Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Monday, July 22, 2013

Bakar


Seorang lelaki duduk menatap kekosongan. Dari emperan rumahnya terdengar suara berdebum –material bangunan baru saja tiba– dan suara mesin yang meraung-raung. Mestinya hari ini lelaki itu berada di antara suara-suara itu, menjadi buruh bangunan. Namun, ada hal yang mesti ia lakukan pagi ini.

Tetap dengan tatapan kosong ia melangkahkan kaki menuju ke arah pasar. Meski pikiran dan penglihatannya tidak mengikuti arah berjalan kedua kakinya, lelaki itu tidak perlu takut tersesat. Pasar yang ia tuju sudah ia kunjungi berkali-kali. Apalagi akhir-akhir ini istrinya yang cantik sedang terkulai sakit di pembaringan. Mau tidak mau, ia yang harus berbelanja ke pasar.

Namanya Bakar. Datang dari desa menuju ibukota dengan harapan dapat mengubah nasib. Namun, harapannya tidak kunjung terpenuhi. Bertahun-tahun ia hanya menjadi buruh bangunan dengan upah rendah. Untuk orang-orang seperti Bakar, ada pihak tertentu yang memanfaatkannya. Keterbatasan ekonomi tentu akan menggerakkan seseorang untuk melakukan apa saja.

Pak Hamid Hermawan, yang pernah naik haji tiga kali itu juga pemilik proyek pembangunan yang saat ini sedang dikerjakan, memandang Bakar sebagai orang yang tepat untuk melakukan suatu pekerjaan penting. Hasil pekerjaan yang dilakukan Bakar, sekitar enam bulan lalu terbilang sukses. Suatu pagi terdengar berita sebuah pasar di pinggiran kota terbakar habis. Para pakar berbicara mengenai penyebabnya. Ada yang mengatakan karena arus listrik yang konslet. Pakar yang lain mengatakan karena lilin yang jatuh dan membakar sekitarnya. Banyak yang lain mengatakan penyebabnya adalah kompor gas meledak. Penyebab ketiga ini banyak diamini masyarakat karena memang saat itu sedang musim kompor gas meledak. Namun, Pak Hamid dan Bakar mengetahui penyebab kebakaran yang sebenarnya.

Sesampainya di pasar, Bakar ikut duduk di sebuah pagar beton bersama beberapa tukang becak. Sebuah televisi 21 inchi terpajang di atas gardu keamanan dengan dikrangkeng besi. Setidaknya itulah salah satu hiburan bagi tukang becak yang menunggu datangnya rezeki.

“Sepertinya nih, tahun ini bakal banyak mall-mall baru. Tuh, banyak pembangunan mall di mana-mana,” kata seorang tukang becak di sela-sela mulutnya mengunyah pisang goreng.

Seorang wanita cantik yang memegang microphone melaporkan peristiwa demo penolakan pembangunan sebuah mall.

“Mengapa Anda dan rekan-rekan menolak pembangunan mall ini, Pak?” tanya reporter yang cantik itu.
“Karena nanti bisa mematikan pasar saya, Mbak,” jawab laki-laki yang wajahnya hitam dan penuh kerutan.
“Lha kalau pasarnya sepi atau malah mati nanti saya tidak bisa berjualan lagi, Mbak,” tambahnya dengan lugu.

Bakar hanya sekilas melihat tayangan berita dan melihat reporter berwajah cantik yang tampak kontras dengan latar belakangnya yang berupa tumpukan material dan mesin-mesin serta para pendemo yang wajah dan pakaiannya tentu sederhana sekali.

Istriku lebih cantik darinya. Berkata Bakar dalam hati. Dengan itu, ia teringat istrinya yang tak berdaya di tempat tidur. Beberapa hari ini kepala Bakar pusing. Istrinya, satu-satunya orang yang menemaninya dalam mengarungi kerasnya hidup di ibukota, sakit berhari-hari dan belum menunjukkan kesembuhan. Saat di Puskesmas, Bakar diberi sebuah resep dan surat rujukan ke rumah sakit.

“Pak, istri Bapak harus segera di bawa ke rumah sakit. Untuk sementara Bapak bisa meminumkan obat dalam resep ini, tapi kalau besok masih belum baikan, harus dibawa ke rumah sakit.”

