Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Wednesday, July 13, 2016

Tentang Kopi, Pekerjaan, dan Kebahagiaan


Beberapa hari terakhir ada sesuatu yang terasa kurang dalam hidupku. Tersebab kopi Menoreh-ku habis beberapa hari yang lalu. Belum ada kesempatan untuk membelinya lagi ke Jogja. Kopi yang dihargai 15.000/100 gr itu memang sangat cocok bagi lidahku.

Kopi Angkring pun belum sempat kubeli lagi di Toko Podjok Pasar Gedhe. Selalu tak ada waktu untuk ke sana pada masa libur lebaran ini.

Aku pun minum kopi sachetan yang terasa kurang greget di lidahku.

Aku suka menikmati kopi hitam pada pagi hari di teras rumah. Biasanya dibarengi dengan aktivitas membaca buku atau melihat-lihat perkembangan dunia dalam jaringan. Dan bertambah syahdu ditemani kicauan burung-burung yang bertengger di dalam sangkar. Begitulah cara menikmati kopi kesukaanku.

Tentang kopi, setiap orang memiliki selera sendiri-sendiri. Seseorang bisa saja menggandrungi satu jenis kopi yang bagi orang lain diemohinya. Ada yang suka kopi murni, ada yang suka ditambah creamer, ada yang suka latte atau cappucino.

Ada yang suka ngopi di warung kaki lima, ada yang hobi ngopi di kafe dalam mall. Ada yang menganggap kopi terenak adalah buatan istri.

Begitu pun pilihan-pilihan hidup yang lain. Tentang pekerjaan, ada orang yang sangat getol untuk menjadi PNS, sedang orang lain di seberang sana sama sekali takminat pekerjaan itu.

Ada orang yang enjoy berdagang, sedang yang lain ragu dan malu melakukannya. Ada orang yang senang bekerja terikat waktu dan menetapi target, sedang yang lain suka bekerja dengan kreativitas yang bebas.

Ada orang yang nyaman mencari rezeki di perantauan, sedang yang lain takmau meninggalkan kampung halaman.

Setiap orang memiliki alasan-alasan tersendiri dalam memilih pekerjaan. Tapi, banyak orang memandang seseorang dengan pekerjaan tertentu lebih mulia derajatnya dan lebih tinggi kedudukannya daripada seseorang dengan pekerjaan lain.

Orang memandang lebih tinggi kedudukan guru PNS di sekolah negeri yang terkenal daripada guru honorer atau guru yayasan di sekolah kecil di tempat terpencil.

Orang memandang lebih mulia derajat pegawai bank daripada penjual bakso.

Orang memandang lebih hebat seorang perantau di kota besar daripada orang yang hanya bekerja di kampung halaman.

Pekerjaan yang wah, prestisius, bergaji tinggi, dan berperan sebagai orang "penting" dianggap sebagai jalan menuju kebahagiaan. Sedang, pekerjaan yang "remeh" dan berpenghasilan kecil dianggap sebagai "jalan sesat" yang ujungnya adalah ketakbahagiaan.

Tapi,
Aku sering melihat bagaimana ibu-ibu tua penjual makanan melayani pembeli dengan riang dan senyum yang tulus. Terlihat jelas ada kebahagiaan di balik senyum dan binar mata mereka.

Hal ini berkebalikan dengan kebanyakan senyum para pegawai bank, instansi, atau perusahaan besar yang senyumnya lebar tapi terasa hambar. Adakah kebahagiaan yang menyusup ke dalam hati seiring senyum mereka itu.

Aku bukan bermaksud mengatakan bahwa orang-orang sederhana itu lebih bahagia daripada orang-orang dengan pekerjaan mentereng. Nyatanya, banyak pula pekerja kecil yang susah dan suka mengeluh, banyak pula orang kaya yang bahagia selalu.

Menurut hematku, kebahagiaan tidak tergantung pada pekerjaan yang kita jalani. Tidak tergantung pada harta yang kita miliki. Tapi, kebahagiaan lebih tergantung bagaimana cara pandang kita terhadap apa yang kita miliki: pekerjaan, harta, keluarga, dll.

Sebagaimana kopi, kita punya pilihan terhadap pekerjaan yang kita sukai. Sebagaimana kopi, kita bisa memilih cara "menikmati" pekerjaan kita. Apapun kopi kesukaan kita dan pekerjaan yang kita jalani, semua bermuara pada satu tujuan yaitu kebahagiaan.

