Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Saturday, January 30, 2016

Jomblo Jangan Panik


Tahu kan apa yang disarankan oleh para ahli jika kamu terjatuh ke dalam air yang dalam sedangkan kamu termasuk spesies yang takbisa berenang? Iya, "Jangan panik!"

Itu saran yang bagus meski setengah mati mencoba melakukannya. Dan memang kondisinya antara hidup dan mati. Semakin panik akan semakin cepat tenggelam. Namun, jika mau berusaha tenang, kemungkinan selamat lebih besar.

Begitu perumpamaan seorang jomblo. Jomblo yang panik, akan mudah "tenggelam". Tenggelam dalam keputusan yang kemudian hari akan disesalinya.

Seorang jomblo itu harus setrong. Ibaratnya, ia jatuh ke dalam sungai dan teman-temannya malah menertawainya. Diteriakinya, "Inget umur, masih jomblo aja." Yang lain menyahut, "Kapan nikah, oi. Dasar jomblo ngenes." Yang lain lagi berteriak, "Kamu udah tua, lho." Dan yang paling jleb ialah teriakan teman yang menakut-nakuti dengan dalil-dalil betapa hinanya jomblo. Aih, betapa suka sekali mereka mengolok-olok.

Jika hati jomblo tak setrong, tentu akan mudah panik lalu "tenggelam". Dengan sembarang ia mencari wanita yang tak jelas bebet, bobot, dan bibitnya buat dijadikan pendamping hidup. Yang penting cepet nikah, begitu pikirnya. Tapi, itu mending sih, daripada mencari pacar lalu tenggelam dalam kemakiatan. Iiiiiihhh, ngeri kan. Makanya, jomblo harus setrong.

Ingatlah, semua akan cie-cie pada waktunya. Jika sampai saat ini kamu belum menikah, itu pasti ada hikmahnya. Ada skenario terbaik dari Tuhan yang kamu belum mengetahuinya. Jadi, jangan panik jadi jomblo meskipun panah dan tombak bully-an semakin hari semakin gencar.

Daripada panik, lebih baik isi masa jomblo dengan hal-hal yang positif. Masa jomblo itu masa untuk mengukir karya, menorehkan tinta, mengejar prestasi.

Kita lihat deh, Marco Polo sang petualang itu. Ia menjelajahi daratan Timur dan lautan luas, --sampai ke Pulau Sumatera juga, lho-- pada masa mudanya. Lebih dari dua puluh tahun Marco Polo menjelajahi dunia. Dan ia saat itu jomblo. Barulah ketika pulang ke negerinya, ia menikah. Namanya dikenang hingga sekarang sebagai seorang penjelajah. Selain itu, ia termasuk tokoh yang membawa pengetahuan dunia Timur ke Barat.

Tokoh lainnya, Imam Nawawi. Siapa yang tak kenal ulama yang satu ini. Karyanya berupa kitab, masih dibaca hingga kini. Sebut saja beberapa di antaranya Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, dan Hadits Arbain. Selama 45 tahun ia menjomblo. Hikmahnya ialah ia mampu menghasilkan karya yang banyak jumlahnya dan banyak manfaatnya.

H.C. Anderson, laki-laki pemalu ini sering ditolak wanita. Dan dalam masa jomblonya ia menghasilkan cerita-cerita dongeng yang mendunia. Dongeng-dongeng yang menghibur anak-anak kecil.

Tak lupa pula ada nama Beethoven yang dikecewakan oleh wanita yang dicintainya. Ia yang miskin dikalahkan oleh laki-laki yang lebih kaya. Ia jomblo yang memprihatinkan. Dalam masa jomblo galau inilah, lahir simponi-simponi indah yang kemudian hari mengangkat namanya.

So, jadi jomblo jangan panik. Jangan galau. Galau sekali-kali boleh saja sih, kalau ada perlunya.

Jomblo itu mesti calm, cool, n terus berkarya.

***
Ditulis pada malam Minggu --menjelang tengah malam, 30 Januari 2016 di warung lesehan nasi liwet bunderan Solo Baru, setelah turun hujan, sendirian.






Wednesday, January 27, 2016

Komik Marcopolo, Kisah Sang Petualang

Komik Marcopolo Perjalanan Sang Petualang dan Saudagar ke Daratan Tiongkok Karya Esmeralda Lesmana

Judul: Marcopolo, Perjalanan Sang Petualang dan Saudagar ke Daratan Tiongkok
Karya : Esmeralda Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2011
Jumlah halaman : 151 halaman

***
Sebenarnya agak memalukan aku mengatakan bahwa ini adalah buku pertama yang sudah kubaca hingga tuntas di tahun 2016 sudah berjalan tiga minggu ini. Apatah lagi, ini bukan buku jika boleh dibilang, ini komik. Memang aku juga membaca buku lain sih, tapi belum selesai. Komik setebal 151 halaman ini tuntas kuselesaikan dalam waktu singkat.

Marcopolo. Mendengar nama itu, dalam pikiranku terbayang seorang pria gagah yang berdiri di atas dek kapal, memandang ke arah lautan sambil ditemani gerimis. Atau bayangan lainnya: seorang pria berwibawa yang sedang mengarahkan anak kapal menerjang ombak laut yang sedang mengganas.

Marcopolo adalah seorang petualang. Ia lahir tanpa ada seorang ayah di sampingnya. Sang ayah saat itu sedang berada di wilayah kekuasaan Kubilai Khan. Barulah ketika Marco remaja, sang ayah pulang. Dari ayahnya inilah jiwa petualangan Marco tumbuh.

Setelah beranjak dewasa, Marco diajak oleh ayahnya untuk kembali ke negara kekuasaan Kubilai Khan, Tiongkok. Di sinilah petualangan Marco dimulai. Setelah beberapa lama mengabdi di istana Kubilai Khan, Marco mulai mendapat kepercayaan Kubilai Khan. Marco pun beberapa kali diserahi misi menjadi utusan ke beberapa daerah kekuasaan Kubilai Khan.

Petualangan Marcopolo di daratan dan lautan daerah Timur ini membukakan matanya. Ternyata, daerah Timur tidak seperti disangkanya selama ini. Ternyata, daerah Timur memiliki peradaban yang lebih maju. Marco menjelejah sampai ke India, Burma, dan Indonesia. Di Indonesia, Marco singgah selama lima bulan, khususnya di Sumatera yang saat ini berdiri kerajaan Samudera Pasai.

Membaca komik petualangan seperti ini memang membangkitkan minat untuk menjelajahi tempat lain. Petualangan memang selalu menjadi hal yang menyenangkan.

Komik Marcopolo ini sangat menarik. Bahasanya mudah, ringkas, hanya memuat hal-hal yang penting saja. Apalagi gambarnya fullcolor, dengan kertas yang agak tebal dari kertas-kertas buku pada umumnya, aku taksir kertanya HVS 80 gsm. Yang ingin mengenal sekilas tentang Marcopolo disarankan membaca komik ini.


***
Sukoharjo, 27 Januari 2016
----------------------------------------------

Catatan:
Yang berminat dengan komik Marcopolo, bisa membeli di Toko Buku Pustaka Aufa.



Saturday, January 23, 2016

Embem is Good




Dahulu aku memiliki seorang teman yang dalam kacamataku dia adalah seseorang yang sempurna: badan tegap, wajah tampan, orang tuanya kaya.

