Catatan Kecil

Catatan pengalaman pribadi. Ditulis sebagai sebuah hiburan dan sebagai sebuah kenangan.

Cerita Pendek

Cerita pendek yang ditulis sebagai pengungkapan perasaan, pikiran, dan pandangan.

Puisi

Ekspresi diri saat bahagia, suka, riang, ataupun saat sedih, duka, galau, nestapa.

Faksimili

Kisah fiksi dan/atau fakta singkat yang bisa menjadi sebuah hiburan atau renungan.

Jelajah

Catatan perjalanan, menjelajah gunung, bukit, sungai, pantai, telaga.

Tuesday, October 14, 2014

Aku Pernah Jadi Mahasiswa

Gambar ilustrasi: www.facebook.com/KartunNgampus

Aku pernah jadi mahasiswa
Empat tahun lamanya
Mengejar gelar sarjana
Di Jalan Tromol Pos satu, Pabelan, Kartasura
Universitas Muhammadiyah Surakarta disebutnya

Waktu itu aku masih muda, unyu, dan menggemaskan seperti boneka panda

Awal mula disambut dengan Masta lalu PPA
Dibentak kakak panitia dari pagi sampai senja

Lalu hari-hari kuliah berjalan manasuka

Datang pagi-pagi duduk di depan ruang kuliah menunggu dosen yang tercinta
Lima menit sepuluh menit dosen belum kelihatan mukanya
Lima belas menit berlalu berarti perkuliahan pagi ini tiada
Ini di-PHP-in dosen namanya
Aku pun kecewa
Esoknya aku mau membalasnya
Ketika kuliah sang dosen mengajar seperti biasa
Aku yang tak mau masuk ke kelasnya
Bodohnya, yang rugi aku tentunya
Karna presensiku berlubang dua

Kuliah pagi itu penuh dilema
Jalanan ramai bersalipan dengan bus kota
Melaju kencang bak Rossi atau Pedrosa
Sayangnya, arus macet jadi kendala
Apalagi kalau si komo lewat bisa tambah lama
Datang terlambat tak diperbolehkan ikut kuliahnya
Itulah aturan dari dosen tercinta
Sering terlambat jadi sering kosong presensinya
Akhirnya, mengulang matakuliah itu tahun depannya
Asyik, dinikmati saja

Terlambat datang kuliah sudah biasa
Disambut senyum kecut dosen tercinta
Sambil berkelakar dikatakan olehnya
Ini wajah-wajah mahasiswa yang suka bolos dan suka terlambat datangnya
Seisi kelas bergetar karna semua tertawa
Menertawai diriku yang memasang wajah dan senyum polos seolah-olah tak berdosa
Biar saja

Kuliah pagi burung pipit bernyanyi
Di lantai tiga gedung B yang tinggi
Pohon-pohonan rimbun di luar tampak bergoyang menari-nari
Dua burung kecil terlihat berkejaran di antara dahan dan ranting sambil bernyanyi
Suasana tenang, nyaman, seakan sunyi
Suara dosen datar, lembut, pelan, namun pasti
Sayangnya, tadi malam aku bergadang, lagi
Mata terasa berat membebani
Kepala terantuk-antuk tertarik gaya gravitasi
Tepukan di pundak membuat mata terjaga lagi
Oh, kuliah sudah selesai, cepat sekali
Atau aku yang terlalu nyenyak tertidur tadi
Bisa jadi

Kuliah di lantai tiga
Gedung B dari taman audit sebelah utara
Lari-lari kecil karna sudah terlambat, takut mendapat tatap mata seram dari dosen tercinta
Tap... tap... tap... langkah kakiku bersuara
Di depan ruang kuliah aku terpana
Kok hampa tiada orangnya
Oh, aku ingat, ternyata kuliah pindah jamnya
Bodohnya

Kuliah di lantai tiga
Gedungnya sama, taman audit sebelah utara
Lari-lari kecil karna sudah terlambat, takut mendapat senyum masam dari dosen tercinta
Tap...tap...tap... langkah kakiku bersuara
Di depan ruang kuliah aku terpana
Kok hampa tiada orangnya
Buka tas, ambil jadwal kuliah lalu dibaca
Hari ini pada jam ini ternyata
Aku tak ada jadwal kuliah, oh bodohnya

Aku pernah jadi mahasiswa
Empat tahun lamanya
Mengejar gelar sarjana
Asyiknya
***

Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 11 Oktober 2014


Sunday, October 5, 2014

Golput: Sebuah Drama Satu Babak

Ilustrasi: permainan catur yang selalu diidentikkan dengan politik dan kekuasaaan

Di sebuah warung hik, pinggir jalan kota. Pukul sebelas malam.

Pakdhe Toriyo menyajikan wedang jahe pesanan Bendo. Uap air panas terlihat mengepul. Dengan pelan-pelan, Bendo menyeruput pelan-pelan, dengan khusyuk. Wedang jahe itu perlahan-lahan mengusir hawa dingin yang di musim penghujan. Setelah beberapa seruputan, Bendo bicara. Melanjutkan kata-kata yang terpotong oleh wedang jahe tadi.

Bendo: “Jadi, kalau kita tetap golput, Mas, itu sama saja tidak peduli dengan bangsa Indonesia. Wong, para pahlawan dulu merebut kemerdekaan dengan susah payah. Mereka berjuang tekan ing pati. Lha, tugas kita ini untuk meneruskan perjuangan itu. Caranya dengan nyoblos.”

Banjar dari tadi masih menikmati sega kucing-nya. Sepertinya istrinya tidak menyiapkan makanan di rumah. Sudah habis tiga bungkus sega kucing dilahapnya.

Bendo: “Sampeyan tadi bilang sudah golput sejak dulu. Sejak tahun berapa, Mas Banjar?
Banjar : “Sejak Pak Harto turun,”

Bendo : “Sampeyan fanatik sama Pak Harto, Mas?”
Banjar : “Tidak juga.”

Bendo : “Lha, terus kenapa golput?”

Banjar mengangkat gelas tehnya yang sudah kosong ke arah Pakdhe Toriyo. Tanda ia minta dibuatkan segelas teh lagi. Sambil menunggu tehnya datang, sepotong pisang goreng lenyap di dalam mulutnya.

Bendo menunggu jawaban Banjar. Sambil sesekali menyeruput wedang jahenya. Sebenarnya dia agak tidak sabar melayani sikap Banjar yang lemot itu. Ia harus sabar, agar Banjar mau nyoblos, khususnya nyoblos caleg dan partainya. Sebagai kader partai dia harus mengajak semua orang untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu.

Dalam rapat tim sukses calegnya, ia harus melaporkan berapa jumlah orang yang sudah di-deal-kan untuk nyoblos caleg dan partainya. Untuk itu, setiap hari ia harus blusukan ke kampung-kampung, mengunjungi teman-teman lama, nongkrong di warung-warung.

Menghadapi golput seperti Banjar, Bendo merasa kewalahan. Karena, kata orang-orang pintar itu, tipe Banjar ini termasuk golput ideologis. Tipe golput yang tidak tergoyahkan oleh iming-iming amplop.

Banjar : “Bukan karena apa-apa, Mas. Saya nyoblos atau tidak tetap sama saja.”
Bendo : “Tidak begitu, Mas. Kalau Mas Banjar mau nyoblos, kita pasti dapat wakil rakyat yang baik. Beras a jadi murah, sekolah bisa gratis. Enak kan, Mas?”

Banjar : “Benar seperti itu? Kalau aku nyoblos, besok beras langsung jadi murah? Sekolah anakku jadi gratis?”
Bendo : “Iya, Mas.”

Bendo menyampaikan beribu alasan agar Banjar tidak golput lagi

Obrolan mereka berlanjut sampai tengah malam. Warung hik Pakdhe Toriyo ini memang buka sampai dini hari. Beberapa orang ikut mendengarkan dan sekali-kali nimbrung obrolan Bendo dan Banjar.

Bendo sudah mengeluarkan semua amunisinya agar Banjar tidak golput lagi di pemilu nanti. Sebagai orang yang lugu, tampak Banjar sedikit mulai menelan kata-kata Bendo.

Banjar : “Sepertinya benar juga omongan sampeyan, Mas.”
Bendo: “Iya, pasti benar. Jadi?” (Bendo melemparkan tanya dengan wajah harap-harap cemas)

Banjar : “Jadi apa?”
Bendo: “Jadi, Mas Banjar mau nyoblos pada pemilu nanti, kan?”

Banjar : “Baiklah Mas, aku mau nyoblos.”

Bendo : “Bagus sekali. Pakdhe Toriyo, semua makanan Mas Banjar, aku yang bayar. Sebagai perayaan karena Mas Banjar akhirnya mau nyoblos.”
Banjar : “Lhah, tidak usah, Mas. Ngrepoti sampeyan. Aku bayar sendiri saja, Mas.” a

Bendo mengeluarkan brosur dan stiker dari dalam tasnya.

Bendo: “Tidak apa-apa, Mas. Aku senang Mas Banjar akhirnya mau nyoblos. Ini, Mas, caleg yang jujur dari partai terbaik. Jangan lupa, nanti nyoblos ini, Mas. Orang ini dijamin baik dan pinter.”

Banjar menerima kedua lembar kertas itu.

Banjar : “Tapi, ngapunten ya, Mas. Aku sudah punya caleg pilihanku sendiri. “
Bendo : “Lho, siapa, Mas?”

Bendo tidak dapat menyembunyikan wajah kagetnya.

Banjar : “Anu, Mas, ada teman SD yang nyaleg. Beberapa hari yang lalu datang ke rumah untuk minta dukungan. Aku masih ragu untuk nyoblos, tapi karena Mas Bendo sudah menjelaskan pentingnya nyoblos tadi, aku jadi yakin mau nyoblos. Matur suwun, Mas.”

