Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Thursday, January 20, 2022

Belajar Hal Baru adalah Menyenangkan



Pada awal pandemi corona tahun 2020, surat pemberitahuan bahwa pembelajaran tatap muka ditiadakan diganti pembelajaran daring dilayangkan pada hari Sabtu. Saya bisa membayangkan pimpinan dan staf pada hari itu atau sehari sebelumnya dengan repotnya menyiapkan kurikulum darurat untuk pembelajaran daring.


Di sekolah tempat saya mengajar, selama pandemi, pembelajaran secara daring dilakukan setiap hari dari pagi hingga menjelang siang.

Saya ingat, Sabtu malam ketika sedang berbelanja di minimarket, pimpinan mengundang kami untuk koordinasi via Zoom Meeting. Saya mengikuti koordinasi sembari berbelanja.

Sebelumnya, kami belum pernah menggunakan Zoom Meeting. Pada Sabtu malam itulah pertama kali kami menggunakannya. Hampir semua dari kami tak paham menggunakan aplikasi ini.

Arahan pimpinan dalam koordinasi malam itu ialah semua guru belajar menggunakan Zoom Meeting dan aplikasi penunjang pembelajaran, seperti Google Classroom dan Google Form. Hari Senin-nya, kami sudah harus mengajar melalui Zoom. Yang awalnya tertatih-tatih, akhirnya kami terbiasa menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut.

Beberapa bulan berikutnya, pimpinan memberikan arahan agar setiap guru membuat video pembelajaran untuk diunggah di aplikasi YouTube sekolah. Setelah diadakan workshop singkat selama setengah hari, kami pun shooting video dan membuat video pembelajaran menggunakan aplikasi semisal Kinemaster atau Filmora.

Saya jadi ingat, dulu pertanyaan yang diajukan oleh HRD ketika wawancara lamaran pekerjaan, apa yang saya sukai. Waktu itu saya jawab, saya suka belajar hal-hal baru. Belajar hal baru adalah sesuatu yang menyenangkan.

Bagi saya, salah satu faidah bekerja adalah kita bisa belajar hal baru. Saya cukup sering mengikuti pelatihan selama beberapa hari di luar kota. Dalam pelatihan-pelatihan tersebut, saya bisa mempelajari banyak hal. Saya bertemu banyak orang dari berbagai daerah. Saya mendapatkan banyak pengalaman dan wawasan baru.

Dunia terus bergerak, dinamis. Hal-hal baru muncul setiap hari. Dengan mempelajari hal baru yang relevan dengan dunia saya, saya bisa merasa "hidup".

Hidup yang stagnan bagi saya adalah hidup yang membosankan. Hidup yang "itu-itu saja" membuat diri tidak berkembang.

Dahulu--setelah lulus kuliah---saya mencari pekerjaan yang menawarkan kesempatan belajar hal-hal baru. Pekerjaan yang bisa membuat hidup menjadi dinamis.

Pertama kali bekerja, saya tidak terlalu memikirkan besaran gaji. Jika kita bisa mengembangkan diri, meng-upgrade kapasitas diri, akan mudah bagi kita mendapatkan penghasilan yang memadai.

Saya Menikah pada Usia 33 Tahun


P
ada saat teman kuliah saya lulus, Rata-rata usia mereka 22 tahun. Saya lulus kuliah pada usia 26 tahun. Bukan karena masa kuliah saya yang molor, tetapi saya baru masuk kuliah ketika usia 22 tahun. Selepas tamat SMA saya terlebih dahulu bekerja selama 3 tahun.


Pada kemudian hari, perbedaan usia saya dengan teman-teman kuliah ini kadang menimbulkan bias persepsi. Rata-rata, pada usia 28--30 tahun mereka sudah menikah setelah bekerja 4--6 tahun. Saya, pada usia tersebut, masih "meniti karir", baru 2--4 tahun bekerja.

Pada usia 30 tahun ke atas, menurut saya, adalah masa yang cukup berat. Pada usia ini, lingkaran pertemanan kita mulai mengecil. Teman kuliah satu per satu hilang kontak. Teman kerja rata-rata sudah berkeluarga. Belum menikah pada usia tersebut menjadikan tekanan tersendiri.

Selama 6 tahun selepas wisuda, saya bekerja dengan segala tekanan finansial dan tekanan sosial "kapan nikah". Barulah pada usia 33 tahun, saya menikah.

Ada yang mengatakan, saya cukup telat menikah pada usia tersebut. Pada usia tersebut, rata-rata teman kuliah saya sudah memiliki keluarga, rumah, dan atau kendaraan. Sedangkan, saya baru memulai semuanya.

