Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, June 21, 2016

Pentingnya Rekonstruksi Sejarah dan Kebudayaan Islam

Gambar ilustrasi: www.kiblat.net

Saya merasa prihatin dengan kurangnya minat umat Islam di Indonesia, khususnya para sejarawan dan dai/ulama dalam mempelajari dan mengkaji sejarah dan kebudayaaan Islam di Indonesia. Hanya sedikit orang yang memiliki perhatian yang mendalam terhadap sejarah dan kebudayaan Islam di Indonesia. Pada abad ini, ada nama Hamka yang sangat peduli dengan sejarah umat Islam hingga ia menulis buku berjudul Sejarah Umat Islam. Api Sejarah yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara juga menjadi salah satu buku sejarah yang patut ditelaah. Abdul Hadi W.M., seorang budayawan dan sastrawan juga seorang tokoh yang menyerukan pentingnya penggalian sejarah, khususnya sejarah umat Islam.


Buku Sejarah Umat Islam karya Hamka
Dalam esainya berjudul “Iqbal dan Renaisans Asia”, Abdul Hadi W.M. memaparkan pemikiran Muhammad Iqbal. Esai tersebut terkumpul bersama puluhan esai lain dalam bukunya yang berjudul Cakrawala Budaya Islam (IRCiSoD, 2016). Salah satu penjabarannya mengungkapkan pentingnya rekonstruksi sejarah dan kebudayaan Islam dalam rangka mengenal Diri atau Pribadi umat yang bisa menghantarkan kepada kejayaan umat. Berikut ini saya kutipkan langsung tulisan tentang masalah tersebut yang terdapat pada halaman 149-151.

Dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Iqbal menyebut pentingnya pengalaman dan kesadaran sejarah, di samping eksplorasi pengalaman empiris dan rasional. Tanpa kesadaran dan pengetahuan sejarah, yaitu sejarah Islam secara umum, dan sejarah Islam di tanah airnya, eksistensi umat Islam tidak mempunyai landasan yang kuat dalam kehidupan politik dan kultural di negerinya yang pada masa modern ini, didominasi oleh pengetahuan sejarah dan ideologi Eropa. Penulisan sejarah-sejarah bangsa-bangsa berkembang hanya memakai seumber Eropa dan meletakkan hanya bangsa Eropa yang unggul dalam segala lapangan kehidupan.

Lembaga pendidikan kita dijejali pengetahuan bahwa yang mengembangkan sains, filsafat, seni, dan sastra hanyalah bangsa Eropa yang berakar dari tradisi Yunani-Romawi dan Yahudi-Kristen. Kita bisa membaca bahwa sejarah sains dimulai dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Pythagoras dann Archimedes pada abad ke-3 atau 4 SM, kemudian melompat jauh ke zaman Galileo dan Copernicus. Di situ tergambar seolah-olah bangsa Asia dan orang Islam tidak pernah mengembangkan sains, walaupun dalam kenyataan banyak ilmu-ilmu modern, seperti kimia, matematik, optik, astronomi, botani, metalurgi, fisika, dan lain-lain, sebelum dikembangkan bangsa Eropa telah dikembangkan di Tiongkok, India, Persia, dan Arab Islam sampai ke tingkat tinggi.


Buku Cakrawala Budaya Islam karya Abdul Hadi W.M.

Kita juga bisa membaca sejarah filsafat yang dimulai dengan Socrates, Plato, Aristoteles, dan Plotinus di Yunani pada abad ke-3 dan 2 SM, lalu melompat ke Thomas Aquinas, Roger Bacon, Descartes, dan lain-lain di Eropa pada abad ke-15 dan 17 M. Seolah-olah selama belasan abad sebelum munculnya zaman Scholastic, Renaisans dan Humanistik di Eropa, filsafat dalam bentuknya yang sistematis dan sophisticated tidak pernah dikembangkan oleh orang-orang Hindu, Cina, dan Islam. Padahal kita mengenal sederet nama dari tradisi Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, IbnTaimiyah, al-Biruni, Ibn Khaldun, Umar Khayyam, dan nama-nama cemerlang yang lain dalam lapangan sains dan falsafah.

Umat yang tidak memiliki kesadaran sejarah, dan merasa tidak memiliki sejarah, dengan mudah dapat dipinggirkan. Ia tidak memiliki dasar yang kuat bagi eksistensi kultural dan politiknya, terutama di dunia modern. Orang Indian di Amerika merupakan contoh yang menonjol, begitu juga penduduk pribumi Australia yang disebut Aborigin. Mereka tidak mempunyai sejarah tertulis dan oleh sebab itu hak hidup mereka mudah dipangkas dan kepemilikan atas tanah airnya dipandang sebagai suatu yang ganjil.

Umat Islam di Indonesia hampir mengalami nasib yang sama. Agama dan kebudayaannya, khazanah intelektual dan sumbangannya kepada perjuangan bangsa, dianggap lebih asing dibanding kebudayaan Eropa yang baru berkembang satu setengah abad yang lalu. Karena itu, tidak mengherankan apabila bukan saja pada zaman kolonial, tetapi sejak awal kemerdekaan, melalui zaman Orde Lama dan Orde Baru, umat Islam mudah menjadi bulan-bulanan peminggiran dan dengan cara yang keji dipojokkan terus-menerus. Ia menjadi warna negara kelas dua yang hak asasinya boleh dikesampingkan, karena dikhawatirkan mengancam demokrasi dan kemajuan, serta perkembangan ekonomi.

 

Ahli-ahli sejarah dan kebudayan Eropa selalu menanamkan kesadaran kepada kita bahwa sejarah dan kebudayaan Indonesia ialah sejarah peradadan Hindu dan Eropa, sedangkan sumbangan dan peranan Islam yang besar dikesampingkan secara sistematis. Demikianlah, walaupun umat Islam mayorita dilihat dari jumlah penganutnya, tetapi minoritas dalam buku sejarah dan politik, minoritas dalam ekonomi, perdagangan, dan kebudayaan. Gambaran keliru bahwa Indonesia merupakan negeri berkebudayaan Hindu digembar-gemborkan sampai saat ini, dan setiap usaha menghidupkan kebudayaan Islam dan sejarah Islam dinilai sebagai penentangan terhadap keabsahan dan kemapanan ilmu yang dikonstruksi dan dikemas oleh cara pandang sekuler bangsa penjajah.