Bakar menerima resep dan surat rujukan itu. Meskipun sama-sama berupa kertas, surat rujukan itu terasa lebih berat. Seberat batu. Seolah-olah tangannya tidak sanggup berlama-lama memegang surat itu sehingga dengan cepat-cepat ia masukkan ke dalam saku.

Itu kejadian tiga hari yang lalu. Dan sampai hari ini istrinya belum tampak ada kemajuan. Obat terakhir yang ia tebus dari apotek diminum istrinya kemarin siang. Saat itulah seorang utusan Pak Hamid datang menemui Bakar. Bakar tahu artinya itu.

Meskipun suara televisi terdengar keras, Bakar tidak merasa perlu untuk memperhatikannya. Pikirannya menjelajahi seisi pasar.

Sepertinya di pojok belakang kamar mandi pasar akan menjadi titik yang bagus. Di sana banyak sampah yang akan memudahkan pekerjaanku. Ah, tidak-tidak. Sebaiknya dari tengah saja. Kios pedagang minyak sepertinya menjadi titik yang bagus. Pikiran Bakar tertuju pada kios Pak Jamil, salah satu penjual minyak di pasar. Bakar ingat, ia mempunyai utang sekilo minyak goreng pada Pak Jamil.

Bakar melangkahkan kakinya memasuki pasar. Bau apek, amis, dan busuk menyergap hidungnya. Bahkan merayapi kerongkongannya. Akan tetapi, hidung Bakar sudah bersahabat dengan bau seperti itu.

Pandangan matanya mengitari seisi pasar seiring langkah kakinya. Ia lewati kios Pak Jamil. Pak Jamil sedang melayani seorang ibu. Beberapa kilo minyak goreng diberikan kepada ibu itu.

“Saya kasih potongan harga, Bu. Ibu kan sudah langganan di sini dan belinya banyak pula,” kata Pak Jamil sambil menawarkan senyum lugunya.

Setelah ibu itu pergi, Bakar mendatangi Pak Jamil. Sambil merogoh sakunya ia bertanya, “Laris, Pak?” 

“Eh, Pak Bakar. Alhamdulillah, rezeki sudah diatur. Ya beginilah, yang penting bisa buat istri masak di rumah," sahut Pak Jamil dengan nada riang.

Pak Jamil sedang merendah. Bakar tahu anak tertua Pak Jamil kuliah di universitas negeri dan kedua anaknya yang lain duduk di bangku SMA.
“Iya, rezeki sudah ada yang ngatur. semoga laris terus, Pak. Oiya, ini saya mau ngasih utang saya kemarin,” kata Bakar sambil menyodorkan beberapa lembar uang.

“Iya, terima kasih. Tidak ngambil lagi minyaknya?”
“Di rumah masih ada kok, Pak. Saya duluan ya, Pak.”
“Silakan,” tak lupa Pak Jamil mengiringi kepergian Bakar dengan senyum.

Dari pembicaraan singkat tadi Bakar sempat melirik seisi kios Pak Jamil. Selain tempatnya yang berada di tengah pasar, dengan banyaknya minyak, tentu pekerjaannya akan lebih mudah.

***

Saat perjalanan pulang dari pasar, pikiran Bakar masih tertinggal di kios Pak Jamil. Apakah aku akan melakukannya lagi? Batin Bakar. Hatinya bimbang.

Penyakit istriku semakin parah. Jika terjadi sesuatu pada istriku, aku tidak akan memaafkan diriku seumur hidup. Aku harus segera membawanya ke rumah sakit. Uang dari Pak Hamid memang cukup untuk membayar biaya rumah sakit selama beberapa hari, tetapi bagaimana jika istriku harus menginap di rumah sakit dalam waktu lama. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku ini. Uang yang akan diberikan oleh Pak Hamid nanti tentu lebih banyak lagi dan aku bisa memberikan perawatan pada istriku sampai sembuh. Aku harus melakukannya.

Lalu terbayang wajah Pak Jamil yang lugu. Rezeki sudah diatur, katanya. Kasihan juga orang-orang seperti Pak Jamil. Ada banyak pedagang yang menggantungkan hidupnya di pasar itu. Berdosakah aku bila merenggut penghidupan mereka? Ah, peduli apa dengan dosa.

