Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Monday, November 23, 2015

Berenang dan Menyelam Bersama Ikan di Umbul Ponggok, Klaten

Umbul Ponggok, Klaten

Hari Minggu adalah hari libur mandi. :D
Setujukah kamu?

Bagi para jomblo, hari Minggu juga hari cuci baju. Namun, aku sudah melakukan ritual wajib pekanan itu beberapa hari yang lalu, dan cucianku pada Minggu ini belumlah banyak. Jadilah, hari Minggu ini menjadi hari berlibur, benar-benar berlibur, tanpa agenda, tanpa kegiatan. Mengistirahatkan badan setelah dua hari sebelumnya punggung dan leher terasa pegal-pegal.

Setengah hari ini, aku melaluinya dengan beraktivitas di dalam kamar. Tiduran, bbm-an, mengetik, membaca buku, tiduran lagi, bales bbm, membaca, mengetik, bales bbm lagi. Begitu siklusnya.

Alhasil, hingga Dhuhur pun aku belum menyiramkan air ke badan. Biasanya, kalau aku malas mandi, aku akan menuju ke kolam renang untuk berenang, kemudian mandi di sana. Pemandian atau umbul Pengging di Boyolali yang biasanya menjadi tujuanku.

Minggu ini, aku sedang tidak ingin ke Pengging. Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota in iaku mau ke Umbul Ponggok di Klaten. Umbul Ponggok menyediakan pemandian / kolam renang dengan air yang jernih dan dingin menyegarkan. Lokasinya dari rumahku sekitar empat puluh menit perjalanan dengan sepeda motor. 


Lokasi Umbul Ponggok cukup mudah dicapai. Letaknya sebelah utara barat dari Delanggu. Bisa menggunakan panduan Google Map dengan mengetikkan kata “Umbul Ponggok”. Atau silakan bertanya saja kepada warga Klaten yang sebagian besar mengetahui letak umbul ini karena sudah terkenal. Bertanyalah kepada Pak Polisi, Tukang Becak, Tukang tambal ban, tukang jual nasi uduk, tukang penunjuk arah. J
anganlah kamu bertanya kepada orang yang murah senyum dan bicaranya manis, yang biasanya mengindikasikan bahwa orang itu tukang PHP. Jika bertanya kepadanya, kamu akan kecewa. Kamu bisa tersesat dan taktahu arah jalan pulang.

Aku melaju ke Ponggok mengendarai sepeda motor. Sendirian. Iya, sendirian. Maklum, jomblo. Pukul dua lebih lima belas menit aku sampai di sana. Ramai. Hari Minggu. Ramai. Sepeda motor aku parkir di depan masjid yang berada agak masuk di seberang jalan. Dua ribu rupiah biaya parkirnya.

Setelah membayar tiket sebesar delapan ribu rupiah, aku segera masuk Umbul Ponggok. Aku menuju warung makan yang dulu pernah satu kali kusinggahi. Aku ke sana lagi karena ada kamar mandi yang memadai.

“Monggo, Mas. Bisa dititipkan tasnya,” kata pemilik warung. Maksud dititipkan itu benar-benar hanya titip, tidak ada biaya penitipan alias gratis. Pemilik warung itu mendapatkan untung dari makanan dan perlengkapan mandi yang dijualnya dan dari usaha kamar mandi.

Di tempat ini ada penyewaan perlengkapan renang dan menyelam, yaitu pelampung, alat snorkling, kaki katak, ban angin, dll. Harganya bervariasi. Dengan membayar dua puluh ribu pengunjung akan mendapatkan tiket masuk, alat snorkling, dan kaki katak.

Aku tak menyewa apapun karena sudah bisa sedikit renang. Aku pun sudah membawa kacamata renang yang kubeli satu bulan lalu.

Segera saja aku menyemplungkan diri ke dalam air jernih nan dingin yang berasal dari mata air alami ini. Minimal 150 meter. Ada yang kedalamannya lebih dari 2 meter. Sangat disarankan untuk menyewa perlengkapan renang bagi kamu yang belum bisa berenang.

Aku berenang di dalam air bersama ikan-ikan.
Ikannya banyak dan beraneka jenis. Ikan kecil hingga besar. Bahkan ada yang sebesar paha. Percayalah. Memang ikan-ikan di sana dipelihara. Sungguh menyenangkan bisa berenang menghampiri ikan-ikan itu.