Karena itu, selain kesadaran sejarah, kita memerlukan konstruksi pengetahuan baru, di mana khazanah dan sejarah Islam mesti diberi tempat sewajarnya. Begitu pula penekanan harus diberikan terutama kepada watak universal ajarannya.



***
(Yogyakarta, 22 Juni 2016)



Membangun Pola Pikir dan Budaya Kewirausahaan




Selama dua tahun saya bekerja dengan sistem kontrak di perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang otomotif. Saya lulusan SMK dan saat itu usia saya sekitar 20 tahun. Gaji bulanan saya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan. Bahkan, bisa dibilang sudah bisa menyejahterakan saya dan keluarga.

Pada bulan-bulan terakhir saya bekerja sebelum berakhirnya masa kontrak, saya mencoba hal yang baru yang sebelumnya belum pernah terpikirkan. Menjadi sales sepatu. Sehabis pulang kerja, saya berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan sepatu. Hasil dari usaha ini sangat kecil dibandingkan jumlah gaji bulanan yang saya terima. Namun, jumlah yang sedikit itu terasa lebih “manis”. Mungkin karena merupakan usaha sendiri dan dilakukan dengan kerja keras sehingga hasil penjualan sepatu tersebut menjadi sangat berharga.

Pada usia 20 tahun itulah saya mulai tertarik menjadi seorang wirausahawan. Untuk memulai sebuah usaha tidaklah menunggu usia tua, tidak perlu memakan banyak asam garam. Juga tidak ada kata terlalu dini untuk memulai sebuah usaha. Semua orang bisa memulai usaha jika memiliki kemauan. Masa muda adalah masa yang bagus untuk memulai usaha.

Cameron Johnson memulai usaha saat berumur sepuluh tahun dengan membuat kartu ucapan. Sebagaimana dikisahkan olehnya dalam bukunya berjudul You Call the Shots, bisnis kartu ucapan yang dijalankan berjalan lancar dan menghasilkan uang yang tidak sedikit. Satu tahun bisnis kartu ucapannya berjalan, koran bulanan sekolahnya menampilkan cerita tentang Cameron dan bisnisnya, dan hal tersebut membuat bisnisnya semakin dikenal dan semakin maju.


Pola Pikir Kewirausahaan

Saya merasa heran dengan seseorang di daerah saya yang mempunyai banyak usaha. Dan setiap usaha yang dijalankannya hampir semuanya berhasil. Saya berkesimpulan, orang yang sudah mempunyai pengalaman dalam wirausaha akan lebih besar peluangnya untuk sukses daripada orang yang belum berpengalaman. Ibaratnya, seorang pengusaha yang berpengalaman sudah mempunyai rumus kesuksesan, sedangkan seseorang yang belum berpengalaman masih mencari-cari rumus kesuksesan itu.

Kemudian saya dapatkan rumus kesuksesan itu dari T.H. Eker dalam bukunya Think Rich! You Will Get It Comes True!. Ia menyebutnya sebagai cetak biru keuangan. Cetak biru keuangan adalah kondisi pikiran yang melahirkan perasaan dan tindakan terkait dengan pengambilan keputusan dalam masalah keuangan. Sebagaimana dikatakan oleh T.H. Eker, “Pikiran menuntun pada perasaan. Perasaan menuntun pada tindakan. Tindakan menuntun pada hasil.”

Untuk mendapatkan hasil yang baik –yaitu kesuksesan dalam usaha– yang perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir. Pola pikir wirausahawan tentu berbeda dengan pola pikir karyawan. Pola pikir ini diibaratkan oleh Eker sebagai akar dan kesuksesan –sebagai sebuah hasil– dibaratkan sebagai buah. Jika akarnya baik dan kuat, pasti buah yang tumbuh juga baik. Begitu pula sebaliknya.

Dalam rangka menciptakan wirausahawan-wirausahawan muda di Indonesia, yang perlu dilakukan adalah menanamkan pola pikir untuk menjadi wirausahawan yang sukses. Pola pikir kewirausahaan merupakan sebuah pondasi untuk mengubah seseorang menjadi wirausahawan yang tangguh.

Pola pikir inilah yang membawa saya menekuni dunia usaha. Dengan membaca buku-buku kewirausahaan, membaca biografi wirausahawan sukses, mengikuti seminar, dan mendengarkan audiobook, saya mulai membangun pola pikir sebagai wirausahawan. Hasilnya adalah saya benar-benar ingin menjadi seorang wirausahawan yang sukses.

Saya mencoba mendirikan beberapa usaha. Ketika saya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi terkemuka di kota Solo, saya mulai membuka usaha percetakan. Setelah beberapa waktu berjalan, akhirnya hasil usaha saya mampu membiayai kuliah saya.


Budaya Kewirausahaan

Pola pikir merupakan salah satu faktor internal yang mendorong seseorang untuk menjadi wirausahawan. Sedangkan salah satu faktor eksternal yang mendorong seseorang untuk menjadi wirausahawan adalah budaya kewirausahaan. Yang saya maksud dengan budaya kewirausahaan yaitu situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang mendukung lahirnya wirausahawan.

Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah melarang orang-orang keturunan China untuk menjadi pejabat pemerintahan. Akibatnya orang-orang tersebut mencari penghidupan dari berdagang karena hanya itulah jalan satu-satunya yang terbuka lebar. Setelah beberapa dekade, kita bisa lihat orang-orang keturunan China menjadi pengusaha-pengusaha besar yang berpengaruh di negeri ini.