Kemudia Bakar teringat pada kata-kata Pak Hamid.
“Untuk perubahan yang lebih baik memang harus ada pengorbanan. Harus ada orang yang berkorban. Kau paham itu kan, Bakar?”
“Iya, Pak,” jawab bakar sambil mengangguk.

Kata-kata omong kosong! Bakar berbicara dalam hati. Apa peduliku dengan segala ocehanmu itu. Aku hanya membutuhkan uangmu. Iya, uang. Hanya itu yang menjadi tali pengikat antara kita. Kau tentu punya banyak uang. Proyekmu banyak, banyak pula uang yang kau keruk. Dan sayangnya, aku menjadi salah satu pemulus jalanmu dalam mengeruk uang.

Tak peduli uang siapa yang kau ambil. Tak peduli berapa banyak orang yang kau buat hidupnya susah. Yang penting kau bisa memberiku uang. Itu saja.

“Laksanakan pekerjaan ini dengan baik, Bakar. Seperti perkerjaan terakhir dulu.”
Pak Hamid menyudahi pertemuan dengan menyodorkan sebuah amplop.

“Setelah selesai, amplop yang akan kaudapatkan lebih tebal lagi.”
“Terima kasih banyak, Pak!”

***

Sesudah matahari tenggelam, Bakar menunggui istrinya yang demamnya semakin panas.
“Besok aku akan membawamu ke rumah sakit,” kata Bakar sambil membelai kepala istrinya.

“Uang dari mana, Kang?” tanya istri Bakar keluar dari bibirnya yang kering.
“Tenanglah. Aku akan mendapatkan uang yang cukup untuk mengobatimu sampai sembuh.”

“Iya, tapi uang dari mana?” suara istri Bakar terdengar pelan seperti tiada tenaga lagi meskipun untuk berbicara.
“Rezeki sudah ada yang mengatur,” kata Bakar.

Rezeki sudah ada yang mengatur. Rezeki sudah ada yang mengatur. Bakar mengulang-ulang kata-kata itu dalam hati.

“Ada orang baik yang akan memberikan uang pada kita. Untuk biaya pengobatanmu,” kata Bakar dengan menekankan kata baik pada kalimatnya. Baik? Di zaman sekarang ini siapa orang yang baik itu? Justu orang yang terkenal baik malah sejatinya busuk hatinya.

Setelah istrinya terlelap tidur, Bakar keluar rumah, duduk di emperan sambil menatap proyek pembangunan yang tidak berhenti pada malam hari itu. Sampai kapan aku terus hidup seperti ini? Menjadi buruh bangunan dengan upah yang hanya cukup buat makan. Setelah pekerjaan terakhir ini, aku akan pulang kampung saja. Setidaknya di kampung aku tidak akan mati kelaparan. Ada kebun yang bisa aku tanami. Setidaknya aku tidak harus melakukan pekerjaan kotor yang akan aku lakukan sebentar lagi. Kotor? Dosa? Kotor. Dosa.

Aku membutuhkan uang itu. Tak peduli pekerjaan kotor. Tak peduli dosa. Itu perbuatannya Pak Hamid. Aku hanya salah satu tangannya saja. Kalau dosa, tentu Pak Hamid yang menanggung dosa lebih banyak. Mengapa aku memikirkan masalah dosa segala. Aku membutuhkan uang. Aku akan melakukannya.

Setelah lewat tengah malam, Bakar berjalan menuju pasar, tapi tidak melalui jalan seperti biasanya. Ia sudah mengatur rencana arah perjalanannya, cara masuk ke pasar, dan cara menyelesaikan pekerjaan itu tanpa ada orang yang mengetahuinya.

Pasar sepi, namun pikiran Bakar terasa riuh. Setelah sampai di depan kios Pak Jamil, Bakar mengeluarkan korek api dari sakunya. Terbayang wajah Pak Jamil yang lugu. Terbayang wajah simbok-simbok penjual bumbu dan sayuran. Kemudian terbayang wajah istrinya yang pucat dengan bibir yang kering.