Kondisi temanku itu berbanding terbalik dengan diriku: badan kecil, dekil, wajah pas-pasan, keluarga takmampu. Betapa enaknya temanku itu, pikirku dahulu sewaktu masih remaja.

Lalu suatu saat, aku melihat ada kekurangan pada temanku itu yang membuat dia tak lagi sempurna dalam pandanganku.

Seringlah aku melihat seseorang yang tampak wah, keren, awesome, namun ternyata kemudian hari aku mendapati kekurangannya.

Seiring bertambah usia, bertambah pengalaman, aku semakin paham ungkapan, "Manusia diciptakan dalam keadaan sempurna: sebaik-baik penciptaan." Hal itu bukan berarti setiap orang tak memiliki kekurangan. Kelebihan dan kekurangan itulah yang membuat manusia itu sempurna; seimbang.

Jika dulu aku sering berpandangan negatif terhadap kondisi diriku, sekarang aku sering mengunggah syukur. Misalnya saja, dulu aku iri melihat temanku yang memiliki orangtua yang kaya. Sekarang aku bersyukur terhadap orangtuaku yang begitu baik dan pengertian kepadaku. Berbeda dengan orangtua temanku yang kaya, namun sering marah atau terlalu banyak aturan itu.
Inilah salah satu hikmah yang bisa kupetik: bersyukur dan bersabar dalam setiap keadaan.

Akhir-akhir ini, berat badanku naik --tapi bukan gendut, lho. Kenaikan berat badan ini terlihat jelas bagi orang-orang yang jarang bertemu denganku, atau teman yang sudah lama tak jumpa. Maklum, dahulu badanku kecil, kurus, sedikit hitam, secara umum memprihatinkan.

"Sekarang lebih gemuk, ya," kata teman lama suatu kali saat bersua.
"Sekarang Mas Kris tampak gemuk. Terlihat pipinya itu," kata seorang ibu yang sudah setahunan takjumpa.

Dibilang begitu, aku baik-baik saja, tak masalah. Bagiku, gemuk atau tidak bukan masalah. Pipi berisi atau berlesung, tak jadi soal. Yang penting sehat.

Banyak orang yang memandang negatif terhadap orang yang gemuk atau pipinya tembam. Bisa dilihat, pipi-pipi tembam para remaja sering menjadi objek cubitan teman-temannya. Ada yang suka, biasa, atau malah sebal saat pipinya dicubit.

Dalam pandanganku, bukanlah hal yang buruk memiliki pipi tembam. Pipi tembam dan pipi dekik memiliki daya tariknya sendiri-sendiri. Dan itu adalah sesempurna ciptaan. Oleh karena itu, disyukuri saja.

Justru, tembam itu imut, kan. Lihatlah, balita yang pipinya tembam itu. Bikin gemas, kan. Penginnya nyubit dan nyiumin pipinya terus. Tembam itu lucu dan imut. : )

Jika ada temanmu yang mencubit pipi kananmu karena gemas, jangan sebal dan marah. Malahan, kamu sodorkan pula pipi kirimu agar dicubitnya. Buat temanmu bahagia, itu saja.

Jadi,
Embem is good.
: )

Segelas Kopi di Senja Hari


Segelas kopi di senja hari
Aromanya menguar, harum mewangi
Menumbuhkan bulir-bulir kasih di dalam hati

Langit menyemu merah
Lihatlah, betapa indahnya
Dan tanganmu tergenggam erat
Bersama senyum simpul manismu

Segelas kopi di senja hari
"Kopi buatanmu sangat enak, Dik," rayuku
"Istri yang baik adalah
yang pintar membuatkan kopi
untuk suami," candamu

Lalu, senja semakin turun
Bersama tetes-tetes kopi yang semakin menyurut

"Aku syalala padamu, Dik."






Inilah Salah Satu Kenikmatan Tinggal di Desa


Tadi pagi, saat perjalanan berangkat bekerja, aku sempatkan berhenti sejenak di pinggir jalan. Mengambil handphone, kemudian memotret.

Jarak rumahku dengan tempatku bekerja sekitar 5 km. Jarak tersebut dapat ditempuh dalam waktu sekira 15 menit perjalanan santai dengan sepeda motor. Jarak tersebut terlipat saat aku terburu-buru, melaju kebut membuat waktu tempuh menjadi 11 atau 12 menit.

Belum lama ini, sebuah jalan alternatif dibuat. Jalan itu melewati persawahan, menjelma jembatan di atas sungai, lalu mewujud jalan beraspal lagi. Jalan itu memangkas waktu tempuh perjalanan ke tempat kerjaku menjadi 11 atau 12 menit dalam kondisi santai. Jika ngebut, cuma 8 menit jadinya.

Saat ini sedang musim tanam padi. Di beberapa petak sawah terlihat bibit-bibit padi yang berwarna hijau muda berbaris rapi. Terlihat segar.

Sepetak sawah yang lain sedang dibajak, seorang pembajak (istilah pembajak benar nggak ya?) mengendalikan traktor dengan kakinya berdiri di luas besi bagian belakang traktor dan tangannya mencengkeram lengan traktor. Traktor itu berjalan mengelilingi sepetak sawah itu, tuntas setiap jengkalnya.

Di petak yang lain, ibu-ibu berjongkok berjejer, lurus. Berjalan mundur secara bersamaan sambil menancapkan bibit padi ke dalam tanah.

Di sebelah timur jauh tampak Gunung Lawu berdiri dengan anggun. Awan-awan putih yang menggumpal menyelimuti sebagiannya. Indah sekali.

Di sebelah barat jauh, dua gunung berdiri bersebelahan. Yang satu tampak jelas puncaknya, sedang yang satunya tertutup awan. Merapi dan Merbabu.

Inilah sajian panorama pagi yang cerah ini. Dan sungguh, inilah salah satu nikmatnya tinggal di pedesaan.








Monday, January 18, 2016

Berburu Duren di Kebun Buah Joglo Jumantono, Karanganyar


"Ayo berangkat," begitu bunyi pesan WhatsApp dari temanku, Inung nama panggilannya.

Saat itu adalah pagi yang ramah, matahari bersinar cerah. Pukul sembilan. Aku baru selesai mencuci pakaian, sendiri. Tak usah tanya mengapa aku mencuci pakaian sendiri.

"Sebentar, aku mau mandi dulu. Nanti juga masih COD dengan seseorang di jalan," balasku. Aku memang punya janjian bertemu dengan seorang pembeli buku.

Pukul 10.30, aku bersama Inung berangkat ke Jumantono, Karanganyar. Beberapa hari terakhir, aku melihat selebaran digital berseliweran di facebook yang memberitahukan dibukanya kebun buah di Jumantono. Kebun Buah Joglo, namanya.

Dengan dipandu GPS, sekira 40 menit perjalanan, aku sampai di lokasi. Namun, di jalan masuk ke kebun sempat terjadi kemacetan. Namanya kebun, suasananya benar-benar kebun. Jalannya juga kayak di kebun: bergelombang dan sempit. Jika ada dua mobil berlawanan arah, mesti pelan-pelan dan hati-hati.

Kebun Buah Joglo Jumantono baru dibuka pertama kali ini, namun mampu membangkitkan antusias para pecinta buah. Banyak pengunjung yang sudah mendatangi tempat ini. Beruntung yang datang pagi, bisa kebagian memilih buah. Yang datang siang, sebagian tak kebagian, sudah habis buahnya.

