Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Thursday, February 23, 2017

Hidupku Bukan Semacam Drama Korea

Lee Dong-wook dan Gong Yoo dalam serial Goblin (2016-2017)

Hamesha tumko chaaha aur chaaha, aur chaaha... chaaha...chaha...
Selalu, kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta selamanya...

Hamesha tumko chaaha aur chaaha, kuchh bhi nahin
Selamanya aku mencintaimu, dan aku tak mencintai yang lain...

(Hamesha Tumko Chaha, ost Devdas [2002])

Dalam kisah percintaan di kebanyakan drama Korea, ada tembok penghalang berupa derajat dan harta. Dan seringnya, si laki-laki digambarkan sebagai orang kaya yang cool dengan wajah yang “cantik” --kamu tahu maksudku kan. Rumahnya megah, dan mobil sportnya berjejer di garasi. Biasanya digambarkan sebagai pewaris perusahaan besar atau setidaknya adalah anak dari orang yang harta warisannya tak akan habis tujuh turunan. Si perempuan berada pada posisi sebaliknya: digambarkan sebagai gadis periang, pekerja keras, dan bersahabat dengan kerasnya kehidupan.

Lihat saja Coffee Prince (2007). Choi Han Kyul (Gong Yoo), seorang pewaris perusahaan besar, menyukai Go Eun Chan (Yoon Eun Hye), seorang wanita tomboi yang bahkan harus menyamar menjadi laki-laki agar bisa bekerja di kedai kopi. Boys Before Flowers (2009) menampilkan bintang 4 sekawan yang tampan dan kaya—Gu Jun-pyo (Lee Min-ho), Yoon Ji-hoo (Kim Hyun-joong), So Yi-jeong (Kim Bum), dan Song Woo-bin (Kim joon). Dan di antara “para pangeran” tersebut, terseliplah si rumput liar, Geum Jan-di (Ku Hye-sun), gadis pekerja keras dari keluarga pemilik toko laundry.

Lihat pula Secret Garden (2010) yang menceritakan hubungan cinta-benci-rindu Kim Joo-won (Hyun Bin) dan Gil Ra-im (Ha Ji-won). Kim Joo-won yang saking kayanya, ia merindukan menjadi pengangguran, sedangkan Gil Ra-im harus bekerja babak belur menjadi pemain pengganti (stuntwomen).

The Heirs (2013) memperlihatkan Lee Min-ho yang berperan sebagai Kim Tan, seorang anak konglomerat. Keadaannya berbanding terbalik dengan wanita yang disukainya, Cha Eun-sang yang diperankan Park Shin-hye. Drama populer terbaru yang tayang akhir tahun 2016 sampai awal 2017, Goblin, juga menyajikan hal yang tak jauh beda. Kim Shin yang diperankan oleh Gong Yoo adalah goblin yang takkan kekurangan harta karena mudah saja baginya memperoleh uang dan emas. Sebaliknya, Ji Eun Tak –sang pengantin goblin-- yang diperankan oleh Kim Go Eun adalah gadis SMA yang mesti kerja part time di rumah makan untuk mendapatkan uang.

Begitulah gambaran sebagian besar drama Korea.

Sekarang kita tengok tetangga jauhnya, India. Kalau India, saya akan membicarakan filmnya, bukan drama atau sinema berserinya. Film Devdas (2002) –yang lirik lagunya saya kutip di awal tulisan—memiliki kisah yang serupa. Devdas (Shah Rukh Khan), anak seorang tuan tanah, menyukai Paro (Aiswarya Rai) yang “hanya” anak orang biasa. Cinta keduanya pun mesti dipisahkan. Devdas yang merana mengantarkan Paro menuju prosesi perkawinan dengan laki-laki lain. #ugh nyesekkk

Kisah Devdas termasuk salah satu pengecualian dari gambaran umum kisah cinta dalam film India. Kebanyakan film India berkebalikan dengan romansa drama Korea. Lakon dalam film India ditampilkan sebagai sosok sederhana yang pekerja keras. Ia mencintai seorang wanita dari golongan ningrat, dan karena cintanya itu ia mesti menanggung banyak derita.