Ah, sialan. Umpat Bakar dalam hati. Aku tidak peduli dengan semua itu. Teriaknya dengan kencang dalam hati. Ia nyalakan korek. Nyala api menari-nari di depannya membawa senyum cerah istri yang dicintainya. Kemudian tersungging senyum di bibir Bakar.

***

Pagi hari diawali dengar berita yang menggemparkan. Bakar duduk di atas pagar bersama para tukang becak. Beberapa penjual di pasar berdiri berdesakan. Tak luput pula beberapa pembeli ikut berdesakan melupakan apa yang hendak dibelinya.

Seorang reporter yang cantik –wanita yang sama yang melaporkan berita kemarin pagi– berdiri dengan memegang microphone. Di belakangnya tampak puing-puing bekas kebakaran.

“Pemirsa, telah terjadi kebakaran pada rumah salah seorang pengusaha terkenal yang inisialnya HW. Diduga kebakaran terjadi sekitar dini hari tadi. Seperti yang Anda lihat, kini rumah besar ini sudah hancur tinggal puing-puing saja. Untunglah penghuninya sempat menyelamatkan diri dan sekarang berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dugaan kuat penyebab kebakaran adalah adanya arus listrik yang konslet.”

“Oh, makanya kita kalau masang kabel harus hati-hati biar tidak konslet,” kata seorang tukang becak.
“Iya, iya,” beberapa orang di sekitarnya membenarkan ucapan itu.

Bakar tersenyum kecil. Diduga penyebab kebakaran adalah adanya arus listrik yang konslet. Namun, Bakar tahu penyebab kebakaran yang sebenarnya. Bakar tersenyum lagi. Kemudian ia berjalan pulang sambil mengajak seorang tukang becak untuk mengantarkan istrinya ke Puskesmas.

***

20 Januari 2013


---------------------------------------------------------------------------------
*Cerpen ini masuk dalam 10 nominator Lomba "Percikan Api" BOM CERPEN" 2013


Friday, July 12, 2013

Cinta Sewangi Daun Teh


Jujur saja, aku takpernah membayangkan bakal jatuh cinta dengan Galuh, salah satu akuntan di kantor tempatku bekerja. Aku bertemu dengannya baru beberapa kali. Dan selama ini tak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama.

Wajah Galuh yang semanis gula-gula itu mulai membayangi pikiranku setelah atasanku, Pak Zaenal, menawarkan seorang gadis untuk dijadikan pendamping hidupku.

“Selain cantik, dia juga baik. Sepertinya kalian berdua cocok. Bagaimana?” tanya atasanku yang berkumis lebat itu, suatu kali saat makan siang.

“Siapa dia, Bos?” Aku biasa memanggil atasanku dengan sebutan Bos.

“Namanya Galuh. Galuh Paramita, akuntan bagian pemasaran.”

“Galuh Paramita? Aku pernah melihatnya beberapa kali. Dia memang cantik Bos, tapi aku tidak mempunyai perasaan apa-apa kepadanya.”

Kemudian terbayang wajah gadis berparas ayu dengan jilbab ungunya yang melambai. Senyumnya yang manis. Pandangan matanya yang berbinar.

“Kalau kau mau, sekali waktu aku akan mempertemukanmu dengannya. Biar kau bisa menimbang, apakah dia cocok kau jadikan istri atau tidak,” tambah bosku dengan sinar mata sungguh-sungguh.

***

Pertama kali bertemu dengannya adalah saat aku fotokopi berkas laporan. Dia terlihat gagah meskipun wajahnya tampak lugu. Pakaiannya berkesan sederhana. Beberapa kali bertemu dengannya, ia memberikan senyum yang menyenangkan. Sekalipun aku belum pernah berbicara dengannya, hanya sempat bertukar senyum saat bertemu di jalan.

Aku tahu namanya saat Paman Zaenal menawariku untuk bertemu dengan seorang laki-laki di kantor –yang kata pamanku dia cocok menjadi suamiku. Awalnya aku takut. Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang belum aku kenal. Pamanku memang ada-ada saja. Paman berniat menjadi comblangku. Aku bertanya-tanya siapa yang paman tawarkan padaku. Kemudian sedikit terlintas bayangan laki-laki berpenampilan sederhana dengan senyumnya yang bersahaja itu. Ah, mungkin aku terlalu berharap.