Aku hanya ingin mencoba saja, bagaimana rasa duren di kebun buah ini, juga bagaimana suasananya. Sampai di sana, parkiran sudah penuh. Segera saja, setelah memarkir sepeda motor, aku membeli pecel gendar --maklum belum sarapan-- dan temanku kusuruh membeli sebuah duren.

Menikmati pecel gendar di kebun serasa bertambah enaknya. Sudah habis satu porsi pecel, temanku baru datanh membawa duren. Antre, katanya. "Berapa?" tanyaku. Dijawabnya, "Lima puluh ribu." Lumayan juga, tapi memang agak besar juga sih.

Langsung saja, aku menikmati buah duren itu. Aku memang bukan pecinta duren, namun bukan pula termasuk yang menghindarinya. Rasanya enak, tadi sudah dirasai oleh temanku sebelum dibeli. Di kebun buah ini, sebelum membeli, pengunjung bisa mencoba durennya terlebih dahulu. Jika dirasai enak, dibayarlah. Jika kurang enak atau kurang cocok di lidah, bisa minta ganti yang lain.

Duren satu buah itu takhabis dimakan oleh aku dan temanku. Kami cuma habis separonya saja. "Sudah kenyang," kataku.

Sebelum pulang, aku membeli satu buah duren dengan ukuran sedang seharga Rp 35.000. Buat oleh-oleh.

Jika kamu ingin ke Kebun Buah Joglo, Jumantono, pastikan pada hari Sabtu dan Minggu karena selain dua hari tersebut, kebun buah ini tutup. Disarankan datang pada pagi hari. Selain memastikan bakal kebagian buah, juga menghindari macet.

Jika ada beberapa fasilititas dan pelayanan yang kurang memadai, maklum saja karena kebun buah ini baru pertama kali dibuka. Soal harga buah yang dijual, aku kira standar: tidak mahal tidak pula murah. Setidaknya, di kebun buah ini kita bisa membeli buah (duren) yang benar-benar enak karena kita bisa mencobanya terlebih dahulu.

Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap, bisa melihat-lihat profil akun FB pengelola kebun buah ini dengan nama Kebun Buah Joglo Jumantono. Di akun facebook ini menampilkan beberapa informasi termasuk luas kebun, tanaman yang ada, buah yang sedang musimnya, rute menuju lokasi, dll.




Arah ke Kebun Buah Joglo Jumantono, mudahnya ialah mencari Kantor Kecamatan, atau perempatan yang ada tugunya. Kemudian ke arah timur sekitar 200 meter akan ada papan penunjuk arah ke selatan (belok ke selatan, masuk jalan beraspal yang tak terlalu lebar). Menyusuri jalan itu sekitar 5 menit akan sampai di lokasi. 


Jika belum tahu Jumantono itu di mana, baiknya menggunakan GPS. Cari daerah "Jumantono". Jika sudah berada di daerah Jumantono, lebih baik bertanya kepada orang letak Kantor Kecamatan, atau bertanya langsung di mana lokasi Kebun Buah Joglo Jumantono.

Memang masih banyak kekurangan fasilitas dan pelayanan di Kebun Buah Joglo ini. Namun, ke depannya tentu bisa lebih baik lagi. Lagipula, dengan adanya kebun buah ini bisa menggerakkan perekonomian masyarakat.

Oya, alangkah bagusnya jika harga buah di sini bisa lebih murah lagi.

Berikut ini foto-foto di Kebun Buah Joglo, Jumantono. Sebagian merupakan dokumentasi pribadi, sebagian diambil dari unggahan akun FB Kebun Buah Joglo Jumantono.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 



 

Wednesday, January 13, 2016

Cerpen Remaja "Maafkan Aku, Ibu"


“Selanjutnya,” ucap pembawa acara, “ialah penghargaan tertinggi sebagai ‘Dokter Terpuji’. Penghargaan ini diberikan kepada dokter yang telah memberikan banyak sumbangsih pada dunia kedokteran dan pada masyarakat umum. Sambutlah, penerima penghargaan ‘Dokter Terpuji’ tahun ini, dr. Priyamitha Wardani.”


Tepuk tangan penonton mengiringi langkah kaki seorang wanita berjilbab dengan pakaian putih yang anggun. Dialah dr. Priyamitha Wardani, biasa dipanggil dr. Mitha.
dr. Mitha melangkah menuju panggung. Ia tak menyangka terpilih sebagai ‘Dokter Terpuji’ dari ribuan dokter yang ada di Indonesia. Ia tersenyum kepada hadirin, kemudian mengucapkan salam.


“Hadirin yang berbahagia,” ucap dr. Mitha, “terima kasih atas penghargaan yang diberikan kepada saya. Sebenarnya saya selalu berusaha tulus ikhlas untuk menolong sesama. Saya mempersembahkan penghargaan yang luar biasa ini kepada seseorang yang selalu ada di hati saya. Seseorang yang menjadi motivasi saya untuk mengejar cita-cita menjadi dokter dan menolong sesama.”


Hadirin terlihat khusyuk mendengarkan. Setelah menghela napas sejenak, dr. Mitha melanjutkan, “Seseorang itu adalah ibu saya. Beliau sudah dipanggil oleh Tuhan 20 tahun yang lalu.”


“Sewaktu kecil, saya termasuk anak yang bandel,” cerita dr. Mitha, “dan ibu saya sangat sabar menghadapi saya.”
Lalu mengalirlah cerita dari dr. Mitha tentang masa kecilnya bersama ibunya. Sewaktu kecil, Mitha adalah anak yang bandel. Ia suka membantah nasehat ibunya.
***


“Mitha, sudah mengerjakan PR?” tanya ibunya.
“Sudah, Bu,” jawab Mitha dari dalam kamar. Padahal, ia belum mengerjakan dan masih asyik bermain handphone.


Mihta memang malas belajar. Nilai-nilai mata pelajarannya tidak bagus. Di rumah pun Mitha juga malas membantu ibunya.
“Mitha tolong bantu ibu memasak, ya!” pinta ibunya suatu sore.
“Nggak mau.Aku sibuk, Bu,” Mitha berasalan sibuk meskipun saat itu ia hanya malas saja membantu ibunya.
Pernah suatu kali Mitha membuat ibunya menangis ketika Mitha pulang terlalu malam. Mitha membuka pintu rumah. Didapatinya ibunya duduk di depan meja makan.


“Mitha, mengapa kamu pulang sangat malam, Nak? Ibu khawatir,” kata ibunya sambil menyambut Mitha.
“Dari rumah teman,” kata Mitha.
“Lain kali kalau mau pulang malam-malam kasih tahu ibu dulu ya. Biar ibu tidak khawatir.”
“Nggak usah pedulikan Mitha, Bu. Mitha kan sudah besar,” kata Mitha sambil terus melangkah ke kamarnya.


“Mitha, ibu sudah menunggu kamu dari tadi untuk makan bersama. Ayo makan dulu.”
“Mitha nggak lapar, Bu,” kata Mitha. “Ibu makan sendiri saja.”


Mitha masuk ke kamar. Ibunya hendak menyusul, namun pintu kamar sudah dikunci.
Ibunya merasa sangat sedih. Mitha sekarang sudah tidak mau menuruti kata-katanya. Padahal, saat balita, Mitha sangat lucu dan menggemaskan. Mengapa sekarang menjadi seperti itu.
Ibunya pun kemudian duduk di depan meja makan. Meskipun lapar, namun makanan di meja makan tidak disentuhnya. Ia merasa sedih atas kelakuan Mitha. Tak terasa air mata mengalir di pipinya. “Oh, Mitha anakku.”


