblo yang mendapat undangan pernikahan dari bribikannya.

Descartes punya diktum: Aku berpikir maka aku ada.
Seno Gumiro Ajidarma punya kredo: Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.
Jomblo militan punya prinsip: Selama janur kuning belum melengkung, harapan itu masih ada.
Aku pun punya kata-kata sok bijak: Piknik takharus mahal.

Jika kamu termakan oleh iklan reklame di jalan-jalan tentang tempat wisata yang wah dan wow, piknik memang mahal. Jika kamu terbius oleh senyum pramugari yang menawarkan rute penerbangan ke Bali atau Singapura, piknik memang mahal. Namun, janganlah kamu terobsesi oleh kehidupan modernitas seperti itu. Mahal itu. Piknik takharus mahal.

Apa sih sebenarnya tujuan utama piknik? Refreshing. Menyegarkan pikiran dari kepenatan. Lalu, mengapa harus mahal? Kamu bisa menyegarkan pikiran dengan hal-hal yang sederhana. Semisal, bangun pagi hari kemudian naik ke atap rumah untuk mengintip bribikan tetangga sebelah menanti matahari terbit. Kamu juga bisa duduk-duduk di halaman depan atau belakang rumah membayangkan wajah bribikan yang telah men-jleb-kan hatimu menikmati langit malam. Jika kamu tinggal di perumahan, sore hari kamu bisa nongkrong di depan rumah melihat-lihat siapa tahu jodoh lewat anak-anak kecil yang bermain-main ditemani orang tuanya.

Oke, jika hal-hal sederhana seperti itu masih belum bisa menyegarkan pikiran kamu yang kalut akibat ditolak gebetan, dan kamu bersitegang bahwa piknik haruslah pergi keluar kota, hura-hura ke tempat wisata, sekali lagi, piknik takharus mahal. Jelajahi saja tempat-tempat terdekat di kota kamu atau di luar kota yang masih dekat. Jelajahi tempat yang belum pernah kamu kunjungi, atau bahkan tempat yang kurang terkenal sekalipun.

Kamu bisa naik kendaraan bermotor roda dua yang masih nyicil itu, melaju sendirian --pasti sendirian karena kamu jomblo-- meng-explore lokasi-lokasi yang terpencil namun memesona pandangan. 


Sebagai jomblo militan tingkat atas, terkadang aku melakukan hal seperti itu untuk menyegarkan pikiran. Jalan-jalan menjelajah tempat baru. Menemukan lokasi yang sulit dijangkau, bertanya-tanya pada tukang becak, tukan sayur, tukang makan, tukang PHP, hingga bisa sampai di tempat tujuan.

Pernah suatu Minggu yang kelabu karena tak ada teman di kamar, aku melajukan sepeda motor --sendirian, iya sendirian-- ke arah Ngargoyoso, Karanganyar. Air terjun Jumog yang menjadi tujuan, aku tempuh dalam waktu sekitar 1 jam 30 menit. Dengan bekal air minum dan lotis yang kubeli di depan GOR Merdeka Jombor, aku menikmati keindahan air terjun Jumog sendirian, iya sendirian. Aku mandi di air terjun yang dingin itu, lagi-lagi sendirian karena pengunjung yang lain lebih suka memegang tongkat sakti kemudian memonyongkan bibir pucatnya lalu ce-klik. Jadilah aku semacam spesies unik: seorang jomblo yang mandi sendirian di bawah air terjun, dan kedinginan.

Setelah itu aku melajukan belalang-tempurku ke atas bukit mencari lokasi Telaga Mardido. Telaga Mardido menarik hati untuk dikunjungi. Dengan bertanya kepada beberapa orang --termasuk bertanya kepada sepasang kekasih yang sedang duduk asyik di atas perbukitan menikmati senja-- sampailah aku di Telaga Mardido. Tempatnya tinggi, jalan menuju ke sana berliku-liku dan berkelok-kelok, sebagaimana kisah cintaku.