Menikah pada usia 33 tahun adalah waktu yang tepat bagi saya. Tidak terlambat, tidak pula terlalu cepat. Saya meyakini adanya "waktu yang tepat" untuk kejadian di dunia ini. Dalam dunia orang Jawa dikenal istilah "sangat". "Sangat" bermakna waktu yang paling tepat terjadinya sesuatu atau melakukan sesuatu.

"Sangat" (waktu yang tepat) bagi saya untuk menikah adalah pada usia 33 tahun tersebut. "Sangat" bagi setiap orang tentu berbeda-beda. Tak bisa kita bandingkan si A sudah melakukan ini pada usia sekian, si B melakukan itu pada usia sekian.

Saya bisa mengambil hikmah dari "menikah pada usia 33 tahun". Bahwa pada usia tersebut, saya merasa lebih stabil secara emosional sehingga konflik rumah tangga yang terjadi relatif lebih mudah diselesaikan.

Pada usia tersebut, saya juga sudah merasa cukup nyaman dengan pekerjaan. Saya memiliki cukup tabungan untuk menikah dan untuk modal awal membangun rumah tangga. Saya merasa sudah cukup mandiri sehingga sehari setelah pesta pernikahan, saya dan istri langsung pindah ke rumah kontrakan.

Membandingkan pencapaian diri dengan pencapaian orang lain adalah sumber kesempitan hati dan pikiran. Saya selalu berusaha fokus pada pencapaian diri--dari masa ke masa--dan fokus menyelesaikan masalah pribadi dibandingkan melihat pencapaian orang lain.

Setiap orang memiliki titik perjuangan masing-masing. Dan titik itulah mestinya mereka fokus berjuang. 




Monday, January 10, 2022

Family Random Trip #1 Dari Hutan ke Pantai di Jogja

Minggu selepas azan Subuh, Sheikha---anak kami—sudah bangun. Minggu yang penuh semangat. Sejak beberapa hari yang lalu, istri saya sudah meminta untuk membelikan jeruk lemon. Rencana kami pada Minggu pagi adalah mencari jeruk lemon ke pasar.

Pagi yang belum sarapan ternyata mengubah rencana. Mumpung libur, kami sepakat ke alun-alun Sukoharjo untuk mencari sarapan. Kami sudah mandi. Sheikha pun sudah bersih wangi dan memakai baju cantik. Gasss… berangkat…

Pukul 07.30. Perjalanan dimulai.

Sampai di tengah perjalanan, kami berubah pikiran. Bagaimana kalau kita random trip saja, usul istri saya. Sebagai suami yang penurut dan penuh perhatian, saya “iyain” aja. Kalau ke arah timur---Tawangmangu—sudah sering sehingga tidak terlalu menarik. Saya pun berinisiatif membelokkan kendaraan ke arah barat. Klaten, sepertinya menarik.

Kami melewati persawahan yang hijau, jalan yang berkelok. Jalan alternatif Sukoharjo-Klaten ini mengingatkan kami pada masa dulu ketika manten anyar. Kami beberapa kali ke Jogja melewati jalan ini hingga hafal nama daerah yang kami lewati. Bahkan, kami hafal di mana ada lubang di tengah jalan, kami tahu mana bangunan yang dulu belum ada.

Sampai di Jalan Raya Delanggu, kendaraan bermotor terlihat ramai lalu-lalang. Ini hari Minggu, gitu loh. Ke manakah tujuan kita hari ini? Kami perlu ke tempat alam yang luas yang bisa dipakai Sheikha buat jalan-jalan dan eksplorasi lingkungan. Klaten sebagian besar menyediakan wisata air. Ciblon, renang. Sheika suka. Namun, pada hari Minggu, semua tempat wisata pastinya ramai. Kami berusaha menghindari keramaian.

Hutan Pinus pilihannya. Di kawasan hutan, Sheikha bisa bebas menjelajah. Tingkat kepadatan pengunjung pastinya juga rendah mengingat luasnya kawasan hutan pinus. Kami pun melaju melewati Kota Klaten dengan alun-alunnya yang selalu sibuk itu. Sepanjang perjalanan, kami melihat-lihat Klaten yang relatif tak berubah sejak tahun-tahun lalu.

Istri saya takjub dengan suasana Klaten yang dikatakannya bernuansa tahun 90-an. Beberapa bangunan masih tampak dengan ormanen lawas. Di sisi kiri dan kanan jalan utama terdapat jalur lambat. Pepohonan yang rindang membuat jalanan terasa teduh.

Selepas Prambanan, kami berbelok kiri. Menelusuri jalan ke arah Patuk. Menuju Bukit Bintang, jalan menanjak dan berkelok. Sopir butuh konsentrasi. Dan kopi, tentunya. Untungnya, saya sudah membawa bekal tumbler kopi. Gunung Kidul Handayani menyambut senyum kami.

