Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, October 14, 2014

Aku Pernah Jadi Mahasiswa

Gambar ilustrasi: www.facebook.com/KartunNgampus

Aku pernah jadi mahasiswa
Empat tahun lamanya
Mengejar gelar sarjana
Di Jalan Tromol Pos satu, Pabelan, Kartasura
Universitas Muhammadiyah Surakarta disebutnya

Waktu itu aku masih muda, unyu, dan menggemaskan seperti boneka panda

Awal mula disambut dengan Masta lalu PPA
Dibentak kakak panitia dari pagi sampai senja

Lalu hari-hari kuliah berjalan manasuka

Datang pagi-pagi duduk di depan ruang kuliah menunggu dosen yang tercinta
Lima menit sepuluh menit dosen belum kelihatan mukanya
Lima belas menit berlalu berarti perkuliahan pagi ini tiada
Ini di-PHP-in dosen namanya
Aku pun kecewa
Esoknya aku mau membalasnya
Ketika kuliah sang dosen mengajar seperti biasa
Aku yang tak mau masuk ke kelasnya
Bodohnya, yang rugi aku tentunya
Karna presensiku berlubang dua

Kuliah pagi itu penuh dilema
Jalanan ramai bersalipan dengan bus kota
Melaju kencang bak Rossi atau Pedrosa
Sayangnya, arus macet jadi kendala
Apalagi kalau si komo lewat bisa tambah lama
Datang terlambat tak diperbolehkan ikut kuliahnya
Itulah aturan dari dosen tercinta
Sering terlambat jadi sering kosong presensinya
Akhirnya, mengulang matakuliah itu tahun depannya
Asyik, dinikmati saja

Terlambat datang kuliah sudah biasa
Disambut senyum kecut dosen tercinta
Sambil berkelakar dikatakan olehnya
Ini wajah-wajah mahasiswa yang suka bolos dan suka terlambat datangnya
Seisi kelas bergetar karna semua tertawa
Menertawai diriku yang memasang wajah dan senyum polos seolah-olah tak berdosa
Biar saja

Kuliah pagi burung pipit bernyanyi
Di lantai tiga gedung B yang tinggi
Pohon-pohonan rimbun di luar tampak bergoyang menari-nari
Dua burung kecil terlihat berkejaran di antara dahan dan ranting sambil bernyanyi
Suasana tenang, nyaman, seakan sunyi
Suara dosen datar, lembut, pelan, namun pasti
Sayangnya, tadi malam aku bergadang, lagi
Mata terasa berat membebani
Kepala terantuk-antuk tertarik gaya gravitasi
Tepukan di pundak membuat mata terjaga lagi
Oh, kuliah sudah selesai, cepat sekali
Atau aku yang terlalu nyenyak tertidur tadi
Bisa jadi

Kuliah di lantai tiga
Gedung B dari taman audit sebelah utara
Lari-lari kecil karna sudah terlambat, takut mendapat tatap mata seram dari dosen tercinta
Tap... tap... tap... langkah kakiku bersuara
Di depan ruang kuliah aku terpana
Kok hampa tiada orangnya
Oh, aku ingat, ternyata kuliah pindah jamnya
Bodohnya

Kuliah di lantai tiga
Gedungnya sama, taman audit sebelah utara
Lari-lari kecil karna sudah terlambat, takut mendapat senyum masam dari dosen tercinta
Tap...tap...tap... langkah kakiku bersuara
Di depan ruang kuliah aku terpana
Kok hampa tiada orangnya
Buka tas, ambil jadwal kuliah lalu dibaca
Hari ini pada jam ini ternyata
Aku tak ada jadwal kuliah, oh bodohnya

Aku pernah jadi mahasiswa
Empat tahun lamanya
Mengejar gelar sarjana
Asyiknya
***

Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 11 Oktober 2014


Sunday, October 5, 2014

Golput: Sebuah Drama Satu Babak

Ilustrasi: permainan catur yang selalu diidentikkan dengan politik dan kekuasaaan

Di sebuah warung hik, pinggir jalan kota. Pukul sebelas malam.

Pakdhe Toriyo menyajikan wedang jahe pesanan Bendo. Uap air panas terlihat mengepul. Dengan pelan-pelan, Bendo menyeruput pelan-pelan, dengan khusyuk. Wedang jahe itu perlahan-lahan mengusir hawa dingin yang di musim penghujan. Setelah beberapa seruputan, Bendo bicara. Melanjutkan kata-kata yang terpotong oleh wedang jahe tadi.

Bendo: “Jadi, kalau kita tetap golput, Mas, itu sama saja tidak peduli dengan bangsa Indonesia. Wong, para pahlawan dulu merebut kemerdekaan dengan susah payah. Mereka berjuang tekan ing pati. Lha, tugas kita ini untuk meneruskan perjuangan itu. Caranya dengan nyoblos.”

Banjar dari tadi masih menikmati sega kucing-nya. Sepertinya istrinya tidak menyiapkan makanan di rumah. Sudah habis tiga bungkus sega kucing dilahapnya.

