Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Wednesday, June 28, 2017

Kutipan (Quote) Novel Sunset & Rosie Karya Tere Liye

Kutipan (Quote) Novel Sunset & Rosie Karya Tere Liye

Novel ini terbit pertama kali tahun 2011. Buku yang saya miliki adalah cetakan ke-20 tahun 2017. Wow... Berarti dalam 1 tahun novel ini cetak ulang 2-3 kali. Best seller lah pokoknya.

Bagi pembaca yang sentimental, novel ini bakal mengaduk-aduk perasaannya. Dengan mudah ia akan jatuh cinta pada tokoh-tokohnya, juga jalan ceritanya yang bertaburan refleksi-refleksi perasaan atas kenangan.

Banyak kutipan-kutipan menarik di dalam novel Sunset & Rosie. Di antaranya sebagai berikut.

Aku tenggelam dengan segala aktivitas pekerjaan. Membutuhkan seluruh kesibukan untuk membunuh semua perasaan yang terlanjur datang. (hlm 9)
Kata orang bijak, kita tidak pernah merasa lapar untuk dua hal. Satu, karena jatuh cinta. Dua, karena kesedihan mendalam. (hlm 66) 
Aku harus segera menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Berat sekali melakukannya, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik. (hlm 68) 
Menangis dalam tidur. Kalau kalian tahu maksudnya itu sungguh lebih menyakitkan. Kaliam tidur, tetapi menangis dalam mimpi. Kalian tidur tapi hati tetap terisak sendu. (hlm 75) 
Aku tahu apa artinya sebuah kesedihan, aku pernah mengalaminya. Percuma berdiri di sini sepanjang hari, sepanjang tahun, tidak akan membantu. Tidak ada yang bisa membantu selain waktu. Tetapi agar waktu berbaik hati, kita juga harus berbaik hati kepadanya, dengan menyibukkan diri. (hlm 79-80)
Saat kau pergi, seseorang akan baru merasa kehilangan, dan dia mulai bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya dia rasakan. (hlm 410)



Resensi Buku Reruntuhan Musim Dingin Karya Sungging Raga

Resensi Buku Reruntuhan Musim Dingin Karya Sungging Raga

Judul : Reruntuhan Musim Dingin
Pengarang : Sungging Raga
Cetakan : Pertama, Januari 2016
Tebal : 204 hlm
Penerbit : DIVA Press

Memang. Selalu saja ada kisah tentang perempuan yang menunggu. Dan tidak ada kisah yang lebih menyedihkan daripada perempuan yang merasa yakin bahwa penantiannya yakin akan berbuah manis. Apakah perempuan selalu ditakdirkan untuk menunggu?
(Sungging Raga. "Dermaga Patah Hati")
Jika ada tema cerita yang selalu menarik perhatian dan hangat untuk dibincangkan itulah cinta. Banyak buku -fiksi dan nonfiksi- yang menyajikan seluk-beluk asmara manusia. Dari ulama hingga penulis picisan. Dalam ranah nonfiksi, sebut aja Raudhatul Muhibbin-nya Ibnu Qayyim, The Art of Love karya Erich Fromm, dan Men Are From Mars, Women Are From Venus milik John Gray. Belum lagi bejibunnya buku-buku popular di pasaran yang menyematkan kata cinta di dalam judulnya.

Dalam ranah fiksi, kisah Layla-Majnun dari Timur Tengah berhasil menggaungkan kisah kepedihan dan kegilaan karena cinta hingga ke seluruh dunia. Dari Barat, muncullah sejoli Romeo-Juliet. Tak kalah sendu, di Indonesia tersebarlah kisah cinta Hamid-Zainab dalam Di Bawah Lindungan Kakbah buah tinta dari Buya Hamka. Dari penulis yang sama lahir pula kisah Tenggelamnya Kapal van Der Wijck yang konon terinspirasi dari Majdullin karya Manfaluthi.


Cinta, Penantian, dan Kenangan
Cinta pula yang menjadi tema umum dalam cerpen-cerpen karya Sungging Raga yang terkumpul dalam buku Reruntuhan Musim Dingin ini. Tapi, ini bukan kisah cinta yang cengeng. Sungging Raga meramu kisah cinta yang tak biasa. Kalau kata Tia Setiadi dalam pengantarnya terhadap buku ini, "Sungging Raga bersikeras menampilkan kisah-kisah cinta yang, syukurnya, tak terjerumus ke dalam lautan klise."

Pembaca bisa menduga-duga sendiri mengapa penulis memilih tema cinta dalam sebagian besar cerpennya. Kita bisa menyelami alasan penulis dalam meramu cerpen-cerpennya tersebut melalui argumennya dalam pengantar buku ini, 
"Ketika penulis dan cerpen sudah saling mencintai, maka bukan penulis yang menentukan harus menulis tentang apa, tapi cerpen itu yang mengarahkan penulis tersebut untuk menulis tema tertentu. Terkadang, saya merasa seperti itu, bahwa cerpenlah yang mengantar saya menulis cerita-cerita tertentu." (hal. 21)
Mungkin memang benar, cerita itu yang mengarahkan penulis untuk menuliskan kisah-kisah cinta. Namun, jika boleh saya asal menebak, Sungging Raga banyak menulis kisah cinta karena jiwa mudanya sedang bergejolak. Penulis masih berusia muda --dan perlu dicatat-- masih jomblo (dan akhirnya menikah pada tahun 2017). Jadi, cinta memang menjadi magnet kuat yang menarik hati dan pikirannya hingga lahirlah kisah-kisah cinta singkat dalam cerpen-cerpennya.

Meski banyak cerpennya berkisah tentang kepedihan seorang kekasih, namun penulis tak menggambarkannya dengan ekspresif. Penulis menggambarkan kisah cinta yang pilu seolah-olah sebagai kejadian sehari-hari yang jamak terjadi hingga tak perlu dilukiskan dengan tinta darah dan air mata. Meski begitu, penggambaran penulis tak kalah sendunya.

Kisah perpisahan sepasang kekasih, oleh penulis picisan, mungkin akan deraikan dengan kata-kata kepedihan yang menyesakkan dada hingga seolah-olah seribu duka ditimpakan kepada sepasang kekasih itu. Tapi oleh Sungging Raga, perpisahan sepasang kekasih di sebuah terminal dalam "Selebrasi Perpisahan" disajikan biasa saja. Tidak ada air mata yang mengalir. Hanya berpisah, begitu saja. Namun, justru di situlah kekuatan ceritanya.

Barangkali, tidak ada perpisahan yang lebih menyenangkan untuk dirayakan daripada sepasang kekasih yang berpisah dalam keadaan masih saling mencintai. Sepasang kekasih yang kemudian akan saling bertanya: mengapa cinta tidak cukup kekal untuk menjadikan dua manusia bersama selamanya?(Cerpen "Selebrasi Perpisahan")
Kisah seorang perempuan yang selalu menunggu di sebuah dermaga diceritakan oleh penulis dengan datar-datar saja dalam "Dermaga Patah Hati". Penulis tidak terjerumus dalam penggambaran karakter dan perasaan tokoh. Sebaliknya, penulis mengambil jarak dengan si tokoh. Penulis bukanlah orang ketiga yang serbatahu. Penulis bertindak seperti pembaca lainnya: tidak tahu siapa perempuan itu, apa yang ditunggunya, dan bagaimana perasaannya. Kesenduan dalam penantian yang ditunjukkan oleh tokoh perempuan itu terasa menyesakkan justru karena tidak diceritakan secara jelas bagaimana latar belakang dan perasaannya.