Film-film angry-youngman tahun 80an dan 90an yang dibintangi Amitabh Bhachan, Sanjay Dutt, Sunny Doel, kemudian Akhsay Kumar, Aamir Khan, dan Salman Khan memperlihatkan hal di atas. Si laki-laki dari rakyat jelata yang sering berdarah-darah dipukul ke sana kemari untuk memperjuangkan cintanya, atau hal yang dicitakannya semisal melawan kejahatan atau kesewenang-wenangan. Setelah tahun 2000, bisa kita lihat film Chalte-Chalte (2003) dengan Raj (Shah Rukh Khan), seorang sopir truk ekspedisi –yang kemudian bangkrut—yang mencintai Priya, wanita dari kalangan atas. Perbedaan kondisi keduanya mengakibatkan konflik yang mengancam pernikahan mereka.

Dalam Jab Tak Hai Jan (2014), Samar (Shah Rukh Khan) dan Meera (Katrina Kaif) saling jatuh cinta. Meera adalah putri pengusaha sukses, sedangkan Samar adalah seorang pekerja serabutan yang pernah menjadi penyapu salju, penjual ikan, pelayan restoran, dan penyanyi jalanan.

Film-film India masa sekarang memang sudah sangat berkurang kadar konflik fisiknya, berbeda pada era 80an dan 90an. Namun secara umum, film-film India tak menampilkan aktor dengan wajah lembut dengan pakaian jas rapi dan mobil mewah yang mentereng –seperti dalam drama Korea. Lakon dalam film India ditampilkan sebagai laki-laki biasa dengan pekerjaan biasa, namun penuh dengan perjuangan hidup yang luar biasa. Dalam ceritanya, si lakon akan diguncangkan hidupnya, diombang-ambingkan ombak dan diempaskan ke batu karang, hingga berdarah-darah raganya, berdarah-darah pikiran dan perasaannya.

Dengan melihat perbandingan drama Korea dan film India, maka aku akan katakan bahwa hidupku bukan semacam drama Korea. Pada suatu waktu, aku justru seperti sedang melakoni sebuah film India.

Kamu tahu, aku kadang merasa sedang dipukul dari berbagai arah. Hingga berdarah bibirku, bengkak pipiku, remuk tulangku. Dan hujan pun mengguyur deras. Tapi sebagaimana dalam film-film India, tokoh utama selalu bisa bangkit dan tertawa. Bukan tertawa karena menang, tapi tertawa terhadap keadaan babak belurnya. Setelah menertawai kondisinya, ia akan bangkit menghantam, mengalahkan lawan.

Menertawai keadaan diri yang memprihatinkan itu sungguh sulit. Tapi, aku selalu berusaha melakukannya. Kamu tahu kenapa? Karena hidup ini keras dan tak akan menjadi lunak dengan ratapan. Tertawa ketika jatuh dan terguling adalah cara untuk menghibur diri. Bahwa hidup ini memang beginilah jalannya. Jika tak bisa mengubahnya menjadi suatu keadaan yang nyaman tenteram, mengapa tak menikmati keadaan yang sekarang mesti penuh derita?

Aku berusaha menertawakan diriku sendiri saat masa kuliah dahulu, ketika aku mengajukan beasiswa berprestasi dan tak lolos. Hei, temanku yang nilainya di bawahku malah mendapat beasiswa. Aku juga tertawa saat mengajukan beasiswa kurang mampu dan tak lolos juga. Hei, temanku yang orangtuanya PNS mendapat beasiswa.

Dahulu, aku juga berusaha tersenyum dan tertawa ketika menghadiri pernikahan seseorang yang sebelumnya pernah ada kisah di antara aku dan dia. Dan aku membawa kado pernikahan untuknya. Hei, hidup ini sungguh lucu bukan.

Atau aku akan tersenyum dan tertawa ketika naik sepeda motor, hujan-hujanan karena lupa membawa mantol. Aku akan berusaha menikmati hujan dengan bersenandung meski badan menggigil.

Aku pernah tersenyum dan tertawa ketika akan keluar dari perusahaan dan bakal berpisah dengan teman-temanku dan dengan mesin-mesin yang selalu menemani malam-malamku yang sudah kuanggap selayaknya teman –bahkan, mesin-mesin itu aku beri nama dan kadang aku bercerita kepada mesin-mesin itu. Mungkin kamu bisa membayangkan tentang seseorang yang sedang terpuruk dan hanya benda mati yang bersedia mendengarkan keluh kesahnya sambil tersenyum sinis.

Menyenangkan sekali bisa menertawakan diri sendiri dalam kondisi seperti itu. Meskipun kamu tahu, kan, ada deru tangis di kedalaman batin sana.