Kelakuan Mitha semakin hari semakin membuat ibunya bersedih. Mitha mulai berani membantah dan berteriak kepada ibunya. Ia juga sering bermain keluar dan pulang terlalu malam.


Memikirkan kelakukan Mitha, membuat ibunya sering sakit. Batinnya yang tertekan membuat badannya ikut menaggung beban itu.


Saat pulang sekolah, Mitha mendapati ibunya tiduran di kursi sofa.
“Nak, ibu lagi sakit. Mau tidak membelikan obat ke apotek?” tanya ibunya.
“Mitha capek, bu. Mau istirahat.” Kemudian Mitha masuk kamar dan mengunci pintunya.
Ibunya sangat sedih. Dengan perlahan-lahan ia berdiri. Dengan susah payah, ia berjalan dan mengambil sepeda motor.


Ibunya mengendarai sepeda motor pelan-pelan menuju apotek. Kepalanya terasa sangat pusing. Semakin lama pandangannya semakin kabur. Ia mengendarai sepeda motor dengan oleng karena rasa pusing kepalanya makin bertambah.


Saat pandangannya semakin kabur, sebuah mobil dari arah depan melaju dengan kencang. Sudah terlambat baginya untuk menghindar. Tabrakan pun terjadi. Ia jatuh dan terluka parah.
Segera setelah mendapatkan berita ibunya kecelakaan, Mitha pergi ke rumah sakit. Dari depan pintu kamar ICU, Mitha melihat ibunya terbaring lemah dengan dipasangi selang infus dan tranfusi darah. Mitha menunggu dengan cemas. Ia tak menyangka ibunya akan kecelakaan hingga sedemikian parah.


“Kondisi ibu kamu parah,” kata dokter, “sebaiknya kamu tungguin di sampingnya.”
Mitha duduk di samping ibunya. Ia melihat wajah ibunya dengan sedih. Dilihatnya badan ibunya yang terlihat semakin kurus. Juga wajah ibunya yang terlihat semakin tua dengan banyaknya kerutan-kerutan.


Mitha merasa menyesal selama ini tidak mempedulikan ibunya. Hatinya semakin pedih karena selama ini ia malah sering membuat ibunya sedih dan menangis.
“Mitha, anakku,” kata ibunya saat siuman. “Mengapa kamu menangis, sayang?”
“Maafkan Mitha, Bu,” kata Mitha sambil menghapus air matanya.


“Ini semua salah Mitha, Bu. Seharusnya Mitha mau saat disuruh ibu membeli obat ke apotek. Ini salah Mitha, Bu.”
“Sudahlah, anakku. Jangan menangis. Kamu tidak salah apa-apa, Nak. Ini sudah takdir.”
“Mitha berjanji tidak akan membantah ibu lagi dan akan selalu membantu ibu.”
Ibunya tersenyum. “Bagus sekali, Nak.”
“Ibu cepet sembuh, ya.”
“Insya Allah, Nak. Rajinlah belajar agar cita-cita kamu berhasil. Kalau ada PR segera kamu kerjakan,” kata ibunya.


“Iya, bu. Mitha akan rajin belajar. Mitha mau jadi dokter, Bu. Mitha akan terus belajar biar jadi dokter yang bisa membuat ibu bangga.”
“Ibu senang mendengarnya. Janji sama ibu ya, kamu harus jadi anak yang baik dan rajin belajar.”
“Mitha janji, Bu.”


Setelah itu, ibunya terlihat semakin lemah dan akhirnya pingsan lagi.
Selama berhari-hari Mitha menunggui ibunya. Ia berharap ibunya segera sembuh agar ia bisa berbakti kepada ibunya. Mitha berjanji akan membuat ibunya selalu senang.


Semakin hari, kondisi ibunya semakin buruk. Mitha semakin cemas. Hingga pada pagi hari yang mendung, ibunya dipanggil oleh Tuhan. Mitha tak percaya ibunya sudah meninggal. Ia menangis tersedu-sedu di samping jasad ibunya.
***


“Demikianlah, kenangan saya bersama ibu saya,” kata dr. Mitha. “Sejak saat itu, saya berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh dan akan menjadi dokter yang akan menolong sesama. Semoga di alam sana, ibu saya bisa tersenyum melihat keberhasilan saya ini.


“Bagi Anda yang masih mempunyai orang tua, saya harap Anda sekalian bisa berbuat baik dan berbakti kepada mereka agar tidak menyesal ketika mereka nanti sewaktu-waktu dipanggil oleh Yang Mahakuasa.”


dr. Mitha turun dari panggung. Hadirin berdiri memberi tepuk tangan. Beberapa dari mereka terlihat menyeka air mata. Cerita masa kecil dr. Mitha membuat mereka merasa haru dan menitikkan air mata. ***



-----------------------------------------------------------------------------------------
*Cerpen ini dimuat dalam Majalah Mutiara Insan edisi 47, bulan Juli 2014


Cerpen Remaja "English is Fun"


Sebuah foto kuusap perlahan-lahan. Kuperhatikan dengan seksama. Ada empat orang berdiri di atas karang dengan lautan dan langit biru sebagai latar.


Berdiri paling kanan dengan jilbab besarnya yang berwarna merah maroon, beliau guru Bahasa Inggris kami. Kami memanggilnya Miss Nana karena ia belum menikah. Di sebelah kirinya, dengan jilbab hijau muda, Nia, teman sekelasku. Tubuhnya tinggi semampai, dengan wajah tirus dan hidung mancung. Senyumnya mengembang memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. Cantik.


Berdiri di samping Nia, Azzahra namanya, biasa dipanggil Rara. Gamisnya warna merah muda, begitu pula jilbabnya. Wajanya bulat, dengan pipi agak berisi yang sering menjadi objek pencubitan oleh teman-temanku. Dia cerewet, sering menasehatiku macam-macam. Namun, dia baik sekali, sering membantuku menyelesaikan masalah.


Dan yang paling kiri, seorang gadis dengan jilbab warna biru muda yang tampak kebesaran. Terlihat paling pendek di antara keempatnya. Kacamata half-frame menggantung di atas hidungnya yang kecil. Gamisnya basah -terguyur air laut yang menggulung memecah karang tadi. Secara umum, dia terlihat kecil, dekil, dan memprihatinkan. Oh sayangnya, gadis itu adalah aku. Nayla, namaku.


Aku sangat ingat dengan seingat-ingatnya kegiatan yang mengiringi pengambilan foto itu. Peristiwa yang memberiku banyak pengalaman dan pelajaran. Baiklah, akan kuceritakan kepadamu pengalaman yang menarik itu.
***


Aku, Nia, dan Rara duduk di kursi panjang di hadapan
Miss Nana. Seperti biasa, tangan usil Nia mengganggu Rara. Ditariknya baju Rara, dicubitnya pipi Rara. Rara pun membalas dengan mencubit dan meninju -dengan pelan- bahu Nia. Aku yang menjadi korban karena aku duduk di tengah-tengah mereka. Badan kecilku tergencet mereka. Ah, nasibku.

“Ehm!”
Deheman
Miss Nana membuat Nia dan Rara diam. Pandangan kami fokus pada wajah Miss Nana yang tampak berseri.