 

(Sukoharjo, 10 Juli 2016)


 

Wednesday, July 6, 2016

Pulang Kampung: Sebuah Jihad

Gambar ilustrasi: http://sinarharapan.co

Kesempatan pulang kampung --bagi sebagian besar perantau-- hanya ada dua kali. Saat lebaran dan akhir tahun. Libur lebaran terasa lebih meriah daripada libur akhir tahun.

Lebaran bermakna berkumpul kembali dengan orang-orang terkasih di kampung halaman.

Bagi para perantau, lebaran menjadi salah satu momen untuk menumpahkan kangen pada keluarga yang menyayangi, pada rumah yang menaungi, pada sahabat yang membersamai, pada opor ayam dan ketupat yang berbumbu kehangatan, pada pohon-pohon, tanah, bukit, dan angin di kampung halaman.

Dengan tekat bulat, para perantau pun menapaki perjalanan ratusan kilometer menuju rumah tempat asal. Segala perjuangan dilalui. Tabungan pun dikuras untuk membeli tiket yang biasanya berlipat harganya. Juga untuk membeli oleh-oleh bagi keluarga di rumah.

Yang mengendarai sepeda motor dan mobil, segala persiapan dilakukan, dari service mesin hingga pemilihan rute mudik.

Dan semua perantau menggantung harap bisa selamat sampai rumah dan merayakan lebaran bersama orang-orang tercinta.

Namun, seringkali jalanan menjadi tak bersahabat. Berlimpahnya kendaraan para perantau menuju kampung halaman tak diimbangi ruas jalan yang memadai, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dan masalah ini sudah ada sejak dahulu.

Di sebagian wilayah, masalah ini sudah bisa teratasi. Di sebagian yang lain belum teratasi, atau malah memburuk.

Dalam padatnya arus lalu lintas, jalanan memakan korban. Setiap tahun selalu ada korban. Sebagian perantau itu napasnya terhenti di tengah jalan.

Harapan orang di kampung halaman untuk bertemu sanak keluarga yang merantau pun pupus, berubah menjadi kesedihan yang mendalam.

Sewaktu masih berstatus perantau, saya beberapa kali pulang mengendarai sepeda motor. Dalam beberapa perjalanan itu, saya mengalami setidaknya tiga kali kecelakaan --bekasnya masih ada sampai sekarang, di tangan dan kaki.

Alhamdulillah, Tuhan masih memberi kesempatan saya untuk melanjutkan hidup.

Perjalanan paling berat yang saya lalui yaitu berkendara selama 18 jam yang jika kondisi normal hanya ditempuh dalam waktu 12 jam. Namun, para pemudik sekarang sebagiannya menempuh waktu puluhan jam, hingga 2-3 hari karena jalanan yang macet.

Selain rawan kecelakaan karena kesehatan badan yang menurun, kondiai tersebut juga bisa menurunkan kesehatan mental. Diperlukan kesabaran tingkat tinggi untuk melaluinya.

Begitulah perjuangan para perantau yang pulang ke kampung halaman.

Jika mencari rezeki adalah sebentuk jihad, sebuah kesungguhan, maka perjalanan pulang kampung termasuk dalam lingkaran jihad itu.

Kesungguhan mencari rezeki untuk keluarga adalah ibadah yang mulia. Dan pulang kampung untuk berbagi kebahagiaan dengan keluarga juga ibadah yang mulia.

Para perantau yang saat ini sudah berkumpul bersama keluarga, selamat merayakan kebahagiaan dalam waktu yang singkat namun berharga ini.

Para perantau yang takbisa kembali kepada keluarganya, tapi kembali kepada Tuhan, semoga amal ibadahnya diterima Tuhan YME.

Setelah libur lebaran usai, hampir semua perantau itu tentu berangkat lagi ke kota tempat mendulang rezeki. Sekali lagi, mereka akan melalui perjalanan yang berat --meskipun biasanya tak seberat perjalanan pulang kampung.

Saat balik ke perantauan nanti, persiapkanlah bekal perjalanan yang baik. Dan sebaik-baik bekal adalah takwa.