Keterbatasan ekonomi juga menjadi pengaruh yang kuat dalam menciptakan seorang wirausaha. Sebagaimana dikatakan oleh An Nuur Budi Utama, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. An Nuur berhasil menjuarai kompetisi Wirausaha Muda Mandiri 2011 tingkat nasional berkat usaha jasa penerbitan dan percetakan yang didirikannya. An Nuur mengatakan bahwa ide bisnis yang ditekuninya saat ini berawal saat perekonomian keluarganya dalam situasi kebangkrutan. Ia mengatakan, “Kondisi tersebut akhirnya mendorong saya untuk bisa hidup mandiri dan mulai membuka usaha jasa penerbitan dan percetakan” (http://edukasi.kompas.com)

Pengaruh lingkungan sangat kita rasakan. Bila kita bergaul dengan orang-orang yang tertarik dengan dunia selebritis maka topik utama pembicaraan adalah artis dan penyanyi yang sedang trend. Bila kita bergaul dengan orang-orang yang tertarik dengan dunia politik maka topik utama pembicaraan tentunya tentang isu-isu politik yang sedang hangat. Begitu pula, bila kita bergaul dengan orang-orang yang tertarik dengan dunia usaha maka topik utama pembicaraan adalah tentang dunia usaha. Pembicaraan-pembicaraan tentang dunia usaha inilah yang akan memberikan wawasan dan pemahaman kepada kita tentang kewirausahaan.

Membangun pola pikir dan budaya kewirausahaan membutuhkan program yang sistematis dan waktu yang panjang. Beberapa strategi yang bisa diterapkan yaitu dengan memberikan pemahaman kewirausahaan di sekolah-sekolah, mengadakan seminar kewirausahaan, membentuk kelompok usaha, dan pengadaan modal usaha.

Saat ini sudah ada mata kuliah kewirausahaan di SMK. Di beberapa universitas juga sudah ada program penelitian kewirausahaan yang dibiayai oleh pemerintah maupun oleh universitas itu sendiri. Pemerintah juga membuat program yang mendukung kewirausahaan dengan memberikan pinjaman modal atau memberikan dana hibah untuk memulai usaha. 



Saturday, June 18, 2016

Kutemukan Tuhan dalam Keheningan Langit Malam

Ilustrai gambar: megapolitan.kompas.com

ketika malam semakin kelam dan mataku belum mau terpejam atau ketika detik jam dinding membangunkanku dari mimpi lalu menyadarkanku di tengah udara dingin malam, aku suka mencengkeramai sang waktu sambil bergegas keluar rumah, sejenak duduk atau berdiri di halaman, lalu melemparkan pandangan ke atas, ke arah langit yang seolah takberbatas

aku sering takjub dengan apa yang bisa ditangkap oleh penglihatanku atas apa yang ada di atas sana, yaitu langit yang menampakkan bebintang takterhitung jumlahnya dengan intensitas cahaya yang beraneka rupa, mulai dari yang cemerlang hingga yang terlihat samar-samar, yang berpadu dalam susunan sungai susu yang indah berkilauan mengundang decak kagum yang tak henti-hentinya

rembulan pun tak kalah turut memencarkan sinar keindahan dalam wujudnya yang bundar purnama, atau ketika terlihat setengah, seperempat, menjelma sabit, yang kesemuanya memendarkan kesyahduan malam hingga pikiran pun melayang-layang menggapai sesuatu di luar materi dan logika, yang mengatakan bahwa penciptaan ini bukanlah sekadar main-main belaka


angin malam yang menyusupkan dingin di kulit seolah memberi kabar bahwa malam telah larut dan berbincangan sudah tiada terdengar, waktunya untuk merenungi alam: udara dan air, tanah dan pasir, rerumputan dan bunga-bunga, pepohonan dan gunung-gunung, sungai-sungai dan lembah, bebatuan dan emas permata, yang kesemuanya mengatakan bahwa aku ada untuk memberi pelajaran


dalam sudut terdalamnya, jiwa berkata, wahai diri, mengapa engkau menjadi orang yang bebal yang takpandai merabai alam dalam gerak dan diamnya, yang takbisa merasai gerak semesta dalam ketakterbatasan dan kefanaannya, yang takmau meresapi tanah, air, udara dalam puji dan tasbihnya

lalu, diri mulai dirambati jiwa yang merasa sepi oleh gelapnya malam, oleh dinginnya angin, oleh lirihnya gerak pepohonan, yang segera saja mengantarkannya pada kesadaran bahwa ia ada karena dicipta, ia mengada karena dicipta, ia tiada karena dicipta, lalu sekonyong-konyong hatinya luluh seperti luluhnya salju yang terhangati sinar matahari

akhirnya, dengan suara lantang batinnya berucap, Tuhan... dalam keheningan langit malam ini, aku menemukan-Mu...


(Yogyakarta, 18 Juni 2016)


Wednesday, June 15, 2016

Karena Jarak, Terbitlah Rindu


Hai, kamu 

--jodohku yang sedang kutunggu
Mari kita bincangkan tentang rindu

Rindu hadir karena adanya halangan 

untuk bertemu
Jika setiap saat selalu bersama
tentu tak akan muncul rasa rindu

Adanya ketakbersamaan menghadirkan rindu

Ialah jarak
Jika ada jarak antara aku dan kamu
di situlah tumbuh benih rindu
Semakin panjang jarak itu
semakin tumbuh besar dan kuat rasa rindu

Jarak bisa berupa ruang atau waktu

Rindu akan tertumpahkan jika jarak 
--ruang dan waktu-- 
menjadi tiada
Artinya, aku dan kamu berada di satu tempat 
dalam waktu yang bersamaan
Di saat itulah rindu bisa terobati
Renjana dalam hati bisa terpuasi

Selamat malam, rindu...