Setelah puas berenang, aku segera mentas. Meneguk air putih yang kubawa dari rumah. Memang biasanya aku membawa bekal air minum dari rumah. Sebagai jomblo yang memiliki prinsip “piknik takharus mahal” aku selalu berusaha membawa bekal dari rumah. Bahkan, aku pun membawa sebuah mangga yang kumasukkan ke dalam tas.

Sambil istirahat, aku membeli mendoan yang masih hangat. Dengan dicocol saos sambal tentu rasanya menggoyang lidah. Iyalah, kalau makan pasti lidah bergoyang. Coba, kamu makan dengan lidah diam, bisa nggak? Tapi, bener, rasanya nikmat banget sehabis renang makan mendoan hangat.

Aku mandi saat waktu menunjukkan pukul 3 sore. Mandi pertamaku hari ini. Setelah dari Umbul Ponggok aku berniat akan ke Candi Ijo. Dari Google Map, kuketahui perjalanan bisa kutempud dalam waktu sekitar satu jam. Untuk bekal, aku membeli beberapa mendoan. Dengan yang kumakan totalnya ada 8 mendoan.

“Empat ribu rupiah,” jawab penjualnya.
Cuma empat ribu rupiah. Lalu kubayar.

Penjual itu membuka plastik berisi mendoan yang sudah kuambil. Kukira mau menghitungnya, begitu jamaknya para penjual berlaku. Namun, ternyata penjual itu tidak menghitung. Ia menambahi sejumlah 5 mendoan ke dalam plastik.

“Nggak, usah, Bu,” kata saya pekewuh.

“Ah, nggak apa-apa.”
“Terlalu banyak ini, Bu”
“Tidak apa-apa.”

Mau bagaimana lagi, meskipun pekewuh tetap kubawa mendoan itu. Alhamdulillah, rezeki jomblo saleh. : )

Aku shalat Ashar di masjid seberang jalan. Kemudian, melajukan sepeda motor menuju ke barat ke arah Candi Ijo di Sleman, Yogyakarta.

***

Sukoharjo, 23 November 2015




~ Galeri Foto ~
 Aku sudah beberapa kali ke Umbul Ponggok. Berikut ini beberapa foto di Umbul Ponggok.
 
Harga sewa alat
Harga tiket masuk
Harga sewa kamera underwater, free operator
Terdapat tempat duduk berpayung di sekeliling umbul
Beberapa pot tanaman menambah keasrian Umbul Ponggok
Ini temanku, namanya Amrih. Dia tidak pandai berenang, tapi pandai selfie. : D
Ada sepeda motor butut warna merah yang digunakan sebagai properti foto bawah air
Airnya tenang. Dingin, jernih, dan dalamnya dua meter
Menu favorit di Umbul Ponggok: nasi pecel telor


 

Monday, November 16, 2015

Semua akan Cie Cie pada Waktunya

Menatap di kejauhan. Oh, ternyata jodoh berlum terlihat.

Rumah seorang teman sering dijadikan tempat untuk berkumpul. Tempat itu kami sebut base camp. Biasanya kami berkumpul di base camp untuk rapat merencanakan sebuah kegiatan. Namun lama-kelamaan, tempat sakral itu tidak hanya digunakan untuk keperluan musyawarah untuk mufakat. Base camp tumbuh berkembang menjadi tempat “nongkrong”, sekadar berkumpul, makan-makan, tempat mengolahragakan jari di atas stik PS, dan yang paling penting ialah tempat curhat para barisan jomblo. Maklum, orang-orang yang sering berkumpul di base camp adalah para single fighter.

Beberapa waktu yang lalu, jagat perjombloan base camp dikejutkan dengan sebuah kabar. Kabar itu menyebutkan secara ikhfa’ (samar-samar) bahwa seorang teman yang terkenal sebagai jomblo fanatik yang sering galau ketika malam Minggu, akan segera mengakhiri masa lajangnya. Yeyeye.....

Alhamdulillah, ini adalah sebuah kabar gembira bagi orang-orang yang tergabung dalam lingkaran perjombloan base camp. Senang kan mendengar seorang teman bisa segera melepaskan jeratan jomblo. Dan seperti biasa, semua akan saling ber-ciecie. “Kapan kamu nyusul?” begitu pertanyaan abadi yang terlontar.