***
(Sukoharjo, 2 Syawal 1437 H)


Tuesday, July 5, 2016

Tentang Jodoh: Sebuah Renungan Saat Lebaran


Malam sudah lewat dari pekatnya, menuju fajar yang sebentar lagi kan datang. Bintang-bintang terlihat cemerlang di langit yang cerah. Dari kejauhan, gema takbir sahut-menyahut.

Pada hari Lebaran ini, aku merenungkan kehidupan yang tlah kulalui. Pendidikan, karir, cinta, semua hal. Yang paling mengemuka dalam pikiranku ialah tentang jodoh. Oleh karena itu, dengan diiringi suara takbir yang terdengar syahdu itu, kutuliskan apa yang kualami, kumaknai, kurasai, dan kurenungi.

Dulu aku memang bercita untuk menikah di usia pertengahan dua puluh. Sebut saja 25 tahun. Terbesit pula dahulu ingin menikah saat masih kuliah. Tapi, jalan takdir berkata lain. Kini, aku sudah melalui hari-hariku selama 30 tahun. Dan jodoh belum kunjung datang.

Boleh dikata aku telat masuk perguruan tinggi. Setelah tamat SMK, aku melanjutkan bekerja di luar kota selama 2 tahun. Kemudian, 1 tahun berikutnya aku mendirikan usaha toko alat tulis di kampung. Terhitung jarak 3 tahun antara lulus SMK dan masuk kuliah. Aku pun lulus S1 pada usia 26 tahun. Padahal, sebagian besar temanku lulus S1 pada usia 22 tahun.

Saat ini, teman-teman sebayaku hampir semua sudah menikah. Bahkan sudah ada yang dikaruniai anak. Teman-teman di bawah usiaku pun juga begitu. Sedang, aku masih saja ke mana-mana sendirian, masih suka jalan-jalan, main-main, dan galau-galauan, serta menulis puisi picisan.

Tapi, itulah jalan takdir, itulah jodoh. Jangan dikira aku tak berusaha untuk menjemput jodoh. Baiklah, aku ceritakan tentang beberapa perjalananku dalam mencari jodoh.

Sewaktu kuliah, aku pernah dekat dengan seorang wanita. Ia wanita yang baik dan mandiri, berasal dari keluarga yang cukup berada. Aku menyukainya dan ia pun punya perasaan yang sama. Hingga, aku dan dia pun bersepakat akan menikah. Namun, saat itu keadaanku ibarat api lilin yang tertiup angin: terombang-ambing. Aku belum mandiri, belum siap. Bahkan, untuk sekadar membayar SPP kuliah pun aku keteteran.

Dengan sikap kalut, ceroboh, dan terburu-buru, aku pun memutuskan untuk tak berhubungan lagi dengannya. Aku menyakiti hatinya. Aku benar-benar merasa menjadi laki-laki yang buruk saat itu. Tapi, keputusan sudah diambil, belati sudah ditancapkan.

Aku tahu wanita itu bersedih selama beberapa waktu, mungkin berbulan-bulan. Hingga akhirnya, wanita itu menemukan jodohnya. Awalnya dia tidak berminat untuk taaruf dengan seorang laki-laki. Namun, aku mendukung dan mendorongnya agar ia mau mencoba. Siapa tahu itulah jodohnya. Sebenarnya dukungan itu muncul akibat rasa bersalahku kepadanya.

Beberapa bulan kemudian, dia menikah dengan laki-laki itu. Saat itu aku masih kuliah, dia juga, tapi suaminya sudah bekerja. Aku merasa senang saat dia bisa menikah. Saat pernikahannya, aku datang dengan membawa kado berisi barang yang dahulu pernah ingin dimilikinya. Semoga kamu bahagia dengan kehidupan barumu, begitu batinku. Sedang, aku masih harus berkutat dengan mencari rezeki untuk menyelesaikan kuliahku yang masih beberapa semester.

Pada semester akhir, kondisi finansialku sudah cukup stabil. Usaha yang aku rintis mulai bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan kuliah dan keperluan sehari-hari. Aku pun bisa menabung. Dalam kondisi tersebut, aku pun berpikir untuk menikah. Aku mulai mencari-cari “target”.

Ada seorang wanita di kampusku yang memiliki senyum yang sangat menawan. Dia beberapa semester di bawahku. Sebenarnya aku tidak terlalu mengenalnya karena aku bertemu dengannya hanya beberapa kali dalam kegiatan kemahasiswaan. Menurut anggapanku, dia berkepribadian baik.