Namanya Bagus. Aku bersama pamanku bertemu dengannya seusai jam kerja kantor di sebuah rumah makan. Dan aku jatuh cinta padanya. Oh, jatuh cinta. Sejak kapan? Sepertinya sejak pandangan pertama.

***

Aku jatuh cinta padanya. Entah mengapa aku jatuh cinta padanya. Sejak bertemu di rumah makan, wajahnya selalu hadir dalam mimpiku. Bahkan dalam keadaan terjaga pun seolah-olah ia hadir menawarkan senyum manisnya itu.

Aku dan Galuh sudah sepakat untuk mengikat hati. Aku akan segera memberitahukan kepada orang tuaku tentang keinginanku untuk menyunting Galuh. Begitu juga, Galuh akan memberitahukan kesepakatan kami kepada orang tuanya di Bandung.

Saat cuti akhir tahun, aku pulang ke kampung halaman. Hijaunya kebun teh yang terhampar luas menyambut kepulanganku. Di kampung halamanku, Karanganyar, memang banyak ditemui kebun teh. Selalu ada kebahagiaan saat kembali ke kampung halaman. Kedatanganku disambut dengan suka cita oleh keluargaku. Oleh-oleh pun berhamburan dari dalam tasku untuk menyenangkan hati mereka.

Suatu malam saat gerimis, aku menghampiri bapakku yang duduk termenung menatap halaman rumah yang remang-remang.

“Bapak,” sapaku dengan suara pelan.
“Iya, Le? Belum tidur?” kata bapakku sambil mengepulkan asap rokok dari bibirnya.

Terasa berat saat akan mengungkapkan keinginanku untuk menikahi Galuh. Dengan terbata-bata dan jantung yang berdetak kencang akhirnya aku sanggup mengucapkannya. Aku ceritakan semua tentang Galuh. Pekerjaan yang lebih berat adalah menunggu jawaban dari bapak.

“Kau tadi bilang dia rumahnya mana, Le?” tanya bapakku.
“Bandung, Pak,” jawabku dengan hati yang tidak tenang.

Bapakku diam sejenak. Setelah dua kali mengisap rokok, beliau berkata, “Apa kamu benar-benar sudah mantap dengannya?”

“Sudah, Pak,” jawabku.
“Kalau bapak tidak setuju bagaimana, Le?”

Aku terdiam. Terasa berdesir dadaku mendengarnya. Kemudian bapak bangkit dari duduknya dan melangkah masuk ke dalam rumah. Aku terbengong di halaman rumah. Menatap butir-butir air hujan. Menatap daun-daun teh yang basah. Menatap udara yang gelap.

Mengapa?

***

“Alasannya apa, Pak?” tanyaku dengan bergetar.

Mataku terasa panas. Ada sesuatu yang terasa hangat keluar membasahi pipiku. Ibuku hanya duduk diam sambil memegang cangkir tehnya tanpa sekalipun diminum.

“Galuh, anakku, ayah mau cerita. Dahulu kala, di Sunda ini ada sebuah kerajaan yang merdeka. Yang mempunyai kedaulatan dan kekuasaan. Kerajaan yang kuat dengan raja yang bijaksana sehingga rakyatnya pun hidup makmur.”

Aku mendengarkan cerita ayahku dengan menunduk.

“Suatu kali,” lanjut ayahku, “ada seorang berhati rakus dari kerajaan Jawa berniat menghancurkan kedaulatan kerajaan itu. Dengan rencana liciknya ia mengkhianati perjanjian antara dua kerajaan. Rencana pernikahan antara raja Jawa dan putri dari kerajaan Sunda itu berakhir mengecewakan. Orang rakus itu menghendaki kerajaan Sunda menjadi daerah taklukan. Padahal, sesuai perjanjian mestinya dua kerajaan itu berkedudukan sama, tidak ada yang di atas, tidak ada yang di bawah.”

Ayah mengambil cangkir teh di depannya dan meminum isinya beberapa teguk. Aku merasa bingung dengan maksud cerita ayah tadi.