***
(Sukoharjo, 29 Maret 2016)



Tuesday, June 14, 2016

Naskah Drama Permadi - Prameswari

Para pemeran pementasan drama "Permadi - Prameswari"
Naskah Drama Permadi - Prameswari
Karya: Sukrisno Santoso


***

BABAK 1
 

***
Menurut catatan sejarah, setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, berdirilah kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa. Ialah Kasultanan Demak dengan sultan pertamanya yaitu Raden Patah. Kasultanan Demak mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang perdagangan. Pelabuhan yang dibangun di pesisir pantai utara, menjadi pusat perdagangan antarnegara.

Kasultanan Demak bercita-cita mempersatukan Tanah Jawa agar terjalin kekuatan yang dapat menghalau ancaman dari luar seperti penjajah. Kasultanan Demak juga berusaha menyebarkan agama Islam di seluruh Tanah Jawa. Beberapa kerajaan kecil di Tanah Jawa menerima ajaran yang disebarkan oleh para Sunan utusan Demak. Namun, beberapa kerajaan yang lain menolak. Bahkan, ada yang terang-terangan memusuhi Kasultanan Demak.

Di salah satu kerajaan yang memusuhi Kasultanan Demak, hiduplah seorang pemuda yang gagah, tampan, dan baik hatinya. Raden Permadi namanya. Permadi merupakan putra tertua Prabu Prajaka yang memerintah kerajaan tersebut.

Raden Permadi, sang pemuda gagah itu kini hatinya sedang gundah-gulana. Malam-malamnya diisi oleh kerinduan yang menelusup ke dalam jiwanya. Seorang wanita telah mencuri hatinya. Siapakah gerangan wanita yang memikat hati Raden Permadi. Ialah Prameswari, wanita yang ayu, lembut tuturnya, dan halus budinya. Prameswari adalah putri seorang senopati Demak, yaitu Senopati Priyambaka.

Alkisah, Prameswari bersama para Bawangnya, yaitu Bawang Merah, Bawang Putih, Bawang Ungu, dan Bawang Bombay, sedang bercengkrama di belakang kediaman Senopaten.

***
(Prameswari, Bawang Merah, Bawang Putih, Bawang Ungu, dan Bawang Bombay masuk ke atas panggung diiringi irama instrumen lagu Jawa “Gethuk”)

Prameswari : Sik, sik. Tak absen dhisik. Bawang Merah?
Bawang Merah : Hadir!
Prameswari : Bawang Putih?
Bawang Putih : Sendika dhawuh, Tuan Putri!

Prameswari : Bawang Ungu?
Bawang Ungu : Kula!
Prameswari : Bawang Bombay?
Bawang Bombay: Iya, iya, saya hadir, Tuan Putri! Bawang Bombay selalu hadir untuk Tuan Putri!

Prameswari : Para Bawangku, sore-sore begini enaknya kita ngobrol santai. Apa ada yang membawa sebuah berita?
Bawang Bombay: Iya, iya, Bawang Bombay membawa berita heboh. Kalian tahu nggak?
Bawang Merah : Nggak tahu. Memang ada apa Bawang Bombay?

Bawang Bombay: Masak nggak tahu sih?!
Bawang Ungu : Ye iye lah. Lha kamu belum ngasih tahu apaan.
Bawang Bombay: Oh, iya, ya. Eh, aku ada info terbaru, up to date. Dengar-dengar, prajurit Demak sedang menyiapkan diri. Katanya akan ada serangan.

Bawang Merah, Bawang Putih, Bawang Ungu: Hah?! Serangan?!
Bawang Bombay: Iya, ada pasukan besar yang akan menyerang Demak.
Bawang Putih : Wah, kojur iki Mbak Yu.

Prameswari : Sudah, sudah. Jangan terlalu khawatir. Apa yang dikatakan oleh Bawang Bombay belum tentu benar. Mungkin itu hanya gosip infotainmen. Bawang Bombay, kamu jangan terlalu banyak menonton televisi.

(Permadi bersama tiga pengawalnya, yaitu Bendul, Jon, dan Waluyo masuk ke atas panggung diiringi irama instrumen lagu Jawa “Cucak Rawa”. Para pengawal berdiri di depan, sedangkan Permadi di belakang)

Bawang Ungu : Tuan Putri, mereka siapa?
Bawang Putih : Kalau dilihat dari pakaiannya, sepertinya mereka prajurit.
Bawang Merah : Iya. Tapi, sepertinya mereka bukan prajurit Demak. Hati-hati, Tuan Putri. Kita pergi saja dari sini, Tuan Putri!

Bawang Bombay: Iya, Tuan Putri, kita pergi saja dari sini. Atau kita teriak panggil para prajurit Senopaten.
Bawang Ungu : Coba kita tanyai mereka, Tuan Putri!
Prameswari : Cobalah kamu tanyai mereka, Bawang Merah!


Bawang Merah : Oke, Tuan Putri! (berdehem) Uler keket mlaku ngidul. Sampeyan sapa kok ujug-ujug njedul?
Bendul : Tak jawab, yo! Uler keket mlaku ngetan. Aku lan kanca namung tiyang dolan. Lha, kalian ini siapa? Dari tadi terlihat bersandau gurau dan tertawa.

Bawang Putih : Kami ini para Bawang. Aku Bawang Putih, ini Bawang Merah, ini Bawang Ungu, dan ini Bawang Bombay..
Waluyo : O… o… kalian para Bawang, ya. Kalian tampak ayu dan bersahaja. Siapakah bendara kalian?

Bawang Bombay: Bendara kami itu Putri Prameswari, yang terkenal kecantikan dan kelembutannya di Demak ini.
Bawang Merah : Kalian, sebenarnya siapa, kalian pasti prajurit karena kalian membawa panah dan tombak.

Bawang Putih : Iya, untuk apa kalian membawa senjata berupa tombak dan panah?
Jon : Bawang Putih yang jelita, ini panah bukan sembarang panah. Panah ini mempunyai kegunaan yang khusus.

Bawang Putih : Memang apa kegunaan panah itu?
Jon : Panah ini untuk memanah hatimu. (Memperagakan gerakan memanah) Tahu nggak itu tadi panah cinta buat kamu.