Kisah serupa di atas adalah cerpen "Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis". Cerpen ini mengisahkan seseorang perempuan berpakaian serba merah yang selalu duduk melamun di pinggir jalan Carrow Road. Dan wanita itu hanya bisa dilihat dari bulan oleh para astronot. Di bumi, di Arrow Road, wanita itu tak ada, tak terlihat. Entah kepedihan apa yang ditanggung wanita itu hingga rembulan pun menangis dan mengeluarkan air mata yang jatuh hanya di sepanjang Carrow Road tempat wanita itu duduk melamun.

Cerpen-cerpen yang lain serupa dalam cerita dan teknik penceritaannya. Sebut saja "Reruntuhan Musim Dingin", "Selamanya Musim Semi", "Turbulensi Kenangan", "Kompor Kenangan", dan "Lovelornia" yang kesemuanya menawarkan perihnya penantian, kenangan, dan pengkhiatan.

Khusus "Reruntuhan Musim Dingin" yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini, penulis sepertinya memiliki ikatan khusus dengan cerpen ini. Ada beberapa unsur yang menyiratkan hal tersebut. Yang pertama, tokoh utamanya bernama Nalea. Jika Seno Gumira Ajidarma memiliki Alena, Sungging Raga memiliki Nalea. Nama Nalea beberapa muncul dalam cerpen-cerpennya.

Kedua, tokoh laki-lakinya berprofesi sebagai penulis sehingga perbincangan kedua tokoh itu menyerempet dunia buku. Uniknya, penulis seperti menyindir dan menertawai diri sendiri tentang profesi menulis ini. 
"Kupikir, sebaiknya kamu jangan jatuh cinta kepada penulis. Ia lebih banyak memeras kenangan, sebanyak mungkin darimu, untuk kemudian ditinggalkan." (hal. 68).
"Tidak terbayang jika aku hidup bersama seorang penulis. Pasti sangat menyusahkan. Menulis itu bukan pekerjaan, itu cuma semacam pengisi waktu luang." (hal. 70)

Kisah Cinta yang Absurd
Selain kisah cinta yang realistis antara dua anak manusia, penulis juga "bermain-main" dengan kisah cinta yang absurd. Misalnya cinta seekor laba-laba kepada seorang gadis dalam "Melankolia Laba-laba". Sungai Serayu yang menjelma menjadi seorang perempuan dan menjalin hubungan dengan seorang laki-laki dalam "Rayuan Sungai Serayu". 

Hubungan cinta antara seorang laki-laki dan seorang perempuan jelmaan bunga edelweis yang melahirkan anak-anak (bunga) edelweis dalam "Sihir Edelweis". Kisah cinta sepasang tengkorak yang melangsungkan pernikahan dengan mengundang para penghuni makam dalam "Biografi Sepasang Rangka".

Dalam kisah-kisah yang absurd tersebut, penulis menggoyahkan logika pembaca. Seekor laba-laba bisa memiliki perasaan cinta kepada seorang manusia. Sebuah sungai bisa menjelma menjadi seorang perempuan yang bisa diajak jalan-jalan ke mall, berbelanja odol, sikat, dan sabun, menikmati es krim, dan menginap di sebuah losmen.

Sekuntum bunga edelweis bisa menjelma menjadi seorang perempuan. Jika di rumah, bunga itu berdiam di dalam pot di dalam kamar. Saat dibawa pergi oleh laki-laki yang dicintainya --misalnya ke hotel-- bunga itu menjelma menjadi perempuan dan mereka pun bercinta. Demikian selama puluhan tahun hingga lahirlah anak-anak mereka yang tinggal di dalam bunga.

Tengkorak di pemakaman bisa menjalani kehidupan layaknya manusia hidup. Mereka ngerumpi, bermain catur, jatuh cinta, melangsungkan pernikahan, dan berpesta. Di tangan Sungging Raga, kisah-kisah tak masuk akal tersebut diolah menjadi cerpen yang memikat.

Akrobat Kata
Meski kisah-kisah cinta dalam cerpen-cerpennya ditulis dengan penggambaran yang datar, yang berjarak, Sungging Raga tak membiarkan cerpennya kering kerontang. Penulis memainkan akrobat kata dan menampilkan atraksi frasa. Rangkaian kata-katanya seperti menari-menari dengan anggun dan indah saat menceritakan suatu keadaan atau perasaan.

Kutipan berikut ini bisa menggambarkan bagaimana akrobat kata yang ditampilkan oleh penulis.

"Mengapa ia tak bisa melepas kenangan yang awalnya datang begitu ringan? Apakah kenangan memang bisa tumbuh dan berkembang, menciptakan cabang berupa anak-anak kenangan yang lain?" (hal. 69-70)
"Aku seperti terayun dalam gelombang Sungai Serayu yang dahsyat, seolah sedang mengayuh perahu sendirian di malam badai, di mana hujan turun bersama angin dan aku terombang-ambing tanpa tujuan, sebuah keadaan kacau yang tak memberiku ruang sedikitpun untuk memberontak, melainkan tunduk pada alirannya, pada gulungannya, pada empasannya...." (hal. 88)
"Gadis itu bernama Kunnaila, lahir di bawah rembulan, tumbuh sepanjang ilalang." (hal. 146)
Melankolia yang Indah
Cerpen-cerpen dalam Reruntuhan Musim Dingin yang bertema cinta dengan baluran kisah-kisah sedih dan pilu itu berpotensi melahirkan melankolia yang indah. Pada sebagian kisah itu, mungkin pembaca akan mendapati dirinya seolah-olah menjadi tokoh utama yang sedang patah hati, yang sedang menanti, atau yang sedang jatuh cinta.

Pembaca mungkin akan diam dan merenung sejenak saat menjejaki cerpen-cepen itu. Mungkin ada yang teringat kenangan masa lalunya, yang teringat kekasih yang jauh tempatnya, yang teringat seseorang yang entah kapan datangnya.


(Sukoharjo, 28 Oktober 2016)





Monday, June 26, 2017

Semua Akan Kopelan pada Waktunya

Sumber ilustrasi: gambarbajumuslim[dot]com
Asyiknya lebaran di kampung halaman. Ketika dulu saya masih merantau, mudik lebaran selalu menjadi momen yang spesial. Ada buncah bahagia bisa berkumpul dengan keluarga, tetangga, sahabat, teman lama, teman baru, gebetan lama, gebetan baru, ataupun mantan yang sudah lama terkenang. Uhuk....

Kini, saya tinggal dan bekerja di kampung halaman. Di kabupaten Sukoharjo yang persawahannya dan perbukitannya indah serta mal-malnya megah.

Lebaran kali ini, semua berjalan sebagaimana tahun-tahun lalu. Tak banyak perubahan. Termasuk status saya yang masih saja jomblo ini meskipun kabinet pemerintahan kita sudah berganti berulang kali.

Lebaran tetap semarak. Beragam makanan diolah minuman meruah. Semua tersaji di atas meja. Para kerabat datang silih berganti. Tetangga-tetangga berkeliling desa, bermaaf-maafan, sambil tak lupa mencicipi makanan dan minuman di setiap rumah. Para perantau, setelah berjibaku melawan rimba jalan raya, semringah bersua dengan saudara dan kawan-kawan di desa. 

Semua tampak megah dan mewah. Orang-orang terlihat cantik dan tampan. Yang berkeluarga, jalan-jalan bersama. Ayah, bunda, dan anak-anaknya yang ramai serta lucu-lucuh. Aih, harmonisnya. 

Yang sudah punya pasangan tak henti-hentinya memamerkan senyum-tawa bahagia. Yang masih sendiri juga tak kalah suka citanya meski sering mati gaya ketika ditikam tanya, "Kapan nikah?".