Sebagai jomblo yang dituakan di base camp tersebut --meski diakui wajahku masih imut-imut kayak siswa SMA *skip-- tentu aku merasa senang. Bersyukur di dalam suku jomblo tempat kami bernaung akan ada yang menjemput bidadarinya. Meski, ada sedikit keresahan juga bahwa teman yang akan menikah itu bakal tak bisa lagi berkumpul di base camp berbagi canda, berbagi cerita, berbagi nasi kucing, berbagi tempat tidur, berbagi curahan hati. Uhuk...uhuk...

Sebagai jomblo yang dituakan juga, aku kemudian menjadi sorotan. “Kamu kapan? Malah didahului *** (nama sensocerd)”.

Jika jomblo lain yang mendapat serangan telak seperti itu mungkin sudah berdarah-darah dan takluk mengibarkan bendera putih dan melambaikan tangan ke kamera. Namun, dasar aku ini jomblo bandel, yang memiliki bakat jomblo sejak lahir, segala bully-an dan segala tanya sudah kucicipi. Aku pun menanggapinya biasa saja.

Semua akan cie cie pada akhirnya. Ya, jodoh tak dapat dikejar atau ditundakan. Bukankah sudah ada nama seseorang di Lauhful Mahfudz sana. Nama seseorang yang mungkin saat ini ia juga sedang jomblo dan sabar menungguku menjemputnya.

Aku banyak mendapati teman yang sudah berusaha mendapatkan pasangan, namun seringkali gagal. Mereka dikenalkan oleh orang tuanya, guru ngajinya, atau temannya. Sudah beberapa kali ta’aruf, berkenalan, mengunjungi keluarganya, namun tetap gagal duduk di pelaminan. Sebaliknya, ada pula yang baru sekali ta’aruf dengan seseorang yang dikenalkan kepadanya, langsung jadi dan tak berapa lama gamelan ditabuh di rumahnya.

Begitulah, jodoh adalah sebuah misteri. Tak ada ceritanya kita didahului oleh orang lain dalam hal pernikahan. Memangnya menikah itu balapan Moto GP yang suka salip-salipan, saling nikung, terus dlasar itu? Enggak, kan.


Sebagai jomblo yang diidamkan oleh banyak jomblowati di luar sana (gubrakkk!!!), aku harus selalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Terus memperbaiki diri, memantaskan diri. Jika sudah waktunya, aku yakin bakal bersanding dengan kamu, iya kamu yang namanya tertulis sebagai jodohku di Lauhful Mahfudz sana.

 
Hai, orang-orang yang bersendirian, tenangkanlah perasaanmu dan lapangkanlah hatimu. Jodoh tak akan ke mana. Tak kan dipercepat, tak pula diperlambat. Bersabarlah, semua akan ciecie pada waktunya.



***
Sukoharjo, 6 November 2015



Thursday, November 5, 2015

Ketika SD, Aku Berkelana dalam Rimba

Sebuah kabin di tengah hutan di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah
Sewaktu SD, aku pernah meminjam beberapa buku perpustakaan. Salah satu buku yang sangat berkesan yaitu karya Mochtar Lubis yang berjudul Berkelana dalam Rimba. Buku ini menceritakan kisah beberapa remaja bersama seorang dewasa, Paman Rokhtam, yang berkelana di sebuah rimba yang terkenal angker dan jarang disambangi orang.

Rimba Gunung Hitam namanya, hutan yang diyakini oleh penduduk banyak dihuni orang bunian atau makhluk halus. Beberapa kisah mistis melengkapi keangkeran hutan hujan tropis yang lebat itu, misalnya orang yang mengaku melihat makhluk aneh, orang yang hilang takpernah kembali, orang yang lari dari hutan sambil teriak-teriak, kemudian terganggu jiwanya, sampai kisah orang yang diculik orang hutan dan ditempatkan di atas pohon yang tinggi.

Rombongan Paman Rokhtam menjelajahi rimba selama beberapa hari. Banyak hal yang mereka temuai. Banyak pengetahuan yang mereka dapatkan. Perjalanan itu tentu menjadi petualangan yang berkesan bagi beberapa remaja yang energik itu.

Aku mendapatkan banyak pengetahuan tentang kehidupan biotik, khususnya yang berada di hutan. Beberapa spesies dijelaskan secara detail. Ada pula spesies unik, misalnya hewan yang mengeluarkan suara yang sangat keras di malam hari, seperti suara jeritan anak kecil. Atau bunga bangkai yang besar, berwarna putih kotor, dan mengeluarkan bau busuk seperti bangkai. Lebih menarik lagi, buku ini juga dilengkapi beberapa sketsa binatang atau tumbuhan.

