Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Thursday, June 20, 2019

Buku dan Teman



Ketika mendapati buku yang sangat menarik, aku bisa terlena membacanya selama berjam-jam. Aku bisa larut bersama buku itu. Aku merasa nyaman dan betah "bercengkerama" dengan buku itu.

Aku dan buku itu mencipta semesta kebersamaan, berlepas diri dari semesta kehidupan nyata sehari-hari.

Hal demikian dapat terasakan juga saat aku bertemu dan berbincang-bincang dengan teman yag baik. Banyak tema menarik yang bisa kami selami bersama.

Aku berbicara, dia menaggapi. Dia berbicara, aku menanggapi. Terkadang --tanpa sengaja-- kami akan berlomba melempar kata. Ketika sadar, kami akan saling mempersilakan.

Kami bisa merasa nyaman dan betah bercengkerama selama berjam-jam. Kami mencipta semesta kebersamaan.
Sebuah buku yang bagus seperti seorang teman yang baik.
Seorang teman yang baik seperti sebuah buku yang bagus.
Keduanya bisa membuatku nyaman.
Dengan keduanya, aku bisa mencipta semesta kebersamaan.


***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 28 Maret 2018


Mencari Makna Pendidikan



Saya menjadi guru sudah lima tahun. Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya tentang makna pendidikan.

Saya mengajar murid-murid, membaca buku-buku pendidikan, mengikuti diklat-diklat, merenungi jejak langkah pendidikan. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab ihwal pendidikan.

Sekolah-sekolah menjaring calon peserta didik dengan tes ataupun nilai akademis pada jenjang sebelumnya. Sekolah-sekolah favorit --yang bagus dalam akademisnya-- menerima peserta didik yang pandai-pandai. Bahkan, banyak yang tak tertampung di sekolah idaman tersebut dan mesti rela bersekolah di sekolah yang prestise-nya lebih di bawah.

Peserta didik yang nilai akademisnya pas-pasan atau justru terlalu rendah, harus nenerima diterima di sekolah pinggiran atau sekolah yang "mutunya" dipandang rendah.

Sekolah favorit mendapatkan murid-murid yang pandai sehingga prestasinya semakin meningkat saja. Sekolah-sekolah di range bawah mendapatkan murid yang pas-pasan hingga harus berusaha keras sekadar untuk memberikan nilai KKM.

Apakah makna pendidikan?

Murid-murid di tingkat akhir mesti menghadapu berbagai ujian. Konsentrasi mereka diarahkan sepenuhnya untuk menghadapi ujian akhir.

Mereka mengikuti jam tambahan, latihan soal, tryout, dan sebagian mengikuti bimbingan belajar di luar. Semua dilakukan demi menghadapi tes tulis yang menguji pengetahuan beberapa mata pelajaran.

Apa makna pendidikan?

Murid-murid dikondisikan untuk meraih nilai maksimal pada beberapa mata pelajaran. Tak ada yang mencemooh jika nilai mereka tidak menjangkau KKM pada mata pelajaran, misalnya, muatan lokal, olahraga, atau seni budaya.

Jika mereka mendapat nilai di bawah KKM pada mata pelajaran "penting", misalnya Matematika atau IPA, orang-orang akan memberikan stigma bodoh pada mereka.

Apa makna pendidikan?

Murid-murid diberi materi pelajaran yang sama sekali tidak mereka pahami apa manfaatnya bagi mereka. Materi itu terlalu abstrak. Tidak ada upaya untuk membawa murid-murid mengenal, memahami, dan mencintai pelajaran tersebut.

Materi pelajaran yang sebenarnya penting menjadi hal yang tak berguna bagi murid-murid. Mereka menghafalkannya hanya karena disuruh dan agar bisa menjawab soal ujian. Mereka terpisah dari materi pelajaran tersebut. Pengetahuan dari hasil belajarnya tidak sampai masuk ke dalam hatinya. Ia sekadar menempel di kepala yang dengan mudah akan hilang.

Apa makna pendidikan?