Lebaran berarti baju baru bagi sebagian besar orang. Yang berkeluarga memakai pakaian yang serupa motif dan warnanya. Bahkan, yang masih balita pun dibuatkan seragamnya. Aih, lucunya. Yang berpasangan, apalagi pengantin muda yang tangannya tak lepas bergandengan, bajunya kopelan (couple). Sepertinya hati dan perasaan yang sudah menyatu mestilah ditunjukkan pula dengan baju yang serupa-serasi. 

Rasanya indah sekali melihat para keluarga dan pasangan itu memakai pakaian yang seragam. Sudah jadi semacam pawai fashion. 

Melihat pemandangan seperti itu, saya jadi kepikiran sepertinya bagus jika saya memakai baju kopelan juga. Kegagahan dan ketampanan saya pastilah meningkat beberapa derajat. Khayal tingkat tinggi pokoknya....

Tapi, masalah tersbesarnya ialah siapa yang mau memakai baju kopelan dengan saya? Lha, saya tidak ada pasangannya. Apa perlu baju kopelannya  dipakein di pohon atau digalon air. Aih, mirisnya...


Tapi, tenang saja. Saya yakin kok bahwa "Semua akan kopelan pada waktunya". Yeah, asyik....

Kutub aja ada utara dan selatan. Arus listrik ada positif dan negatif. Bunga ada putik dan benang sari. Setiap manusia pasti juga ada pasangannya, kan. Ada kopelannya. Misalnya, aku dan kamu, gitu. Eaaa....

Meskipun saya dan para jomblo squad semuanya tak bisa memakai baju kopelan, hal itu tak mengurangi makna lebaran dan keceriaan kumpul-kumpul keluarga dan teman. Oke, jujur saja sih keceriaannya sedikit terkurangi apalagi jika sudah keluar soal esai paling susah sedunia: Kapan....

Lebaran tahun depan, harapannya kita masih diberi umur panjang. Semoga pula para jomblo di manapun berada sudah memiliki pasangan pada lebaran tahun depan. Semoga disegerakan pula bisa memakai baju kopelan di atas pelaminan. Asyik....




Tuesday, June 20, 2017

Mengikis Plagiarisme Sejak Dini

Sumber gambar: kmention.com

Pada saat pelaksanaan Ujian Sekolah untuk siswa kelas IX, para siswa kelas VII dan VIII diliburkan. Hampir semua guru disibukkan oleh kegaitan US (menjadi panitia ataupun pengawas) serta ruang kelas yang tersedia digunakan sebagai ruang tes.

Berbarengan dengan libur US tersebut, kalender menunjukkan dua angka berwarna merah: hari libur nasional. Ditambah libur hari Minggu, lengkap sudah libur yang cukup panjang bagi para siswa kelas VII dan VIII.

Untuk mengisi liburan tersebut, para siswa diharapkan juga belajar di rumah. Untuk merangsang para siswa agar mau belajar, sekolah mengeluarkan kebijakan agar setiap guru memberikan pekerjaan rumah. Jika dalam satu hari siswa mengerjakan pekerjaan rumah satu mata pelajaran –sekira 30 menit—dalam masa liburan, pekerjaan rumah semua mata pelajaran akan selesai.

Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, saya memberikan lembar soal yang berisi tiga pertanyaan esai untuk siswa kelas VII dan satu pertanyaan esai untuk siswa kelas VIII. Tidak banyak memang. Tapi, soal-soal tersebut berkategori HOTS (Higher Order Thinking Skills). HOTS adalah kemampuan berpikir yang tidak sekadar mengingat (recall), menyatakan kembali (restate), atau merujuk tanpa melakukan pengolahan (recite). Dimensi soal HOTS adalah menganalisis, mengevaluasi, atau mencipta.

Salah satu pertanyaan pada lembar soal kelas VII menghendaki siswa untuk membuat puisi dengan batasan tertentu. Soal membuat puisi biasanya juga keluar saat Ulangan Akhir Semester. Oleh karena itu, tugas ini sekaligus berfugnsi sebagai latihan.

Selesai masa liburan dan para siswa mengumpulkan tugas mereka, saya mengecek satu per satu lembar soal yang sudah mereka kerjakan. Pada soal membuat puisi, saya sempat berkerut. Saya mengenal sebagian kata-kata pada puisi hasil pekerjaan siswa. Saya pun mencarinya melalui internet dengan kata-kata kunci tersebut. Dan hasilnya, puisi siswa tersebut sebagian besar (atau malah seluruhnya mengambil dari internet).

Saya pun mengecek satu pe satu puisi yang dituliskan oleh siswa dengan cara mengetikkan beberapa kata-kata pada puisi tersebut dan melakukan searching pada internet. Hasilnya membuat saya mengelus dada. Lima puluh persen lebih karya puisi siswa diambil dari internet.

Puisi-puisi yang tidak saya temukan di internet, berarti kemungkinan besar memang karya siswa sendiri. Namun untuk memastikan, saya bertanya langsung kepada mereka –satu per satu saat mengambil hasil pekerjaan mereka di depan sehingga siswa yang lain tidak mendengar pertanyaan saya ataupun jawaban siswa tersebut.

“Apakah ini puisi buatan kamu sendiri?” tanya saya.
“Iya. Pak!” jawab sebagian mereka. Nilai yang sangat baik pun saya goreskan di lembar jawaban mereka.

“Mengambil dari buku, Pak!” jawab sebagian yang lain. Saya menghargai sangat kejujuran mereka.
“Iya, tidak apa-apa. Tapi, karena mengambil dari buku, nilainya tidak bisa maksimal, ya,” kata saya. “Kalau buatan sendiri, nilainya pasti bagus.”

Dengan demikian, setidaknya tiga perempat siswa mengambil dari internet atau buku untuk tugas menulis puisi mereka.

Saya cukup maklum dengan tindakan mereka. Mereka belumlah besar/dewasa. Mereka baru kelas VII SMP, belum lama lulus dari SD. Perkara mengambil karya orang lain ini belum mereka pikirkan masak-masak konsekuensinya. Mungkin pula mereka berpikir saya tidak akan mengecek karya puisi mereka. Padahal, saya membaca dan mengecek satu per satu puisi-puisi mereka, kemudian saya tulisakan komentar terhadapnya. Jika bagus, akan saya beri komentar yang bagus. Jika terbukti puisi tersebut hasil karya orang lain, akan saya tulis nasehat agar tidak mengambil dari internet atau buku.

Dengan kejadian itu, saya pun berkesempatan untuk menjelaskan betapa berharganya orisinalitas dan betapa buruknya tindakan mengambil karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri.

Dalam memberi nilai terhadap karya puisi tersebut, saya jelaskan bahwa karya sendiri –apapun hasilnya—adalah lebih baik daripada mengambil karya orang lain. Saya tekankan bahwa, puisi buatan sendiri akan mendapat nilai yang lebih tinggi daripada puisi yang sebagian atau seluruhnya mengambil dari karya orang lain meskipun puisi hasil karya sendiri terlihat biasa-biasa saja, bahkan terkesan tidak bagus. Saya tak ragu-ragu memberi nilai yang sangat baik untuk puisi-puisi hasil karya sendiri.

“Bahasa kasarnya begini, anak-anak,” kata saya, “sejelek apapun puisi kalian, kalau itu buatan sendiri, pasti akan Pak Guru beri nilai yang bagus. Sebaliknya, sebagus apapun puisi itu, jika hasil mengambil dari internet atau buku, nilainya tidak akan bagus.”

Tak lupa, saya sampaikan bahwa perbuatan mengambil karya orang lain itu tidak baik. Membuat karya sendiri merupakan latihan agar keterampilan menulis bisa berkembang.