Bendo : “Lho, kok ngono to, Mas? Ya sudah, Mas. Aku mau pulang duluan, sudah ngantuk. Ini Pakdhe untuk wedang rondenya tadi.”

Bendo berjalan sambil menggerutu. Tahu begitu mending dia golput saja, gerutunya.

Pembeli 1 : “Katanya tadi mau bayarin makanannya Mas Bendo? Kok dia langsung pulang tanpa bayari dulu?”

Banjar : “Aku bayar sendiri, Kang. 


***

Sukrisno Santoso
Menjelang Pemilu Legislatif 2014


Sunday, September 28, 2014

Pantai Seruni, Gunung Kidul, Yogyakarta

Pantai Seruni, Gunung Kidul, Yogyakarta


Seruni ialah nama sebuah bunga yang dalam bahasa Latin disebut dengan Chrysanthemun. Dalam bahasa Yunani disebut dengan nama Chrysous yang berarti emas.

Kali ini kita akan menjelajahi keindahan dan kedamaian pantai Seruni.

Memasuki kawasan pantai di Gunung Kidul kita dikenakan biaya retribusi 10.000,- per orang. Dengan retribusi tersebut kita bisa menikmati beberapa pantai sekaligus, khususnya yang berada dalam satu jangkauan. Di antaranya, pantai Krakal, Kukup, Baron, Drini, Pulang syawal (lebih dikenal dengan nama pantai Indrayanti), Sepanjang, Seruni, dan Pok Tunggal.

Pantai Seruni terletak di Desa Tepus, Kecamatan Tepus, Gunung Kidul, terletak paling timur di antara pantai-pantai dalam satu kawasan tersebut. Sejauh kira-kira 12 km ke arah timur dari pantai Krakal.

Selain retribusi, biaya yang kita keluarkan ialah biaya parkir di masing-masing pantai. Tarifnya ialah 3.000,- untuk sepeda motor dan 5.000,- untuk mobil.

Pantai Seruni dan Pok Tunggal berada dalam satu jalur. Hanya berjarak beberapa ratus meter. Saat ini nama pantai Pok Tunggal memang lebih terkenal dibandingkan pantai Seruni. 


Mendekati lokasi pantai Pok Tunggal dan Seruni, ada beberapa papan penunjuk arah.
Dari jalan raya ke pantai Seruni harus melewati jalan yang belum beraspal sejauh kurang dari dua kilometer. Jarak segitu ditempuh dalam waktu kurang lebih lima belas menit. Lumayan lama karena track jalannya yang berupa tatanan batu-batu kerakal. Kasar dan bergelombang. Lebih cocok buat track offroad.

Jalan menuju Pantai Seruni yang belum beraspal, masih berupa bebatuan kecil yang ditata.

Harus hati-hati melewati jalanan berbatu ini karena di samping kiri adalah tebing sedangkan bagian kanan adalah jurang, yang meskipun tidak terlalu dalam namun tetap membahayakan.

Ada papan penunjuk arah ke pantai Pok Tunggal atau ke Seruni. Kalau ke Pok Tunggal, dari jalan raya arahnya lurus mengikuti jalan. Ke pantai Seruni, belok kiri. Di sepanjang jalan, kita akan mendapati keramahan para penduduk yang sedang berada di kebun-kebun mereka.

Beratnya perjalanan bisa terbayar ketika sampai di pantai Seruni. Seruni bukan pantai yang luas. Kesan pertama kali mengunjungi pantai ini ialah sebuah ketenangan.

Pantai Seruni memang belum banyak dikunjungi wisatawan. Selain lokasinya yang sulit dijangkau, pantai ini memang termasuk baru dalam pengelolaannya.

Sebelum dibuat jalan berupa tatanan batu kerakal, dulu orang yang ingin mengunjungi pantai Seruni harus jalan kaki dari pantai Pok Tunggal. Menyusuri bibir pantai ke arah timur ketika air laut sedang surut.

Kebersihan pantai Seruni sangat terjaga. Kita bisa menikmati hamparan pasir putih yang bersih sejauh sekitar 500 meter sepanjang bibir pantai. Di sebelah barat terdapat tebing batuan kars yang menjadi tembok pemisah dengan pantai Pok Tunggal.

Di sebelah timur terdapat terbing yang pada bagian bawah di bibir pantai ada sebuah gua yang bisa dimasuki ketika air surut. Ketika pasang, pintu gua akan tertutup dengan air laut.

Tebing bagian sebelah timur Pantai Seruni yang terdapat air terjun
Air terjun di Pantai Seruni (kelihatan samar-samar karena agak jauh)

Yang lebih menarik lagi ialah adanya air terjun kecil di samping gua tersebut. Ketika musim hujan air terjun ini akan menjadi besar. Lebih mengasyikkan lagi karena air terjun ini ialah air tawar. Kita bisa mandi di air terjun itu atau membersihkan badan setelah bermain air laut.

Ada beberapa warung makan yang berdiri di pantai Seruni. Kita bisa melepas penat serta mengobati lapar dan dahaga di sana.

Saat kita menikmati keindahan pantai Seruni, kita akan benar-benar bisa menikmatinya dengan tanpa adanya banyak gangguan. Belum banyaknya pengunjung di pantai ini membuat kita bisa leluasa menikmati keindahannya.

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada pagi hari yang cerah, 16 Agustus 2014, di kota Sukoharjo



Di atas karang Pantai Seruni

Pantai Pok Tunggal, Gunungkidul, Yogyakarta

Pantai Pok Tunggal

Perjalanan dari kota Sukoharjo dimulai pukul 23.30 WIB. Kami berenam dengan mengendarai sepeda motor memilih perjalanan malam dengan beberapa pertimbangan. Pertama, untuk mendapatkan perjalanan lebih tenang, lalu lintas tidak ramai, dan cuaca tidak panas. Kedua, agar bisa merasakan camping di pantai. Ketiga, agar bisa puas mengunjungi pantai-pantai di Gunungkidul.

Masuk ke kawasan wisata pantai, per orang dikenakan biaya retribusi 10.000,-. Dengan retribusi tersebut kita bisa menikmati pantai-pantai dalam satu kawasan. Di antaranya, pantai Krakal, Kukup, Baron, Drini, Pulang syawal (lebih dikenal dengan nama pantai Indrayanti), Sepanjang, Seruni, dan Pok Tunggal.

Selain retribusi, biaya yang kita keluarkan ialah biaya parkir di masing-masing pantai. Tarifnya ialah 3.000,- untuk sepeda motor dan 5.000,- untuk mobil.

Tujuan pertama kami ialah pantai Pok Tunggal. Tiba di dekat pantai Krakal, sekitar pukul 02.00 WIB, kami bertanya kepada seorang warga lokasi pantai Pok Tunggal. Ternyata, lokasinya berada sejauh 12 km ke arah timur.

Kami pun melaju ke arah timur, melewati pantai Drini dan Pulang Syawal. Saat sampai pada pertigaan kami bingung belok ke arah mana. Akhirnya kami berbelok ke arah pantai Slili. Di pantai Slili terlihat beberapa kendaraan roda dua dan roda empat terparkir. Beberapa orang terlihat tidur di emperan warung atau di dalam pondok kayu di pinggir pantai. Beberapa orang masih asyik mengobrol.

Di pantai Slili banyak terlihat pondok makan. Sepertinya pantai ini menjadi salah satu tempat favorit untuk menikmati makanan dengan pemandangan laut yang indah.

Berdasarkan petunjuk dari seorang pengunjung di pantai Slili, kami melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju pantai Pok Tunggal.

Mendekati lokasi pantai Pok Tunggal ada beberapa papan pemunjuk arah. Kami belok kanan mengikuti arah petunjuk. Terus terang, saya merasa sedikit kaget karena jalan ke arah pantai Pok Tunggal belum beraspal. Masih berupa cor semen pada beberapa bagian dan sebagian besar yang lain berupa tumpukan kerakal.

Jalan ke pantai tidak mulus, cenderung offroad. Saya yang mengendarai motor matic merasa kesulitan melewati. Jalanan gelap karena tidak ada lampu penerangan.Suasana gelap, tenang, dan sepi. Seperti di hutan. Sempat terbesit sedikit was-was jika ada sesuatu halangan di tengah jalan.

Setelah sekitar lima belas menit melewati jalan offroad, akhirnya kami tiba di pantai Pok Tunggal. Dari pinggir jalan terlihat beberapa tenda (dome) sudah berdiri di bibir pantai. Bagi yang tidak membawa dome bisa menyewa di lokasi setempat.

Kami segera mendirikan tenda. Pukul 03.00 WIB tenda berdiri, kami pun istirahat: tidur.

Pukul setengah lima saya terbangun. Tidak terdengar adzan Subuh. Di Pok Tunggal tidak ada masjid. Yang ada hanya sebuah mushola kecil berukuran 3 x 3 meter.

Kami memilih shalat Subuh di pantai, dengan berwudhu dengan air laut. Karena air laut itu dapat menyucikan sehingga bisa dipakai untuk berwudhu. Sunrise tak bisa terlihat karena pantai ini dipagari bukit kapur. Jika sunset mungkin bisa dinikmati.

Pasir putih yang menjadi ciri khas pantai-pantai di Gunungkidul juga terdapat di pantai Pok Tunggal. Pasir-pasir di sini agak besar dan kasaragak, menghiasi bibir pantai sejauh kurang lebih 1 km.

Di sebelah timur terdapat jalur pendakian menuju bukit Panjung. Sebuah tempat yang menyenangkan untuk menikmati pantai dari atas. Di tempat tersebut juga ada beberapa warung makan. Terdapat pula area yang cukup untuk mendirikan tenda. Sepertinya menyenangkan mendirikan tenda di atas bukit ini.