Selama beberapa hari, aku menimbang-nimbang keinginanku untuk menikahi wanita itu. Dalam beberapa hari, pikiranku sesak oleh masalah itu. Dia belum terlalu mengenalku, bagaimanakah tanggapannya nanti.

Akhirnya, dengan modal nekat, aku mengutarakan keinginanku kepada wanita itu. Awalnya aku menanyai alamat aslinya. Ternyata, ia dari luar kota. Kemudian, aku mulai mengungkapkan maksudku. Terasa deg-degan saat menunggu jawaban darinya. Dan seperti yang sudah kuduga, ia menolak dengan halus. Aku pun lega. Setidaknya aku sudah pernah berjuang, kan. Setidaknya, setelah penolakan itu aku tidak dihantui oleh pikiran yang macam-macam.

Selesailah masalah dengan wanita dengan senyum yang menawan itu. Hidup terus berjalan.

Wanita yang kukenal selanjutnya ialah seseorang yang hanya pernah kutemui sekali. Ia teman dari temanku. Saat itu aku sudah lulus kuliah, begitu juga wanita itu. Aku beranggapan, sudah waktunya aku menikah, dan aku memandang wanita itu juga sudah siap berumah tangga.

Ia wanita baik, begitu menurut pendapatku dan menurut pandangan teman-temannya. Aku pun mengutarakan maksudku. Kemudian, melalui perantara seorang teman, aku dan dia bersepakat akan melakukan taaruf. Aku meminta kepada temanku untuk mengunjungi rumahnya, berbincang-bincang dengannya, dan menilai bagaimana kepribadiannya. Temanku melaksanakan tugasnya dengan baik. Wanita itu baik, ramah, dan memiliki adab yang baik, begitu kata temanku. Aku pun semakin mantap untuk melanjutkan proses taaruf. Dia pun sepertinya juga punya firasat yang sama denganku.

Namun, sekali lagi, jalan takdir sungguh misteri. Tak berselang lama, aku tertimpa sebuah cobaan. Cobaan itu --menurut perhitunganku—membuat diriku tidak bisa menikah dalam waktu dekat. Setelah melakukan pertimbangan, aku pun mengambil keputusan. Aku katakan kepada wanita itu --melalui SMS-- bahwa aku sedang tertimpa cobaan. Aku minta maaf karena proses taaruf tak bisa aku teruskan.

Aku katakan kepada wanita itu, aku bisa menikah setidaknya paling cepat 1 tahun lagi. Namun, aku tidak mau “menggantung” posisi wanita itu. Aku membebaskannya dari ikatan taaruf. Bahkan, aku nasehatkan, jika nanti ada laki-laki baik yang datang kepadanya, terimalah. Segeralah menikah. Wanita itu bisa menerima penjelasanku, meskipun aku tidak tahu secara pasti bagaimana isi hatinya.

Berselang 1 tahun kemudian, wanita itu menghubungiku. Ia mengabarkan bahwa ia akan segera menikah. Oleh karena itu, ia hendak memesan kartu undangan pernikahan kepadaku. Aku lupa bagaimana perasaanku saat itu. Sepertinya aku ikut merasa senang karena sebelumnya aku merasa bersalah karena dengan sepihak memutus proses taaruf. Dengan menikahnya wanita itu, rasa bersalah itu bisa hilang. Maka, aku pun mendesain dan mencetak kartu undangan dengan nama pengantin wanita yang dahulu hendak kunikahi. Hanya saja, nama pengantin laki-lakinya bukan diriku.

Roda kehidupan terus berputar. Pencarian jodoh terus berjalan.

Aku terkesan dengan seorang wanita yang pandangan matanya sungguh menusuk. Pandangan matanya sungguh tajam, namun meneduhkan. Aku selalu tak sanggup memandang matanya berlama-lama. Setiap berpapasan, aku hanya bisa sekilas melihatnya. Aku suatu perasaan malu, sungkan, dan ragu untuk memandangnya, apalagi menyapanya. Bahkan, setelah bertemua tiga kali pun aku belum terlalu hafal dengan wajahnya karena seringnya aku menundukkan pandangan. Begitupun dengan dia yang selalu menjaga pandangan.