“Nanti ketika UAS kalau ada soal membuat puisi biar kalian bisa mengerjakannya.” Saya memberikan penekanan mengapa membuat karya sendiri itu penting.

“Saat kalian kuliah nanti, kemampuan menulis juga sangat diperlukan. Untuk menyusu skripsi kalian tidak bisa mengambil tulisan orang lain. Pasti akan ketahuan. Ada teknologi yang bisa mengecek berapa persen tulisan kita sama dengan tulisan orang lain. Dan jika ada yang ketahuan skripsinya sebagian besar copy-paste dari milik orang lain, sanksi paling ringan disuruh mengulangi menyusun skripsi dari awal.”

Saya benar-benar menekankan agar para siswa mau menulis atau mengerjakan soal sendiri dan bangga dengan hasilnya. Akhirnya, pada kesempatan yang lain, saya memberi tugas kembali untuk menulis puisi sebagai pengganti puisi-puisi hasil copy-paste sebelumnya.

Pada Ulangan Akhir Semester, soal membuat puisi memang keluar. Saya percaya bahwa para siswa akan bisa menulisnya dengan baik. Saat mengoreksi hasil UAS, saya puas dengan jawaban siswa. Pada soal menulis puisi, hampir semuanya menuliskannya dengan baik. Tak segan saya memberi nilai maksimal pada puisi-puisi tersebut.




Friday, June 16, 2017

Semua Akan Cie Cie pada Waktunya #Jilid 3

Semua Akan Cie Cie pada Waktunya

Awal tahun 2017 saya mendapatkan mimpi siang hari yang sangat horor. Sebagai desainer grafis, mimpi saya pun berkaitan dengan soal mendesain dan mencetak. Dalam mimpi tersebut, saya mendapatkan pesanan membuat kartu undangan dari lima teman yang akan menikah di awal tahun. Bayangkan, lima teman saya mau menikah dan mereka memesan kartu undangan kepada saya. Sungguh, horor maksimal!

Untunglah hal itu hanya mimpi meskipun setelah terbangun hati saya sempat berjumpalitan tak keruan juga. Saya pun teringat sebotol madu dan sari kurma yang beberapa waktu lalu saya beli. Saya ingin memimum kedua suplemen agar badan senantiasa sehat dan bugar karena saya tahu di tahun yang baru ini cobaan bagi para jomblo akan semakin berat. Ini ujian, ini ujian, demikian mantra yang perlu sering dirapal saat mendapat kartu undangan walimahan, apalagi jika berasal dari mantan.

Sebagai jomblo akhir zaman, saya merasa selalu dipandang rendah oleh orang lain yang sudah berkembang biak, eh maksudnya yang sudah menikah. Dan saya yakin, saya punya teman senasib sememprihatinkan yang tak sedikit, atau malah banyak sekali.

Saya bertanya-tanya kepada rumput yang berjoget ataupun kepada rembulan yang bersolek, mengapa para jomblo selalu dihina dan diremehkan? Mengapa... oh... mengapa?

Ada yang mengambil sudut pandang agama dalam merisak para jomblo. Dikatakan bahwa jomblo adalah makhluk yang tidak sempurna karena belum menemukan separuh jiwanya. Jomblo adalah seburuk-buruk manusia jika meninggal. Jomblo adalah orang yang tidak yakin dan tidak tawakal dengan rezeki Tuhan. Lalu mereka pun mengiming-imingi nikmatnya nikah muda. Bahkan, ada seminar nikah muda, plus menghadirkan praktisinya. Haibat sekali, bukan!

Ada yang menghitung-hitung dari segi ekonomi. Jika kamu menikah pada usia 20 tahun, saat anakmu masuk perguruan tinggi yang membutuhkan banyak biaya, kamu masih berusia sekitar 40 tahun. Artinya, kamu masih kuat mencari nafkah. Jika kamu menikah pada usia 30 atau 35 tahun, maka ketika anakmu kuliah, kamu sudah tua dan sudah tidak kuat lagi bekerja. Jadi susah kamu nanti. Begitulah ancaman-ancaman yang ditembakkan para ahli ekonomi untuk menakut-nakuti para jomblo yang kunjung naik ke pelaminan. Seolah-olah jomblo karatan bakal berkubang dalam kemiskinan.

Ahli Psikologi punya penilaian sendiri. Seseorang yang menikah akan lebih cepat dewasa karena ditempa pengalaman dan permasalahan, serta hasratnya bisa tersalurkan dengan aman. Orang yang belum menikah cenderung punya sifat kekanak-kanakan, tidak bertanggung jawab, pemalas, sering keluyuran tak jelas, dan suka membayangkan yang bukan-bukan. Apakah memang benar demikian?

Ahli kesehatan berkata lain lagi. Menikah usia muda itu memungkinkan memiliki anak yang sehat dan cerdas. Jika kamu menikah saat usiamu kepala tiga lewat, bakal susah mendapat anak dan risiko melahirkan tidak normal lebih besar. Aih... seremnya...

Ahli perbintangan berkata lebih tajam, “Kamu lahir di bawah bintang kegelapan sehingga kamu akan susah bertemu dengan jodohmu.” E, lhadalah...

Kenapa, sih, mereka pada suka mengolok-olok para jomblo seakan-akan jomblo adalah makhluk paling mengenaskan dan paling hina-dina sedunia?

Saudara-saudara sebangsa jagat maya, janganlah merisak para jomblo. Mereka itu sudah menderita tekanan batin setiap hari, janganlah kamu tambahi penderitaannya. Tak kasihankah engkau melihat wajah-wajah kuyu nan pucat yang merindukan belaian itu?

Lagipula, jodoh itu kan di tangan Tuhan. Bukan di tangan manusia. Sudah ditentukan jodoh dengan siapa dan kapan waktunya. Beruntunglah engkau yang menikah duluan. Tapi, jangan mengolok yang belum naik ke pelaminan. Itu namanya mengolok takdir Tuhan.

Kita harus meyakini bahwa semua akan cie-cie pada waktunya. Jodoh tidak bisa dipaksakan. Tidak bisa dipercepat, tidak pula bisa dilambatkan. Soal menikah bukan pula soal dulu-duluan. Bukan balapan yang siapa cepat dia hebat.

Saya yakin, semua jomblo pasti ingin segera duduk di pelaminan bersama Dian Sastro Wardoyo kekasih pujaan hatinya. Tapi, ada satu dua hal yang menjadi halangan sehingga pernikahan pun tak bisa segera diwujudkan.

Pertama, ada orang yang dia siap menikah lahir batin. Wajah tampan rupawan, pekerjaan nyaman dan mapan, kendaraannya bukan kreditan. Tapi, keluarganya belum mengizinkan dia untuk menikah dengan berbagai alasan.

Kedua, ada orang yang keluarganya sudah memberi lampu hijau, wajahnya menawan banyak menarik hati perawan. Tapi, sayang ia tak punya kerjaan. Menjadi pengangguran yang tinggal di kamar sewaan, yang setiap akhir bulan sering makan mie instan.

Ketiga, ada orang yang keluarganya oke-oke aja, kerjaannya jadi orang kantoran, duitnya banyak di tabungan.Tapi sayang, wajahnya fakir ketampanan hingga para wanita pun enggan berdekatan.

Keempat, ada orang yang keluarganya oke banget, pekerjaannya bergengsi, mobilnya sedan, wajahnya aduhai mengundang perhatian para janda dan perawan. Tapi sayang, ia takbisa move on dari mantan yang sudah ditikung oleh teman.

Dan ada alasan-alasan lainnya yang membuat para jomblo tak bisa segera melangsungkan perkawinan dengan gadis idamannya.