Bawang Putih : (Tersipu malu) Masnya lucu, ya.
Bawang Bombay: Kalian sukanya mengganggu saja, kalian pergilah dari sini!

Jon : Eh, lha dalah… yang ini galak ternyata. Aku panah juga (memperagakan gerakan memanah) Tahu nggak, itu tadi panah beracun buat kamu.
Bawang Bombay: Huh, pergilah dari sini sebelum kami panggilkan para prajurit senopaten.

Bawang Merah : Iya, cepat pergi!
Prameswari : Sebentar, sebentar. Aku sepertinya mengenal pemuda di belakang itu. Itu Permadi. Putra Prabu Prajaka. Aku mengenalnya.

Permadi : (maju ke depan, berdehem) Prameswari!
Prameswari : Iya, Kakang Permadi!
Prameswari : Semakin hari, engkau di mataku semakin ayu saja.

Para pengawal : Cie… cie…
Permadi : Husss… diam. Kroco-kroco ngganggu saja.

Prameswari : Kakang Permadi, mengapakah engkau masih berani ke sini. Kalau para prajurit Senopaten melihatmu, niscaya engkau akan ditangkap. Engkau tahu bahwa ayahmu sangat memusuhi Demak. Sedangkan ayahku adalah salah satu senopati kepercayaan Sultan Demak. Engkau menantang bahaya dengan datang ke sini.

Permadi : Prameswari, seribu gunung kan kudaki, seribu lautan kan kuseberangi, hanya untuk bertemu dengan engkau.
Para pengawal : Cie… cie…

Prameswari : Kakang Permadi, cepat kembalilah sebelum ada prajurit Senopaten yang datang ke sini.
Permadi : Prameswari, bolehkan aku bertanya kepadamu?

Prameswari : Silakan, Kakang Permadi.
Permadi : Prameswari, bapak kamu tukang pukul bedug, ya?

Prameswari : Kok tahu?
Permadi : Karena kamu telah menjedug-jedugan hatiku. Ahai…..

Permadi : Aku mau bertanya lagi, Prameswari. Bapak kamu petinju, ya?
Prameswari : Kok tahu?

Permadi : Karena kamu telah mengklepek-klepekan hatiku. Ahai…..
Permadi : Aku mau bertanya lagi, Prameswari. Bapak kamu jualan bakso, ya?

Prameswari : Kok tahu?
Permadi : Karena aku kemarin jajan tapi masih ngutang.

Prameswari : Kakang Permadi, apa tujuanmu kemari?
Permadi : Prameswari, sudah berulang kali aku mengungkapkan perasaanku kepadamu. Berulang kali pula engkau menghindar. Prameswari, aku berniat hendak menyuntingmu?

Para Bawang : Hah? Menyunting?
Bawang Bombay: Bahaya ini, Tuan Putri. Bahaya.
Bawang Merah : Berani sekali dia mau melamarmu, Tuan Putri. Usir saja dia, Tuan Putri.

Prameswari : Maksud engkau memang baik untuk menyuntingku Raden Permadi. Namun, sayang engkau dan aku berbeda agama. Lagipula, engkau adalah Permadi, putra Prabu Prajaka, yang memusuhi Kasultanan Demak sejak dulu.

Permadi : Apalah arti sebuah nama. Sekuntum bunga mawar, tetap memiliki keharuman yang sama meski disebut dengan nama lain[1]. Jika bisa, ingin ku lahir bukan sebagai putra raja,bukan sebagai Permadi sehingga aku bisa berkasih denganmu tanpa terintang apapun.

Prameswari : Kembalilah, Kakang Permadi.
Permadi : Kamu membuatku galau tingkat tinggi, Prameswari. Tapi, ketahuilah, wahai Prameswari, aku akan senantiasa menjaga hatiku ini, siapa tahu suatu hari nanti engkau bukakan pintu hatimu. Sampai jumpa, Prameswari.

(Permadi bersama tiga pengawalnya pergi meninggalkan panggung)


***
(Senopati Priyambaka datang kemudian berbicara kepada Prameswari)

Priyambaka : Duh, putriku, permata hatiku, mengapakah wajahmu tampak lesu begitu?
Prameswari : Ayahanda, aku ra papa. Ada apa ayahanda datang kemari?

Priyambaka : Begini putriku, tadi siang dilaksanakan musyawarah di Kasulatanan. Intinya, prajurit Demak harus disiagakan karena mendapat ancaman dari kerajaan lain. Ayahandamu ini mendapat kehormatan untuk senopati utama memimpin pasukan di garis depan. Sungguh ini adalah sesuatu yang membanggakan.

Prameswari : Ah, ayahandaku tercinta, itu suatu kehormatan. Akan tetapi, tentu aku sangat mengkhawatirkan keselamatan ayahanda.

Priyambaka : Jangan khawatir putriku. Kematian sudah ditakdirkan Allah. Ini adalah kesempatanku untuk membela agama, membela negara, membela tanah air. Meskipun mengorbankan nyawa, itu adalah suatu kehormatan.

Prameswari : Ah, ayahandaku, engkau memang patriot sejati.
Priyambaka : Langit sudah beranjak gelap. Segeralah masuk ke dalam, Prameswari.
Prameswari : Iya, sebentar lagi ayahanda. Silakan ayahanda masuk terlebih dahulu.

(Senopati masuk ke dalam rumah [meninggalkan panggung])

Bawang Bombay: Mengapakah wajah Tuan Putri tampak bersedih? Janganlah bersedih, Tuan Putri! Ayah Tuan Putri adalah senopati yang gagah berani. Beliau insya Allah berhasil menghadang serangan pasukan musuh.

Prameswari : Aku memang mengkhawatirkan keselamatan ayahku, wahai para Bawang! Namun, aku juga mengkhawatirkan keselamatan Permadi.

Bawang Merah : Hah? Permadi? Mengapa Tuan Putri mengkhawatirkan keselamatannya?
Bawang Ungu : Jangan-jangan….. ah….
Bawang Putih : Tuan Putri suka kepada Permadi, ya?