“Raja Sunda dan putrinya sudah berada di kerajaan Jawa itu. Mereka dipaksa untuk tunduk kepada Raja Jawa dan menjadikan putri Sunda sebagai persembahan, sebagai tanda ketundukan. Kau tahu, Nak, orang Sunda mempunyai harga diri. Tidak akan pernah kerajaan Sunda tunduk pada kerajaan lain. Meskipun dengan kekuatan yang sangat sedikit, Raja Sunda dan putrinya mempertahankan harga diri. Maka pesta yang semestinya adalah pesta perkawinan berubah menjadi pembantaian. Itu semua karena kerakusan orang-orang Jawa. Mereka semua tewas, termasuk Raja Sunda dan putrinya. Orang-orang Jawa itu tidak bisa dipercaya.[1]

Ayah kembali meneguk tehnya. Aku mulai tahu muara dari cerita ini. Ayahku orang yang berpendirian keras. Aku hanya bisa mengalirkan air mata. Itukah alasannya? Karena Mas Bagus adalah orang Jawa? Aku pun masuk ke dalam kamar dan memeluk kesedihan. Kemudian air mata yang deras keluar dengan sendirinya.

***

Dari ibuku aku mendapat penjelasan. Ternyata bapakku sudah memilihkan calon istri untukku. Sudah ditimbang bibit, bobot, dan bebet-nya[2]. Dan yang terlebih penting lagi, berdasarkan primbon[3], weton[4]-ku dan weton gadis yang menjadi pilihan bapakku setelah dihitung ternyata cocok. Kalau aku menikah dengan gadis itu maka hidup kami akan bahagia, tenteram, dikaruniai banyak anak, serta banyak rezeki. Begitu penjelasan ibuku.

Kepalaku pusing mendengar penjelasan seperti itu. Apakah jaman sekarang masih relevan hitung-hitungan seperti itu. Aku sudah dewasa. Aku berhak menentukan pasangan hidupku. Aku berpikir bagaimana caranya aku membujuk bapakku. Aku harus mencari kesempatan yang baik untuk membicarakannya lagi dengan bapakku.

***

Minggu pagi yang cerah. Setidaknya begitulah semestinya. Namun, perbincangan dengan ayahku tadi malam membuat pagi ini begitu suram. Matahari yang bersinar terang dan bunga-bunga yang berwarna-warni di halaman tak mampu mengusir kesedihan dan kebimbangan dari hatiku.

Sebuah mobil memasuki pintu gerbang. Mobil yang sudah aku kenal. Kedatangannya pun sudah aku nanti. Aku memberitahu pamanku masalah yang aku hadapi. Sepertinya pamanku tidak setengah-setengah menjadi comblangku. Paman berjanji akan berbicara dengan ayahku.

Dari dapur kudengar ayah dan pamanku tertawa. Mereka tampak begitu senang dan akrab. Paman merupakan saudara tua ayahku. Kumasukkan tiga bungkus teh cap Wangi –teh kesukaan ayahku– ke dalam teko berisi air panas. Setelah warnanya pekat kemerahan, dengan beberapa sendok gula, kuaduk hingga gula itu habis bercampur dengan air teh. Kuhidangkan dua cangkir teh dan kuletakkan teko di atas meja tamu. Pamanku melirikku dengan memberikan senyumnya. Seolah-olah berkata, ”Tenanglah, Galuh. Biar Paman atasi.”

Sebenarnya perbuatan menguping pembicaraan orang lain itu tidak baik. Tapi ini menyangkut hidupku. Aku duduk di atas kursi yang telah kugeser di balik pintu kamarku. Dengan begitu aku bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan oleh ayah dan pamanku. Dalam hati aku berdoa. Berdoa dengan setulus-tulusnya. Semoga hati ayah mencair setelah dibujuk oleh paman.

Setelah beberapa jenak berbasa-basi akhirnya pamanku masuk ke inti persoalan.

“Kamu memang tidak berubah, Adi Danar,” kata pamanku.

“Apa maksudmu, Kang?”

“Kamu ini masih keras kepala seperti dulu. Galuh berbicara kepadaku tentang perbincangan yang kau lakukan dengan anak semata wayangmu itu tadi malam.”

“Oh, begitu,” tanggap ayahku.

“Mengapa kamu masih saja tidak suka dengan orang Jawa, Adi Danar?”

“Kakang sudah tahu alasannya kan!”