Saat matahari beranjak naik, pengunjung mulai berdatangan. Beberapa warung makan mulai buka. Payung-payung mulai dikembangkan untuk disewakan. Dan suara peluit sesekali terdengar, bunyi pengatur kendaraan yang parkir.

Kami segera membereskan tenda karena di sini ada aturan pendirian tenda hanya boleh dilakukan pukul 18.00 - 07.00. Setelah itu, nasi goreng seafood menjadi santapan pagi kami. Rasanya mak nyuss menikmati rasa pedas manis asin di lantai dua warung makan sambil memandang keindahan lautan.

Kami memutuskan untuk bermain air sekaligus sebagai mandi pagi. Saat pagi ternyata air pasang sehingga sangat menyenangkan untuk "nyebur" ke dalam air laut.

Pantai Pok Tunggal sangat menawan pada siang hari. Pada malam hari, pantai ini menjadi area camping yang menawarkan suasana malam di pantai.

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada tengah malam, 6 Agustus 2014, di Basecamp IMTAQ, kota Sukoharjo


Jalan menuju Pantai Pok Tunggal, berupa bebatuan kecil yang ditata.

Berfoto dari atas bukit Panjung di Pantai Pok Tunggal
Sebuah area di atas bukit Panjung yang bisa digunakan untuk tempat mendirikan tenda
Menikmati makan pagi: nasi goreng sea food di lantai 2 sebuah warung makan
Pantai Pok Tunggal pada pagi hari saat air laut pasang

Mendaki Gunung Lawu: Yang Pertama dan Terakhir

Berfoto di Puncak Hargo Dumilah (3.265 mdpl), kondisi hujan gerimis & angin kencang.

"Yang pertama dan terakhir." 

Itulah komentar singkat kawanku saat tiba di gerbang Cemoro Sewu. Sebelumnya adalah sebuah ujian berat. Berangkat saat beranjak malam. Langit berawan, gelap, diiringi guyuran gerimis. Tak lupa kabut pun menemani sepanjang perjalanan. Udara sangat dingin menggigit kulit. Alhasil, pendakian ke puncak Gunung Lawu ini menjadi pendakian yang sangat berat.

Beberapa kali istirahat sepuluh atau lima belas menit. Niat hendak tidur 'tuk mengobati kantuk tidak terlaksana karena diganggu oleh hawa dingin. Untuk mengatasi hawa dingin ialah tetap terus berjalan, meski tertatih-tatih.

Beberapa kali berseloroh, melempar gurauan, "Ayo, turun saja."
Tapi niat menggapai puncak sudah bulat.

Dulu, hanya membutuhkan waktu 6 jam saja untuk mencapai puncak. Itu pun menurutku masih terasa agak lambat karena ada kawan yang sering minta "break". Turun hanya membutuhkan waktu 4 jam saja.

Malam tahun baru 2014 ini, berangkat pukul 20.00, sampai puncak pukul 07.00. Lama sekali? Memang, karena sering istirahat. Untuk sekadar membasahi kerongkongan atau ngemil makanan ringan. Jika menemukan tempat yang nyaman untuk istirahat maka bisa setengah jam atau satu jam berdiam diri, mencoba memejamkan mata meskipun akhirnya tidak bisa.

Pemandangan di puncak luar biasa. Tidak ada apa-apa. Tidak ada sunrise, tidak ada langit biru, tidak ada pemandangan bukit menghijau. Karena gerimis masih mengiringi, kabut setia menemani. Langit pun berawan menyembunyikan mentari.

Tidak bisa mengambil gambar indah. Yang ada malah kamera basah terkena air hujan. Momen untuk narsis diri pun tak ada. Hanya gambar buram. Seburam pemandangan, sesuram beratnya perjalanan. Tapi anehnya, aku bahagia. Bahagia bisa sampai di puncak. 3265 m dpl.

Turun pukul 08.00 dengan langkah tertatih. Sampai di pos bawah pukul 12.30.
Lalu aku pun balas dendam, memesan segelas jeruk panas dan soto ayam di warung Pojok.

"Bagaimana," tanyaku.
"Yang pertama dan terakhir," jawab kawanku.

Eh, ngomong-ngomong ada yang mau ke Merapi.
Hemm... pikir-pikir dulu, liat waktu dan logistik dulu.


***
Sukoharjo, 5 Januari 2014

 

Yen ing Tawang Ono Lintang




Banyak yang mengira lagu "Yen ing Tawang Ono Lintang" mengisahkan kerinduan seorang pemuda kepada kekasihnya. Tahukah Anda bahwa lagu tersebut merupakan ungkapan kasih sayang seorang ayah kepada putrinya.



Dikisahkan, sejarah penciptaan lagu tersebut, sang pengarang (Andjar Any) sedang menunggu-nunggu kelahiran putrinya dengan harap-harap cemas. Istrinya sedang berjuang sekuat tenaga di ruang bersalin untuk melahirkan sang putri yang sudah dinanti-nantikan kelahirannya.

Sementara, sang ayah, duduk di luar gedung dengan pikiran yang galau. Dipandangnya langit malam yang berhiaskan banyak bintang. Maka, terciptalah lagu indah yang sangat menyentuh hati ini. Yen ing tawang ono lintang, jika di langit ada bintang.

***
Yen ing tawang ono lintang... cah ayu
[jika di langit ada bintang... wahai cantik]
[if there are stars in the sky... my pretty]

Aku ngenteni tekamu
[aku menanti hadirmu]
[I awaits your presence]

Marang mega ing angkasa... nimas
[kepada awan di langit... dinda]
[to the clouds in the sky... my love]

Ingsun takok'ke pawartamu
[aku menanyakan kabarmu]
[I asked how are you there]

Janji-janji aku eling... cah ayu
[semua janji aku ingat... wahai cantik]
[I remember all the promises... my pretty]

Sumedhot rasaning ati
[terputus rasanya hati]
[heart feels fallen]

Lintang-lintang ngiwi-iwi... nimas
[bintang-bintang menggoda aku... dinda]
[the stars tease me... my love]

Tresnaku sundhul wiyati
[cintaku tak berbatas / setinggi langit]
[boundless love / to the skies]

Dhek semana...janjiku disekseni mega kartika
[semenjak itu...janjiku disaksikan awan bintang]
[since that... my words witnessed by clouds and stars]

Kairing rasa tresna asih
[teriring rasa cinta kasih]
[accompanied by the love]

Yen ing tawang ono lintang... cah ayu
[jika di langit ada bintang... wahai cantik]
[if there are stars in the sky... my pretty]

Rungokno tangising ati
[dengarkan tangisan hatiku]
[listen to the cries of my heart]

Binarung swaraning ratri... nimas

[resapi suara hatiku di malam hari... dinda]
[listen to the sound of my heart in the night... my love]

Ngenteni mbulan ndadari
[menunggu bulan purnama]
[waiting for the full moon]

(Terjemahan lagu copas dari http://matcreation.blogspot.com/2012/07/yen-ing-tawang-ono-lintang.html)


***
Sukoharjo, 16 Januari 2014

Wayang Kulit, Wedang Ronde, dan Secangkir Politik

Foto: Dalang Enthus Susmono (Solopos.com)

Pukul setengah sebelas malam. Setelah badan berlelah bermain futsal, aku meluncur ke alun-alun Satyanegara, Sukoharjo. Beberapa hari terakhir terlihat spanduk terpampang di pinggir-pinggir jalan. Pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Enthus Susmono asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

Pagelaran wayang kulit dilaksanakan di ruas jalan depan alun-alun. Orang-orang sudah berjubel. Jumlahnya ribuan. Kursi tertata sejauh seratus meter. Banyak yang berdiri karena tidak kebagian kursi. Termasuk aku.

Ki Enthus memainkan wayang dengan piawai. Padatnya penonton, aroma jagung bakar, bau rokok, dan suara tawa yang mengiringi sabetan wayang kulit, membuka gambaran-gambaran bergerak di benakku. Teringat masa kecil dulu, ketika pagelaran wayang kulit menjadi tontonan yang heboh dan tuntunan bagi masyarakat. Setahun sekali, kampungku mengadakan pagelaran wayang kulit. Kata orang-orang tua, sebagai tanda syukur terhadap Sang Pemberi Rezeki.

Bersama bapak, dahulu aku selalu girang menonton wayang. Dibelikan oleh bapak, kacang rebus yang dibungkus kertas membentuk kerucut. Dan atau jagung bakar rasa pedas manis. Saat itu, banyak para penjual yang berjejer di pinggir jalan dekat lokasi pementasan.

Peperangan yang menjadi adegan favoritku. Gatotkaca dengan gagah melawan para raksasa. Dengan diiringi musik gamelan yang menghentak-hentak, menambah adegan perang menjadi tontonan yang menarik. Kemudian biasanya aku terbangun di belakang kelir di pagi hari. Lalu berjalan pulang terhuyung-huyung karena masih setengah sadar.

Pagelaran wayang kulit ini sedikit memberi hiburan untukku, yang terkadang merasa kangen dengan masa lalu. Ditemani sebungkus kacang rebus dan sebatang jagung bakar. Seperti dahulu.

Semakin malam, udara semakin dingin. Wedang ronde menjadi pilihan yang maknyus untuk menghangatkan badan. Aroma jahe yang kuat, ronde yang kenyal, kacang yang renyah, hmmm... inilah nikmat.

Wedang ronde adalah minuman tradisional yang bermanfaat untuk menghangatkan badan, menghilangkan sakit kepala, masuk angin, perut kembung dan menyembuhkan penyakit yang mengganggu tenggorokan.