Prameswari : Iya, wahai para Bawang. Sebenarnya aku juga menaruh hati kepadanya. Ia pemuda yang baik, ramah, dan halus tutur katanya. Namun, sayang dia belum memeluk agama Islam. Aku sering berdoa semoga Allah memberikan hidayah kepadanya agar menikmati indahnya Islam.

Bawang Bombay: Jangan bersedih, Tuan Putri! Kata orang-orang bijak, kalau jodoh tak akan kemana larinya. Ingkang sabar nggih.

Prameswari : Duh, para Bawang, hatiku terasa sesak. Seolah-olah ada gunung yang ditimpakan di atas dadaku. Lihatlah senja semakin beranjak menuju malam. Lingsir wengi, atiku sansaya nelangsa.

Bawang Ungu : Daripada hati bergalau tak menentu, lebih baik kita menonton anak-anak yang menari dan menyanyi di sana itu, Tuan Putri.
Prameswari : Iya, para Bawang. Mari kita menghibur diri dengan tarian dan nyanyian.

(Prameswari dan para Bawang meninggalkan panggung)

***

BABAK 2

***
Prabu Prajaka beserta pasukannya bergerak ke arah Demak. Mereka akan menyerang Demak habis-habisan. Pasukan Prabu Prajaka dipimpin oleh ketiga senopati andalannya, yaitu Senopati Banyak Sendok, Senopati Gajah Mabur, dan Senopati Semut Jlitheng.

(Prabu Prajaka, Patih Sulindra, para senopati [Banyak Sendok, Gajah Mabur, Semut Jlitheng], dan para prajurit masuk ke panggung menunggang kuda diiringi instrumen lagu Jawa “Jaranan”)

Prabu Prajaka : Pasukanku! Di depan sana pasukan Demak sudah menghadang! Seranglah mereka dengan segenap kemampuan kalian. Banyak Sendok!
Banyak Sendok : Sendika Dhawuh, Gusti Prabu!

Prabu Prajaka : Kamu atur pasukan di sebelah kiri. Gempur habis-habisan pasukan Demak dari kiri.
Banyak Sendok : Siap laksanakan, Gusti Prabu!

Prabu Prajaka : Semut Jlitheng!
Semut Jlitheng : Sendika Dhawuh, Gusti Prabu!

Prabu Prajaka : Kamu atur pasukan di sebelah kanan. Gempur habis-habisan pasukan Demak dari kanan.
Semut Jlitheng! : Siap laksanakan, Gusti Prabu!

Prabu Prajaka : Gajah Mabur! Gajah Mabur!
Gajah Mabur : Nggih… nggih… kula Gajah Mabur, Gusti Prabu!

Prabu Prajaka : Kamu pimpin pasukan di tengah. Bersamaku nanti menggempur pasukan inti Demak.
Gajah Mabur : Nggih… nggih… siap laksanakan, Gusti Prabu!

Prabu Prajaka : Paman Patih Sulindra!
Patih Sulindra : Kula, Gusti Prabu!
Prabu Prajaka : Paman Patih tetaplah selalu di sampingku!
Patih Sulindra : Sendika Dhawuh, Gusti Prabu!

Gajah Mabur : Eh, lihat siapa itu, ada orang yang datang ke sini menunggang kuda?

(Permadi datang menunggang kuda, memutari pasukan, kemudian memarkir kudanya. Permadi menghadap kepada ayahnya)

Permadi : Sembah bekti, Rama Prabu.
Prabu Prajaka : Iya, putraku. Ada apa kamu menyusulku kemari? Kamu berdiamlah di kraton untuk menjaga kraton.

Permadi : Rama, maafkan putramu ini. Rama, aku ingin Rama menghentikan rencana penyerangan ke Demak.
Prabu Prajaka : Hah? Tidak bisa, Permadi. Aku tidak akan hidup tenang selama Demak masih berdiri.

Permadi : Tapi, apa salah Demak sehingga kita harus menyerang mereka, Rama Prabu?
Prabu Prajaka : Mereka semakin hari semakin maju. Mereka juga menyebarkan agama baru. Itu kesalahan mereka. Kerajaan kita terancam dengan keberadaan mereka.

Permadi : Tapi, Rama Prabu, bukankah selama ini Demak tidak pernah mengusik kita.
Prabu Prajaka : Sudahlah, Permadi. Kembalilah ke kraton. Aku tetap akan melanjutkan penyerangan ke Demak. Keputusanku ini tidak bisa diganggu gugat. Kembalilah, Permadi!

(Prabu Prajaka beserta pasukannya berangkat melanjutkan perjalanan ke Demak)

Permadi : Bagaimana ini? Rama akan menyerang Demak. Kalah atau menang, aku tetap menanggung kekalahan. Jika pasukan Rama yang menang, aku akan kehilangan Prameswari. Tentu ia akan sangat membenciku. Jika Demak yang menang, aku akan kehilangan Rama. Aku harus menghentikan peperangan ini. Aku ingin kerajaan ini bisa hidup berdampingan dengan Demak. Aku mengkhawatirkan keselamatan Prameswari. Aku harus mengabarinya bahwa pasukan ayahku akan menyerang Demak agar ia bisa mempersiapkan diri atau berlindung di tempat aman. Ah, aku akan mengirim pesan bbm kepada Prameswari.

(Permadi mengambil smartphone dan mengetik pesan. Kemudian terdengar suara pesan masuk bbm)

Permadi : Hah? Ternyata Demak juga sudah menyiagakan pasukan? Pasti akan terjadi peperangan besar-besaran. Aku harus menghentikan pertumpahan darah ini.

(Permadi mengambil kudanya dan berangkat menyusul pasukan)

***

BABAK 3

***
Pasukan Demak di bawah pimpinan Senopati Priyambaka sudah bersiaga menyambut pasukan Prabu Prajaka. Mereka tampak sumringah dan penuh semangat. Di sisi lain, pasukan Prabu Prajaka datang dengan segenap kekuatan dan kemampuan. Kedua pasukan pun berhadap-hadapan.