Betapa indahnya dunia jika wanita itu menjadi istriku, begitu pikirku saat itu. Namun, aku dan dia tak pula berjodoh.

Wanita itu adalah teman dari temanku. Melalui pengamatanku, aku menduga bahwa temanku --teman baikku-- itu memiliki perasaan terhadap wanita itu. Aku dilema. Aku merasa bersalah jika “merebut” wanita itu dari temanku. Aku pun tak yakin jika wanita itu mau denganku.

Akhirnya, aku pun memendam keinginanku. Setiap bersua dengan wanita itu, aku selalu menjaga pandangan dan menjauhkan diri. Karena sungguh tersiksa rasanya melihat seseorang yang kita tahu bahwa kita takbisa memilikinya. Ini memang seperti kisah klise, tapi begitulah adanya.

Kemudian, wanita itu pun menikah dengan teman baikku. Ada sesuatu yang terasa sesak dalam dadaku. Aku memang merasa senang temanku menemukan jodoh yang diinginkannya itu. Tapi, masih saja ada sesuatu yang terasa hilang.

Aku menghadiri pesta pernikahan temanku itu. Dan masih saja, aku takberani memandang wanita itu. Aku takut perasaanku kalut jika memandangnya. Perasaan itu pun aku urai sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu.

Aku sering bertanya-tanya, mengapa jalan hidupku begini? Mengapa di usia sekarang aku belum jua menemukan jodohku? Mengapa wanita-wanita itu hanya lewat sekilas dalam hidupku?

Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sebuah keluhan, apalagi gugatan kepada Tuhan. Aku bertanya-tanya, wahai Tuhan, apakah hikmah di balik semua ini?

Aku berusaha berdamai dengan jalan hidupku. Menerima takdir yang ditetapkan atasku. Aku yakin, ada hikmah atas perjalanan pencarian jodohku. Siapakah wanita yang akan menjadi jodohku? Wanita-wanita yang lewati sekilas dalam hidupku itu, tentu bukanlah orang terbaik bagiku. Ada seseorang yang sudah disiapkan oleh Tuhan sebagai jodohku. Seseorang yang melengkapi hidupku. Seseorang yang menjadi setengah dari diriku.

Kini, aku selalu menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas sambil memperbaiki kualitas diri. Dan masa penantian ini, aku berusaha selalu berucap syukur atas segala nikmat, atas segala pelajaran dalam hidupku, atas segala hikmah cobaan yang menimpaku.


***

(Sukoharjo, 1 Syawal 1437 H)


Sunday, July 3, 2016

Cara Mengatasi Kesedihan


Suatu hari ada seseorang yang bertanya kepada saya: bagaimana cara mengatasi kesedihan? Bagaimana mengusir kegundahan dan kegalauan? Bagaimana agar bisa bahagia. Saya pun menjawabnya melalui beberapa kicauan di twitter. Berikut ini secara ringkas cara mengatasi kesedihan.

Ketahuilah, bahwa hati yang sakit, lelah, patah, kecewa, dan kondisi-kondisi yang tidak mengenakkan lainnya, dapat mendatangkan kegundahan dan kegalauan. Hidup akan terasa berat, dada terasa terhimpit, dan pikiran terasa tertekan. Untuk menghilangkan atau mengurangi kondisi yang menyiksa tersebut, beberapa tips berikut ini dapat dicoba.


1
Orang yang sedang galau cenderung suka mendengarkan lagu yang melankolis, yang lembut dan sedih. Saat sedang bersedih, jangan kamu mendengarkan lagu-lagu tersebut karena dapat menambah sempitnya hati dan tertekannya pikiran.  

2
Orang yang sedang galau cenderung suka mengenang masa lalu. Masukkanlah masa lalu ke dalam kotak, kemudian kuncilah. Buanglah kunci itu jauh-jauh.

3
Orang sedang yang galau cenderung mengkhawatirkan masa depan yang tak pasti. Ia takut terhadap bayangan-bayangan buruk masa depan yang ia rangkai sendiri. Oleh karena itu, gantungkanlah masa depan di langit. Tataplah, namun jangan merisaukannya. Siapa yang tahu hari esok.

4
Orang yang sedang galau seakan-akan tidak hidup pada hari ini. Ia hidup di masa lalu atau di masa depan. Oleh karena itu, hiduplah di hari ini. Nikmati apa yang ada hari ini. 