Aku heran juga, campuran bahan-bahan yang sepertinya tidak selaras ini bisa menghasilkan minuman yang nikmat. Air Jahe dicampur dengan tepung ketan sebagai bahan membuat ronde bisa menghadirkan perpaduan rasa yang khas. Apalagi dicampur dengan kacang yang renyah. Setiap bahan memang rasanya berbeda-beda. Tidak menyatu. Namun, perpaduan rasa yang tidak menyatu itulah daya tarik rasa wedang ronde ini.

Sebagaimana para penonton wayang kulit kali ini, di kursi bagian depan, duduk Bupati dan Wakil Bupati, beserta jajarannya. Kemudian di belakangnya para pejabat instansi pemerintah daerah. Di belakangnya adalah warga biasa.

Ada bapak-bapak, ada yang terlihat sudah sepuh, dengan asap yang mengepul dari bibirnya. Ada ibu-ibu, ada yang bersandar santai pada kursi, ada yang bersandar pada suaminya. Ada para pemuda dan remaja. Ada anak-anak juga yang datang bersama orang tuanya.

Warga Sukoharjo seperti menyatu dalam pagelaran wayang kulit ini. Dari berbagai umur, berbagai profesi, berbagai daerah. Mereka menyatu meskipun tidak sama. Datang dan duduk berdampingan meski tidak saling kenal.

Kembali ke wayang, kepiawaian Ki Enthus yang kusaksikan langsung sama seperti yang sering aku lihat di televisi dulu. Ki Enthus, selalu memasukkan kritik sosial politik dalam setiap pementasannya. Tak lupa kali ini. Berbagai petuah tentang ketatanegaraan diwasiatkan melalui dialog para wayang.

Para wayang menjadi duta pemberi nasehat, menjadi utusan pemberi tuntunan. Bahwa seorang pemimpin haruslah menepati janji. Bahwa menjadi pemimpin adalah menjadi pelindung dan pengayom rakyat. Jabatan adalah amanah dari rakyat yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Kelir menampilkan negeri Ngamarta yang sedang geger karena Werkudara dan Harjuna perang tanding. Dua kekuatan utama negeri Ngamarta dipertemukan untuk saling mengalahkan. Hal itu terjadi tak lain karena ulah para penghasut dan pendengki, yaitu Pendeta Durna dan Patih Sengkuni.

Werkudara hendak membunuh punakawan, atas perintah Prabu Pandu, atas hasutan Durna dan Sengkuni. Werkudara yang berwatak ksatria segera menjalankan tugas. Namun, dihadang oleh Harjuna sebagai bendara punakawan. Kakak beradik itu pun saling pukul, saling menghantamkan senjata. Gada Rujakpolo pun melayang-layang.

Keadaan semakin kacau karena Sengkuni mengerahkan para buto untuk membantu melenyapkan punakawan. Saat keadaan bertambah kisruh, Prabu Kresna, sang penguasa Dwarawati, mengutus Gatotkaca, Setyaki, dan Hanoman untuk menghancurkan para buto. Dan seperti pagelaran wayang kulit yang selalu kutonton, para buto takluk di tangan para ksatria. Akhirnya, Werkudara menyadari kesalahannya. Para penghasut dan pendengki gagal menghancurkan Pandawa.

Lakon tersebut banyak memberi pendidikan politik bagi masyarakat. Politik tidak harus diajarkan di sekolah dan kampus. Atau di hotel-hotel dalam acara penataran. Atau di layar kaca yang menyilaukan.

Dengan wayang kulit, pendidikan politik bisa ditanamkan pada masyarakat dengan cara yang menghibur. Bukan dengan cara debat yang memuakkan, atau kata-kata manis yang menjemukan. Seharusnya politik bisa dinikmati masyarakat sebagaimana mereka menikmati teh atau kopi.

Di malam Minggu yang dingin ini, aku menikmati wayang kulit, wedang ronde, dan secangkir politik.

***

Sukoharjo, 19 Januari 2014

Sunday, April 6, 2014

Buku: Etika Seorang Muslim

Buku: Etika Seorang Muslim

Judul buku : Adab Al-Muslim fi Al-Yaum wa Al-Lailah, 24 Adaban Mutanawwi’an
Penulis : Departemen Ilmiah Darul Wathan
Judul terjemahan : Etika Seorang Muslim
Penerbit : Darul Haq
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : cetakan XIII, April 2012
Jumlah halaman : x + 139 halaman

***

Buku mungil ini sering menemani saya. Menjadi rujukan saat menyampaikan kultum atau dipelajari dan diamalkan di waktu-waktu tertentu. Saya mendapat banyak pelajaran dari buku ini.

Inilah buku yang mencakup adab-adab seorang muslim selama sehari semalam. Para ulama terdahulu menekankan pentingnya mempelajari adab.

Ibnu Sirin berkata, "Mereka (para shahabat dan tabi'in) mempelajari al-huda (petunjuk permasalahan adab) sebagaimana mereka mempelajari ilmu."
Zakariyya Al-Anbary berkata, "Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu, sedangkan adab tanpa ilmu seperti ruh tanpa jasad.”
Dari Malik bin Anas bahwasanya ibunya berkata kepadanya: "Pergilah ke Rabi'ah lalu pelajarilah adabnya sebelum ilmunya."

Buku saku ini memuat 24 adab atau etika yang seharusnya diamalkan oleh seorang muslim. Adab atau etika tersebut sebagai berikut.

1. Etika tidur dan bangun tidur
2. Etika buang hajat
3. Etika berpakaian dan berhias
4. Etika di jalanan
5. Etika memberi salam
6. Etika meminta izin saat berkunjung ke rumah orang lain
7. Etika bermajelis
8. Etika berbicara
9. Etika berbeda pendapat
10. Etika bercanda
11. Etika bergaul dengan orang lain
12. Etika di masjid
13. Etika membaca Al-Quran
14. Etika berdoa
15. Etika makan dan minum
16. Etika bertamu
17. Etika menjenguk orang sakit
18. Etika menangani jenazah dan takziah
19. Etika safar (bepergian jauh)
20. Etika memberi dan menerima nasehat
21. Etika berkomunikasi lewat telepon
22. Etika pengantin dan pergaulan suami-istri
23. Etika di pasar
24. Etika bertetangga

Saya sering menggunakan materi dalam buku ini untuk disampaikan dalam mentoring atau tausiyah. Materi dalam buku ini disampaikan dalam beberapa poin dengan penjelasan atau dalil yang seperlunya saja. Bahasa yang digunakan komunikatif sehingga mudah dipahami.

Isinya yang ringkas dan padat membuat buku ini mudah dipelajari dan diamalkan. Buku ini layak untuk menjadi teman bagi setiap muslim.

***
Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Senin, 7 April 2014, di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo



Buku: Hilyah Thalibil ‘Ilmi Karya Bakr bin Abdullah Abu Zaid

Buku: Hilyah Thalibil ‘Ilmi Karya Bakr bin Abdullah Abu Zaid


Judul buku : Hilyah Thalibil ‘Ilmi
Penulis : Bakr bin Abdullah Abu Zaid
Judul terjemahan : Hilyah Thalibil ‘Ilmi: Perhiasan Penuntut Ilmu
Penerbit : Al-Qowam
Kota terbit : Surakarta
Tahun terbit : Februari 2014
Jumlah halaman : x + 123 halaman
***

Para penuntut ilmu dan asatidz sering menyebutkan judul buku ini dalam kajian-kajian atau tulisan-tulisan mereka. Dikatakan bahwa buku ini sangat bagus sebagai bekal untuk penuntut ilmu. Saya sangat tertarik untuk memilikinya. Namun, selama beberapa waktu buku ini tidak saya jumpai di rak-rak toko buku.

Pada malam Minggu, saya jalan-jalan ke toko buku Arafah, Cemani. Toko buku langganan. Tak dinyana, buku Hilyah Thalibil ‘Ilmi terpajang pada salah satu meja. Ada setumpuk buku yang berjumlah sekitar sepuluh eksemplar. Pulang pun kubawa satu buku itu. Satu pekan kemudian ketika saya datang ke toko buku itu lagi, setumpuk buku itu sudah tidak ada. Laris ternyata.

Buku yang karya Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid ini, ditulis pada tahun 1408 H. Pada masa itu, kaum muslimin mengalami kebangkitan ilmiah. Para pemuda berbondong-bondong menimba ilmu. Majelis-majelis penuh dengan para thalibil ilmi yang dahaga ilmu. Para penuntut ilmu itu sangat bersemangat dalam menimba ilmu. Untuk mereka dan generasi semisal mereka buku ini ditulis.

Tema buku Hilyah Thalibil ‘Ilmi berkenaan dengan adab-adab umum bagi siapa saja yang menempuh jalan menuntut ilmu syar’i. Sebagaimana para ulama pada masa lalu yang senantiasa mengajarkan adab-adab menuntut ilmu kepada murid-murid di majelis-majelis mereka.

Pembahasan dalam buku ini ringkas dan hanya menampilkan contoh-contoh sederhana. Namun, yang sedikit itu sudah mencakup banyak dan mencukupi.

“Jika diterima oleh jiwa yang tepat,” tulis Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, “niscaya yang sedikit itu akan diterima lantas diperbanyaknya serta apa yang masih umum itu akan diperincinya. Barangsiapa yang melaksanakannya niscaya akan memperoleh sekaligus memberi manfaat.”

Buku Hilyah Thalibil ‘Ilmi terdiri atas tujuh pasal

Pasal Pertama: Adab-adab Diri Penuntut Ilmu
Dalam pasal pertama ini disebutkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu, antaranya senantiasa takut kepada Allah, muraqabah, rendah hati, tidak sombong, qana’ah, zuhud, sopan, menjauhi kemewahan, lemah lembut, serta tekun dan teliti.