Orang-orang yang suka merisak itu apakah mereka paham dengan permasalahan setiap jomblo itu sehingga setiap ketemu selalu saja melemparkan olok-olok. Tak tahukah mereka kata-kata bijak yang mengatakan, “Janganlah kamu mengolok-olok para jomblo. Belum tentu kamu lebih baik daripada yang kamu olok-olok itu. Bisa jadi para jomblo yang kamu olok-olok lebih baik daripada dirimu.”

Saudara-saudara, simak dan resapilah kalimat bijak di atas.

Jika mengaku sebagai teman, alangkah baiknya berusaha membantu temannya yang kesulitan mencari jodoh. Yang kesulitan ekonomi, dibantulah dengan mencarikan pekerjaan. Yang kesulitan izin orang tua, dibantulah lobi-lobi dan negosiasi dengan orang tua dan kerabatnya. Yang kesulitan melupakan mantan, dibantulah mencarikan yang pengganti yang sepadan. Yang kesulitan dengan wajanya yang pas-pasan, ya dibiarkan saja karena itu sudah suratan, kecuali kalau mau operasi plastik di Korea Selatan.

Pesan dan wasiat saya untuk para jomblo:

  • Jika kesulitan mencari rezeki, maka kerja... kerja... kerja... 
  • Jika kesulitan mencari jodoh, maka kejar... kejar... kejar...
  • Ingatlah selalu pesan bijak berikut ini, “Hai, orang-orang yang bersendirian, tenangkanlah perasaanmu dan lapangkanlah hatimu. Jodoh tak akan ke mana. Takkan dipercepat, tak pula diperlambat. Bersabarlah, semua akan cie-cie pada waktunya.”





Film India: Antara Pujian dan Cacian

sumber gambar: bukupocer[dot]com

Judul : Aku dan Film India Melawan Dunia (Buku I)
Penulis : Mahfud Ikhwan
Cetakan : 2017
Tebal : viii + 150 hlm
Penerbit : EA Books
ISBN : 978-602-1318-47-8

Seperti film porno, film India disukai sekaligus tidak diakui, dikonsumsi tapi dianggap terlalu kotor untuk dibincangkan, ditonton sendirian kemudian dihinakan di depan banyak orang.” (hal. 4)
Banyak orang yang sudah menonton film biru di dalam kamar tertutup. Akan tetapi, di depan teman-temannya ia akan berpura-pura sebagai seseorang yang lugu yang belum pernah melihat adegan-adegan dewasa itu sedikit pun. Begitu pula dengan film India. Banyak yang dengan rela menumpahkan air mata saat si tokoh utama berpisah dengan kekasihnya di film India atau ikut menggoyangkan pinggul saat si tampan dan si seksi bernyanyi dan berjoget mengelilingi pohon. Namun—sebagaimana  film porno—tak ada yang membicarakan adegan-adegan film India dalam arisan bulanan atau obrolan ngalor-ngidul di kafe sepulang kerja. Intinya, film India adalah tontonan rendahan dan menjadi aib bagi orang yang menontonnya.
Generasi 90-an merasakan betul keadaan tersebut. Demikian pula yang dirasakan oleh Mahfud Ikhwan, si penulis yang masa remajanya disesak-penuhi heroisme film India, dan juga goyangan artisnya. Maka, menuliskan sesuatu—seremeh apa pun—tentang film India adalah sebuah keberanian luar biasa. Sebuah keberanian untuk melawan pandangan orang banyak, melawan dunia, melawan semesta. Kata penulisnya, dushman dunia ka, ‘sang musuh semesta’.
Sebelum diterbitkan, sebagian besar tulisan dalam buku ini diunggah dalam blog pribadi penulisnya yang beralamat di dushmanduniyaka.wordpress.com. Sebagai penikmat film India yang kadang-kadang malu mengakuinya, saya sudah sering bertamu ke blog tersebut. Sebagai sebuah blog, tulisan-tulisan Mahfud Ikhwan memang cenderung bersifat pribadi, bersifat intim. Demikian pula buku ini yang pembahasannya memang subjektif. Dalam bab “Thank You, India (Movies)!”, Mahfud Ikhwan memberikan tiga alasan mengapa ia menyayangi, merawat, dan membela film India. “Pertama, ia sulit didapat; kedua, ia membuat saya merasa kaya; dan ketiga, ia menjadikan saya merasa istimewa.” (hal.6)
Di tanah air, film India sempat menimbulkan ramai diperbincangkan saat Briptu Norman bergoyang dan bernyanyi “Chaiyya-Chaiyya” yang merupakan lagu latar film “Dil Se” (1998). Namun, peristiwa itu ibarat ngobong-obong blarak ‘membakar daun kelapa’ yang cepat dan mudah terbakar, namun cepat dan mudah pula padam. Pada satu masa, Norman dipuja dan wajahnya muncul di berbagai stasiun televisi. Masa berikutnya, ia sudah terlupakan oleh media.
Sinema India menemukan momentumnya kembali ketika muncul sinetron Mahabharata dengan deretan aktor yang tampan dan barisan aktris yang cantik. Sejak saat itu, layar kaca dibanjiri sinetron dari negeri Sungai Gangga ini. Rating sinetron India pun mengalahkan kontes dangdut, bahkan mengalahkan tayangan pertandingan sepak bola. Namun, hal itu hanya berlaku untuk sinetron yang merupakan film berseri, bukan untuk film layar lebar. Film-film India secara umum masih terpinggirkan. Membicarakan sinetron India sudah menjadi salah satu menu obrolan, tapi membicarakan film (layar lebar) India, masihlah menjadi sesuatu yang aneh.
Perjuangan Menonton Film India
Pada masa sebelum televisi menjadi barang yang memang semestinya ada di setiap rumah, menonton film India merupakan sebuah perjuangan yang berat. Dalam bab “Nonton India: Perjuangan Tak Berkesudahan”, Mahfud Ikhwan menceritakan perjuangan beratnya bersama teman-teman sekampung ketika ingin menonton film India.
Pada masa itu, di kampungnya hanya ada beberapa yang warga yang memiliki televisi dengan sumber energi berasal dari aki. Untuk menonton film India—yang seringnya tayang pada malam atau bahkan dini hari—Mahfud Ikhwan dan kawan-kawan seperjuangannya harus melobi si pemilik televisi dan memastikan akinya cukup untuk menghidupi televisi hingga beberapa jam. Tak jarang, mereka sampai ke luar kampung untuk mendapatkan televisi yang bisa dan boleh ditonton.
Munculnya pemutar video dengan layar proyektor membuat aktivitas menonton film India menjadi lebih semarak. Namun, yang tetap menjadi masalah adalah sulitnya mendapatkan video film India. Begitu juga saat teknologi CD player mulai dikenal orang-orang kampung. Meskipun CD yang berisi lagu-lagu soundtrack film India tidak terlalu sulit didapatkan, namun lagi-lagi, CD film India masih menjadi barang langka. Mencari film India ibarat mencari sebatang pulpen di dalam lapangan sepak bola.
Kegandrungan Mahfud Ikhwan terhadap film India sempat menurun saat ia merasakan “lelah” memburu film-film India. Namun, komputer dan internet menjadi berkah tersendiri bagi pencinta film India. Film-film India bisa dengan mudah ditemukan di internet. Sayang, untuk film-film lawas, belum ada subtitle-nya. Di sinilah keisengan Mahfud Ikhwan bermula. Ia mencoba menerjemahkan beberapa film India hingga akhirnya ia menyadari tidak berbakat dalam hal tersebut.
Banjir Kuch Kuch Hota Hai Menenggelamkan Angry Young Man
Film India masa kini berbeda dengan masa sebelum tahun 2000, atau lebih khususnya sebelum masa “banjir” film “Kuch Kuch Hota Hai”. Film yang melambungkan nama Shah Rukh Khan (SRK) itu telah menenggelamkan film-film angry young man yang berjaya pada tahun 70-an hingga 90-an. Dari film-film angry young man itulah generasi 90-an mengenal Amitab Bachchan, Jackie Shroff, Anil Kapoor, dan Sunny Deol. Juga Ajay Devgan, Akhsay Kumar, Sanjay Dutt, Salman Khan, Aamir Khan. Muhajjah
Pada masa itu, SRK hanyalah aktor yang tak diperhitungkan yang sering berperan sebagai antagonis. Tapi, semuanya berubah sejak “Kuch Kuch Hota Hai” menyerang. SRK merajai Bollywood. SRK yang sebelumnya berakting bagus sebagai antagonis dalam beberapa film pada awal 90-an menjelma menjadi SRK yang perayu dan pandai menguras air mata. Mahfud Ikhwan yang menggandrungi genre angry young man pun merasa benci-rindu dengan SRK. Hal tersebut diungkapkannya dalam bab “Shah Rukh Khan si Bajingan”.
Saya sendiri menyukai SRK meskipun beberapa filmnya memang membosankan untuk ditonton. Salah satu film SRK yang berkesan bagi saya yaitu “Shakti: The Power”, yang kebetulan menjadi salah satu film favorit Mahfud Ikhwan karena menampilkan Nana Patekar. Siapakah Nana Patekar?
Soal pengidolaan aktor, dengan terang Mahfud Ikhwan menyebut Nana Patekar. Ia membahasnya dalam bab tersendiri dengan cukup panjang dalam “Nana dan Saya”. Nana Patekar dengan tatapan menelisik setajam elang itu memang mudah membuat orang penasaran. Mahfud Ikhwan, bisa dibilang merasa “jatuh cinta pada pandangan pertama” dengan Nana. Ia melihat penampilan Nana pada sebuah film India yang ditontonnya pada dini hari. Sejak saat itu, Mahfud Ikhwan selalu mencari informasi tentang Nana Patekar dan film di mana ia berperan yang seringnya sebagai tokoh antagonis, atau tokoh abu-abu.
Soal idolanya ini, Mahfud Ikhwan menyebutkan, “Saya menyukainya bahkan sebelum tahu namanya. Tak seperti kata orang Jawa bahwa rasa suka muncul dari seringnya berjumpa, saya menyukainya karena ia begitu sulit ditemui. Ia begitu misterius. Hampir selalu muncul tanpa pengenal, tanpa inisial, tapi daya pukaunya luar biasanya.” (hal.49)
***
Salah satu yang patut diapresiasi dari perfilman India yaitu kebanggaan para sineasnya untuk menampilkan latar India, budaya dan patriotisme India. Nasionalisme sangat terasa dalam sebagian besar film-film India. Mahfud Ikhwan menyebutkan, “Pada dasarnya sinema India, hampir secara keseluruhan hingga usianya yang ke seratus tahun, disadari atau tidak adalah usaha panjang, terus-menerus, kadang memutus-asakan, untuk menjaga, menemukan, atau menemukan kembali keindiaan.” (hal.110-111)
Disebutkan beberapa film India yang menggambarkan karakter keindiaan di antaranya “Rang De Basanti” (2006), “Delhi-6” (2009), serta film-film angry young man yang karakter tokoh utamanya “Inspektur Vijay” dianggap sebagai “gambaran sejati tentang India”.
***
Buku Aku dan Film India Melawan Dunia merupakan buku pertama tentang film India yang saya baca. Dan saya belum menemukan buku lain semisalnya. Sampul buku ini menampilkan Irfaan Khan dalam pakaian yang sederhana yang berasal dari poster film “Billu” (2009). Dengan perpaduan warna merah dan hitam, membuat buku ini menegaskan posisinya yang tidak berada di arus utama, tidak dalam budaya populer, dan—sepertinya—tidak bakalan best seller. Judulnya terlihat mencolok dengan warna putih. Secara umum, buku ini terlihat seperti malu-malu tapi ingin diperhatikan, sederhana tetapi tampak angkuh.
Membaca buku Aku dan Film India Melawan Dunia mungkin masuk dalam daftar aktivitas yang tak ingin dilakukan di tempat umum. Bagaimanapun, film India (bukan sinetron India) belumlah menjadi tontonan populer di Indonesia. Menonton dan membahasnya—juga membaca buku tentang film India—masihlah menjadi hal yang bisa mendatangkan tatapan sinis. Jika memang berani malu atau memang tak peduli dengan omongan orang, maka bacalah buku ini di depan umum. Dan selamat menikmati. Chaiyya…. Chaiyya….