“Kalian tahu mengapa saya panggil ke sini?” tanya
Miss Nana.
Kami menjawab dengan gelengan.
“Sekolah kita akan mengikuti English Competition tingkat provinsi. Ini kesempatan sekolah kita untuk menunjukkan prestasi.”


Kami diam.
Miss Nana diam. Hanya terdengar suara kipas angin.
“Hemm, kalian pasti sudah bisa menebak, kan?”
Kami menggeleng.


“Siswi-siswiku yang cantik, kalian yang ditunjuk untuk maju mengikuti lomba tersebut.”
Miss Nana mengakhiri kalimatnya dengan senyum yang lebar.
Aku terdiam, begitu pula kedua teman di sampingku. Aku dan teman-temanku belum bisa mencerna perkataan
Miss Nana.

“Mak...maksud,
Miss Nana?” tanya Nia tergagap.
“Nia, Nayla, Azzahra, bulan depan kalian akan mewakili sekolah mengikuti English Competition di Semarang.”
“Aa...aa...pa?!” Rara mengeluarkan kata tanya dengan suara meninggi. Raut wajahnya terlihat kaget.


“Tapi, Miss,” kata Nia, “kami kan, kami tidak pintar Bahasa Inggris. Nilai Bahasa Inggrisku cuma delapan koma sekian.”
“Nilaiku juga, Miss,” sahut Rara, “pas-pasan. Aku tidak pernah dapat nilai sembilan.”
“Aku juga,” kataku menambahi alasan kedua temanku, berharap nilai Bahasa Inggris kami yang tak pernah mencapai nilai sembilan bisa menggagalkan kami untuk mengikuti lomba itu.


Bagaimana kami bisa mengikuti lomba itu? Kami bukan siswi dengan nilai tertinggi untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. Dan kami tidak siap mengikuti lomba itu. Betapa berat lomba itu.


“Nia,” kata
Miss Nana, “kamu bagus dalam grammar, meskipun dalam speaking belum maksimal. Grammar-mu hampir sempurna.”
Nia mengangguk-angguk.


“Nayla, grammar dan speaking-mu cukup bagus. Kamu, Rara, speaking dan listening-mu sangat bagus, meskipun grammar-mu masih agak lemah.”
Aku dan Rara kompak mengangguk. Mengaminkan kata-kata
Miss Nana yang memang sesuai dengan kenyataan.

“Kalian mempunyai kelebihan masing-masing. Kalian akan saling melengkapi.”
Kami saling berpandangan.
“Apakah tidak bisa diganti yang lain saja,
Miss?” tanya Rara.
“Tidak, ini sudah menjadi keputuskan rapat dewan guru. Tenanglah, jangan terlalu khawatir, saya akan membimbing kalian hingga hari perlombaan nanti. Saya sudah menyiapkan program sukses lomba untuk kalian. English is fun!”


Begitulah, hari itu kami pulang dengan kepala tertunduk, wajah lesu, dan langkah gontai. Lomba Bahasa Inggris?! Ah, pusing. Kami sudah membayangkan betapa berat latihan yang akan kami jalani. Belum lagi, bagaimana jika ketika lomba nanti kami berbuat kesalahan.
 

Hari berikutnya, Miss Nana menjelaskan program pembelajaran yang dikatakannya dulu. Miss Nana memberi tugas kami untuk menuliskan kosakata baru yang didapatkan setiap hari dan menempelkannya di dinding kamar tidur. 

“Tugas ini untuk menambah hafalan kosakata kalian,” kata
Miss Nana.
Tak ayal, kamarku pun penuh dengan tempelan kertas bertuliskan kata-kata dalam bahasa Inggris. Aku menduga, dinding kamar tidur Nia lebih banyak lagi tempelan kertasnya. Dan Rara, pasti yang paling sedikit.


Kegiatan menempel kertas di dinding ini mengasyikkan. Aku menggunting kertas dengan berbagai bentuk: buah, rumah, pesawat, lingkaran, segitiga, dll. Setiap hari ketika di dalam kamar aku selalu melihat kata-kata dalam tempelan kertas itu. Dengan sendirinya aku sudah hafal kata-kata itu. Aku mengambil kertas dengan kata-kata yang sudah aku hafal. Kemudian aku menempelkan kertas dengan kata-kata baru yang belum aku hafal. 


“Program sukses lomba selanjutnya,” kata
Miss Nana, “ialah English Area.”
Kami diajak menuju sebuah ruangan kecil di samping perpustakaan. Di atas pintu ruangan tertulis “English Area”.


“Ruangan ini adalah English Area. Di ruangan ini kalian tidak boleh berbicara kecuali dalam Bahasa Inggris.”
“Hah?!”
Kami melongo secara bersamaan. Mulut Nia membuka paling lebar membentuk huruf O. Dia sadar bahwa dia paling lemah dalam speaking.


“Susah dong, Miss,” kata Nia.
All start is difficult. Semua yang permulaan itu sulit. Selanjutnya, nanti kalian akan terbiasa. Jika ada yang berbicara selain bahasa Inggris, akan mendapat hukuman. Hukumannya adalah menghafalkan satu kosakata baru setiap kali kalian mengucapkan satu kata selain dalam bahasa Inggris. Kalian mengerti?”


Kami semakin melongo dan ber-”ha?!” bersama-sama.
“Silakan masuk, dan silakan ngobrol santai. Kalian bisa ngobrol tentang sekolah, rumah, keluarga, atau saling curhat juga boleh. Syaratnya, harus dalam bahasa Inggris.”


Miss Nana membuka pintu English Area. Ruangannya kecil, sekitar 4 x 4 meter. Ada satu meja bundar yang dikelilingi beberapa kursi. Rak buku di pojok berisikan beberapa buku. Dari judulnya sepertinya semuanya berbahasa Inggris. Pada dinding tertempel beberapa kata-kata motivasi, juga dalam bahasa Inggris. Benar-benar ruangan bahasa Inggris.

Pada hari pertama di ruang English Area, kami masih kaku dalam perbincangan. Rara yang memang hebat dalam dalam speaking, nyerocos dari awal. Beberapa kata yang dikeluarkan dari mulut mungilnya itu tak kupahami. Nia yang paling kaku, ia hanya sedikit berkata-kata. Beberapa kali ia bertanya, “What?” ketika ia tak paham suatu kata.


Setengah jam berlalu. Hukuman diberikan karena beberapa kata dalam bahasa Indonesia terlontar. Bisa ditebak, Nia mendapat hukuman paling banyak. Ia pun pulang seperti prajurit yang kalah perang. Hafalan kosakata menjadi tugasnya yang baru.


Hari-hari selanjutnya, perbincangan di English Area lebih cair. Nia masih yang paling sedikit berkata-kata. Dan Rara, tetap yang paling cerewat. Dalam waktu seminggu, kami sudah terbiasa berbicara dengan bahasa Inggris di ruangan English Area. Bahkan, di luar ruangan itu kadang kami berbincang dengan bahasa Inggris.


Selain speaking, di dalam ruang English Area, kami diberi tugas untuk membuat tulisan dengan tema bebas.

“Yang penting menulis,” kata Bu Nana. “Tulislah apapun, sebanyak satu halaman, kemudian nanti kalian saling mengoreksi.”