Pasal Kedua: Metode Belajar
Dalam pasal ini dijelaskan tahapan dalam menuntut ilmu, jenis buku apa yang harus dipelajari, dan rekomendasi buku-buku yang perlu dipelajari. Dinukilkan beberapa kata mutiara yang sangat bagus:

“Barangsiapa yang tidak menguasai dasar-dasar ilmu dengan baik, pasti gagal meraihnya.”
“Barangsiapa yang menginginkan ilmu sekaligus maka akan ditinggalkan ilmu sekaligus pula.”
“Terlalu banyaknya ilmu yang didengarkan mengacaukan pemahaman.”
Ditekankan pula pentingnya belajar langsung kepada guru. Barangsiapa yang mempelajari ilmu tanpa guru maka ia selesai memepelajarinya tanpa memperoleh ilmu. Ilmu adalah keterampilan, dan setiap keterampilan membutuhkan ahlinya. Untuk mempelajari ilmu dibutuhkan guru yang ahli.

Pasal Ketiga
: Adab Murid kepada Guru
Seorang penuntut ilmu harus mempunyai adab terhadap gurunya agar ilmunya berkah. Pasal ketiga ini menyebutkan beberapa adab penuntut ilmu kepada gurunya. Tak lupa juga disampaikan peringatan tentang belajar dari ahlu bid’ah.

Pasal Keempat
: Adab Bersahabat
Sahabat yang baik akan menularkan adab yang baik. Sebaliknya, sahabat yang buruk akan menularkan adabyang buruk.

Pasal Kelima
: Adab dalam Kehidupan Ilmiah
Pasal kelima menjelaskan beberapa adab dalam kehidupan ilmiah. Di antara adab tersebut ialah motivasi yang tinggi dalam menuntut ilmu, rakus dalam menuntut ilmu, bersandar kepada Allah, menjaga ilmu dengan tulisan, menjaga waktu, diskusi tanpa debat, dan memperdalam pemahaman.

Pada pasal ini saya mendapati nasehat yang berharga, “Ikatlah ilmu dengan tulisan, terutama informasi-informasi menarik dan hal-hal tersembunyi yang terdapat di tempat-tempat yang tak terduga, serta mutiara-mutiara yang berserakan yang kaulihat atau kaudengar sedangkan engkau khawatir melewatkannya.”

Pasal Keenam
: Menghias Diri dengan Amal
Pasal ini menekankan pentingnya mengamalkan ilmu yang telah dipelajari. Disebutkan beberapa tanda ilmu yang bermanfaat. Selain itu, juga disampaikan perlunya mengajarkan ilmu yang telah diperoleh.

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid memberikan nasehat, 

“Tunaikanlah zakat ilmu. Caranya dengan menyampaikan kebenaran, amar ma’ruf nahi munkar, dengan mempertimbangkan antara maslahat dan mudharat, mengajarkan ilmu atas dasar kecintaan memberi manfaat, memanfaatkan jabatan untuk kebaikan, dan memberikan pertolongan kepada kaum muslimin dalam menghadapi berbagai musibah dalam kebenaran dan kebajikan.”

Pasal Ketujuh
: Larangan
Pasal Larangan berisi hal-hal yang harus dijauhi oleh para penuntut ilmu, di antaranya sombong, pamer ilmu, mencela ulama, perdebatan, dan syuhat. Tentang larangan sombong, dinukilkan ungkapan bijaksana berikut ini.

“Ilmu itu memiliki tiga jengkal. Barangsiapa memasuki jengkal pertama, niscaya akan sombong. Barangsiapa yang memasuki jengkal kedua, niscaya akan rendah hati. Dan barangsiapa yang memasuki jengkal ketiga, niscaya akan mengetahui bahwa ia tidak berilmu.”

Sungguh, buku Hilyah Thalibil ‘Ilmi sangat layak untuk dipelajari dan diajarkan dalam majelis-majelis ini. Mempelajari adab sama pentingnya mempelajari ilmu.

Zakariyya Al-Anbary mengatakan, “Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu, sedangkan adab tanpa ilmu seperti ruh tanpa jasad.”
*** 


Sukrisno Santoso
Ditulis pada hari Senin, 7 April 2014, di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo 



Tuesday, February 25, 2014

Gali Semangat dari Kisah-kisah Dahsyat Para Pebisnis Ini! Karya Nisrina Lubis

Gali Semangat dari Kisah-kisah Dahsyat Para Pebisnis Ini! Karya Nisrina Lubis

Judul : Gali Semangat dari Kisah-kisah Dahsyat Para Pebisnis Ini!
Penulis : Nisrina Lubis
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : ke-1, Maret 2010
Tebal : 219 halaman
***

Gali Semangat dari Kisah-kisah Dahsyat Para Pebisnis Ini! 

Satu lagi buku motivasi entrepreneurship. Sesuai dengan judulnya, buku ini berisi kisah-kisah para pebisnis yang sukses. Dikisahkan perjuangan mereka dari nol hingga menjadi pebisnis tingkat nasional. Lengkapnya ada 34 kisah pebisnis dalam buku ini.

Buku ini “hanya” kumpulan kisah, tidak ada tulisan tambahan dari penulis/penyusun. Penulis buku berperan mengumpulkan, menyeleksi, dan menyusun kisah-kisah para pebisnis. Berdasarkan daftar pustaka yang dicantumkan, semua kisah dalam buku ini diambil dari media internet. Bisa dibilang buku ini adalah print out dari artikel-artikel di internet.

Pebisnis yang dianggap sukses dalam buku ini antara lain pendiri facebook, Mark Zuckerberg. Awalnya, Facebook dibuat oleh Mark sebagai media sosial sesama mahasiswa Universitas Harvard. Perkembangan Facebook terbilang cepat. Dalam waktu 4 bulan, Facebook sudah digunakan oleh 30 universitas. Lalu, Facebook pun mendunia. Sang pemilik, Mark Zuckerberg ditetapkan oleh majalah Forbes sebagai milyarder termuda atas usaha sendiri dan bukan karena warisan.

Kisah lainnya yaitu pendiri DIVA Press, Edi Mulyono. DIVA Press merupakan salah satu penerbit buku berskala nasional dengan karyawan lebih dari 100 orang. Saat memulai usahanya, Edi mengaku tidak memiliki modal uang dalam jumlah besar. Yang ada hanyalah modal kepercayaan dari teman dan relasinya. Banyak pemilik percetakan di Jogja yang mau memberikan kepercayaan kepadanya untuk memproduksi buku-buku dengan sistem pembayaran di belakang.

Buku ini juga menampilkan kisah kesuksesan perusahaan Sido Muncul. Sido Muncul yang dipimpin Irwan hidayat berhasil memasyarakatkan jamu sebagai minuman kesehatan. Dan masih banyak kisah-kisah kesuksesan yang lain.

Membaca buku ini dapat meningkatkan motivasi diri dalam bidang entrepreneurship. Membaca kisah-kisah orang sukses membuat kita ingin meniru kesuksesan mereka.

Para pebisnis dalam buku ini memang tidak dikisahkan secara mendalam atau detail. Satu orang dikisahkan rata-rata 5 halaman. Hal ini tidak cukup untuk mengupas kisah perjuangan para pebisnis sukses tersebut. Bagaimanapun juga, melalui kisah-kisah kesuksesan yang disampaikannya, buku ini memberikan sumbangan motivasi bagi para entreprenuer.

***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 26 Februari 2014



Saturday, February 22, 2014

Drama: Sultan Alam Akbar Al-Fattah

 
Kerajaan Majapahit berada di ambang kehancuran. Keadaan pemerintahan kacau balau. Para pejabat kerajaan saling berebut kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil terbengkalai. Sebagai kerajaan yang pernah berjaya, Majapahit berada pada titik kebobrokan.

Saat itulah fajar merekah dari alas Glagahwangi. Tampillah sang pemuda yang menyampaikan risalah Nabi. Menyebarkan agama dengan kitab suci. Luhur dan mulia dalam budi pekerti. Pemuda itu tak lain ialah salah seorang putra raja Majapahit Brawijaya Kertabumi yang bernama Raden Fatah.

Raden Fatah adalah seorang putra raja dari selir yang tinggal di Palembang. Saat dewasa, ia melakukan perjalanan ke Pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Bersama saudara tirinya, yaitu Raden Husein, mereka berguru kepada Sunan Ngampel.


BABAK 1
ILIR-ILIR DI NGAMPEL DENTA

 

Raden Patah dan Raden Husein menjadi santri di pesantren yang diasuh oleh Sunan Ngampel. Setelah beberapa lama menjadi santri, kedua pemuda itu tumbuh menjadi pemuda yang pemberani, berakhlak mulia, dan bercita-cita tinggi.

(Di pendhapa masjid pesantren, Sunan Ngampel berkumpul bersama para santri. Mereka menyenandungkan lelagon Ilir-ilir bersama-sama.)

Sunan Ngampel:
Anakmas Fatah, Anakmas Husein.

Raden Fatah:
Kula, Kanjeng Sunan.

Raden Husein:
Kula, Kanjeng Sunan.

Sunan Ngampel:
Kalian berdua adalah keturunan Penguasa Palembang. Jauh-jauh dari seberang sana kalian ke sini untuk menuntut ilmu. Sudah lama kalian menimba ilmu di sini. Saat ini kalian sudah cukup bekal untuk melanjutkan perjalanan menggapai cita-cita kalian.

Raden Fatah:
Beribu terima kasih kami ucapkan kepada Kanjeng Sunan atas bimbingan selama ini. Saya sendiri ingin selalu menyertai Kanjeng Sunan, untuk ngabekti, untuk belajar agama kepada Kanjeng Sunan dan membantu sebisa saya.