***
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di basabasi.co pada tanggal 1 April 2017. 


KURMA: Kemah yang Tak Biasa

Kerennya....

Forum IMTAQ wa Rohmah memiliki banyak agenda kegiatan setiap tahun
. Salah satu kegiatan yang paling berkesan di IMTAQ adalah KURMA yang merupakan kependekan dari Kemah Ukhuwah Remaja Masjid. Dulu cukup disebut Mukhoyam, biasanya dilaksanakan selama 3 hari 2 malam. Sudah berapa kali Kurma dilaksanakan, saya tak tahu pasti. Seingat saya, dulu diagendakan setahun sekali. Namun, karena kondisional terkadang terlaksana dua tahun sekali.

KURMA berbeda dengan kemah pada umumnya. Kurma bukan kemah hura-hura yang penuh nyanyi-nyanyi dan joget-joget. Kurma bukan pula satu macam kegiatan outdoor seperti hiking atau mendaki. Kurma bukan pula seperti kemah Pramuka.


Peserta Kemah
Selama ini peserta Kurma tidak pernah banyak. Biasanya berkisar antara 20-30 orang. Target peserta Kurma adalah remaja usia SMP dan SMA serta mahasiswa. Kemah ini cukup berat sehingga anak usia SD tidak diperbolehkan ikut. Para peserta yang akan ikut Kurma mestilah memiliki badan yang sehat. Tak kalah penting ialah para peserta mendapat izin orangtuanya.

Kurma tahun 2008, saat masih unyu-unyu
Kurma tahun 2009 di Selo, Boyolali
Ini anaknya siapa, sih

Lokasi Kemah
Lokasi untuk Mukhoyam atau Kurma biasanya di lereng gunung. Tempat yang dekat dengan hutan serta jauh dari keramaian. Dan biasanya udaranya sangat dingin. Tempat yang pernah menjadi lokasi Kurma di antaranya Buper Sekipan, Tawangmangu. Di sini sangat dingin. Apalagi kalau malam hari. Siang hari saja udaranya cukup dingin. Dahulu –sebelum tahun 2010—tempat ini memang sudah cukup terkenal tapi belum seramai sekarang ini.

Selain Sekipan, Buper lain yang dipakai untuk Kurma adalah Segorogunung, Kemuning. Tempatnya di daerah bukit yang banyak ditanami sayuran oleh warga. Di daerah ini juga terdapat kebun teh yang sangat luas. Pemandangan di Segorogunung sangat indah, baik siang maupun malam. Siang dengan hamparan hijau sayuran dan kebun tehnya, malam dengan kerlap-kerlip lampu kota di kejauhan yang tampak seperti bintang-bintang yang bersinar.