Untuk menuju hutan pinus, dari perbatasan perbatasan Gunung Kidul kami berbelok ke arah barat. Jalan menyempit. Heha Skyview yang menyajikan wahana instagrammable, kami lewati. Dulu kami pernah mampir di parkiran objek wisata yang sering ramai ini. Di sini, pemandangan perbukitan dan kota Jogja di kejauhan bisa menemani pengunjung menikmati hidangan makanan di restonya.

Kami ingin wisata alam. Kami ingin ke Hutan Pinus Pengger. Hutan Pinus Pengger adalah objek wisata paling timur dari serangkaian wisata hutan pinus di Wonosadi. Beberapa bus terparkir di tempat parkir Pengger. Cukup ramai, tetapi tidak seramai dahulu sebelum pandemi. Tempat parkir masih luas. Setelah membayar tiket masuk sebesar sepuluh ribu rupiah per orang, kami menjelajahi Hutan Pinus Pengger. Hutan yang ditanami pinus ini terbilang bersih. Terdapat beberapa wahana untuk berfoto. Beberapa gazebo guna melepas lelah, atau duduk-duduk di rumput juga menyenangkan. Rebahan juga boleh.

Sheikha terlihat antusias dengan tempat baru. Ia melangkah ke mana saja pandangannya tertuju. Naik-turun, melompati pagar. Tentu kami yang kewalahaan. Maklum, timbunan lemak telah mengurangi ketangkasan kami dalam menjelajah alam.

Tak lupa, mendoan goreng, mie goreng, dan es degan menjadi hidangan pengobat lapar dan dahaga. Sheikha suka degan, dan es batu. Kami makan di sebuah warung dengan pemandangan bukit pinus di sekeliling dan dataran rendah di kejauhan.

Pukul sebelas siang, kami cabut dari hutan pinus. Ke mana lagi setelah ini?

Saya selalu penasaran, Hutan Pinus Mangunan dengan Hutan Pinus Pengger apakah termasuk satu kawasan. Jika satu kawasan, semestinya dari Pengger bisa menuju Mangunan. Dari Mangunan bisa ke Imogiri atau ke Kota Jogja.

Setelah bertanya ke petugas parkir—dan mengonfirmasinya dengan google map—kami menuusuri jalan sepanjang hutan pinus menuju Mangunan. Kami melewati Puncak Becici, kawasan wisata hutan pinus yang lebih besar dari Pengger. Saya sudah beberapa kali ke Becici.

Dari Becici, kami terus ke barat. Kami melewati kawasan wisata Lintang Sewu, kemudian Pinus Asri. Setelah itu, kami sampai di Hutan Pinus Mangunan, Dlingo. Wilayah Mangunan cukup terkenal dengan beberapa tempat wisata. Hutan Pinus Mangunan salah satunya. Cukup ramai siang itu. Kami tidak berhenti di Mangunan. Sheikha sedang tidur dengan lelap di pangkuan emaknya.

Selepas Hutan Pinus Mangunan, kami melewati Rumah Hobbit dan Seribu Batu. Objek wisata yang cukup terkenal. Kami melewati semuanya sambil melihat orang-orang yang lalu-lalang menikmati wisata alam tersebut. Dalam pikiran, saya sudah memiliki tujuan ke mana kami akan menghentikan kendaraan kami.

Kami menyusuri Jalan Imogiri yang naik turun dan berkelok. Jalanannya bagus, halus. Dengan pemandangan perbukitan yang hijau dan dataran rendah dengan kotak-kotak bangunan di kejauhan. Dulu kami pernah ke Kebun Buah Mangunan ketika istri saya hamil lima bulan. Habis Subuh, kami berangkat dari penginapan dengan mengendarai sepeda motor. Jalanan sepi, dan dingin. Sungai Oya yang meliuk menyambut kami di Kebun Buah Mangunan. Tentu saja kami juga disambut oleh semangkuk soto, sepiring mendoan, dan segelas teh manis.

Dari Jalan Imogiri, kami menuju barat, kemudian berbelok ke arah selatan. Jalan Parangtritis. Entah berapa lama saya tidak pergi ke Pantai Parangtritis. Sudah terlalu sering sehingga bosan dengan suasana Parangtritis, saya lebih senang menjelajah pantai-pantai yang relatif baru dan belum banyak dikenal orang.

Sheikha masih tidur lelap, emaknya ikutan tidur. Jalan Parangtritis ramai lancar. Beberapa bus dan mobil berseliweran. Beberapa sepeda motor melintas, dengan sepasang kekasih duduk di atasnya.