Kemudian terdengar suara air teh diseruput dari cangkirnya.

“Aku tidak percaya dengan orang Jawa. Di mataku, mereka sama. Aku tidak mau menyerahkan hidup anakku pada orang Jawa.”

Suara ayahku mulai terdengar ketus.

“Apa kamu akan mempertaruhkan hidup anakmu hanya berdasar cerita masa lalu?” Suara paman semakin meninggi. Sepertinya suasana di ruang tamu semakin panas.

“Itu kenyataan, Kang. Orang-orang Jawa sekarang sifatnya tidak berbeda dengan pendahulu mereka yang suka berkhianat dan rakus.”

“Kamu menelan mentah-mentah cerita Perang Bubat itu? Sebegitu bencikah kamu dengan orang Jawa sampai kamu mau mengorbankan kebahagiaan anakmu?” Terdengar nada suara paman semakin tinggi.

Aku mendengar perdebatan itu dengan hati deg-degan. Suara ayah dan paman sudah mulai meninggi. Tak terasa pipiku basah. Oh, Tuhan, begitu beratkah cobaan yang aku alami.

“Adi Danar,” terdengar suara pamanku, “tak perlu kita menanam kebencian dalam hati kita hanya berdasar cerita dalam buku yang belum pasti kebenarannya itu. Apakah kamu akan menurunkan kebencian itu kepada anak cucumu? Apakah kamu memang suka mengibarkan rasa kebencian itu tanpa sedikitpun berpikir dengan nalar? Orang-orang Jawa itu baik. Justru kamu sebagai orang Sunda yang mempunyai sifat tidak baik karena menyimpan kebencian dalam hatimu.”

Keadaan sejenak hening. Aku menunggu-nunggu tanggapan ayahku.

“Aku masih tidak percaya dengan orang Jawa. Aku masih beranggapan mereka mempunyai hati yang jelek.”

Brakk…

Aku kaget setengah mati. Hampir-hampir aku terjatuh dari kursi. Suara meja yang digebrak membuat jantungku semakin berdetak kencang.

“Hah, jadi kamu menghina istriku? Istriku orang Jawa dan dia adalah istri terbaik sedunia. Kamu sebagai saudaraku malah menghina istriku? Hatimu memang sudah penuh dengan kebencian.”

Itu suara pamanku. Aku mengenali suara tinggi itu saat paman memarahi anak buahnya di kantor. Saat paman marah tidak ada anak buahnya yang berani mengangkat kepala. Semua tertunduk lesu mendengarkan luapan amarah pamanku. Kini aku mendengar paman memarahi ayahku.

Aku sudah tidak bisa konsentrasi mendengarkan pembicaraan antara ayah dan paman. Yang aku dengar suara mereka semakin ketus dan bernada tinggi. Kemudian terdengar langkah kaki, pintu dibuka kemudian ditutup lagi dengan menimbulkan suara agak keras. Terdengar suara mesin mobil kemudian berjalan menjauh.

Aku membaringkan tubuh. Rasanya capek sekali. Pikiranku yang capek. Dan lagi-lagi hanya air mata yang bisa menghiburku.

Sisa-sisa air mata membekas pada wajahku yang pucat. Makan malam terasa beku. Aku makan dengan kepala tertunduk. Tak ada nafsu untuk mengunyah makanan. Hal yang sama dilakukan oleh ibuku. Ayahku pun tak jauh berbeda. Makannya tidak lahap seperti biasanya.

“Galuh.” Keheningan makan malam dipecah oleh suara ayahku.
“Iya, ayah,” jawabku dengan tetap menundukkan kepala. Tak ada keberanian untuk memandang ayahku.
“Apa kamu benar-benar mencintai orang Jawa itu? Siapa namanya?”
“Namanya Bagus. Iya, aku mencintainya.” Suaraku terdengar sangat pelan. Seakan-akan takut ada orang yang mencuri dengar. Bahkan, seakan-akan aku takut mendengar suaraku sendiri.

“Kapan-kapan undang dia kemari. Biar ayah melihatnya. Kita lihat nanti apakah ayah bisa menerimanya atau tidak.”

Kata-kata ayahku dengar serta merta membuat kepalaku mendongak. Aku memandang ayahku dengan heran.
“Katakan padanya,” lanjut ayahku, “ayah mau bertemu dengannya.”