Menurutku, kemampuan menertawakan diri adalah sebuah bekal untuk menjalani hidup dengan cara yang lebih baik, lebih menyenangkan. Orang lain mungkin saja merasa kasihan dengan kondisi kita. Tapi, heh, kita tertawa menikmatinya bukan?!

Aku akhiri tulisan ini dengan potongan lirik lagu Hamesha Tumko Chaha lagi.

O pritam, o pritam bin tere mere is jivan mein kuchh bhi nahin... nahin... nahin... kuchh bhi nahin
Kekasihku, kekasihku, tanpamu hidupku bukanlah apa-apa, bukan apa-apa, bukanlah apa-apa sama sekali

Hamesha tumko chaaha aur chaaha, aur chaaha... chaaha...chaha...
Selalu, kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta selamanya...

Haan chaaha chaaha chaaha chaaha
Ya, kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta

Bas chaaha chaaha chaaha chaaha
Hanya kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta

Haan chaaha chaaha chaaha chaaha
Ya, kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta

Aur chaaha chaaha chaaha chaaha...
Kaulah yang aku cinta, dan yang aku cinta, dan yang aku cinta


(Sukoharjo, 24 Februari 2017. 01.00 WIB)




Friday, February 17, 2017

Kutipan Novel Rindu Karya Tere Liye

Novel Rindu Karya Tere Liye
Judul: Rindu
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika Penerbit
Tahun Terbit: 2014
Jumlah halaman: 544 halaman
***

Rindu, sebuah novel tentang perjalanan. Perjalanan raga, juga perjalanan batin.
Sejumlah calon jamaah haji melakukan perjalanan laut menuju tanah suci. Mereka naik kapal Blitar Holland, sebuah kapal uap yang terkenal.


Di dalam kapal itu terjadilah interaksi antarpenumpangnya. Ada Gurutta Ahmad Karaeng yang ahli agama dan bijaksana. Ada Daeng Andipati, seorang pengusaha, yang membawa serta istri dan kedua anaknya yang bertingkah lucu dan menggemaskan, Anna dan Elsa. Ada Ambo Uleng, seorang pemuda murung yang patah hati dan menjadi kelasi kapal hanya agar bisa "melarikan diri" dari kesedihannya.

Dalam pelayaran yang panjang itu, setiap orang membawa perang batin sendiri-sendiri. Mereka memendam konflik batin yang berkepanjangan. Pada akhirnya, semua akan terurai seiring melajunya kapal membelah lautan.

Berikut ini beberapa kutipan dari novel Rindu karya Tere Liye.



"Izinkan aku menyampaikan rasa simpati yang mendalam atas kehidupanmu yang keras dan menyesakkan. Tidak semua orang sanggup menjalaninya. Maka saat itu ditakdirkan kepada kita, insya Allah karena kita mampu memikulnya." 

"Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia."
(hal. 312)


"Maka ketahuilah, Nak, saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain."
(hal. 313) 


Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa pun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita.sendiri.
(hal. 313)


Kita tidak perlu membuktikan apapun kepada siapa pun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena, toh, kalaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang sebaik itu.
(hal. 313-314)


Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin.
(hal. 315)


Lihatlah kemari, wahai gelap malam. Lihatlah seorang yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaan sendiri.
Lihatlah kemari, wahai lautan luas. Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi dia tidak pernah bisa bijak untuk dirinya sendiri.

(hal. 315) 


Hidup ini akan rumit sekali jika kita sibuk membahas hal yang seandainya begini, seandainya begitu.
(hal. 331)  


"Untukmu, dalam situasi pagi ini mungkin kebahagiaan itu adalah berhenti membahas seandainya begini, seandainya begitu. Maka bahagia sudahlah kau."
(hal 332)



"Selalu menyakitkan saat kita membenci sesuatu. Apalagi jika itu ternyata membenci orang yang seharusnya kita sayangi."
(hal. 372)


"Pikirkan dalam-dalam, kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal, kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan membencinya. Toh, itu hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengatur-aturnya. Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang lain, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri."
(hal. 373)
"Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya, Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati."
(hal. 374)

Kutipan Novel Beside A Burning Sea Karya John Shors


Judul asli: Beside A Burning Sea
Judul terjemahan: Burning Sea, Bara Cinta di Tengah Deru Perang
Penulis: John Shors
Penerbit: Qanit
Tahun Terbit: 2009
Kota terbit: Bandung
Jumlah halaman: 516 halaman

----------------------------------------------------
Perang Dunia II tengah membakar daratan dan samudra. Benevolence, sebuah kapal rumah sakit Amerika Serikat, mengarungi Pasifik Selatan dalam misi damai. Namun, ulah seorang pengkhianat menyebabkan kapal itu diserang oleh torpedo Jepang dan tenggelam.