Buper Kayu Ijo, Ngargoyoso juga sering digunakan untuk kegiatan Kurma. Letaknya tepat di atas air terjun Parangijo. Jadi, kegiatan kemah di sini bisa sekaligus bermain di air terjunnya. Tempat di Tawangmangu yang terakhir digunakan untuk kemah yaitu Buper Tlogo Dringo. Ini adalah tempat paling tinggi dan paling dingin yang pernah digunakan. Tlogo Dringo sering digunakan sebagai lokasi diksar organisasi pecinta alam.

Kurma pernah pula dilaksanakan di lereng gunung Merbabu, tepatnya di daerah Selo, Boyolali. Tempatnya cukup ekstrim, karena tidak terlalu jauh dari lokasi kemah terdapat jurang. Tempat ini termasuk jarang digunakan untuk kemah dan sepertinya sekarang sudah jarang atau tidak ada lagi yang menggunakannya.




Kegiatan Kurma
Kegiatan Kurma cukup berat. Outbond dan permainnya seru serta cukup menguras tenaga dan pikiran. Ada permainan meniti jembatan tali, berayun dari ketinggian 2 meter lebih, dan kegiatan fisik lainnya. Ada tuh yang waktu berayun dia takmau melepaskan talinya hingga dia berayun-ayun terus di atas. Mungkin saking takutnya kali.

Pernah suatu malam yang gelap dan dingin, sekira pukul dua dini hari, para peserta dibangunkan kemudian disuruh guling-guling di rumput. Untungnya sih, waktu itu saya menjadi panitia jadi tidak ikut guling-guling. Dalam kondisi menahan kantuk berat, mereka berguling, salto ke depan mencapai jarak tertentu. Percayalah, itu sungguh kegiatan yang sangat berat. Rata-rata kepalanya langsung pusing. Sampai ada yang muntah segala.

Malam yang lain, para peserta dibangunkan disuruh membongkar tenda dan dimulailah game perang gerilya. Sewaktu di Buper Sekipan, malam hari peserta dibangunkan dan diajak mengikuti permainan Rangers Patrol. Rangers Patrol adalah permainan perang dengan misi mengambil slayaer (kain) milik musuh. Para peserta berkelompok dan berpencar, lalu bergerilya mencari kelompok lain. Maka, tak ayal terjadi banyak tubrukan dan gulat di rumput untuk saling merebut slayer. Ini permainan yang sangat seru, menegangkan, dan menyenangkan.

Pada Kurma yang lain, malam hari diisi dengan kegiatan uji nyali. Karena dekat dengan hutan dan jauh dari perkampungan penduduk, lokasi Kurma gelap. Ada permainan uji nyali mengambill slayer di tempat yang agak jauh dan gelap, katakanlah masuk ke dalam hutan. Waktu di Buper Kayu Ijo, saya menjadi “penunggu” slayer, mengawasi para peserta dari tempat persembunyian.

Para peserta secara sendiri-sendiri mencari-cari slayer yang ditaruh secara acak. Ada peserta yang dengan gagah berani mencari dan langsung menemukan slayer. Ada peserta yang terlihat takut, berjalan pelan-pelan sambil menengok kanan kiri. Ada peserta yang saking takutnya mengucap “Allahu akbar” dengan keras dan berulang-ulang. Ada yang lari tanpa mengambil slayer. Ah, lucu kalau mengingat tingkah para peserta waktu itu.

Oh ya, adakah yang ingat saat permainan sepakbola hutan? Yaitu sepakbola yang tempatnya di hutan sehingga banyak pohon penghalang. Membuat permainannya semakin susa, kan. Siapa ya, yang dulu niat hati mau menendang bola tapi malah kena batang pohon. Tahu sendiri akibatnya kalau mau mengadu kaki dengan batang pohon.









Masak
Memasak mandiri adalah ciri khas Mukhoyam atau Kurma. Para peserta secara berkelompok mempersiapkan perlengkapan dan bahan masak selama kemah. Dulu mereka memasak tanpa kompor. Jadi mereka membuat tungku api dengan batu atau batu bata dan mencari kayu bakar. Sialnya jika udara lembap atau habis turun hujan, kayu-kayu tidak ada yang kering. Semakin susahlah menghidupkan api. 
Yang pernah ikut Kurma pasti tahu ternyata betapa susahnya memasak makanan.

Asap membubung, memencar memenuhi pertendaan. Membuat tenggorokan sakit dan mata pedih. Kok susah banget sih membuat api yang besar. Masak di hutan dengan peralatan sekadarnya, jika beruntung dan pintar masak bakal mendapat menu makan yang enak. Setidaknya nasinya bisa matanglah. 

Soalnya pernah kelompok saya menanak nasi, hasilnya setengah matang. Ada tempe setengah jadi yang ketika digoreng tidak jadi akhirnya dibuat sambal. Maka menu utama pagi itu adalah nasi setengah matang dan sambal tempe setengah jadi. Rasanya, begitulah. Tapi habis juga sih, namanya juga kelaparan, di hutan pula, dan adanya hanya itu.




***

Kegiatan kemah, susahnya kalau sedang hujan. Saat kemah di Tlogo Dringo, sampai lokasi disambut oleh hujan. Pakaian dan perbekalan basah. Sempat terlintas dalam pikiran ketua panitia untuk membatalkan acara. Namun, dengan tekad kuat dan kebersamaan, acara tetap berlanjut meski para peserta tidur dalam kondisi kedinginan. Semua pakaian termasuk pakaian dalam basah. Esoknya, mereka pun menjemur semua pakaian dan perbekalan. Dalam kondisi seperti ini, ada aja yang bikin lucu. Ada yang kehilangan pakaian dalamnya karena saat dijemur, bercampur. Semoga tidak ada tragedi semvak yang tertukar. Ah, konyol...

Sepulang kemah biasanya badan akan pegal-pegal dan bakalan bugar setelah 1-2 hari. Hal ini karena kegiatan kemah memang padat dan berat, tapi menyenangkan kok. Sebagian besar peserta yang ikut Kurma pasti ketagihan untuk ikut lagi.

Mukhoyam/Kurma memang meninggalkan banyak kesan. Dinginnya tempat yang membuat mereka tak pernah mandi selama kemah, beratnya outbond, asyiknya permainan, serunya perang-perangan, “enaknya” masakan setengah matang, suara dengkuran saat malam, dan kejadian-kejadian lucu selama kemah bakal menjadi kenangan yang tak terlupa.









Monday, June 12, 2017

Forum Imtaq Wa Rohmah: Sekali Berarti, Kan Terkenang di Hati

Kegiatan Kurma (Kemah/Mukhoyam) tahun 2008 di Sekipan, Tawangmangu

Bulan Juni ini, usia saya bertambah. Jangan tanya berapa usia saya sekarang. Lihat saja wajah saya kra-kira sesuai dengan usia berapa.

Dengan bertambahnya usia, kita semakin sering membongkar-bongkar kenangan. Melihatnya kembali, mengamati, lalu tersenyum-senyum atas peristiwa masa lalu yang pernah dijalani.

Bulan Juni sebagai penanda ini, saya akan mencoba mengingat-ingat kenangan, mengumpulkan yang telah lama terserak, mengikatnya, dan mengabadikannya dalam tulisan. Agar ia bisa menjadi cermin diri dalam bermuhasabah, menjadi penghibur kala hati susah, menjadi bahan perbincangan saat bersua kawan lama.

Satu kenangan yang erat dengan masa remaja –hingga dewasa—saya ialah adanya FORUM IMTAQ WA ROHMAH.

Forum Imtaq Wa Rohmah –lebih terkenal dengan sebutan IMTAQ—adalah sebuah organisasi para pembina TPQ (Taman Pembina Al-Quran). Awalnya IMTAQ didirikan oleh pembina dari tiga TPQ. Dalam perkembangannya, IMTAQ mencakup TPQ di dua kelurahan –Kelurahan Pandeyan, Kecamatan Grogol dan Kelurahan Bugel, Kecamatan Polokarto-- yang totalnya tidak kurang dari 20 TPQ.