Setiap beberapa tahun ada perubahan kurikulum yang diikuti oleh perubahan standar kompetensi dan turunannya. Mereka diminta untuk bisa menguasai kompetensi ini, menghafal materi itu, dan mencapai indikator yang telah ditentukan. "Kuasailah semua kompetensi ini dan kamu akan sukses," demikian doktrin yang mereka dapatkan. Kira-kira, untuk apa?

Apa makna pendidikan?

Saya melihat beban-beban belajar yang dipikulkan di atas pundak murid-murid telah merenggut masa keceriaan mereka, menyerabut kegembiraan masa muda, dan memangkas potensi dan bakat mereka.

Saya sudah menjadi guru selama lima tahun dan sampai sekarang masih bertanya-tanya: apa makna pendidikan.


***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 2 Mei 2018


Mengapa Sekolah Favorit Semakin Favorit dan Sekolah Tertinggal Semakin Tertinggal

sumber ilustrasi gambar: banjarmasin[dot]tribunnews[dot]com


Mari membuka pikiran. Bincang-bincang santai --sambil ngopi kalau perlu. Mari kita bicarakan pertanyaan berikut ini.

Mengapa sekolah favorit bisa semakin maju?
Mengapa sekolah tertinggal semakin mundur?

Di sebuah kota atau kabupaten biasanya ada sekolah negeri favorit. Sekolah-sekolah favorit ini menjadi tujuan utama para siswa --dan orangtuanya-- untuk menikmati pendidikan yang lebih baik. Biasanya sekolah-sekolah favorit ini setiap tahun kebanjiran siswa.

Berikut ini beberapa hal yang menjadikan sekolah menjadi favorit.

Pertama, prestasi yang bagus. Sekolah-sekolah favorit selalu menempati peringkat atas hasil Ujian Nasional. Dalam lomba-lomba bidang minat, bakat, dan keterampilan, mereka selalu mendominasi perolehan piala. Orang-orang pun menjadi mafhum ketika mereka menjadi juara, sudah tertebak.

Kedua, sarana dan prasarana yang memadai. Sekolah favorit biasanya memiliki gedung yang memadai. Ruang kelas dan ruangan lain yang baik. Bahkan, ada juga ruang laboratorium lengkap dengan peralatannya. Laboratorium komputer pun tersedia. Bantuan dana memang lebih mudah dikucurkan bagi sekolah favorit. Secara umum, fasilitas di sekolah favorit sangat memadai.

Ketiga, guru yang berkompetensi tinggi. Untuk mengajar di sekolah favorit, guru mesti memiliki kompetensi yang tinggi. Guru mesti dinamis, bergerak cepat menghadapi setiap tantangan dalam pembelajaran. Tujuan mereka adalah senantiasa meningkatkan prestasi siswa.

Keempat, budaya sekolah yang baik. Sekolah-sekolah favorit cenderun memiliki budaya sekolah yang baik. Guru yang semangat mengajar dan siswa yang rajin belajar. Tata tertib ditaati. Tidak ada siswa yang "nakal". Rata-rata mereka adalah anak baik-baik dari keluarga baik-baik.

Kelima, input siswa yang bagus. Sekolah favorit menerapkan seleksi penerimaan siswa baru. Siswa yang berhasil masuk ke sekolah favorit adalah siswa-siswa dengan prestasi tinggi. Mereka adalah para juara di sekolah pada jenjang sebelumnya. Para juara itu berkumpul di sekolah favorit.

Itulah beberapa hal yang menjadikan sekolah menjadi favorit sehingga dapat dikatakan:
  • prestasi semakin meningkat
  • sarana dan prasarana semakin berkembang
  • guru semakin berkompetensi
  • budaya sekolah semakin baik
  • siswa semakin berprestasi

Sekarang menjawab pertanyaan kedua. Mari kita tengok sekolah pinggiran: baik pinggiran secara lokasi maupun secara prestasi. Sekolah pinggiran ini --kita sebut saja sekolah tertinggal-- ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut.