Mataku berkaca-kaca. Aku merasa haru. Meskipun ayahku tidak dengan tegas menerima Mas Bagus, tapi mengundang Mas Bagus kemari adalah tanda terbukanya hati ayahku.
“Iya, ayah,” jawabku dengan anggukan yang mantap.

***

“Pak, aku mau bicara.”
Aku berjalan di belakang bapak dengan langkah kaki yang terasa berat. Tanaman teh sudah mulai dipanen kemarin. Di sebelah kanan rumah, pucuk-pucuk daun teh yang berwarna hijau muda sudah tidak tampak lagi. Namun, di sebelah kiri rumah, warna hijau muda masih menghampar luas.

“Masalah yang kau bicarakan kemarin dulu itu?” tanya ayahku.
“Iya, Pak.”

“Le, bapakmu ini sudah hidup lama. Dan kebun teh penginggalan kakekmu ini telah menemani bapakmu selama ini. Kebun teh inilah rumah bapak. Hasil dari kebun teh ini pula yang mampu membiayai sekolahmu dan sekolah adik-adikmu.”

Memang benar kebun teh ini yang telah menyangga kehidupan keluargaku. Aku jadi teringat, dahulu aku suka bermain petak umpet di kebun teh ini bersama kawan-kawan sekampungku.

“Le, bapak sudah tua. Yang diinginkan orang tua hanyalah agar anak-anaknya hidup bahagia. Sebenarnya, Bapak sudah mencarikan calon istri untukmu. Gadis itu Bapak anggap cocok dengan kamu.”

Aku hanya diam mendengarkan sambil tetap berjalan di belakang bapak. Pematang kebun untuk tempat berjalan hanya cukup untuk satu orang sehingga aku tidak bisa berjalan menjajari bapak.

“Bapak sudah memikirkannya, Le. Kebahagiaanmu tentu kamu yang lebih paham. Kamu sudah besar. Bapak tidak bisa lagi mengatur-ngatur kamu seperti sewaktu kamu kecil dulu. Sebagai orang tua, Bapak hanya bisa merestui dan mendoakan agar kamu mendapatkan yang kamu cita-citakan.”

Awalnya aku merasa bingung mendengar kata-kata bapak. Namun kemudian aku tersadar dan memahami apa yang disampaikan bapak. Aku tidak menduga bapak akan mengatakan hal seperti itu. Dengar serta merta warna hatiku menjadi cerah.

Terlihat dari kejauhan sebuah truk datang.

“Itu truk yang akan mengangkut daun teh kita,” kata ayahku sambil membelokkan arah langkah kaki menuju rumah.
“Daun-daun teh kita akan diangkut ke pabrik teh Wangi di Sragen sana.”

Aku masih berjalan di belakang bapak, tapi langkah kakiku terasa lebih ringan.

“Ngomong-ngomong, kalau kamu menikah mau nanggap[5] apa, Le?”
“Heh?” Aku kaget mendengar pertanyaan yang tidak terduga itu.

“Terserah bapak saja,” jawabku dengan terbata-bata sambil tak terasa bibirku tersenyum. Terbayang wajah gadis ayu dengan mata yang berbinar-binar dan senyum yang menawan.


_________________________________________________
[1] Kisah Perang Bubat dalam Serat Pararaton
[2] Bibit, bebet, bobot: falsafah Jawa. Bibit: dari keluarga baik-baik; bebet: memiliki harta yang cukup; bobot: kualitas atau karakter orang yang baik.
[3] Primbon: perhitungan Jawa berkaitan dengan baik buruknya waktu kegiatan, watak manusia, dan jodoh.
[4] Weton: hari kelahiran berdasarkan hitungan Jawa
[5] Nanggap (Jawa): mengadakan hiburan pesta perkawinan

_________________________________________________

 


*Cerpen ini termasuk dalam 33 nominator Lomba Penulisan Cerpen TIngkat Mahasiswa Se-Indonesia 2013 yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) OBSESI STAIN Purwokerto.
Cerpen ini dimuat dalam Buku Antologi Cerpen Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia yang diterbitkan oleh Obsesi Press Purwokerto, 2013.