5
Orang yang sedang galau hanya melihat satu pintu yang tertutup. Padahal, banyak pintu lain yang terbuka. Oleh karena itu, lihatlah sekitar dan kamu akan menemukan bahwa jalan keluar begitu banyak. 

6
Orang yang sedang galau senang membayangkan diri sendiri sebagai orang yang paling menderita. Padahal, betapa banyak orang yang lebih menderita darinya. Oleh karena itu, bersyukurlah. 

7
Orang yang sedang galau cenderung menutup pikiran dari hal-hal yg baru. Oleh karena itu, bukalah pikiran kamu terhadap hal-hal yang baru. 

8
Orang yang sedang galau cenderung suka mengurung diri. Ia menikmati kesengsaraannya di dalam kamar yang gelap dan sempit. Oleh karena itu, keluarlah, lihatlah lingkungan sekitar. Nikmatilah indahnya pemandangan, kunjungi tempat-tempat yang menyenangkan.

9
Orang yang sedang galau cenderung suka menyendiri. Oleh karena itu, berkumpullah dengan sahabat-sahabat yang bisa membuatmu nyaman. Kamu bisa mengobrol santai, bersendau gurau, atau jika mau kamu menceritakan kesedihanmu. Yakinlah bahwa kamu mempunyai sahabat yang bisa menghiburmu.



Kriteria Calon Istri Harus Cantik?


 

Di bawah naunagan sebuah pohon talok, dua orang jomblo sedang bercakap-cakap. Sebut saja namanya Wan dan Kris.

"Eh, aku beberapa kali ditawari taaruf dengan perempuan," kata Wan membuka obrolan serius. "Tapi, aku merasa tidak ada yang cocok. Aku merasa perempuan-perempuan yang ditawarkan kepadaku itu kurang cantik. Menurutmu, salah nggak sih kalau aku mau mencari perempuan yang cantik?"
 

"Menurutku, hal itu tidak salah," kata Kris dengan nada bicara sok bijak. "Laki-laki fitrahnya memang menyenangi perempuan yang cantik."
 

"Oh, begitu," kata Wan.

"Tapi," kata Kris, "konsep cantik itu bersifat manasuka. Sangat relatif. Saat kamu suka dengan seorang perempuan, maka perempuan itu menjelma cantik dalam pandanganmu --meskipun menurutmu sebelumnya ia tidak cantik."
 

"Masuk akal sekali," timpal Wan sambil manggut-manggut.
 

"Apalagi, seiring bertambah usia, pandanganmu terhadap konsep cantik itu tak melulu diproyeksikan dengan kulit putih, pipi berlesung pipit, bibir tipis, atau tampilan fisik lain. Kamu bisa saja menemukan kecantikan dari perempuan yang cerdas. Kamu bisa menemukan kecantikan dari perempuan yang baik, jujur, salehah," lanjut Kris memberi semacam kuliah singkat.
 

"Jadi, intinya nggak perlu terlalu muluk-muluk mencari calon istri yang cantik?" tanya Wan.
 "Kalau aku, tetap akan mencantumkan kriteria cantik dalam mencari calon istri. Haaha..." jawab Kris sambil manjat pohon talok.







Saturday, July 2, 2016

Aku, Kamu, dan Rindu


Diriku tak sepenuhnya aku
Tlah bias batas aku dan dirimu
Dalam dirimu ada aku
Siapakah aku dari dirimu

Akulah cahaya dari matamu
Suara dalam dengarmu
Rona pada pipimu
Jejak langkah kakimu

Akulah desah dalam napasmu
Akulah basah dari hujanmu

Aku adalah warna pada pelangimu
Udara dalam anginmu
Aku putih pada saljumu
Kilau dalam permatamu

Akulah merah dalam darahmu
Akulah denyut dari jantungmu

Aku menjelma tik-tok dalam detikmu
Mewujud lengkung dari lingkaranmu
Aku menjelma hijau dalam daunmu
Mewujud kayu dari rantingmu

Akulah lelap dalam mimpimu
Akulah gelap dari malammu

Aku merupa garis dalam sketsamu
Menjadi nada dalam iramamu
Aku merupa butir dalam pasirmu
Menjadi desir dalam sepoimu

Akulah renjana dalam rindumu
Akulah waktu dari penantianmu



***

(Sukoharjo, 2 Juli 2016)