Saya kira, banyak warga di dua kelurahan itu, hingga kini pun, bakal masih teringat dengan IIMTAQ. Sungguh, sudah banyak kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi yang memiliki motto “Satukan Langkah Eratkan Ukhuwah” ini. Pada “zaman keemasannya”, bahkan IMTAQ mengadakan kegiatan akbar satu bulan sekali.

Pada tahun berapa IMTAQ didirikan tidak ada yang tahu persis. Dari informasi beberapa generasai pertama, IMTAQ mulai berdiri pada masa reformasi. Sampai pada tahun 2014, IMTAQ masih aktif melaksanakan berbagai kegiatan. Para rentang masa yang cukup lama itu, sudah banyak generasi yang silih berganti menjadi motor penggerak kegiatan IMTAQ.

Terkadang, saya berjumpa dengan seseorang. Sesudah berbincang menyangkut soal IMTAQ, tak tahunya orang tersebut dulu juga ikut aktif di IMTAQ. Bisa dikatakan alumni IMTAQ sudah tak terhitung jumlahnya.

Pertama kali ikut IMTAQ, saya tidak terdaftar sebagai anggota, tetapi langsung sebagai pengurus. Ini gara-gara jebakan senior pembina TPQ saya yang langsung mengajak saya dalam acara reorganisasi. Saya lupa, dulu sebagai Ketua Bidang Dakwah dan Tarbiyah atau bidang lainnya. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2004 atau 2005. Saat itu saya duduk di bangku SMA.

Dalam kepengurusan IMTAQ terdapat bidang Dakwah Tarbiyah –pada kemudian hari dipecah menjadi bidang Dakwah dan bidang Tarbiyah, bidang TPQ, bidang Nisa, dan bidang Ekonomi. Setiap bidang memiliki agenda kegiatannya masing-masing.

Kegiatan utamanya adalah “menghidupkan” dan menyemarakkan kegaitan TPQ di masjid-masjid.

Selain menjabat sebagai ketua bidang Dakwah dan Tarbiyah, saya pernah menjadi ketua Umum, lalu ketua bidang Ekonomi, lalu purna tugas hingga menjadi pembina atau penasehat. Secara umum, para pengurus IMTAQ adalah remaja usia SMA. Sedikit yang mahasiswa, apalagi yang sudah bekerja. Yang sudah dewasa biasanya bertindak sebagai pembina atau penasehat. Motor penggeraknya tetaplah para remaja SMA.

Bagi saya –dan bagi banyak orang lain—IMTAQ telah memberikan banyak hal. Pengalaman, persaudaraan, perjuangan, pengorbanan, kebahagiaan, kedewasaan, keterampilan, bahkan tak sedikit di antara anggota yang berjodoh di pelaminan. Asyik.....

Berbagai kegiatan yang dilaksanakan di IMTAQ, saya akui, telah membentuk sebagian dari diri saya. Sebagian besar masa remaja saya habiskan di IMTAQ. IMTAQ telah menempa diri saya. Di dalamnya saya belajar berbicara di depan umum, berpendapat dalam forum, mengorganisasi, merencanakan kegiatan, bekerja sama dengan sesama anggota IMTAQ atau dengan organisasi lain, memecahkan masalah, dan lain-lain. Sungguh, IMTAQ telah memberikan banyak hal kepada diri saya.

Bakalan terlalu banyak jika saya membincangkan segala hal tentang IMTAQ. Saya akan menuliskan beberapa kenangan selama aktif di IMTAQ yang sempat saya pungut dari sisa-sisa ingatan saya. Akan saya tuliskan beberapa kegiatan yang di dalamnya terjalin indahnya rasa persaudaraan.


1. KURMA: Kemah Ukhuwah Remaja Masjid
Kurma, awalnya bernama Mukhoyam, sebuah istilah untuk kegiatan berkemah di alam. Kurma sudah dilaksanakan beberapa kali dan di beberapa tempat. Seingat saya, Kurma pernah dilaksanakan di buper Sekipan, Kayu Ijo, Segorogunung, lereng Merbabu, dan yang terakhir di Tlogo Dlingo. Para peserta Kurma rentang usia SMP-SMA, juga mahasiswa. Kegiatan berkemah ala Kurma ini bukan kegaitan hura-hura, tapi banyak tantangan di sana. Oleh sebab itu, Kurma menjadi salah satu kegiatan paling berkesan.
Kegiatan Kurma tahun 2009 di lereng Gunung Merbabu

2. TKS: Taman Kreasi Santri
Salah satu agenda TPQ ialah Pertemuan Santri, yaitu kegiatan akbar yang diikuti oleh ratusan santri dari berbagai TPQ. Pertemuan Santri dilaksanakan setidaknya setahun 3 kali. Pada masa saya menjadi Ketua Umum, saya mengganti namanya menjadi Taman Kreasi Santri, disingkat TKS. Kegiatan di TKS biasanya ada lomba, ceramah, atau buka puasa bersama.
Mengikuti kemah santri di Wonorejo, Polokarto tahun 2009

3. TAC: Total Action Camp
Nama TAC juga muncul pada masa saya menjadi Ketua Umum. Sebelumnya sudah ada kegiatan serupa, biasanya kegiatannya dinamakan Training Pembina TPQ, pernah pula bernama Training Menembus Batas. TAC merupakan kegiatan kemah di wilayah kerja IMTAQ –biasanya di SD atau di lapangan dekat SD. Peserta TAC adalah santri yang sudah cukup besar atau pembina TPQ pemula. TAC bisa dikatakan sebagai kegiatan pembibitan pembina TPQ. 
Sebagian peserta kegiatan TAC tahun 2010

4. Gema Ramadan
Ramadan menjadi salah satu bulan tersibuk bagi IMTAQ. Dalam satu bulan itu, IMTAQ bisa melaksanakan hingga empat atau lebih kegiatan. Di antaranya Pawai Ramadan, TKS, TAC, Buka Puasa Bersama, hingga Takbir Kemenangan. Kegiatan Pawai Ramadan selalu meriah dengan banyaknya para santri yang berkeliling desa menaiki sepeda hiasnya masing-masing. Takbir Kemenangan adalah acara pertemuan santri dan pembina di malam Hari Raya Idul Fitri. Di dalamnya ada acara penyerahan hadiah lomba, pentas, mendongeng, atau lainnya. 
Meriahnya kegiatan Pawai Ramadan tahun 2014

5. Nisa Kreatif
Untuk kegiatan Nisa saya tidak terlalu tahu detailnya. Tapi, secara umum, pembina putri rutin mengadakan pertemuan dan kegiatan. Bentuk kegiatannya bisa kajian, bedah buku, hasta karya, atau yang lainnya.

6. Lomba Masak dan Makan-makan
Saat Hari Raya Idul Adha biasanya IMTAQ mengadakan kegaitan lomba masak dan atau makan bersama. Kegiatan ini selalu menyenangkan. Dengan menu utama masakan daging kambing yang diolah menjadi sate atau gulai, acara makan-makan menjadi acara yang santai dan penuh kekelurgaan.

7. Rihlah 
Tak afdol kiranya jika suatu organisasi tidak mengadakan rekreasi. IMTAQ sudah mengadakan beberapa Rihlah, sebagian besar untuk para pembina TPQ. Tujuan rihlah di antaranya Tawangmangu, Magelang, dan Yogyakarta.


Selain kegiatan-kegiatan di atas, masih ada beberapa kegiatan lain. Insyaallah akan saya tuliskan sepengingatan saya.