Hanya sembilan orang yang selamat dan berhasil mencapai pantai terpencil di sebuah pulau. Di pulah sepi dan tak berpenghuni itu, mereka berjuang untuk bertahan hidup dan mengatasi sisi gelap dalam diri masing-masing.

Di antara mereka terdapat Akira, seorang prajurit Jepang tawanan Amerika dan Anie, perawat muda Amerika. Akira yang telah muak akan kengerian perang, menenggelamkan diri dalam keindahan puisi Jepang, Haiku. Anie yang selalu gelisah dan mencari jati diri, menemukan dirinya tertarik pada tawanan misterius nan lembut itu. Cinta pun terjalin melintasi budaya dan kubu peperangan.

Di sebuah pulau terpencil, di tepian samudra membara, di tengah deru perang, Akira dan Anie mempelajai makna cinta, penebusan diri, dan penerimaan tanpa penghalang warna kulit, bangsa, dan perbedaan budaya.

Namun, tanpa mereka sadari, sang pengkhianat masih tersembunyi di antara mereka....
----------------------------------------------------
Berikut ini kutipan novel Beside A Burning Sea karya John Shors
"Kita tahu bagaimana peperangan mengubah orang baik menjadi orang yang sangat baik, dan orang jahat menjadi orang yang sangat kejam."
(hal. 226)

"Cinta seorang lelaki yang baik akan membuatmu tidak merasa sendirian."
(hal. 229)

"Karena hal-hal berharga kadang-kadang terlupakan. Tetapi, hal-hal seperti itu harus dinikmati. Puisi-puisi tentang keindahan itu harus ditulis dan tidak boleh terlupakan."
(hal. 267)

"Tapi, aku orang yang gagal. Dan bagaimana seorang guru bisa mengalami kegagalan?"
"Kau pikir para guru tidak membuat kesalahan? Bagaimana kau bisa belajar jika tidak pernah membuat kesalahan?"

(hal. 280)


Wednesday, February 15, 2017

Saya Menyerah Kali Ini


Cuaca siang ini mendung. Matahari sedang kumat malasnya. Masih asyik selimutan awan gelap. Mungkin sedang bermimpi bercumbu dengan rembulan yang tidak pernah bisa dijumpainya. Kasihan amat, deh.

Seperti biasa, pada hari ini, pukul segini, jadwal saya mengajar kelas VII A. Fyi, kelas VII A itu kelas super dan spesial dengan aneka bumbu: manis, pedas, kecut, asem. Tapi, saya pun tak mau kalah. Saya selalu mencoba memegang kendali, mengondisikan kelas agar tidak pecah perang dunia kedua setengah.

Di kelas ini saya mengajar setelah istirahat siang. Tahu sendiri, kan, bagaimana suasana siang di sekolah itu. Cuacanya bikin gaya gravitasi makin berat aja. Apalagi, setelah kenyang makan siang, ditambah langit mendung, dan embusan angin dari kipas yang wess...wess...wess....

Murid putra di kelas ini sebagian besar cenderung aktif. Saya harus sering-sering mengingatkan agar belajar dengan tenang. Kadang ada yang berseliweran ke meja temannya, ada yang saling ejek, ada yang teriak, ada yang menyembunyikan pulpen temannya, ada yang ngupil, ada yang pura-pura tidur, ada yang menggambar. Saya mesti sering menegur agar mereka konsentrasi.

Terkadang saya mendekat dan menasehati langsung satu siswa yang benar-benar butuh perhatian karena terlalu berisik atau tidak fokus mendengarkan. Terkadang saya mengeluarkan suara tegas agar seluruh siswa mengerjakan apa yang semestinya dikerjakan, misalnya menjawab soal atau mencatat materi. Saya sering keliling kelas, mendatangi satu per satu siswa untuk memastikan mereka benar-benar mencatat dan mengerjakan soal.