Mendengar instruksi untuk menulis, wajah Rara langsung pucat. Maklum, ia tak terlalu paham masalah grammar. Sebaliknya, Nia tampak cerah, senyumnya mengembang.
“Okey,
Miss Nana!” jawab Nia mantap.

Kami menuliskan kegiatan sehari-hari, hobi, makanan kesukaan, kebiasaan, hal-hal yang disukai. Meskipun tak menguasai kosakata yang banyak, Nia bersemangat menulis.
It’s very good, Nia,” puji
Miss Nana.
Tulisan Nia mendapat pujian dari
Miss Nana, sedangkan tulisanku dan tulisan Rara terdapat banyak coretan. Nia yang mencoretnya. Kemudian dia menjelaskan bagaimana yang seharusnya.

Pekerjaan menulis memang menguras pikiran. Kami keluar menuju kantin. Kami berjalan pelan, dengan wajah lesu. Sebaliknya, Nia tampak semangat.
“Rara, kamu tadi keliru dalam membuat kalimat Past Tense. Kamu menulis, ‘They was here last night’. Kamu salah menggunakan to be was, seharusnya were karena subjeknya they itu jamak. Seharusnya begini, ‘They were here last night’. Begitu, paham?”
“Iya, iya, Nia,” jawab Rara kesal.
Memang, tulisan Rara paling banyak coretannya. Dalam hal ini, Rara mengakui keunggulan Nia.


Di dalam ruang English Area, kami juga diminta untuk membaca buku-buku yang ada di sana. Dan semuanya berbahasa Inggris. Kami harus menyiapkan kamus di samping buku yang kami baca. Setiap ada kata yang tidak kami ketahui, kami membuka kamus. Awalnya, membaca buku berbahasa Inggris ini sangat berat. Waktu seperempat jam hanya bisa membaca satu halaman. Namun, semakin lama kami semakin terbiasa membacanya dan semakin berkurang frekuensi membuka kamus. 


Untuk masalah hiburan, ternyata
Miss Nana juga sudah menyiapkan. Miss Nana memutar lagu. Lagunya pun berbahasa Inggris. Miss Nana juga memutarkan film dokumenter atau film kartun, dan pastilah berbahasa Inggris dan tanpa subtitle.
Ternyata, persiapan mengikuti English Competition ini menyenangkan. Tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya.


“Anak-anak, sudah tiga minggu kalian berlatih, baik berbicara, menulis, mendengarkan, maupun membaca. Tiga hari lagi kalian akan berangkat ke Semarang untuk mengikuti lomba,” kata
Miss Nana.
“Saya melihat kalian sangat semangat berlatih. Oleh karena itu, saya akan memberikan hadiah kepada kalian.”


Mendengar kata hadiah, mata kami langsung berbinar-binar. Hadiah, asyik...
“Hadiahnya apa,
Miss ?” tanya Rara tidak sabaran.
“Hadiahnya adalah besok kita akan rihlah ke pantai.”
“Haaa... pantai... asyik...,” seru Nia sambil melompat-lompat kegirangan.
“Di pantai nanti, kemungkinan besar kalian akan bertemu dengan turis asing. Kalian harus menyapa mereka dan berbicara dengan mereka menggunakan bahasa Inggris. Kalian berani?”
“Siap, berani,
Miss !” kata Rara.

Begitulah, kegiatan rihlah menjadi hiburan bagi kami sebelum berangkat ke Semarang untuk berkompetisi. Di pantai itu kami bersenang-senang, dan tak lupa pesan
Miss Nana, kami berbincang-bincang dengan turis asing. Menyenangkan sekali.

Tak lupa, kami berfoto bersama. Berfoto di atas batu karang dengan deburan ombak di bawahnya. Di akhir hari itu,
Miss Nana mengatakan, “Nothing is imposible. Anything can happen as long as we believe.” Tidak ada yang mustahil. Semua bisa terjadi asalkan kita percaya.
***


Hari ini kami akan berangkat mengikuti lomba. Kami sudah berlatih dengan sungguh-sungguh dan hasilnya akan terlihat nanti. Kami sudah siap dan yakin insya Allah mendapatkan juara. Doakan kami agar menang, ya!
[***]



---------------------------------------------------------------------------------------
*Cerpen ini dimuat dalam Majalah Mutiara Insan edisi 52, bulan Desember 2014


Cerpen "Ayah"


Ruangan hiruk pikuk penuh suara-suara serupa dengungan lebah. Aku memandang sekitar. Mencari tempat dudukku. Ah, di sana rupanya. Sebuah tempat duduk yang berada di baris depan sebelah kanan.


Ayah bediri di sampingku, memakai baju batik coklat. Baju batik yang kubelikan saat lebaran tahun kemarin. “Baju batik ini bagus. Bapak suka,” kata ayah memberi alasan penolakan saat kuutarakan niat membelikan baju baru yang akan dipakai khusus untuk acara hari ini
Aku mengantarkan ayah duduk di kursinya. Kursi khusus orang tua. Dan kursi ayah berada di paling depan. 


“Nanti siap ya, Pak?” tanyaku.
“Iya, Nak. Sudah sana, duduklah.”
Aku berjalan menuju kursiku, lalu duduk dengan perasaan yang campur aduk taktentu. Sesekali aku melihat ke arah ayah. Ayah duduk dengan tegak, terlihat canggung di keramaian ini.


Hari ini aku ingin mempersembahkan sesuatu buat ayah. Persembahan yang aku janjikan dalam hatiku sendiri empat tahun yang lalu. Bahwa aku akan menyandang gelar sarjana dan akan membuat ayah bangga. Hari ini, aku ingin melihat ayah bahagia.
Prosesi wisuda dimulai. Acara satu per satu berjalan dengan khidmat. 


Aku mempersiapkan diri untuk tampil di depan. Aku sudah menyusun kata-kata sejak beberapa hari yang lalu.
“Selanjutnya adalah penyerahan medali bagi mahasiswi berprestasi....” ujar pembawa acara.
Aku membetulkan letak kacamataku, kemudian berdiri dan berjalan menuju podium saat namaku dipanggil.


Aku berdiri di antara rektor, wakil rektor, dekan, dan dosen. Aku berdiri di depan ratusan wisudawan. Aku pun mulai mengucapkan kata-kata yang sudah kupersiapkan dan kuhafalkan.
“Prestasi ini kupersembahkan untuk ayahku,” ucapku sambil menatap ke arah ayah. Wajah ayah menampakkan keharuan. Dan bibirnya mengulas senyum. Ini untukmu, Ayah, batinku.
“Untuk ayahku yang selama ini telah mendidikku. Tanpa beliau aku bukanlah apa-apa. Dengan ini aku berharap bisa membuat ayahku bangga.”


Suara tepuk tangan mengisi ruangan saat aku menyelesaikan pidato singkatku. Aku kembali ke tempat duduk sambil membawa medali. Kulihat ayah, beliau pun menatap ke arahku. Anggukan kepala beliau seakan-akan mengatakan, Bapak bangga kepadamu, Nak.


Setelah ini adalah giliran ayahku untuk menyampaikan pidato. Aku memang menorehkan prestasi yang membanggakan universitas hingga panitia wisuda memandang layak bagi ayahku untuk menyampaikan pidato. Sebenarnya aku cukup khawatir karena ayah bukanlah seorang yang pandai berkata-kata di podium. “Iya, Bapak bisa,” demikian kata ayah dengan mantap meski aku tahu beliau merasa gentar juga.