Sunan Ngampel:
Hmmm... Niatmu sungguh mulia, Anakmas Fatah. Saya senang mendengarnya. Tapi, apa yang menjadi cita-citamu sendiri, Anakmas?

Raden Fatah:
Saya bercita-cita menyebarkan agama Islam ke seluruh Pulau Jawa. Pulau Jawa ini hendaknya menjadi pusat penyebaran ajaran Islam. Hingga nanti wilayah-wilayah di seberang lautan juga ikut menikmati indahnya ajaran Islam, Kanjeng Sunan.

Sunan Ngampel:
Masya Allah. Sungguh teramat tinggi cita-citamu. Saya sangat mendukungmu, Anakmas Fatah. Anakmas Husein, bagaimana denganmu?

Raden Husein:
Saya senang tinggal di sini, Kanjeng Sunan. Saya ikut dengan Kakangmas Fatah.

Sunan Ngampel: 

Bagus. Tapi, saya mendengar kamu ingin nyuwita, ingin sowan kepada Raja Kertabumi, penguasa Majapahit.

Raden Husein:
Inggih, Kanjeng Sunan. Bagaimanapun juga, di dalam darah saya mengalir darah Majapahit, Kanjeng Sunan.

Sunan Ngampel:
Baiklah. Kalian sudah waktunya untuk melangkah. Anakmas Fatah, kamu saya tugaskan untuk membuka pesantren baru agar cita-citamu untuk menyebarkan ajaran Islam di seluruh Pulau Jawa tercapai. Tapi, sebelum itu kamu harus sowan kepada rama-mu, Prabu Kertabumi.

Raden Fatah:
Sami’na wa atho’na, Kanjeng Sunan.

Sunan Ngampel:

Anakmas Husein, kamu berbakat dalam tata keprajuritan dan tatanegara. Kamu sowan-lah kepada Prabu Kertabumi. Sampaikanlah ajaran Islam kepada segenap rakyat Majapahit.

Raden Husein:
Sami’na wa atho’na, Kanjeng Sunan.


 

BABAK 2
PERSIAPAN PEPERANGAN MELAWAN GIRINDRAWARDHANA


Raden Fatah dan Raden Husein menghadap Prabu Kertabumi. Raden Husein diangkat menjadi Adipati Terung. Raden Fatah yang memang berniat mendirikan pesantren diberi wilayah di alas Glagahwangi. Bersama pengikutnya, Raden Fatah melakukan babat alas Glagahwangi. Di sana didirikanlah pesantren yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah. Dari jumlah penduduknya yang hanya puluhan hingga akhirnya mencapai ratusan hingga ribuan.

Tahun 1478 M, Girindrawardhana (Dyah Ranawijaya) menyerang Majapahit. Kondisi Majapahit yang memang sedang lemah, dengan mudah ditaklukkan oleh Girindrawardhana. Prabu Kertabumi tewas dalam penyerbuan tersebut. Majapahit dikuasai oleh Girindrawardhana.

Jatuhnya Majapahit menggerakkan hati Raden Fatah. Sekaranglah saatnya. Sekaranglah saat untuk mengambil kepemimpinan di tanah Jawa. Dengan restu para Sunan, Raden Fatah memberangkatkan pasukan Islam untuk menyerang Girindrawardhana.

(Raden Fatah berdiri di hadapan penduduk Glagahwangi. Di antara mereka ada para prajurit, petani, pedagang, juga ibu-ibu. Semangat mereka terbakar oleh seruan pemimpin mereka, Raden Fatah.)

Raden Fatah:
Wahai segenap penduduk Glagahwangi. Majapahit telah jatuh di tangan Girindrawardhana. Ayahanda, Prabu Kertabumi telah mangkat. Kita sudah sekian lama membentuk diri menjadi sebuah kelompok, sebuah pedukuhan, sebuah jamaah yang memikul beban risalah Islam. Sudah saatnya kita menunjukkan kekuatan. Bukan kekuatan fisik, bukan kekuatan senjata, tetapi kekuatan iman kita.

Prajurit 1:
Segenap prajurit siap berdiri di garis depan, Kanjeng Gusti.

Raden Fatah:
Bagus sekali. Akan tetapi, ketahuilah, kita membutuhkan segenap kekuatan yang ada. Diharapkan semua penduduk Glagahwangi, prajurit, petani, pedagang, yang tidak mempunyai udzur, untuk berangkat menyerang Girindrawardhana.

Petani 1:
Kula siap mangkat, Kanjeng Gusti.

Petani 2:
Weh, aku yo melu no! Ngko tak gawakne pohong karo telo nggo sangu.

Pedagang 1:
Kula juga ikut, Kanjeng Gusti. Saya akan menyiapkan kuda-kuda yang terbaik.

Raden Fatah:
Siap berangkat? Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar...

(Pariyem dan Poniyem bersama ibu-ibu yang lain berjalan di belakang. Mereka ikut rombongan perang)


Pariyem:
Eh, Mbak Yem, kamu ikut perang kenapa?

Poniyem:
Lha, iya. Kita harus ikut juga. Lha siapa nanti yang menyediakan makan untuk mereka siapa? Kalau tidak ada yang menyiapkan makan, ketika perang mereka mulai lapar bagaimana, hayo?

Pariyem:
Iyo, yo. Aku juga tahu sedikit obat-obatan. Nanti bisa mengobati yang terluka.

Poniyem:
Lagipula bojoku juga ikut perang. Aku wegah ditinggal di rumah.

Pariyem:
Cie...cie...

Poniyem:
Yo uwis, ayo cepet-cepet, ndak ditinggal.


BABAK 3
PEPERANGAN MELAWAN GIRINDRAWARDHANA


Pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Fatah menyerang Girindrawardhana. Peperangan berjalan sengit. Segenap rakyat tanah Jawa yang sudah memeluk agama Islam bergabung bersama pasukan Raden Fatah. Peperangan dimenangkan oleh Raden Fatah.

(Prajurit Girindrawardhana berperang melawan prajurit Raden Fatah. Pedang melawan cangkul, tombak melawan sabit. Keris melawan kenthongan.)


BABAK 4

PELANTIKAN RADEN FATAH MENJADI SULTAN DEMAK
(Raden Fatah duduk di kursi. Para Sunan duduk mengelilingi Raden Fatah. Para kawula duduk di depan. Sunan Ngampel membawa mahkota sultan.)

Sunan Ngampel:
Wahai, rakyat sekalian. Perhatikanlah. Hari ini, atas musyawarah dan kesepakatan waliyul amri, dewan para wali yang terdiri dari beberapa Sunan, kami mendirikan kasultanan untuk menjamin kelangsungan penyebaran ajaran Islam dan menjamin kesejahteraan rakyat. Kasultanan ini bernama Kasultanan Demak dengan ibukota di Bintoro.

Rakyat:
Allahu akbar ...

Sunan Ngampel:
Raden Fatah, atas berkah Allah Ingkang Maha Agung, apa yang dahulu Raden cita-citakan akhirnya tercapai. Raden Fatah, jadilah panatagama lan panatapraja. Ahli agama dan juga pemimpin. Laksankanlah amanah kepemimpinan ini dengan baik.

Raden Fatah:
Inggih, Kanjeng Sunan. Kula nyuwun bimbingan dari Kanjeng Sunan dan para Sunan yang lain.

Sunan Ngampel:
Dengan ini, secara resmi kami lantik Raden Fatah menjadi Sultan Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah.

Rakyat:

Allahu akbar ...

***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 19 Desember 2013
 

 ---
*Drama ini dipentaskan oleh Tim Teater SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo pada Acara Seminar Parenting - Peringatan Milad Yapendais Mutiara Insan Sukoharjo ke-20, tanggal 5 Januari 2014


Drama: Asal-Usul Kota Sukoharjo


BABAK I
 

Narator
Tersebutlah kisah bahwa Sri Susuhunan Paku Buwono II ingin memindahkah keraton dari Kartasura. Setelah bermusyawarah dengan para sesepuh, akhirnya Sri Susuhunan Paku Buwono II memerintahkan Pangeran Wijil untuk mencari daerah baru yang cocok dijadikan lokasi keraton.

(Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso, dan Tumenggung Tirtawiguna duduk takzim di pasowanan. Sri Susuhunan Paku Buwono II datang bersama Kyai Tohjaya dan Kyai Yosodipura. Mereka diiringi dua dayang yang membawa kipas. Sri Susuhunan Paku Buwono II duduk di kursi, sedangkan kedua dayang berdiri di samping kiri kanan mengipasi Sang Sultan. Kyai Tohjaya dan Kyai Yosodipura duduk di sebelah kanan kiri Sri Susuhunan.)

Sri Susuhunan: 

Hai, Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso, dan Tumenggung Tirtawiguna. Kalian ingsun hadapkan kemari karena ingsun mau memberikan tugas kepada kalian.

Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso, dan Tirtawiguna: 

Sendika dhawuh, Gusti!

Sri Susuhunan: 

Pangeran Wijil, ingsun bersama para sesepuh sudah sepakat untuk memindahkan keraton kita di Kartasura ini karena keraton kita ini sedang ada kisruh. Demikian to, Kyai Tohjaya?

Kyai Tohjaya: 

Inggih, Kanjeng Gusti!

Sri Susuhunan: 

Menurut ingsun, tempat yang baru itu haruslah sukoraharjo, yaitu tempat yang bisa membuat rakyat kita semakin sejahtera. Demikian to, Kyai Yosodipura?

Kyai Tohjaya: 

Inggih, Gusti! Suko itu artinya papan panggenan, tempat. Raharjo artinya kesejahteraan.