Siswa putrinya sebagian besar juga cenderung aktif. Ada yang suara teriakannya melengking tinggi melampaui nada penyanyi opera. Mungkin gelas bisa retak jika dihadapkan pada suara teriakan itu selama 1 jam nonstop.

Pada setengah waktu pelajaran, kondisi kelas baik-baik saja. Mereka mencatat apa yang saya tulis di papan tulis yang kemudian saya terangkan. Mereka juga mengerjakan soal yang saya berikan meskipun ada yang bertanya bagaimana cara mengerjakan soal. Padahal, sebelumnya sudah saya jelaskan. Setelah itu, yang lain bertanya lagi dengan peratanyaan yang sama. Setidaknya ada tiga orang yang bertanya demikian. Wakdess... anaknya siapa inih, pengen saya lumat.

Kira-kira lima belas menit sebelum usai pelajaran, saya merasa kelas sudah tak terkondisikan. Banyak yang ramai, berjalan ke sana, berlari ke sini. Saya sudah peringatkan agar kembali tenang. Biasanya, mereka akan kembali tenang. Tapi, kali ini mereka tenang sebentar, kemudian kembali ramai lagi.

Siswa putri yang biasanya aktif dan bisa saya ajak interaksi dalam pelajaran, kali ini tampak bermalasan. Sebagian meletakkan kepala di atas meja. Saya memancing perhatian mereka dengan beberapa pertanyaan. Responnya negatif, mereka tampak malas, wajahnya lesu.

Siswa putra banyak yang ramai, siswa putri bermalas-malasan. Kali ini saya merasa tidak bisa mengondisikan kelas. Siswa putra yang saya nasehati agar tenang, tidak bisa sepenuhnya tenang. Siswa putri yang saya pancing perhatiannya, tidak memberi respon yang positif. Ada apa ini? Saya merasa ada gejolak di dalam dada. Anak-anak ini sungguh membuat saya ingin marah.

Sepuluh menit sebelum pelajaran berakhir –dan kondisi kelas belum bisa saya kendalikan, akhirnya saya meminta perhatian dengan tegas. Dengan suara tegas. Yang ramai kemudian diam. Yang tertunduk kemudian memberi perhatian.

Kali ini saya menyerah. Saya menyerah mengondisikan kelas. Saya menyerah memberikan nasehat sambil tersenyum. Saya hampir tidak bisa menahan marah. Rasanya mungkin melegakan jika saya menyemburkan amarah kepada mereka. Namun kata-kata yang keluar dari mulut saya seperti ini.

“Sepertinya hari ini kalian sedang tidak ingin belajar. Jika kalian tidak ingin belajar, buat apa kita belajar di sini. Buat apa Pak Guru mengajar kalian sekarang. Perbuatan kalian membuat Pak Guru mau marah. Tapi, jangan ada marah di antara kita, ya. Jangan ada marah di antara kita. Jika kali ini kalian sedang tidak ingin belajar, ya sudah, kita hentikan pelajaran hari ini. Masih ada waktu 10 menit. Kalian tidak ingin belajar, hal itu membuat Pak Guru tidak ingin mengajar kalian. Pelajarannya kita sudahi sekarang.”
Saya mengatakan hal di atas sambil menahan gejolak di dada. Sebenarnya, bisa saja saya mengeluarkan suara keras kepada mereka. Bisa saja saya memarahi mereka. Dan mereka akan diam mendengarkan, kemudian pelajaran bisa dilanjutkan. Tapi, saya tidak mau. Saya berusaha menahan. Menahan. Sabar.

Lagi pula, tingkah mereka yang kali ini sulit dikendalikan mungkin karena saya melakukan sebuah kesalahan, melakukan sebuah dosa. Saya ingat, ada seorang saleh pada zaman dulu yang mendapati hewan peliharaannya susah dikendalikan, yang karena hal itu ia mengetahui bahwa tingkah peliharaannya tersebut disebabkan karena sebuah kesalahan yang dilakukannya.

Setelah itu, saya pun keluar dari kelas. Tapi sebelumnya sempat berbincang dengan siswa putri. Saya bertanya mengapa mereka tampak lemas. Sedang berpuasa, jawab mereka. Oh, pantas saja wajah mereka tampak lelah. Mungkin lapar dan mengantuk. Nanti sore mau berbuka puasa bersama, kata mereka. Saya pun memberi pujian, bagus.

Ah, saya lelah.