Prestasi stagnan atau malah semakin menurun
Menduduki peringkat tertinggi atau menjuarai berbagai lomba adalah tujuan yang terlalu muluk-muluk. Tujuan realistis adalah siswa dapat lulus. Itu saja sudah cukup.

Sarana dan prasarana yang apa adanya
Yang penting bisa dipakai buat belajar. Tidak ada ruang lab IPA atau komputer. Gedungnya bisa berdiri saja sudah bersyukur.

Guru yang biasa-biasa saja
Tantangan mereka bukan membuat siswa meraih nilai 100, bisa KKM saja sudah bersyukur. Biasanya mereka juga disibukkan dengan mendidik karakter siswa karena tak sedikit anak-anak nakal berada di sana.

Budaya sekolah yang kurang baik
Membuat siswa termotivasi belajar adalah pekerjaan berat. Siswa mau berangkat sekolah secara rutin saja sudah bersyukur. Siswa mau mengerjakan PR berarti mesti bersyukur dua kali.

Siswa yang masuk kebanyakan adalah siswa yang sudah tertolak dari sekolah yang lebih bagus
Sekolah-sekolah favorit sudah menyerap semua siswa berprestasi. Siswa yang berada di bawahnya tertampung di sekolah yang "cukup" favorit, dan seterusnya sehingga sekolah pinggiran mendapatkan siswa-siswa yang tertolak dari sekolah-sekolah lainnya. Input sekolah tertinggal sudah rendah.

Dalam ekonomi kapitalisme ada ungkapan "Orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin." Dalam dunia pendidikan muncul pula ungkapan "Sekolah favorit semakin favorit dan sekolah tertinggal semakin tertinggal."

Sekolah favorit selalu kebanjiran pendaftar dan mesti "membuang" sebagian pendaftar itu. Di sisi lain, sekolah tertinggal selalu kekurangan pendaftar, bahkan untuk memenuhi kuota minimal pun teramat susah.

Sekolah favorit semakin hari gedung-gedungnya semakin bagus dan fasilitasnya lengkap. Sekolah tertinggal mesti menerima kondisi bangunan apa adanya.

Inilah realitas pendidikan di negara kita. Pendidikan yang tidak merata.

Beberapa negara lain ada yang sama kondisinya dengan Indonesia. Namun, negara maju semacam Finlandia atau Norwegia, kualitas pendidikannya merata. Tidak ada "kastanisasi" sekolah. Semua sekolah berkualitas. Dan untuk mewujudkan hal tersebut membutuhkan sistem pendidikan yang benar-benar baik dan memerlukan waktu yang lama.


***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 10 Juli 2018

Tentang Kerumunan

Sumber ilustrasi gambar: republika[dot]co[dot]id

Kerumunan, bagi Cicero --seorang cendekiawan, filsuf, sekaligus negarawan/politikus-- adalah sebuah modal berharga dalam dunia politik praktis. Di hadapan ribuan warga Roma yang berdiri di Padang Martius, Cicero mendapati dirinya merasa bangga sekaligus haru ketika kerumunan itu mendengarkan pidatonya dari atas panggung. 

Cicero, sang Bapak Bangsa yang pernah menduduki jabatan tertinggi sebagai Konsul Roma, amat menyukai kerumunan. Kerumunan adalah bahan bakar politik. Kerumunan, keramaian, dan gejolak yang ditimbulkannya membuat politik menjadi dinamis. Bagi politisi, dunia politik yang dinamis menjanjikan banyak kesempatan dan harapan.

Kekuatan Cicero dalam mencuri perhatian kerumunan dan membuat mereka mendengarkan pidato argumentasinya dikisahkan dengan apik oleh Robert Harris dalam trilogi novelnya: Imperium, Conspirata, dan Dictator. Meski berbentuk karya fiksi, novel ini ditulis Harris berdasarkan risetnya bertahun-tahun tentang Marcus Tullius Cicero, sosok nyata yang hidup pada masa Republik Roma.