Terdapat pula pelajaran survival di dalam hutan: menyiapkan perbekalan, membagi tugas, memilih lokasi untuk berkemah, mendirikan tenda (bivak), mengumpulkan buah dan daun yang bisa dimakan, dan lain-lain.

Pada konflik cerita, Rombongan Paman Rokhtam memergoki para pemburu ilegal yang memburu beberapa binatang dan menempatkannya di dalam kerangkeng. Mereka berusaha melepaskan hewan-hewan itu meski dengan mempertaruhkan nyawa. Di sinilah sikap mencintai alam diamanatkan oleh penulisnya.


Cover buku Berkelana dalam Rimba karya Mochtar Lubis

Aku dulu sangat menikmati buku itu. Bahasanya ringan, mudah dipahami, dan ada selipan humor oleh tingkah laku delapan remaja yang berbeda karakter. Karakter tokoh-tokohnya digambarkan dengan kuat.

Setelah kukembalikan buku itu ke perpustakaan, aku takpernah melihat buku itu hingga kini. Buku itu sudah tidak dicetak lagi. Mendapatkan yang bekas pun susah. Aku berharap suatu hari nanti bisa menemui buku yang memberikan gambaran yang berkesan tentang hutan dan isinya itu.


***
Sukoharjo, 6 November 2015






Sunday, November 1, 2015

Piknik Tak Harus Mahal

Lihat, betapa kerennya jomblo militan tingkat atas ini!

Apakah kamu sering merasa suntuk, penat, jenuh dengan kesibukan sehari-hari? Apakah kamu terkadang merasa hatimu begitu kosong, sering melamun, membayangkan masa lalu, mengingat-ingat kenangan? Apakah kamu sering jengkel, gampang marah, cepat naik pitam?

Mungkin kamu kurang piknik. Atau mungkin kamu adalah jomblo kesepian yang kurang piknik.

Mendengar kata piknik, terbayang di benak kita adalah sebuah tempat yang indah yang jauh dari rumah kita. Tempat yang menawarkan ketenangan, ketenteraman, panorama eksotik, pantai dengan pasir putihnya, atau bukit yang menghijau. Atau sebuah tempat yang ingar bingar suara tawa orang-orang yang bermain, wahana-wahana baru, canggih, dan menantang, serta restoran mewah dengan aneka menu yang menggoda selera. Lalu saat kamu melihat isi dompet, semua bayangan itu buyar, punah, hancur, sebagaimana hancurnya hati seorang jomblo yang mendapat undangan pernikahan dari bribikannya.

Descartes punya diktum: Aku berpikir maka aku ada.
Seno Gumiro Ajidarma punya kredo: Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.
Jomblo militan punya prinsip: Selama janur kuning belum melengkung, harapan itu masih ada.
Aku pun punya kata-kata sok bijak: Piknik takharus mahal.

Jika kamu termakan oleh iklan reklame di jalan-jalan tentang tempat wisata yang wah dan wow, piknik memang mahal. Jika kamu terbius oleh senyum pramugari yang menawarkan rute penerbangan ke Bali atau Singapura, piknik memang mahal. Namun, janganlah kamu terobsesi oleh kehidupan modernitas seperti itu. Mahal itu. Piknik takharus mahal.

Apa sih sebenarnya tujuan utama piknik? Refreshing. Menyegarkan pikiran dari kepenatan. Lalu, mengapa harus mahal? Kamu bisa menyegarkan pikiran dengan hal-hal yang sederhana. Semisal, bangun pagi hari kemudian naik ke atap rumah untuk mengintip bribikan tetangga sebelah menanti matahari terbit. Kamu juga bisa duduk-duduk di halaman depan atau belakang rumah membayangkan wajah bribikan yang telah men-jleb-kan hatimu menikmati langit malam. Jika kamu tinggal di perumahan, sore hari kamu bisa nongkrong di depan rumah melihat-lihat siapa tahu jodoh lewat anak-anak kecil yang bermain-main ditemani orang tuanya.

Oke, jika hal-hal sederhana seperti itu masih belum bisa menyegarkan pikiran kamu yang kalut akibat ditolak gebetan, dan kamu bersitegang bahwa piknik haruslah pergi keluar kota, hura-hura ke tempat wisata, sekali lagi, piknik takharus mahal. Jelajahi saja tempat-tempat terdekat di kota kamu atau di luar kota yang masih dekat. Jelajahi tempat yang belum pernah kamu kunjungi, atau bahkan tempat yang kurang terkenal sekalipun.