Sri Susuhunan: 

Yang bisa mengemban tugas berat ini adalah kamu, Pangeran Wijil, bersama kedua Tumenggung andalanmu ini. Pangeran Wijil, segera laksanakan tugas dan segera laporkan hasilnya!

Pangeran Wijil:

Inggih, Gusti Susuhunan!

Sri Susuhunan: 

Baiklah, sudah cukup ingsun memberikan tugas. Laksanakan dengan sebaik-baiknya!


BABAK II

Narator:

Sebagai seorang ksatria atau prajurit, Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso, dan Tumenggung Tirtawiguna segera melaksanakan tugas. Mereka berjalan mencari daerah baru hingga sampailah di tepi sungai Bengawan Solo. Sungai Bengawan Solo sedang banjir sehingga mereka tidak bisa menyeberangi sungai untuk meneruskan perjalanan.

(Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso, dan Tumenggung Tirtawiguna berjalan beriringan. Di depan ada Sungai Bengawan Solo yang sedang meluap airnya sehingga mereka berhenti.)

Pangeran Wijil: 

We, lhadalah.... Kepiye iki, Tumenggung! Bengawan Solo banjir. Kita tidak bisa menyeberanginya.

T. Honggowongso:

Iya, Pangeran. Bengawan Solo banjir. Padahal, kita harus menyeberang ke sana untuk survei tempat. Bagaimana ini, Pangeran?

Pangeran Wijil: 

Wah... Lha kalau begini apa kita harus menunggu banjirnya surut? Ada usul, Tumenggung Tirtawiguna?

T. Tirtawiguna: 

Tenang, Pangeran. Sekarang ini kan jaman sudah maju. Untuk survei tempat ke sana kita tidak perlu harus menyeberang sungai.

T. Honggowongso: 

Bagaimana caranya?

T. Tirtawiguna: 

Kita melihat peta saja. Dengan melihat peta kita nanti bisa tahu daerah mana yang cocok untuk tempat keraton yang baru.

Pangeran Wijil: 

Peta? Kamu membawa peta, Tumenggung?

T. Tirtawiguna: 

Lha, itu dia... Tidak!

T. Honggowongso: 

Halah... kamu ini, bagaimana, to?

T. Tirtawiguna: 

Sebentar... sebentar... sebentar... Tenang saja!
Saya ambilkan dulu peralatan saya.

(Tumenggung Tirtawiguna merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan tablet)
T. Tirtawiguna: 

Lha, ini dia! (sambil mengangkat tablet)

Pangeran Wijil: 

Lho..lho...lho... Apa ini, Tumenggung?

T. Tirtawiguna: 

Ini namanya tablet, Pangeran. Ini produk terbaru. Merk terkenal. Merk-nya GAPLE.

T. Honggowongso: 

Woah, bagus banget, ya! Trus, fungsinya untuk apa?

T. Tirtawiguna: 

Woalah, kamu ini ndeso. Ketinggalan jaman. Di dalam tablet ini ada petanya. Coba lihat ini. (Mengoperasikan tablet dengan menyentuh layarnya.)

T. Honggowongso:

 Iya..ya... ada petanya.

T. Tirtawiguna:

Ini yang meliuk-liuk seperti ular ini Sungai Bengawan Solo. Berarti kita di sini. Di seberang sana ada daerah yang luas, yang akan kita survei tadi.

Pangeran Wijil: 

Iya, ini daerah yang luas ini cocok untuk keraton kita. Di sini untuk alun-alunnya. Sini alun-alun utara, sini alun-alun selatan.

T. Honggowongso: 

Oh, iya. Berarti kalau di situ alun-alunnya, tempat untuk para istri raja di sini.

T. Tirtawiguna: 

Iya, benar! Di situ cocok untuk tempat para selir. Nanti kita namakan Seliran. Lha, tempat untuk membuat senjata di mana?

Pangeran Wijil:

Tempat untuk membuat senjata di daerah utara saja. Nanti kita tempat para pande (empu yang membuat senjata) di daerah situ.

T. Honggowongso: 

Nanti daerahnya kita namakan Pandean. Berarti yang sebelah Timur sini, cocoknya untuk para mranggi (empu yang membuat keris).

Pangeran Wijil: 

Tempatnya kita namakan Mranggen.

T. Tirtawiguna: 

Cucok, Pangeran. Sri Susuhunan kan punya ingon-ingon gajah. Kita tempatkan di mana?

Pangeran Wijil: 

Ingon-ingon gajah kita tempatkan di sebelah Selatan. Nanti kita namakan Begajah.

T. Honggowongso: 

Berarti tugas kita sudah beres, Pengeran.

Pangeran Wijil: 

Iya, kalau begitu sekarang kita melapor kepada Sri Susuhunan.


BABAK III
 

Narator: 
Setelah selesai menjalankan tugas, yaitu mendapatkan daerah baru untuk lokasi keraton, Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso, dan Tumenggung Tirtawiguna menghadap Sri Susuhunan Paku Buwono II untuk melaporkan tugas.

(Sri Susuhunan Paku Buwono II datang bersama Kyai Tohjaya dan Kyai Yosodipura. Mereka diiringi dua dayang yang membawa kipas. Sri Susuhunan Paku Buwono II duduk di kursi, sedangkan kedua dayang berdiri di samping kiri kanan mengipasi Sang Sultan. Kyai Tohjaya dan Kyai Yosodipura duduk di sebelah kanan kiri Sri Susuhunan. Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso, dan Tumenggung Tirtawiguna datang, kemudian menghadap Sri Susuhunan)

Pangeran Wijil: 

Lapor, Gusti! Tugas yang Gusti Susuhunan amanahkan sudah kami laksanakan.

Sri Susuhunan: 

Bagaimana hasilnya, Pangeran Wijil?

Pangeran Wijil: 

Kami sudah mendapatkan sukoraharjo, yaitu tempat yang mendatangkan kesejahteraan. Kami sudah mendapatkan lokasi untuk bangunan keraton, dan alun-alun. Untuk para selir di sebelah Barat, nanti kita namakan Seliran.Untuk para pembuat senjata (pande) di sebelah Utara, nanti kita namakan Pandean. Untuk para pembuat keris (mranggi) di sebelah Timur, nanti kita namakan Mranggen.

Sri Susuhunan: 

Bagus, Pangeran Wijil. Kamu bersama kedua tumenggung sudah melaksanakan tugas dengan baik.
(Menoleh kepada Kyai Tohjaya)
Bagaimana menurutmu, Kyai Tohjaya?

Kyai Tohjaya: 

Tempat yang diusulkan oleh Pangeran Wijil memang tepat, Gusti. Saya setuju.

Sri Susuhunan: 

Bagaimana dengan pendapatmu, Kyai Yosodipuro?

Kyai Yosodipuro: 

Saya juga setuju bahwa tempat yang diusulkan Pangeran Wijil adalah tempat yang raharjo, yang sejahtera. Akan tetapi, Gusti. Tempat tersebut dekat dengan wilayah Pangeran Sambernyawa. Padahal, hubungan keraton kita dengan Pangeran Sambernyawa saat ini sedang tidak baik. Saya khawatir, tempat itu nanti akan mudah diserang, Gusti.

Sri Susuhunan: 

Benarkah seperti itu, Kyai?

Kyai Yosodipuro: 

Benar, Gusti!

Sri Susuhunan: 

Hemm... hemm... (berpikir sejenak)
Kamu benar, Kyai Yosodipuro. Tempat itu memang kurang baik dari segi keamanan. Kalau begitu, kita pilih saja tempat yang berada di sebelah utara Bengawan Solo.

Kyai Yosodipuro: 

Keputusan ada di tangan, Gusti.

Sri Susuhunan: 

Baiklah, ingsun putuskan bahwa keraton kita akan kita pindah di sebelah utara Bengawan Solo. Kamu, Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso, dan Tumenggung Tirtawiguna, jangan berkecil hati karena usulan kalian tidak kita setujui.

Pangeran Wijil: 

Kami sendika dhawuh, Gusti!

Sri Susuhunan: 

Meskipun begitu, ingsun sangat senang karena kalian sudah melaksanakan tugas dengan baik. Karena memang itulah tugas kalian sebagai ksatria. Dan jangan kecewa dengan keputusan ingsun. Karena keputusan ingsun tidak bisa diganggu gugat.

T. Honggowongso:

Kami tidak akan kecewa, Gusti. Kami sebagai prajurit hanya sami’na wa atho’na. Kami mendengar dan kami taat terhadap perintah, Gusti.

Sri Susuhunan:

 Bagus, bagus! Kalau begitu, cukup sekian pertemuan kali ini.

(Sri Susuhunan keluar diikuti oleh Kyai Yosodipuro dan Kyai Tohjaya serta para dayang.)

 

Narator: 
Demikianlah asal-usul penamaan Sukoharjo yang berasal dari kata sukoraharjo. Sukoraharjo berarti tempat yang mendatangkan kesejahteraan atau kemakmuran. Sukoharjo Makmur. Walaupun dalam cerita sejarah maupun babad tidak pernah disebutkan kisah asal usul Sukoharjo, namun kisah ini tetap bisa dirunut dari penuturan mulut ke mulut.

Kisah tadi mengandung nilai pendidikan karakter yaitu nilai bertanggung jawab. Sebagaimana ditunjukkan oleh Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso, dan Tumenggung Tirtawiguna yang telah menjalankan tugas dengan baik.