Orang banyak yang berkumpul di suatu tempat selalu memiliki tujuan khusus dan tertentu. Dalam politik, kerumunan itu tentu bernilai politis.

Dalam kasus Aksi 212 dan reuni-reuni yang mengikutinya, kerumunan telihat jelas di Monumen Nasional. Betapa banyak orang berkumpul di sana. Tak peduli perdebatan jumlah pastinya, kerumunan itu telah menyita perhatian banyak pihak. Kerumunan itu telah berhasil mendapatkan panggungnya.

Setiap orang yang hadir di Monas pada acara Reuni 212 yang lalu bisa memiliki niat dan tujuan masing-masing. Banyak yang niatnya tulus karena hatinya terpanggil dan terpaut iman. Ada yang niatnya hampir sama, sedikit sama, atau malah berbeda. Mungkin ada pula yang punya beberapa niat sekaligus.

Secara politis, kerumunan Reuni 212 memiliki potensi yang besar. Banyak sumber daya yang dikeluarkan untuk menciptakan sebuah kerumunan yang berskala nasional semacam itu. Bukankah, amat disayangkan jika kerumunan itu tidak mendatangkan suatu kemanfaatan atau keuntungan jangka panjang?

Terlepas dari klaim panitia bahwa Reuni 212 tidak bermuatan politik dan tuduhan sebaliknya dari pihak yang berseberangan, menurut hemat penulis, kerumunan yang dihasilkan oleh Aksi 212 harus dimanfaatkan untuk mendukung agenda umat, apakah dalam bidang ekonomi, budaya, pendidikan, ataupun politik.

Menciptakan kerumunan sebesar aksi 212 bukan perkara mudah, terkait waktu, tempat, biaya, dan momentum. Jika agenda tahunan itu hanya diisi pidato-pidato motivasi, sebaran-sebaran semangat dan sentimental di media sosial, untuk kemudian setelah acara selesai tidak ada bekas apa-apa, sungguh disayangkan.

Dalam bidang ekonomi sebenarnya ada agenda tindak lanjut, salah satunya pendirian 212 Mart yang sayangnya kini tidak menunjukkan perkembangan yang baik.

Bidang pendidikan sepertinya perlu dimasukkan dalam agenda pembahasan pasca-Reuni 212. Bidang pendidikan umat Islam selama ini lumayan terkotak-kotak. Sebagian lembaga mengeksklusifkan diri. Sebagiannya malah menentang terang-terangan lembaga pendidikan lainnya. Tapi, perencanaan program pendidikan yang sitematis dan berkelanjutan memang lebih rumit dan berat dibandingkan sekadar menciptakan kerumunan di Monas setahun sekali.

Politik. Kerumunan sebesar Aksi 212 memang paling memungkinkan dan mudah untuk mendukung agenda politik tertentu. Kata Cicero, semakin besar sebuah kerumuman, semakin mudah untuk mengarahkannya, atau memanfaatkannya.

Dalam agenda politik umat Islam, kerumunan Aksi 212 mesti bisa diarahkan untuk mendukung agenda umat, semurni-murninya. Panggung 212 yang telah dihasilkan dan dirawat sejak tahun 2016 jangan sampai roboh perlahan-lahan. Harus ada wadah yang menampungnya hingga spirit perkumpulan ini tidak memudar.

Agenda politik umat yang dimaksud adalah ageda politik jangka panjang, murni demi kepentingan umat, dan digerakkan oleh tokoh-tokoh umat. Bukan agenda politik jangka pendek yang pragmatis. Tapi sekali lagi, hal semacam itu memang lebih rumit dan lebih berat dibanding sekadar menciptakan kerumunan setahun sekali.

Saya mendukung agenda politik umat Islam. Politik yang beradab dan bermartabat sebagai wujud Islam Rahmatan lil Alamin, termasuk rahmat bagi bangsa dan negara Indonesia.