(Pasukan Senopati Priyambaka masuk ke panggung diiringi instrumen musik “Pink Panther” versi original. Pasukan Prabu Prajaka masuk ke panggung diiringi instrumen musik “Pink Panther” versi ska)

Prabu Prajaka : Hei, kowe Senopati Priyambaka! Menyerahlah maka kamu akan aku ampuni!
Priyambaka : Jika tombak sudah berhadapan dengan tombak, pedang berhadapan dengan pedang, pantang untuk mundur dan menyerah. Aku, Senopati Priyambaka akan mempertaruhkan nyawaku untuk membela agama dan negeraku.

Patih Sulindra : Heh, wani kowe? Lunga ning pasar tuku kupat. Majua yen wani, bakal tak sikat.
Priyambaka : Tuku kupat etuk ragi. Ayo maju bakal tak pejahi.

Patih Sulindra : Ayo maju!
Priyambaka : Majua!

Prabu Prajaka : Ayo maju, Paman Patih!
Patih Sulindra : Heh, kula? Ampun kula rumiyin, kula pun sepuh. Prajurit-prajurit yang masih muda ini yang maju duluan.

Priyambaka : Ayo maju!

(Kedua pasukan berperang. Mereka melakukan perang tanding satu per satu. Yang paling terakhir ialah perang tanding antara Prabu Prajaka dan Senopati Priyambaka. Di tengah kecamuknya perang, Permadi datang berusaha menghentikan peperangan. Begitu pula, Prameswari juga datang karena mengkhawatirkan keselamatan ayahnya)

Permadi : Stop… stop… hentikan peperangan!
Prameswari : Hentikan perang. Ayahanda, jangan ada darah tertumpah!

Permadi : Mereka tidak mau berhenti juga. Ah, aku ada ide. (mengeluarkan peci Pembina pramuka dan mengenakannya, kemudian mengambil peluit dan meniupnya) Priiiitt… priiiittt…..

(Seketika kedua pasukan berbaris rapi membentuk dua barisan menghadap ke arah Permadi)

Permadi : Siap, grak! Lencang depan, grak! Tegak, grak! Istirahat di tempat, grak!
Prameswari : Wah, hebat, Kakang Permadi! Mereka langsung berhenti.

Permadi : Iya, gara-gara peluit ini. Ini barang sakti. Sekali ditiup mereka akan menuruti aba-aba. (menghadap ke pasukan) Saya ini mau bicara, kalian tetap saja berperang. Kalau ada orang yang mau bicara mbok didengarkan dulu. Paham?
Pasukan : Siap, nggih!

Permadi : Sekarang saya mau berbincang dengan Prameswari, kalian diam dulu. Paham?
Pasukan : Siap, nggih!

Prameswari : Mereka menurut, ya, Kakang Permadi?
Permadi : Iya. Itu tandanya mereka dahulu ikut Pramuka. Kalau anggota Pramuka itu mendengar suara peluit langsung berkumpul. Mereka disiplin. Begini-begini, saya ini juga Pembina Pramuka, lho!

Prameswari : Oh, terus sekarang bagaimana, Kakang Permadi? Akankah mereka akan berhenti berperang?
Permadi : Ayahku sudah bertekad akan menggulung pasukan Demak. Begitu pula, ayahmu tentu akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan Demak. Prameswari, jika peperangan ini tetap berlanjut, mungkin aku akan terbunuh. Akan tetapi sebelum hal itu terjadi, aku ingin membacakan sebuah puisi untukmu. Dengarkanlah, Prameswari!

Prameswari : Iya, aku dengarkan, Kakang!
Permadi : Aku ingin. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan api kepada kayu yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.[2]

Prameswari : Hatiku trenyuh mendengarkannya, Kakang! Sekarang mari kita bujuk mereka agar menghentikan peperangan.

Permadi : (menghadap ke arah Prabu Prajaka) Rama Prabu! Tolong hentikan peperangan, Rama!
Prabu Prajaka : Tidak, putraku! Perang tidak bisa dihentikan sampai salah satu dari kami mati.

Permadi : Rama Prabu, tidakkah perang ini sia-sia? Menang jadi arang kalah jadi abu-abu. Perang ini hanya akan mengakibatkan penderitaan dan kesedihan, Rama.
Prabu Prajaka : Tidak, Permadi. Demak berusaha menguasai Tanah Jawa. Mereka juga menyebarkan agama baru kepada rakyat. Itu pengaruh yang buruk.

Permadi : Rama, apakah penganut agama baru itu akan Rama perangi semua?
Prabu Prajaka : Iya. Akan aku perangi semua.

Permadi : Termasuk aku, Rama?
Prabu Prajaka : Iya, eh, eh, kamu, Permadi? Maksudmu apa?

Permadi : Dengarkan aku, Rama! Aku menyadari bahwa agama yang disebarkan oleh Demak adalah agama yang baik. Aku menyadari bahwa kemajuan Demak dan kesejahteraan rakyat Demak yang semakin meningkat tak bisa lepas dari ajaran agama yang mereka anut. Agama mereka mengajarkan kebaikan dan tolong-menolong sesame. Maka aku pun mulai tertarik hingga aku mengikuti agama mereka, Rama.

Prabu Prajaka : Benarkah? Kamu membuatku bingung, Permadi!
Permadi : Jika Rama ingin memerangi semua penganut agama baru itu, maka Rama juga akan memerangi aku.

Prabu Prajaka : Tentu tidak, putraku! Bagaiamana mungkin seoang ayah akan memerangi anaknya.
Permadi : Satu hal lagi yang mau aku sampaikan, Rama.
Prabu Prajaka : Apa itu, putraku?

Permadi : Rama, sebenarnya putramu ini sedang jatuh cinta dengan gadis yang cantik jelita dan berbudi luhur. Ketahuilah, Rama, bahwa gadis itu adalah Prameswari, putri dari Senopati Priyambaka.
Prabu Prajaka & Senopati Priyambaka : Apa?!
Para prajurit
Prabu Prajaka : Apa?!
Para prajurit Senopati Priyambaka : Apa?!
 