Kamu bisa naik kendaraan bermotor roda dua yang masih nyicil itu, melaju sendirian --pasti sendirian karena kamu jomblo-- meng-explore lokasi-lokasi yang terpencil namun memesona pandangan. 


Sebagai jomblo militan tingkat atas, terkadang aku melakukan hal seperti itu untuk menyegarkan pikiran. Jalan-jalan menjelajah tempat baru. Menemukan lokasi yang sulit dijangkau, bertanya-tanya pada tukang becak, tukan sayur, tukang makan, tukang PHP, hingga bisa sampai di tempat tujuan.

Pernah suatu Minggu yang kelabu karena tak ada teman di kamar, aku melajukan sepeda motor --sendirian, iya sendirian-- ke arah Ngargoyoso, Karanganyar. Air terjun Jumog yang menjadi tujuan, aku tempuh dalam waktu sekitar 1 jam 30 menit. Dengan bekal air minum dan lotis yang kubeli di depan GOR Merdeka Jombor, aku menikmati keindahan air terjun Jumog sendirian, iya sendirian. Aku mandi di air terjun yang dingin itu, lagi-lagi sendirian karena pengunjung yang lain lebih suka memegang tongkat sakti kemudian memonyongkan bibir pucatnya lalu ce-klik. Jadilah aku semacam spesies unik: seorang jomblo yang mandi sendirian di bawah air terjun, dan kedinginan.

Setelah itu aku melajukan belalang-tempurku ke atas bukit mencari lokasi Telaga Mardido. Telaga Mardido menarik hati untuk dikunjungi. Dengan bertanya kepada beberapa orang --termasuk bertanya kepada sepasang kekasih yang sedang duduk asyik di atas perbukitan menikmati senja-- sampailah aku di Telaga Mardido. Tempatnya tinggi, jalan menuju ke sana berliku-liku dan berkelok-kelok, sebagaimana kisah cintaku.

Telaga Mardido ialah tempat lapang yang terdapat sebuah telaga (sendang/danau) yang mengalirkan air yang jernih dan dingin yang katanya tak pernah kering meskipun musim kemarau. Di lokasi tersebut terdapat beberapa remaja yang mandi di kali. Beberapa kali mereka meloncat ke dalam telaga dari atas sebuah batu.

Ada pula sebuah tenda yang berdiri di area lapang, sepertinya penghuninya nge-camp di situ tadi malam. Dan sungguh, ada sepasang kekasih yang bermain model-modelan: si lelaki memotret gadisnya dengan kamera DSLR, sang gadis bergaya bak model yang tidak berbakat sama sekali.

Lalu aku? Aku menikmati pemandangan di situ. Bukit-bukitnya, teraseringnya, perkebunannya, bunga-bunganya, air jernihnya. Tak lupa aku berbincang dengan sang kekasih hati dengan tukang penjual cilok di situ tentang legenda Telaga Mardido yang merupakan tempat nyemplungnya cupu manik astagina yang diperebutkan oleh Sugriwa, Subali, dan Anjani.
Penjelajahan setengah hari ke Air Terjun Jumog dan Telaga Mardido itu menghabiskan uang tak lebih dari Rp 30.000,-.

Piknik takharus mahal juga kulakukan ke Embung Sriten di Gunungkidul. Dengan melewati jalan berbatu, berkelok, dan super ekstrim, aku berhasil sampai di tempat tertinggi di Kabupaten Gunungkidul itu. Menikmati angin laut dan pemandangan panorama Gunungkidul yang berbukit-bukit. Untuk melakukan itu, aku menghabiskan uang kurang dari 20.000,-. 





Piknik ke Gunung Api Nglanggeran di Gunungkidul --dengan nge-camp-- dan berlibur ke Umbul Ponggok di Klaten, kulakukan bersama teman-teman yang sama-sama jomblo, dengan menghabiskan kurang dari Rp 50.000,- Pendakian bersama temen-temen jomblo ke Gunung Merbabu, meskipun cuma sampai di pos tiga, cuma menghabiskan kurang dari Rp 30.000,-

Jadi, mengapa piknik harus mahal? Bagiku, piknik itu yang penting bisa menyegarkan pikiran. Gitu lho, Mblo. Jangan sok sedih. Udah jomblo, kurang piknik lagi. Pikniklah karena piknik takharus mahal.

***
Sukoharjo, 2 November 2015