***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 29 Desember 2019


Belajar dari Perseteruan Cicero dan Hortensius

Sumber ilustrasi gambar: dictio[dot]id

Siapa pengacara terbaik di Republik Roma? 
Orang-orang Roma masa itu sepakat bahwa Cicero adalah pengacara terbaik kedua di Roma. Dan hal tersebut merisaukan dirinya. Ia belum bisa menandingi kehebatan Hortensius di atas panggung pengadilan.

Cicero, yang karirnya mulai menanjak berasal dari kalangan biasa, tanpa dukungan keluarga dan kerabat bangsawan ataupun sokongan harta yang melimpah. Di sisi lain, Hortensius adalah aristokrat sejati. Kerabatnya banyak yang menjadi senat. Para leluhurnya, banyak yang menjadi konsul, jabatan tertinggi di Republik Roma.

Tak ayal, Cicero bermusuhan dengan Hortensius. Puncaknya ialah saat Cicero menjadi jaksa penuntut Gubernur Galia yang korup, sedangkan Hortensius menjadi pembela si gubernur. Keduanya bertarung argumentasi di atas panggung. Warga Roma mendapatkan tontonan yang menarik dari dua orator terhebat di Roma.

Pada akhir persidangan, hakim memutuskan bahwa Gubernur Galia bersalah. Cicero menang. Hortensius dan kalangan aristokrat semakin memupuk kebencian terhadap Cicero. Dalam banyak kesempatan, Cicero dan Hortensius menunjukkan rasa ketidaksenangan masing-masing. Keduanya adalah air dan minyak yang tak dapat bersatu.

Dalam pencalonan dirinya untuk menduduki jabatan yabg diidam-idamkannya sejak lama, yaitu jabatan tertinggi Roma sebagai konsul, Cicero menghadapi tantangan beraupa kurangnya dukungan dari para calon pemilih. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga biasa "tanpa nama" sulit membuatnya meraih banyak suara meskipun dirinya sudah terkenal.

Di pihak lain, Hortensius menghadapi masalah dengan Catilina, orang yang membuat banyak masalah dan berpotensi menyusahkan banyak orang, termasuk Hortensius.

Dalam satu kesempatan langka, Cicero dan Hortensius bertemu dan berbincang dan membuat kesepakatan bersama. Hortensius menjanjikan dukungan kepada Cicero dan Cicero menjanjikan bantuan kepada Hortensius. Keduanya berjabat tangan.

Di atas panggung di Padang Martius --tempat rakyat Romawi berkumpul-- Hortensius menampakkan dukungannya kepada Cicero dengan memegang tangan Cicero dan mengangkatnya: aristokrat mendukung Cicero.

Pada pemilihan konsul itu, akhirnya Cicero berhasil memperoleh suara terbanyak. Tentu saja andil Hortensius cukup besar dalam kemenangannya itu.

Dua orang yang bermusuhan sejak lama, akhirnya bersatu dalam satu kubu. Karena ada kepentingan masing-masing di dalamnya.

Secara personal, Cicero dan Hortensius saling mengagumi kehebatan masing-masing dalam berorasi dan berargumen. Namun dalam politik, perlu sebuah kepentingan bersama untuk menyatukan keduanya. Jika kepentingan keduanya berlawanan, mereka bermusuhan. Jika punya kepentingam bersama, mereka bersatu.

Demikianlah gambaran politik pada 21 abad yang lalu. Dan sampai sekarang tak berubah banyak.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari Cicero dan Hortensius?
Sepertinya kita tidak mengambil pelajaran apa-apa.


***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 17 Februari 2019


Pemilu 2019: Dari Kotak Kardus Hingga Quick Count

Sumber gambar: tribunnews[dot]com


(1) KOTAK SUARA
Kotak suara berbahan dupleks (bukan kardus) tidak masalah. Setiap bahan memiliki kelebihan dan kekurangan. Aluminium memang kuat, aman, dan terlihat modern. Akan tetapi, bahan tersebut berat (terkait distribusi ke TPS-TPS) dan membutuhkan tempat yang lebih luas untuk penyimpanannya. Aluminium harganya juga relatif mahal (apa kabar anggaran pemilu). 