Telaga Mardido ialah tempat lapang yang terdapat sebuah telaga (sendang/danau) yang mengalirkan air yang jernih dan dingin yang katanya tak pernah kering meskipun musim kemarau. Di lokasi tersebut terdapat beberapa remaja yang mandi di kali. Beberapa kali mereka meloncat ke dalam telaga dari atas sebuah batu.

Ada pula sebuah tenda yang berdiri di area lapang, sepertinya penghuninya nge-camp di situ tadi malam. Dan sungguh, ada sepasang kekasih yang bermain model-modelan: si lelaki memotret gadisnya dengan kamera DSLR, sang gadis bergaya bak model yang tidak berbakat sama sekali.

Lalu aku? Aku menikmati pemandangan di situ. Bukit-bukitnya, teraseringnya, perkebunannya, bunga-bunganya, air jernihnya. Tak lupa aku berbincang dengan sang kekasih hati dengan tukang penjual cilok di situ tentang legenda Telaga Mardido yang merupakan tempat nyemplungnya cupu manik astagina yang diperebutkan oleh Sugriwa, Subali, dan Anjani.
Penjelajahan setengah hari ke Air Terjun Jumog dan Telaga Mardido itu menghabiskan uang tak lebih dari Rp 30.000,-.

Piknik takharus mahal juga kulakukan ke Embung Sriten di Gunungkidul. Dengan melewati jalan berbatu, berkelok, dan super ekstrim, aku berhasil sampai di tempat tertinggi di Kabupaten Gunungkidul itu. Menikmati angin laut dan pemandangan panorama Gunungkidul yang berbukit-bukit. Untuk melakukan itu, aku menghabiskan uang kurang dari 20.000,-. 





Piknik ke Gunung Api Nglanggeran di Gunungkidul --dengan nge-camp-- dan berlibur ke Umbul Ponggok di Klaten, kulakukan bersama teman-teman yang sama-sama jomblo, dengan menghabiskan kurang dari Rp 50.000,- Pendakian bersama temen-temen jomblo ke Gunung Merbabu, meskipun cuma sampai di pos tiga, cuma menghabiskan kurang dari Rp 30.000,-

Jadi, mengapa piknik harus mahal? Bagiku, piknik itu yang penting bisa menyegarkan pikiran. Gitu lho, Mblo. Jangan sok sedih. Udah jomblo, kurang piknik lagi. Pikniklah karena piknik takharus mahal.

***
Sukoharjo, 2 November 2015 



Tuesday, October 27, 2015

Aku Berpikir maka Aku Jomblo


Akhir-akhir ini, pelan namun pasti, jomblo tengah naik daun --kayak ulat ijo yang merayap naik buat memakan pucuk daun teh itu. Sayangnya, kenaikdaunan ini tidak dalam hal positif. Lebih banyak jomblo dijadikan subyel cibiran, olokan, dan bullying. Lahir pula frase turunan dari jomblo yaitu jomblo ngenes a.k.a jones.

Namun, apa sejatinya jomblo itu. Apakah jomblo itu suatu dzat atau suatu keadaan? Sebuah keniscayaan atau kerelatifan? Pengakuan diri atau pengakuan orang lain? Secara de jure atau de facto? Apakah benar-benar ada atau hanya khayalan? eksis atau ilusi?

Oke, dalam KBBI tak kutemukan makna jomblo. Namun, kata jomblo mungkin bisa dipersamakan maknanya dengan lajang. Lajang bermakna sendirian (belum kawin); bujangan (KBBI edisi III).

Menurut Descartes yang mendapat julukan sebagai Bapak Filsafat Modern itu, akal adalah sumber pengetahuan. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang kejombloan seseorang; mengetahui seseorang jomblo atau bukan, akal diberi keleluasaan untuk berpikir. Kita tak harus tunduk terhadap dogma yang diberikan oleh kalangan mayoritas yang otoritatif itu.

Pertama-tama --sesuai dengan metode yang digunakan Descartes-- kita harus meragukan segala sesuatu, semua pengetahuan tentang jomblo yang selama ini kita yakini. Seseorang yang duduk sendirian di taman, secara kasat mata ia sendiri alias jomblo. Seseorang yang makan sendirian di restoran secara lahiriah ia jomblo. Kita harus meragukan semua itu. Kejombloan tidak bisa diukur dengan inderawi.