Ayah tak pernah mengucap pidato. Apalagi menyampaikan pidato dalam suasana wisuda seperti ini. Bagaimana ayah mau berpidato sedang pekerjaannya saja hanya tukang tambal ban. Iya, beliau tukang tambal ban yang bisa menyekolahkan aku hingga aku bisa lulus sarjana saat ini.


Nama ayah dipanggil diikuti sorak tepuk tangan hadirin. Ayah berdiri, diam sejenak. Suasana hening. Beliau berjalan pelan menuju podium. Pasti ayah merasa deg-degan, sebagaimana yang kurasakan. 


Ayah mengucap salam. Pandangan mata ayah mengarah kepadaku, kemudian kepada hadirin. Bibir ayah tampak bergerak-gerak, namun tak ada suara yang keluar. Keringat mulai bermunculan di dahinya yang keriput. Tangannya yang memegang ujung baju tampak bergetar.
“Saya... saya merasa senang,” kata ayah terbata.


Suaranya yang bergetar mengisi ruangan. Hanya suara ayah yang terdengar. Seolah-olah di ruangan ini tak ada orang selain ayah. Semua diam dan menatap ke arah ayah. Menunggu ucapan ayah selanjutnya.


“Dan saya bangga punya anak seperti dia.” Ayah menatap ke arahku.
“Saya bangga, bahkan sejak dia masih kecil, saat belajar berdiri, jatuh, berdiri lagi,” kata ayah dengan suara bergetar yang ikut menggetarkan hatiku.
“Wassalamu’alaikum.”


Memang hanya tiga kalimat yang keluar dari bibir ayah, namun suara tepuk tangan terdengar meriah saat ayah turun dari podium. Lebih meriah daripada tepuk tangan untukku tadi.
Aku tak tahan untuk tak mengeluarkan air mata. Biarlah pipiku basah oleh air mataku. Ini air mata kebahagiaan. Ini air mata kebanggaan karena memiliki ayah yang hebat.


Seusai prosesi wisuda, kulihat beberapa orang tua teman-temanku menghampiri ayah. Mereka menyalami ayah, lalu mereka tampak akrab dalam obrolan yang diselingi senyum dan tawa.
“Bapak, ayo pulang,” kataku setelah mendatangi Ayah.


***
“Lewat sini saja, Nak!” Bapak memberi aba-aba untuk belok kanan.
Sepeda motor kubelokkan mengikuti petunjuk arah dari Ayah. Kami melewati jalan berbatu. Jalan ini memang jalan yang lebih singkat menuju rumah, namun kondisinya rusak. Aku sudah lama tak melewati jalan ini.


Pohon-pohon karet yang tumbuh rapat di kanan kiri jalan membuat suasana menjadi asri. Alas Karet, kami menyebutnya. Dulu sewaktu kecil aku sering bermain di hutan karet ini.


Kami melewati beberapa rumah warga. Setiap bersua dengan seseorang, ayah selalu menyapa dan tersenyum. Itulah pribadi beliau. Ramah. Lalu kami melewati sebuah rumah yang juga sebagai tempat potong rambut. Dulu ayah sering mengajakku ke sini untuk memotong rambutku.


“Mari, Pakdhe!” ujar ayah kepada tukang potong rambut yang sudah tua.
“Berhenti di depan, ” kata ayah menunjuk sebuah warung.


Ah, warung mie ayam ini. Warung mie ayam yang berdekatan dengan tukang potong rambut. Dulu setelah selesai potong rambut, ayah mengajakku jajan mie ayam di sini. Dan saat itu, bagiku mie ayam adalah makanan termewah dan terenak di dunia.
“Kita makan dulu,” kata ayah.
Aku memarkir sepeda motor.


“Kang, mie ayamnya dua,” kata ayah kepada penjual mie ayam yang dulu biasanya kupanggil dengan sebutan Pakdhe.
“Anakmu ini?” tanya Pakdhe itu.
“Iya.”
“Dari mana, kok, rapi begitu?”
“Dari lulusan. Anakku sudah sarjana,” kata ayah sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Wah, hebat. Anakmu sudah sarjana, to.”


Mie ayam sudah terhidang di atas meja. Aromanya khas. Ah, khas sekali. Ini aroma kenangan masa kecilku. Ini aroma kebahagiaanku dulu saat ayah memboncengkan aku di sepeda onthel tuanya dan mengajakku potong rambut lalu makan mie ayam di sini.
“Ayo, dihabiskan,” kata ayah.


Tak terasa mataku berkaca-kaca. Ah, ayah. Betapa kenangan masa kecil itu masih lekat di ingatanku. Betapa engkau selama ini telah berkorban banyak hal untukku.


Ingin sekali kupeluk dan kucium kakimu, Ayah. Tapi jika aku melakukan hal itu, tentu akan merusak momen ini. Aku berusaha menahan gemuruh di dadaku. Lalu, dengan lahap, kusantap mie ayam itu sambil menundukkan kepala, menyembunyikan mataku yang basah.
***


----------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Cerpen ini dimuat dalam majalah Mutiara Insan edisi 63, bulan Januari 2016


Tuesday, January 12, 2016

Perjuangan Membeli Kitab Tafsir Ibnu Katsir 10 Jilid

Di antara buku-buku koleksiku yang memerlukan perjuangan dalam membelinya, salah satunya ialah kitab tafsir Ibnu Katsir.

Aku berpikir: penting bagi seorang muslim untuk mempelajari Al-Quran. Selain membaca dan menghafalkannya, tentu perlu memahami maknanya. Salah satu cara memahami makna Al-Quran adalah dengan mempelajari kitab-kitab tafsir yang telah ditulis ulama.

Ada banyak kitab tafsir Al-Quran, baik yang ditulis ulama salaf maupun khalaf. Aku memilih untuk membeli yang tulisan ulama salaf. Pertimbangannya, aku ingin memiliki 1 kitab tafsir yang bisa menjadi rujukan.

Dari beberapa kitab tafsir, aku memilih karya Ibnu Katsir. Kitab yang diberi nama Tafsirul Quranil Adzim ini mendapat banyak pujian dan direkomendasikan banyak ulama. Aku harus memilikinya, begitu pikirku saat masih kuliah dulu.

Tentu yang kubeli versi terjemah bahasa Indonesia, terbitan Pustaka Imam Syafii yang kupandang memiliki kredibilitas dalam penerbitan kitab terjemahan. Dalam 1 paket kitab Tafsir Ibnu Katsir ada 10 jilid. Harga per jilidnya seratus ribu rupiah, belum diskon.

Saat kuliah dulu, aku bertekad akan membelinya meskipun dengan cara membeli satu per satu jilid, tidak 10 jilid sekaligus. Maklum, dulu buat bayar SPP saja aku ngos-ngosan. Aku dan orangtuaku mesti berusaha keras membayar SPP. Orangtuaku menggarap sawahnya, sedangkan aku berusaha dalam bidang desain grafis dan percetakan.

Aku membeli 1 jilid kitab Tafsir Ibnu Katsir setiap bulan, meski kadang taktentu juga. Aku biasanya menyambangi pameran buku untuk membeli 1 jilid, biasanya mendapatkan diskon 20% atau 25%. Jika sedang tak ada pameran buku, aku pergi ke toko buku langganan di Cemani.