Permadi : Setelah Rama mengetahui aku memeluk agama baru itu dan aku mencintai putri dari Senopati Priyambaak, apakah Rama akan membenciku? Apakah Rama akan membinasakanku bersama pasukan Demak ini?

Prabu Prajaka : Oh, putraku. Engkau putraku satu-satunya. Rama tak pernah mengira engkau akan memeluk agama baru itu. Juga, tak mengira kamu mencintai putri dari Senopati Demak itu. Rama tak akan membencimu. Kini Rama sadar, selama ini Rama dihinggapi kebencian kepada Demak tanpa alasan yang jelas.

Permadi : Jika demikian, bukankah peperangan tidak perlu dilanjutkan, Rama. Karena peperangan hanya menghasilkan luka dan tangis.

Prabu Prajaka : Iya, putraku. Rama akan hentikan peperangan. Lagipula, engkau mencintai putri Senopati Priyambaka. Rama tidak ingin membuatmu bersedih. Rama tentu akan merestui engkau untuk menikah dengan putri dari Senopati Demak itu.

Prabu Prajaka : (kepada Senopati Priyamabaka) Putraku sudah membukakan mataku. Sekarang aku tak ingin melanjutkan serangan ke Demak. Bahkan, aku ingin menikahkan putraku dengan gadis yang dicintainya, yaitu putrimu, Senopati! Bagaimana tanggapanmu?

Priyambaka : Syukur Alhamdulillah. Itu adalah tawaran yang tak bisa saya tolak. Dengan menikahkan putramu dengan putriku, berarti kita menyatukan dua insan yang saling mencinta. Lebih dari itu, kita juga menyambung tali persatuan antara kerajaan kita.

(Prabu Prajaka dan Senopati Priyambaka berjabat tangan diikuti para prajurit diiringi dengan irama musik shalawatan. Panggung ditutup.

***
[1] Kutipan dari novel Romeo Juliet karya Shakespeare
[2] Kutipan puisi “Aku Ingin” dalam Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono



*) Naskah drama ini dipentaskan dalam Gebyar Seni Islam & Budaya Insan Sukoharjo, pada tanggal 1 November 2014 di Alun-alun Kota Sukoharjo.

Cuplikan pementasan drama
 

~ GALERI FOTO ~

















Sunday, June 12, 2016

Hijab

Gambar ilustrasi: hellohijabers.wordpress.com

Tiga gadis muda berjilbab memasuki kost mereka sambil menenteng beberapa tas. Setelah duduk di kursi, mereka membuka isi tas tersebut.

 
"Huahh, cape' bingitz!" kata Alya sambil membuka-buka bungkusan berisi kain dari dalam tas.
"Iya, cuapek," tanggap Binar yang juga mengeluarkan bungkusan kain dari dalam tasnya. "Wah, kamu beli banyak, tuh.

 "Iya, hijabnya bagus-bagus," sambung Alya. "Aku cuma beli 4 tadi. Penginnya beli lagi, tapi ntar dompetku bisa nangis."

Alya membuka dompetnya dan memperlihatkan penghuninya yang tinggal selembar uang berwarna biru.
"Aku belinya cuma 3. Tanggal tua, napas menipis. Kapan lagi ya ada Hijab Fair gitu lagi."
 

"Eh, kok kamu nggak beli hijab sama sekali?" tanya Alya kepada gadis satunya lagi, Sandy.
 "Yang aku cari nggak ada tadi," jawab Sandy agak cuek.

"Apa?" kata Binar. "Banyak model hijab bagus-bagus gitu, nggak ada sama sekali yang kamu suka?"
"Atau kamu lagi nggak punya duit? Kan bisa pinjam kami dulu," kata Alya.
"Bukannya nggak ada duit," Sandy menjawab. "Tapi bener kok yang aku cariin nggak ada"
 

"Emangnya kamu nyari model hijab yang gimana sih?" tanya Alya.
"Aku lagi nyari-nyari hijab qobul," kata Sandy dengan wajah memandang ke atas.

"Heh, itu bukan hijab, tapi ijab! Dan kagak ada yang jual kayak gitu!" kata Alya dengan nada keras.

Tuiiiinnggg....tiba-tiba wajan ama panci melayang ke arah Sandy.


Membangun Tenda

Lokasi: Buper Borobudur, Magelang

Dalam sebuah perkemahan Pramuka, seorang lelaki terlihat piawai dalam mendirikan tenda. Kawan-kawannya banyak bertanya kepadanya perihal simpul dan ikatan untuk mendirikan tenda. Sebut saja lelaki itu Krisna.


"Mengikat ujung tongkat ini pakai ikatan apa?" tanya salah satu kawannya.
"Pakai ikatan pangkal," jawab Krisna. "Yang itu pakai simpul jangkar, ya."


"Talinya kurang, nih," kata seorang kawannya yang lain.
"Kalau talinya kurang panjang, sambung dengan simpul mati. Ikat yang kuat biar tendanya kokoh," kata Krisna.

"Tongkat-tongkat buat pagar ini pakai ikatan apa?" tanya kawan lainnya lagi.
"Yang tegak lurus, pakai ikatan palang. Kalau yang menyilang atau miring itu pakai ikatan silang." Krisna menjawab semua pertanyaan kawan-kawannya dengan sabar. Diterangkannya simpul dan ikatan yang tepat untuk mengikat agar kuat. Sesekali dicontohkannya cara membuat simpul atau ikatan tersebut.
 

"Wah, kamu pinter ya membangun tenda," puji seorang kawannya yang lebih senior.
"Iya, soalnya lumayan lama belajarnya," kata Krisna menanggapi.
"Tapi, sayangnya kamu belum bisa membangun rumah tangga," kata kawannya tersebut yang lalu disambut keheningan yang panjang.

 
(Krik...krik...)