Kesendirian tidak berarti jomblo. Sebaliknya, berpasangan tidak pula bermakna takjomblo. Ambil misal, seseorang yang memiliki kekasih nun jauh di sana, di seberang pulau yang tertutup asap. Secara status ia takjomblo, tapi bisa jadi hubungan keduanya tak menunjukkan bagaimana sepasang kekasih sebenarnya. Ada prasangka dan curiga, ada debat dan amarah. Ujung-ujungnya salah satunya salah seorang temannya menikung begitu ada kesempatan. Persis Marq yang mencoba nikung Rossi namun keburu kepalanya jedug lututnya Rossi, lalu ndlasar itu.

Suami-istri yang keduanya sibuk bekerja, jumpa di rumah hanya hitungan beberapa jam. Malam pun dilalui dengan tidur nyenyak masing-masing yang memeluk guling. Lama-lama timbul masalah. Saling menyalahkan. Surat pisah pun dilayangkan. Mereka takjomblo, namun keadaannya tak jauh beda dengan kaum jomblo.

Itulah, contoh status ketakjombloan yang sebenarnya berkeadaan seperti jomblo. Bingung? sama.

Lalu bagaimana dengan para jomblo? Secara inderawi mereka memang jomblo. Sebut saja salah satu jomblo terkeren abad ini yaitu aku : D. Aku jomblo karena takberpasangan. Belum menikah. Tak percaya? Di KTP-ku tertulis status “Belum kawin”.

Namun, ada satu keyakinan bahwa setiap makhluk diciptakan berpasangan. Secara konsep, semua benda berpasangan. Malam dengan siang; rusa betina dengan rusa jantan; serbuk sari dengan putik. Lalu aku? Aku dengan kamu dong, iya kamu. #kedipmata

Jadi, aku yakin deh, seyakin-yakinnya bahwa sudah ada pasangan buatku. Cuma belum ketemu aja. Jadi sebenarnya aku tak jomblo kan.

Dipikir-pikir, secara konsep seperti itu: bahwa aku takjomblo karena aku yakin semua akan nikah pada waktunya. Tapi, di dalam masyarakat kita, orang yang belum menikah itu ya dinamakan jomblo. Mau alasan segunung pun, jomblo tetap jomblo, yaitu sejenis spesies unik yang selalu bisa menjadi bahan bullying. Dan menyandang status jomblo dalam masyarakat kita itu hidupnya tidak tenang. Pas wisuda ditanyain, “Kok sendirian, nggak ada yang menemani?” Dateng ke pernikahan pasti ditanyain, “Kapan nyusul?”

Demikianlah, ternyata kita memang harus tunduk dengan konvensi masyarakat agar tercipta harmonisasi korelasi antarhumanisasi. #virusvickydetected.

Dengan begitu, yakinlah sudah, aku berpikir maka aku jomblo.

Untungnya, aku sudah mengembangkan ilmu benteng diri sebagai jomblo. Ilmu ini menganut prinsip: Bully-lah diri sendiri sebelum di-bully oleh orang lain. Maka, aku pun tak segan-segan mem-bully diri sendiri yang berkubang dalam lumpur kejombloan. Hasilnya segala olokan, bully-an, pertanyaan-pertanyaan provokatif sudah takmempan lagi buatku. Justru aku bangga dengan status jomblo yang sedang berusaha menjaga kesucian dan berusaha memantaskan diri buat kamu, iya kamu. #kodemodeon
 


***
Sukoharjo, 27 Oktober 2015



Saturday, October 17, 2015

Saya Guru, dan Saya Jomblo


Saya Sukrisno Santoso --biasa di panggil Pak Kris-- guru Bahasa Indonesia di sebuah SMP di Kabupaten Sukoharjo.

Dan saya JOMBLO. Yakin, deh. Percayalah! Jomblo Ori. Nggak KW-KW-an.
Mengapa saya harus memproklamasikan diri sebagai jomblo di awal obrolan ini? Agar tidak ada yang bertanya. Saya mah kreatif, sebelum ditanya, memberi jawaban dulu. #Yeah...