Kisah tadi juga mengandung nilai pendidikan karakter yaitu taat kepada pimpinan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Pangeran Wijil, Tumenggung Honggowongso, dan Tumenggung Tirtawiguna yang telah menerima keputusan Sri Susuhunan. Mereka tsiqah / percaya penuh terhadap keputusan pemimpin. Mereka tidak merasa kecewa meskipun usulan mereka tidak diterima serta

--- SELESAI --- 



***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 3 Oktober 2013

---
*Drama ini dipentaskan oleh Tim Teater SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo pada Acara Gerak Jalan dan Bakti Sosial - Peringatan Milad Yapendais Mutiara Insan Sukoharjo ke-20, tanggal 10 November 2014
Para Pemain Pentas Drama Asal-Usul Sukoharjo



Friday, February 21, 2014

Gado-Gado Kerikil Jokowi Karya Anas Syahirul A.

Gado-Gado Kerikil Jokowi Karya Anas Syahirul A.

Judul : Gado-Gado Kerikil Jokowi  

Penulis : Anas Syahirul A, dkk
Penerbit : Galang Press
Cetakan : ke-3, 2013
Tebal : 196 halaman

***
Sore yang mendung itu saya jalan-jalan ke Pameran Buku di Kartasura. Pulang membawa satu buku berjudul Gado-Gado Kerikil Jokowi. Dalam satu malam, lembaran-lembaran buku itu tandas saya lahap. Saya bukan Jokowi lover, bukan pula masuk dalam tim pendukungnya. Saya hanya orang yang suka membaca kisah orang-orang yang mempunyai prestasi.

Gado-Gado Kerikil Jokowi merupakan kumpulan karya jurnalistik para wartawan di Solo. Tulisan di dalamnya tidak berisi pujian saja, tapi apa adanya. Kadang malah memuat pendapat mereka yang kontra pada kebijakan Jokowi.

Jokowi. Wong ndesa yang sekarang jadi orang nomor 1 di Jakarta ini selalu menarik untuk diperbincangkan. Lha wong, setiap geraknya selalu masuk berita. Tubuh cengkring-nya sering terpajang di media massa. Bahkan, posenya yang sedang duduk melongok saluran air pun -pose yang nggak ada gayanya- juga terpasang besar di koran.

Si tukang kayu dari Solo ini memang fenomenal. Terlepas dari segala dukungan kepadanya, keberhasilan Jokowi menjadi Gurbernur Jakarta merupakan prestasi yang luar baisa. Dan memang, gebrakan-gebrakan Jokowi sering menarik minat masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra.

Buku Gado-Gado Kerikil Jokowi memberikan gambaran tentang masa kecil Jokowi, perjuangannya dalam usaha mebel, dan kisah-kisah menarik seputar kehidupannya. Buku ini memuat tujuh bab.

1. Jokowi Kecil, Jadi Bos Mebel
Jokowi lahir dari pasangan Noto Miharjo - Sujiatmi. Kehidupan Jokowi kecil adalah kehidupan yang susah. Tempat tinggalnya yang di bantaran sungai sering berpindah-pindah karena selalu digusur. Bakat jualan kayu turun dari ayahnya yang pekerjaannya menjual kayu gergajian.

"Jangan membayangkan bapak saya itu pengusaha kayu besar, kecil saja usahanya karena cuma penjual kayu gergajian," kata Jokowi.

Sebelum menjadi pejabat publik, Jokowi adalah seorang pengusaha mebel yang sukses. Ia memiliki beberapa pabrik untuk produksi mebelnya. Ia sudah mengekspor produknya ke berbagai negara.

Sejak kecil Jokowi mempunyai sikap optimis. "Sejak dulu," kata Jokowi," saya orangnya sangat optimis, karena untuk memulai sesuatu modalnya hanya itu, saya harus menyertainya dengan kerja keras dan doa.

2. Memimpin Solo dengan Filosofi Rocker

Di awal pemerintahannya, Jokowi memecat tiga pegawainya karena dianggap menghambat programnya dalam peningkatan pelayanan masyarakat. Peningkatan pelayanan masyarakat menjadi perhatian Jokowi karena selama ini mengurus surat-surat perijinan terkesan sulit dan berbelit-belit.

"Kalau bisa cepat, ngapain diperlambat. Kalau bisa mudah, ngapain dipersulit. Jangan membolak-balikkan logika yang nggak bener," kata Jokowi.
 

Gaya kepemimpinannya, ia ibaratkan seperti musik rock, "Ya, mirip-mirip musik rock gitulah kalau anak muda. Yang tegas dan cepat dalam bekerja."

3. Jokowi Menggebrak, Jokowi Melambung
Jokowi memang membuat banyak gebrakan. Salah satunya ialah gebrakan KTP satu jam. Proses perpanjangan KTP dilayani kantor pemerintahan maksimal satu jam. Padahal, sebelumnya membutuhkan waktu 2-3 minggu. Demikian juga dalam pelayanan proses perijinan. Ijin mendirikan bangunan yang sebelumnya membutuhkan waktu 60 hari digebrak menjadi maksimal 6 hari. Ijin usaha yang sebelumnya membutuhkan waktu 30 hari juga digebrak menjadi maksimal 6 hari.

Kecepatan layanan perijinan ini terprogram dalam pelayanan satu atap (one stop service). Pelayanan perijinan yang efektif dan efisien diharapkan dapat menarik minat investor. Imbasnya, secara tidak langsung, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Semakin banyak uang yang beredar maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Ini teori dasar yang kadang tidak dipahami," ujar Jokowi.

Prestasi Jokowi lainnya yaitu pemindahan PKL dari Banjarsari ke pasar klithikan Semanggi. Proses pemindahan PKL berjalan mulus tanpa keterpaksaan dan kekerasan. Jokowi juga berhasil mem-branding kota Solo sebagai kota budaya. Event-event berskala nasional dan internasional yang diadakan di kota Solo menarik perhatian publik dalam dan luar negeri.

4. Genderang Antisuap, Perselisihan Politis, dan Membersihkan Cap Negatif Politisi
Terpilihnya Jokowi menjadi Walikota Solo pada tahun 2005, dianggapnya sebagai "kecelakaan". Ia bukan kader partai, bukan pula tokoh publik yang banyak dikenal masyarakat. Ia hanya seorang "tukang kayu".

Selama menjadi walikota, banyak tawaran uang pelicin yang berseliweran. Namun, semua itu ditolaknya mentah-mentah karena Jokowi benar-benar ingin membangun kota Solo dan masyarakat Solo agar menjadi lebih baik.

Sebagai walikota yang pernah dikatakan sebagai "walikota goblok" oleh atasannya, Jokowi berusaha meningkatkan kesehteraan masyarakat dengan membatasi pembangunan supermarket dan mall-mall. Program revitalisasi pasar tradisional digulirkan. Setidaknya ada dua pasar tradisional yang direvitalisasi setiap tahun. Sekarang ini pasar yang sudah direvitalisasi sudah menjadi tempat yang nyaman untuk berbelanja.
 

Jualan baju kotak-kotak untuk membiayai kampanye menuju DKI-1, membuat Jokowi kembali menjadi sorotan media. Padahal, baju kotak-kotak yang dipakai Jokowi untuk mendaftar di KPUD Jakarta, dibelikan oleh ajudannya di Pasar Tanah Abang. Karena dirasa klop dan sesuai dengan filosofinya, muncullah ide jualan baju kotak-kotak tersebut.

5. Kaya Hati Tak Birahi Materi
Percaya atau tidak, selama menjabat sebagai walikota, Jokowi tidak pernah mengambil gajinya. Lha wong penghasilannya sebagai pengusaha kayu sudah membuatnya kaya. Namun, kekayaan yang dimilikinya tidak membuatnya berhura-hura. Budaya yang mengalir dalam keluarganya adalah kesederhanaan.

Mobil dinasnya hanya Toyota Camry yang dibeli tahun 2002 yang terkadang suka mogok di jalan. "Saya tidak birahi soal gaji, saya tidak birahi soal mobil dinas," kata Jokowi.

6. Gado-gado Kerikil Jokowi
Selama dalam kepemimpinannya, kondisi Solo cenderung kondusif. Namun, bukan berarti tak ada kericuhan yang terjadi. Beberapa kerusuhan yang terjadi di Solo di antaranya kasus peledakan bom dan bentrok antara ormas dengan warga. Kericuhan-kericuhan yang terjadi di kota Solo diselesaikan oleh Jokowi dengan komunikasi yang internsif dengan pihak-pihak terkait.

7. Para Inspirator Jokowi
Sosok yang menjadi inspirator Jokowi adalah Bung Karno dan Paku Buwono X.
"Saya memang pengagum Bung Karno. Saya tak bisa menyampaikan satu per satu alasannya, karena akan terlalu banyak yang saya ceritakan. Bung Karno itu sosok visioner. Beliau sudah menyiapkan perencanaan jauh ke depan sebelum orang mampu memikirkan itu."

"Saya memang membaca literatur tentang PB X. Termasuk tokoh yang saya kagumi, selain Bung Karno. Di zamannya, justru Solo sudah mengalami banyak kemajuan. Saya juga banyak belajar dari situ."
Pada zaman PB X, kota Solo dikenal memiliki taman paling bagus se-Asia Tenggara.

Satu lagi sosok yang membentuk pribadi Jokowi, yaitu Sujiatmi, wanita yang telah melahirkan dan mendidiknya. Di tengah kesibukannya, Jokowi selalu menyempatkan sowan kepada ibunya.

"Sesibuk apapun," kata Sujiatmi, "rata-rata sepekan sekali Joko ke sini. Untuk memutuskan sesuatu yang penting, biasanya ia minta restu ke ibunya ini."

Buku Gado-Gado Kerikil Jokowi terasa renyah dibaca. Ringan dan apa adanya. Bahasanya mudah dipahami karena ditulis dengan bahasa jurnalistik yang komunikatif. Kelemahan buku ini yaitu adanya beberapa informasi yang diulang. Hal ini maklum terjadi karena buku ini adalah "hasil keroyokan" beberapa penulis.
Demikian.


***
Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 2 Februari 2014