Pernah suatu kali aku jalan-jalan di pameran buku. Kitab Tafsir Ibnu Katsir terpampang di sebuah stand. Aku ingin sekali membelinya 1 jilid, namun aku sedang tak punya uang. Aku pun meminjam uang kepada salah seorang teman, lalu membeli kitab 1 jilid itu.

Dengan mencicil satu per satu selama berbulan-bulan, akhirnya jilid 1 hingga 10 kitab Tafsir Ibnu Katsir aku miliki. Tahu bagaimana rasanya? Puas. Aku merasa puas.

Sekarang, jika melihat kitab Tafsir Ibnu Katsir yang terpampang di rak bukuku, aku teringat bagaimana perjuangan dahulu saat membelinya. Oleh karena itu, kitab ini begitu istimewa.

Yang selanjutnya harus kulakukan terhadap kitab Tafsir Ibnu Katsir adalah mempelajarinya. Mendarasnya lembar per lembar. Menulis ringkasannya untuk memperkuat pemahaman. Dan, mungkin akan mengunggah ringkasan tersebut di internet (blog umar-alkasidi.blogspot.com) agar orang lain dapat mengambil manfaatnya.

***
Sukoharjo, 13 Januari 2016

Saturday, January 9, 2016

7 Alasan Mengapa Aku Berjualan Buku


Beberapa hari yang lalu, ada seseorang yang bertanya: mengapa di Instagram-ku banyak unggahan foto buku?
"Karena aku berjualan buku," jawabku.


Ya, beberapa bulan terakhir aku memiliki hobi baru: berjualan buku. Ada beberapa alasan mengapa aku berjualan buku.

1. Hobi yang Menyenangkan
Berjualan buku bagiku merupakan sebuah hobi. Hobi kan biasanya bertujuan untuk menyenangkan hati yang dilakukan dalam waktu senggang.

Setiap orang yang melakukan aktivitas hobinya, hatinya akan senang. Begitu pun diriku. Aku merasa senang bisa berjualan buku. Mengapa? Alasannya di bawah ini.

2. Aku Senang Bergaul dengan Buku

Aku suka buku. Koleksi bukuku sudah lumayan banyak. Mungkin seribu buku. Interaksiku dengan buku yaitu dengan membacanya --yang akhir-akhir ini waktu khusus membaca buku terasa kurang.

Aku suka menghidu aroma buku baru. Setiap membeli buku baru, seringnya aku mendekatkan buku itu di depan hidung. Lalu terciumlah aroma buku yang khas.

Di kamarku, sebagian besar bukuku tertata di rak. Sebagaian yang lain bersemayam dalam kardus karena keterbatasan rak buku. Sesekali aku melihat-lihat koleksi bukuku yang berbaris rapi di rak. Lalu, timbul semacam perasaan tenteram, tenang, bahagia di dalam hati. Mungkin ini agak aneh. Namun, kenyataanya perasaanku membaik ketika memandang buku-buku.

Dengan berjualan buku, otomatis alu akan sering berinteraksi dengan buku. Mulai dari membelinya, mengunggahnya di internet, menuliskan identitas dan deskripsinya, sampai mengirimkannya kepada pembeli. Itu aktivitas yang membuat aku senang.

3. Bisa Sering Piknik ke Toko Buku

Dulu, biasanya ada beberapa orang yang nitip beli buku saat aku ke toko buku. Aku merasa senang dititipi seperti itu. Meskipun membelikan untuk orang lain, namun kenikmatan mencari dan membeli buku tetap ada.

Bagiku, toko buku memang tempat rekreasi. Tempat untuk menghibur hati. Dengan melihat-lihat buku-buku yang terpajang, hatiku merasa senang.

4. Bisa Berinteraksi dengan Sesama Pecinta Buku
Orang yang membeli buku pasti membutuhkan buku itu sebagai bahan bacaan. Interaksi sesama pembaca buku ini menimbulkan kesenangan tersendiri.

Berjualan buku juga membawaku mengenal orang-orang sesama penjual buku di dunia maya. Aku perhatikan hampir semua penjual buku di daring adalah pecinta buku.

Para penjual buku itu, rata-rata para pemikir, peminat ilmu, intelektual kampus, juga penulis, dan pengusaha. Aku mendapat banyak manfaat dari pertemanan dengan mereka. Wawasanku lebih terbuka.

Berteman dengan para penjual buku lain, membuatku berminat membeli buku-buku yang ditawarkan. Banyak buku dengan tema menarik yang menggoda diri untuk membelinya.

Buku-buku baru dengan tema yang selama ini belum kujamah, akhirnya kucicipi juga. Dan aku membatin, ke mana saja aku selama ini hingga tak mencicipi buku-buku bagus itu. Lalu, aku semakin sadar betapa aku selama ini bodoh. Dan betapa bahagianya menyadari bahwa diri ini bodoh.

5. Memberi Manfaat bagi Orang Lain
Aku membaca buku dan aku memetik banyak manfaatnya. Aku pun ingin orang lain juga bisa mengambil manfaat dari membaca buku. Apatah lagi, minat baca di Indonesia ini tergolong rendah. Rata-rata negara maju, masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi.

Minat baca yang tinggi sebenarnya juga terdapat di pesantren yang para santrinya mesti membaca beberapa kitab yang diwajibkan oleh gurunya. Kita bisa melihat kultur pesantren seperti ini melahirkan para santri yang cerdas.

Salah satu untuk meningkatkan minat baca masyarakat yaitu dengan mendekatkan buku kepada mereka. Aku menyadari bahwa sebagian besar orang enggan ke toko buku untuk membeli buku. Jika tak membeli buku, mereka tidak akan membaca buku.

Dengan memudahkan pembelian buku --melalui jaringan internet (e-commerce)-- aku berharap semakin banyak orang yang membeli dan membaca buku. Harapannya, "Buku adalah jendela ilmu" tidak hanya menjadi slogan kosong semata.

6. Mendapatkan Keuntungan Materi
Tak banyak memang hasil yang didapatkan dari berjualan buku. Selain sebagai "pemain baru" dalam dunia jual-beli buku, aku pun berjualan buku hanya dalam waktu-waktu luang saja. Dan memang, mendapatkan materi bukanlah tujuan pokok dalam berjualan buku.

Ada beberapa orang yang memang sukses dalam berjualan buku. Misalnya, seorang mahasiswa Jogja yang dari hasil berjualan buku bisa membiayai kuliahnya, membiayai adiknya sekolah, dan mengirimi orang tuanya uang setiap bulan.

Aku, tak seberapa mendapatkan keuntungan dari berjualan buku.
Hasil yang tak seberapa itu tetap saja membuatku merasa senang. Aku bisa mendapatkan keuntungan dari dunia yang kusukai, dunia buku.

7. Buku untuk Buku
Setiap bulan aku membeli buku. Mesti ada anggaran khusus untuk membeli buku. Nominalnya bisa sampai ratusan ribu rupiah. Membeli buku menjadi semacam kebutuhan pokok bulanan.

Dengan berjualan buku, aku mendapatkan hasil yang bisa aku gunakan untuk membeli buku. Menjual buku untuk membeli buku. Buku untuk buku.
***

Itulah beberapa alasan aku berjualan buku. Aku mendapatkan banyak manfaat dari sekadar materi.

Yang penting, apapun yang kita lakukan mestinya bisa membuat kita senang, kan.
**

Sukoharjo, 10 Januari 2016
Ditulis dini hari saat insomnia melanda