Karena begini pembaca sebangsa dan setanah air, kerap kali saya mendapat pertanyaan, “Sudah berkeluarga belum?” saat berada di forum guru – orang tua siswa, forum pertemuan guru-guru, forum pelatihan. Atau saat bertemu dengan orang baru, misalnya di taman, di toko buku, di lapangan, atau di tempat walimahan. #Walimahan? Ugh!

Usia saya saat ini ** tahun (sencored). Saya belum menikah bukannya tidak laku, hanya saja belum ada yang mau. Eh, sama saja, yak?!

Oke, kita kembali fokus ke pembicaraan tentang hubungan kita posisi saya sebagai guru. Sebagai guru, saya menghadapi banyak murid, tepatnya 109 murid --saat ini. Saya tidak mempunyai anak kandung --kan saya jomblo high quality : D -- sehingga saya tidak memiliki bekal atau keterampilan mendidik anak yang bisa saya terapkan terhadap murid-murid saya di sekolah. Di situlah saya harus banyak belajar bagaimana mendidik anak.

Kamu tahu, kan, bagaimana tingkah anak-anak yang memasuki masa remaja. Tingkahnya banyak yang menjengkelkan nan memancing emosi. Ada tuh yang suka mukul-mukul meja. Ditegur, gantian temannya yang mukul meja. Ditegur lagi, gantian teman yang lain. Di situlah saya belajar bersabar.

Saya sudah menjelaskan panjang kali lebar materinya, kemudian memberi tugas. Ada yang bertanya,”Tadi tugasnya apa, Pak?” Saya jelaskan kembali. Setelah selesai, ada yang bertanya lagi, “Bagaimana, Pak? Saya belum paham tugasnya?” Lagi-lagi saya jelaskan. “Oh, begitu! Terus tugasnya diapakan, Pak?” Arrrgggg.... Saya pun marah kemudian berubah menjadi besar dan berwarna hijau mengucap istighfar, kemudian menjelaskan kembali. Sabar... sabar... jadi guru harus sabar, hibur saya dalam hati.

Banyak murid yang mempunyai masalah dengan temannya. Saling olok, saling pukul, ujung-ujungnya marahan, terus nangis, terus lari-lari keliling lapangan tujuh kali, terus ngambek tidak mau masuk sekolah. Di situ saya belajar bagaimana berkomunikasi dengan dua belah pihak yang sedang perang dingin dan berusaha mendamaikan sengketa.

Ada tuh, disuruh baris-berbaris malah pada bercanda saja. Diberi aba-aba “Siap, grak!” malah masih ngobrol aja. Waktu shalat, disuruh berwudlu, jawabannya sih “Iya, Pak!”, tapi masih dengan tenang duduk-duduk --pura-pura membersihkan sepatu. Di situlah saya belajar untuk tegas.

Ada pula beberapa murid yang berlaku tak sopan, melakukan kesalahan, melanggar tata tertib. Di situ saya belajar bagaimana menegur dan menasehati anak dengan bahasa kasih. Ciee...bahasa kasih....

Dari interaksi selama ini dengan anak-anak yang menginjak remaja itu, saya berpandangan bahwa sebagian dari diri mereka masih belum lepas dari karakter anak-anak –yang suka bermain, berteriak, berlarian, naik ke meja, bermain perang-perangan. Saya maklumi segala “kenakalan” mereka. Saya percaya, seiring waktu berjalan, kedewasaan akan tumbuh dalam diri mereka.

Proses pembelajaran di sekolah itu tidak melulu materi pelajaran dan ujian. Ada banyak pelajaran hidup yang bisa di petik di ladang sekolah. Dan, tak hanya murid yang mengambil pelajaran dari gurunya, guru pun bisa banyak mengambil pelajaran dari murid-muridnya.

Saya banyak mengambil pelajaran dari murid-murid saya. Saya belajar mendidik mereka, berusaha mematangkan diri sendiri, agar pantas jadi pendamping kamu, iya kamu jadi seorang ayah dan pendidik yang berkualitas. Iya, saya belajar menjadi “ayah” bagi murid-murid saya. Jadi, meskipun jomblo, saya memiliki sedikit pengetahuan dan keterampilan mendidik anak, hasil dari interaksi saya selama ini dengan murid-murid saya.#Yeah, ganbate!