Bendo: “Sampeyan tadi bilang sudah golput sejak dulu. Sejak tahun berapa, Mas Banjar?
Banjar : “Sejak Pak Harto turun,”

Bendo : “Sampeyan fanatik sama Pak Harto, Mas?”
Banjar : “Tidak juga.”

Bendo : “Lha, terus kenapa golput?”

Banjar mengangkat gelas tehnya yang sudah kosong ke arah Pakdhe Toriyo. Tanda ia minta dibuatkan segelas teh lagi. Sambil menunggu tehnya datang, sepotong pisang goreng lenyap di dalam mulutnya.

Bendo menunggu jawaban Banjar. Sambil sesekali menyeruput wedang jahenya. Sebenarnya dia agak tidak sabar melayani sikap Banjar yang lemot itu. Ia harus sabar, agar Banjar mau nyoblos, khususnya nyoblos caleg dan partainya. Sebagai kader partai dia harus mengajak semua orang untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu.

Dalam rapat tim sukses calegnya, ia harus melaporkan berapa jumlah orang yang sudah di-deal-kan untuk nyoblos caleg dan partainya. Untuk itu, setiap hari ia harus blusukan ke kampung-kampung, mengunjungi teman-teman lama, nongkrong di warung-warung.

Menghadapi golput seperti Banjar, Bendo merasa kewalahan. Karena, kata orang-orang pintar itu, tipe Banjar ini termasuk golput ideologis. Tipe golput yang tidak tergoyahkan oleh iming-iming amplop.

Banjar : “Bukan karena apa-apa, Mas. Saya nyoblos atau tidak tetap sama saja.”
Bendo : “Tidak begitu, Mas. Kalau Mas Banjar mau nyoblos, kita pasti dapat wakil rakyat yang baik. Beras a jadi murah, sekolah bisa gratis. Enak kan, Mas?”

Banjar : “Benar seperti itu? Kalau aku nyoblos, besok beras langsung jadi murah? Sekolah anakku jadi gratis?”
Bendo : “Iya, Mas.”

Bendo menyampaikan beribu alasan agar Banjar tidak golput lagi

Obrolan mereka berlanjut sampai tengah malam. Warung hik Pakdhe Toriyo ini memang buka sampai dini hari. Beberapa orang ikut mendengarkan dan sekali-kali nimbrung obrolan Bendo dan Banjar.

Bendo sudah mengeluarkan semua amunisinya agar Banjar tidak golput lagi di pemilu nanti. Sebagai orang yang lugu, tampak Banjar sedikit mulai menelan kata-kata Bendo.

Banjar : “Sepertinya benar juga omongan sampeyan, Mas.”
Bendo: “Iya, pasti benar. Jadi?” (Bendo melemparkan tanya dengan wajah harap-harap cemas)

Banjar : “Jadi apa?”
Bendo: “Jadi, Mas Banjar mau nyoblos pada pemilu nanti, kan?”

Banjar : “Baiklah Mas, aku mau nyoblos.”

Bendo : “Bagus sekali. Pakdhe Toriyo, semua makanan Mas Banjar, aku yang bayar. Sebagai perayaan karena Mas Banjar akhirnya mau nyoblos.”
Banjar : “Lhah, tidak usah, Mas. Ngrepoti sampeyan. Aku bayar sendiri saja, Mas.” a

Bendo mengeluarkan brosur dan stiker dari dalam tasnya.

Bendo: “Tidak apa-apa, Mas. Aku senang Mas Banjar akhirnya mau nyoblos. Ini, Mas, caleg yang jujur dari partai terbaik. Jangan lupa, nanti nyoblos ini, Mas. Orang ini dijamin baik dan pinter.”

Banjar menerima kedua lembar kertas itu.

Banjar : “Tapi, ngapunten ya, Mas. Aku sudah punya caleg pilihanku sendiri. “
Bendo : “Lho, siapa, Mas?”

Bendo tidak dapat menyembunyikan wajah kagetnya.

Banjar : “Anu, Mas, ada teman SD yang nyaleg. Beberapa hari yang lalu datang ke rumah untuk minta dukungan. Aku masih ragu untuk nyoblos, tapi karena Mas Bendo sudah menjelaskan pentingnya nyoblos tadi, aku jadi yakin mau nyoblos. Matur suwun, Mas.”

Bendo : “Lho, kok ngono to, Mas? Ya sudah, Mas. Aku mau pulang duluan, sudah ngantuk. Ini Pakdhe untuk wedang rondenya tadi.”

Bendo berjalan sambil menggerutu. Tahu begitu mending dia golput saja, gerutunya.

Pembeli 1 : “Katanya tadi mau bayarin makanannya Mas Bendo? Kok dia langsung pulang tanpa bayari dulu?”

Banjar : “Aku bayar sendiri, Kang. 


***

Sukrisno Santoso
Menjelang Pemilu Legislatif 2014