Kami sampai di pos retribusi kawasan Pantai Parangtritis, sepuluh ribu per orang. Sebelum sampai Parangtritis, kami membelokkan kendaraan ke arah barat. Kami tidak ke Parangtritiis. Terlalu ramai di sana. Kami melewati Parangkusumo, kemudian Gumuk Pasir. Fenomena alam yang unik, membuat Gumuk Pasir selalu mendapat kunjungan yang ramai. Tempat ini seperti gurun pasir. Kita bisa main sandboarding di sini. Atau sekadar meluncur dengan menaiki papan kayu. Pukul 12.00, Gumuk Pasir sedang panas-panasnya.

Di seberang Gumuk Pasir adalah Pantai Cemara Sewu. Di parkiran tampak beberapa bus dan mobil. Ramai juga Cemara Sewu. Kami terus ke barat. Mencari pantai yang relatif sepi. Mentok di barat, kami tiba di Pantai Depok.

Pantai Depok adalah surga kuliner seafood. Kita bisa berbelanja ikan di tempat pelelangan ikan atau pasar ikan yang cukup luas. Jangan sampai kalap, karena di sini dijual banyak jenis ikan, dengan harga yang standar. Ikan yang kita beli bisa kita berikan ke warung makan untuk dimasakkan sesuai dengan selera kita. Pasti puas makan seafood di sini.

Kami tidak jadi masuk ke Pantai Depok karena ternyata ramai. Parkiran penuh. Maklum, jam makan siang. Kami berbalik ke timur. Sebelum Pantai Cemara Sewu tadi kami melihat pantai kecil yang terlihat sepi.

Kami berhenti di Pantai Tall Wolu. Pantai kecil dengan jumlah warung makan yang bisa dihitung dengan jari satu tangan. Kami langsung memesan makan siang. Ikan bakar manis dengan sambal kecap lombok. Ikan yang disajikan jenisnya cakalang. Ukurannya sedang, agak memanjang dengan tekstur daging yang tebal dan padat.

Sheikha mau juga makan nasi dengan lauk ikan. Dan es susu cokelat untuk minumnya.

Menghabiskan satu porsi nasi dan satu ekor ikan cakalang cukup membuat perut kewalahan. Setelah salat, kami beristrirahat dan bermain di bawah rindangnya pohon cemara udang. Pohon cemara udang bentuknya tidak lancip, tapi melebar seperti pohon talok. Daunnya berbentuk seperti batang lidi.

Pohon cemara udang efektif memecah angin di pantai yang relatif kencang. Pohon ini banyak dijumpai di pantai daerah Bantul sehingga ada pantai dengan nama Pantai Cemara Sewu (karena banyaknya pohon cemara) dan Pantai Gua Cemara (karena banyaknya pohon cemara sehingga terlihat seperti gua).

Setelah matahari tidak terlalu terik, kami menyongsong air laut yang sedari tadi memanggil-manggil. Sheikha yang awalnya terlihat takut karena ombaknya yang besar, menjadi girang setelah ombak menjilat kaki mungilnya yang menjejak pasir pantai.

Ini adalah kedua kalinya Sheikha bermain di pantai. Anak kecil selalu suka air. Sheikha kegirangan setiap air laut “mengejarnya” di pantai. Ia berlarian maju mundur. Ketika air surut, ia berlari menuju air laut. Saya mesti selalu mengejarnya dan memegang tangannya. Ombak di pantai kawasan Bantul memang relatif besar.

Selama hampir satu jam, kami berlarian, berteriak, berbasah-basahan, bermain pasir.

Waktunya untuk pulang, jangan sampai kemalaman sampai di rumah. Setelah berbersih diri dan menenggak es degan, kami menyalakan kendaraan dan memulai perjalanan pulang. Ada tiga rute yang bisa kami ambil. Pertama, kembali membelah hutan Wonosadi dengan jalan naik turun berkelok dengan risiko jalanan yang relatif gelap. Pilihan kedua, melewati jalur Ring Road Selatan kemudian ke timur menuju Solo. Terakhir lewat Kota Jogja dengan risiko macet.

Kami sepakat lewat Kota Jogja, melewati Malioboro, meskipun kami tahu bakal terjadi kemacetan. Jalanan kota menuju Malioboro cukup lancar. Mendekati Malioboro, kemacetan mulai terjadi. Di Malioboro, kendaraan berjalan 10 km/jam, kadang berhenti sejenak. Kami tidak turun di Malioboro, hanya menikmatinya dari dalam kendaraan.

Malioboro masih seperti dulu: ramai, riuh, dan ngangeni.

Kami melanjutkan perjalanan pulang, menuju Solo. Melewati Klaten, setelah berhenti sejenak di Masjid Al-Aqsha yang megah itu. Sampai rumah, waktu menunjukkan pukul 21.00.

Sungguh perjalalan yang melelahkan. Namun, kami merasa bahagis. Dan seporsi mie rebus menyempurnakan kebahagiaan kami hari itu.

 

***

Sukoharjo, Oktober 2021