Sukoharjo, 17 Oktober 2015

Wednesday, July 22, 2015

Embung Batara Sriten, Desa Pilangrejo, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

Embung Batara Sriten, Desa Pilangrejo, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
Manakah tempat tertinggi di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta? Di Gunungkidul terdapat Gunung Api Purba Nglanggeran yang terkenal dengan ketinggian 700 mdp. Tapi, puncak tersebut bukanlah tempat tertinggi di Gunungkidul. Tempat tertinggi di Gunungkidul yaitu Embung Batara Sriten di Dukuh Sriten, Desa Pilangrejo, Kecamatan Nglipar. Di kawasan embung tersebut terdapat Puncak Mangir dengan ketinggian 896 mdpl.

Embung Batara Sriten merupakan waduk buatan yang dibangun sebagai tempat cadangan air. Ketika musim penghujan, air hujan akan tertampung di dalam embung. Air tersebut akan sangat berguna bagi masyarakat di wilayah tersebut untuk pengairan saat musim kemarau. Apalagi, kawasan sekitar embung ini diproyeksikan sebagai perkebunan manggis dan kelengkeng, tentu dibutuhkan pengairan yang memadai.

Menawan

Indah bukan? Kalau lihat air yang banyak, rasanya pengen nyemplung.
Foto diambil dari gazebo pertama dekat tempat parkir
Jika umumnya embung (waduk) berbentuk lingkaran, tidak demikian dengan Embung Batara Sriten. Embung yang diresmikan tanggal 17 Maret 2015 oleh Gurbernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X ini berbentuk elips tak beraturan yang semakin menambah keelokannya. Di sekeliling embung dibangun pagar dari besi, namun ada papan peringatan yang menyatakan bahwa pengunjung dilarang bersandar pada pagar tersebut.

Ups, dilarang bersandar pada pagar. Baru lihat tulisannya setelah foto.
Jalan di sekeliling embung.
Di Embung Batara Sriten terdapat sebuah pendapa (aula). Di samping pendapa tersebut terdapat sebuah pohon yang cukup besar dengan cabangnya yang meliuk-liuk, membuat siapa saja tertarik untuk memanjatnya. Membutuhkan kelincahan dan kekuatan untuk memanjat pohon tersebut. Banyak pengunjung yang berfoto di atas pohon tersebut. Jika Anda berniat memanjat pohon tersebut, sebaiknya hati-hati karena batangnya besar dan tidak ada pegangan.

Pohon besar yang berada di jalur menuju Puncak Mangir.
Mau manjat pohon, tapi nggak jadi.
Dari tempat pohon tersebut, naik ke atas akan mendapati tempat istirahat, sebuah gazebo yang dibangun darri semen dan beratap genting. Ke atas lagi akan sampai di Puncak Mangir, sebagai lokasi tertinggi di kawasan ini. Dari atas Puncak Mangir, pengunjung disuguhi pemandangan yang eksotis berupa lansekap wilayah Gunungkidul. Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri terlihat dari embung ini. Dari tempat ini pula, Rowo Jombor di Klaten juga kelihatan. Selain itu, dari tempat ini pengunjung juga bisa melihat sebagian daerah di Kabupaten Klaten, Sleman, dan Kota Yogyakarta.

Puncak Mangir. Curam berbahaya.

Rute Menuju Lokasi
Rute menuju Embung Batara Sriten cukup mudah, namun jalurnya menantang. Berikut ini rute menuju Embung Batara Sriten yang dapat ditempuh dari arah Yogyakarta.