Bahan dupleks lebih ringan sehingga memudahkan pendistribusian, khususnya ke daerah-daerah pelosok. Dupleks juga lebih murah. Kekurangannya, bahan dupleks mudah rusak terkena air atau terbakar api. Indonesia ini negara yang luas. Terdapat 800an ribu TPS sehingga membutuhkan logistik yang banyak. Lagipula, yang menentukan kriteria bahan kotak suara bukan KPU, tapi DPR. Jika ada kritik, mestinya dialamatkan ke DPR.

(2) PEMILU SERENTAK
Pemilu serentak (Presiden, DPR, DPD) membuat biaya lebih murah, namun proses pencoblosan dan penghitungannya menjadi lebih rumit. Banyak kertas suara, banyak gambar, banyak nama yang sebagian besar tak saya kenal. Saya merindukan Pemilu yang lebih sederhana. Yang tak banyak surat suara dan tak banyak nama-nama entah siapa.

(3) ADIL TERHADAP KPU
Kinerja KPU memang tidak sempurna, tapi saya yakin mereka sudah berupaya maksimal. Pekerjaan mereka berat. Tekanannya besar, baik secara fisik maupun psikis. KPU sebagai penyelenggara Pemilu pastilah ada kekurangan dan pastilah akan ada kritik. Namun, kita mesti apresiasi kerja mereka juga. Pelaksanaan Pemilu kali ini relatif sukses. Pemilu di Indonesia merupakan salah satu praktik demokrasi terbesar di dunia.

(4) QUICK COUNT
Saya percaya dengan hasil quick count --dengan margin erornya. Ada kemungkinan hasil quick count tidak sesuai dengan real count. Akan tetapi, kasus semacam itu sangat jarang terjadi. Hasil quick count Pemilu 2019 dari banyak lembaga survei telah memperlihatkan siapa pemenangnya. Namun, quick count bukan penentu hasil pemilu. Kita tunggu hasil penghitungan suara secara manual dari KPU.

(5) KAWAL SUARA
Penghitungan suara dilakukan KPU secara berjenjang: TPS --> Kecamatan --> Kabupaten --> Provinsi --> Pusat. Hasil resmi Pemilu didasarkan pada penghitungan manual tersebut. Kawal penghitungan suara di setiap tingkatan hingga akhir. Aplikasi Situng milik KPU merupakan bentuk transparansi penghitungan suara dan bisa menjadi alat kontrol bagi masyarakat. Hasil yang ditampilkan di Situng KPU tidak menjadi dasar penetapan hasil Pemilu. Yang menjadi dasar penetapan hasil pemilu adalah hasil penghitungan manual bertahap. Inilah pentingnya mengawal proses tersebut

(6) SELAMAT
Berdasarkan hasil quick count, ucapan selamat perlu disampaikan kepada para pemenang. Dibarengi harapan dan nasihat agar bertanggung jawab mengemban amanah. Selamat pula kepada partai-partai yang mengalami peningkatan perolehan suara. Beberapa partai mengalami peningkatan perolehan suara. Beberapa yang lain mengalami penurunan, ada pula yang "terdegradasi". Mencermati perolehan suara partai politik tak kalah menarik dari mencermati perolehan suara calon presiden.

(7) TETEP PASEDULURAN
Persahabatan dan persaudaraan terlalu berharga untuk dikorbankan demi agenda pesta demokrasi lima tahunan. Para elit politik bisa dengan mudah membentuk koalisi baru, berpindah dukungan. Dulu oposisi, sekarang koalisi; dulu koalisi, sekarang oposisi. Keluarga, tetangga, dan teman adalah orang-orang terdekat yang sering berinteraksi dengan kita, sering menolong kita. Persahatan dan persaudaraan dengan mereka jangan sampai putus gara-gara beda pilihan dalam pemilu.


***
Ditulis oleh: Sukrisno Santoso
Warga Sukoharjo, Jawa Tengah
21 April 2109