Jogja » Jl. Wonosari » Piyungan » Bukit Patuk atau Bukit Bintang » Pertigaan Sambipitu ke kiri menuju arah Nglipar » Perkebunan Hutan Kayu Putih » Pertigaan sebelum Pasar Nglipar ke kiri » Jalan Nglipar-Ngawen » Kedungpoh » Pertigaan timur Kantor Kepala Desa Pilangrejo tepatnya Jl. Nglipar-Ngawen Km. 6,5 ke kiri » ikuti jalan aspal dan cor blok sambil lihat penunjuk arah ke Embung Batara Sriten dan Perbukitan Baturagung (Puncak Tertinggi Gunungkidul)


Sebaiknya Anda mengecek "kesehatan" kendaraan Anda karena ketika sudah masuk Desa Pilangrejo, jalur menuju embung terbilang cukup ekstrim. Jalan masih berupa bebatuan besar yang ditata, belum di aspal. Pada beberapa tempat terdapat tanjakan yang ekstrim. Kelihaian mengendalikan kendaraan sangat diperlukan. Sepeda motor matic tidak direkomendasikan digunakan. Sebaiknya Anda menggunakan sepeda motor bebek atau sepeda motor pria. Mobil bisa lewat jalur ini, namun perlu hati-hati karena jalurnya sempit.

Tiket Masuk
Saat ini, untuk masuk ke kawasan Embung Batara Sriten, pengunjung tidak ditariki retribusi. Cukup membayar parkir sebesar Rp 2.000,- untuk sepeda motor dan Rp 5.000,- untuk mobil, pengunjung bisa menikmati keindahan pemandangan di embung ini.

Fasilitas
Di kawasan Embung Batara Sriten terdapat sebuah pendapa (aula) yang bisa digunakan sebagai tempat istirahat ataupun acara keluarga / komunitas. Terdapat tiga gazebo yang bisa digunakan sebagai tempat beristirahat. Dua gazebo berada di samping embung, dan satunya di atas, sebelum Puncak Mangir. Kawasan embung ini memiliki tempat parkir yang luas yang bisa menampung puluhan mobil dan ratusan sepeda motor.

Kuliner
Sebagai tempat wisata yang baru, belum ada warung makan yang berdiri di Embung Batara Sriten. Penjual makanan keliling pun tak ada. Namun jangan khawatir, turun sedikit ke bawah, ke daerah perumahan warga, terdapat warung makan dan warung kelontong.


Silakan tonton pesona Embung Batara Sriten berikut ini:




~ Galeri Foto ~


Istirahat dulu....
Embung dan pohon
Embung dan pohon. Terlihat pendapa di sebelah kanan
Embung dari Puncak Mangir
Embung dari Puncak Mangir
Pemandangan dari Puncak Mangir ke arah Klaten. Terlihat Rowo Jombor.


Sunday, July 19, 2015

Resensi Novel Glonggong karya Junaedi Setiyono

Resensi Novel Glonggong karya Junaedi Setiyono
Judul: Glonggong
Penulis: Junaedi Setiyono
Tahun terbit:Juli 2007
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Kota terbit: Jakarta
Tebal: 293 halaman

 ***

"Kanjeng Sultan Ngabdulkamid meninggal dunia pada 8 Januari 1855 pukul setengah tujuh pagi waktu Makassar."
Begitulah novel ini diawali dengan narasi tokoh utamanya, Glonggong. Yang dimaksud Kanjeng Sultan Ngabdulkamid ialah Pangeran Dipanegara. Dengan begitu, pada bagian awal novel ini, pembaca memiliki gambaran latar waktu dan tempat, yaitu ketika masa perjuangan Pangeran Dipanegara di Jawa Tengah.

Novel ini tidak secara detail mengisahkan bagaimana jalannya salah satu perang terbesar di Jawa, yaitu Perang Jawa. Tokoh utamanya juga bukan tokoh terkenal yang ada, misalnya sang Pangeran Dipanegara. Penulis lebih memilih mengisahkan perjuangan tokoh akar rumput, seorang pemuda yang bercita-cita menjadi prajurit Pangeran Dipanegara.


Dialah Glonggong, tokoh utama yang namanya diambil dari senjata mainan untuk perang-perangan berupa pelepah pisang. Meskipun masih keturunan ningrat dari Keraton Yogyakarta, Glonggong lebih banyak bergaul dengan rakyat jelata. Oleh karena itulah, ia menjadi sosok yang memiliki kepedulian dan rasa prihatin.


Ayahnya meninggal saat Glonggong masih bayi. Ia dibesarkan oleh ibunya dan ayah tirinya. Namun, ayah tirinya tak memberikan pengasuhan yang baik bagi Glonggong. Sejak kecil, Glonggong pun sudah terbiasa hidup prihatin.


Masa kecil dan remajanya dihabiskan di pedesaan, bergaul dengan masyarakat dan merasakan penderitaan mereka. Ketika dewasa, saat Pangeran Dipanegara berjuang melawan Belanda, Glonggong bertekad bergabung dengan pasukannya. Dengan kemampuannya memainkan senjata glonggong -yang terbuat dari kayu- ia mencari prajurit Pangeran DIpanegara dan bergabung dengan mereka.


Selama menjadi prajurit tersebut, ia belum pernah bertemu secara langsung dengan pangeran Dipanegara. Pertemuannya dengan Pangeran Dipanegara ialah saat Pangeran Dipanegara ditangkap Belanda dengan siasat curangnya.


Perjalanan Glonggong menjadi prajurit menjadi menarik karena melibatkan banyak konflik batinnya. Bagaimana ia menyikapi keluarganya yang penuh kepedihan. Bagaimana ia mengendalikan asmaranya. Bagaimana pula ia menata hatinya saat ia mengetahui bahwa saudarinya menjadi gundik bangsawan.


Sebagai novel berlatar sejarah, alur cerita novel ini memang menarik meskipun alurnya berjalan lambat. Hal ini sepertinya disengaja oleh penulisnya untuk memperkuat karakter tokoh utamanya. Tokoh utamanya dibebani banyak masalah hingga membentuknya menjadi pemuda yang berkemauan kuat dan keras kepala. 


Penulis berhasil menyajikan Glonggong sebagai tokoh yang hidup, yang karakternya seolah-olah benar-benar ada. Terlebih lagi, penulis tidak menciptakan tokoh utama yang sempurna. Bahkan, Glonggong sebagai tokoh utama memiliki banyak kekurangan, juga kegagalan dalam perjuangannya.


Membaca Glonggong, kita akan dibawa menuju atmosfir perjuangan masa penjajahan Belanda. Penulis menggambarkan latar tempat dan suasana dengan apik. Tak lupa, penulis selipkan beberapa kosakata bahasa Jawa, dan pembaca bisa mencari penjelasan kosakata tersebut di bagian Glosari.


Melalui Glonggong, pembaca bisa memahami bagaimana kondisi sosial politik pada masa Perang Jawa. Penulis menggambarkan bagaimana keadaan masyarakat. Penulis juga menggambarkan hubungan bangsawan dengan Belanda.


Dengan begitu banyaknya kelebihan, novel Glonggong --sebagai salah satu novel sejarah-- perlu untuk didarasi. Setidaknya dengan begitu kita bisa menghirup aroma perjuangan Pangeran Dipanegara. Selain itu, transformasi tokoh utama --dari seorang anak kecil yang hidup dalam kepedihan menjadi pemuda matang yang berkepribadian kuat-- akan memberikan banyak pelajaran.


Dalam masalah kekurangan novel ini, terus terang saya belum bisa menemukannya. Mungkin penggambaran latar Jawanya perlu dikuatkan lagi. Secara umum, novel ini sangat bagus. Pantaslah sehingga novel ini menjadi pemenang lomba penulisan novel DKJ 2006.
Ahmad Tohari --dalam endorsmen-- berkomentar tentang novel ini, "Sebuah novel historiografi Perang Dipanegara. Genetika kebobrokan politikus sekarang bisa dilacak dengan jelas dalam novel pemenang lomba penulisan novel DKJ 2006 ini."


Bambang Sugiharto, --guru besar filsafat Unpar Bandung-- berkomentar, "Glonggong, penataan alur dan bahasanya indah menawan; intrik politiknya pelik dan cerdas; karakter tokoh-tokohnya matang dan mendalam; novel sejarah paling mengesankan yang pernah saya baca."

***

Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 19 Juli 2015