Jujur saja, aku takpernah membayangkan bakal jatuh cinta dengan Galuh, salah satu akuntan di kantor tempatku bekerja. Aku bertemu dengannya baru beberapa kali. Dan selama ini tak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama.
Wajah Galuh yang semanis gula-gula itu mulai membayangi pikiranku setelah atasanku, Pak Zaenal, menawarkan seorang gadis untuk dijadikan pendamping hidupku.
“Selain cantik, dia juga baik. Sepertinya kalian berdua cocok. Bagaimana?” tanya atasanku yang berkumis lebat itu, suatu kali saat makan siang.
“Siapa dia, Bos?” Aku biasa memanggil atasanku dengan sebutan Bos.
“Namanya Galuh. Galuh Paramita, akuntan bagian pemasaran.”
“Galuh Paramita? Aku pernah melihatnya beberapa kali. Dia memang cantik Bos, tapi aku tidak mempunyai perasaan apa-apa kepadanya.”
Kemudian terbayang wajah gadis berparas ayu dengan jilbab ungunya yang melambai. Senyumnya yang manis. Pandangan matanya yang berbinar.
“Kalau kau mau, sekali waktu aku akan mempertemukanmu dengannya. Biar kau bisa menimbang, apakah dia cocok kau jadikan istri atau tidak,” tambah bosku dengan sinar mata sungguh-sungguh.
***
Pertama kali bertemu dengannya adalah saat aku fotokopi berkas laporan. Dia terlihat gagah meskipun wajahnya tampak lugu. Pakaiannya berkesan sederhana. Beberapa kali bertemu dengannya, ia memberikan senyum yang menyenangkan. Sekalipun aku belum pernah berbicara dengannya, hanya sempat bertukar senyum saat bertemu di jalan.
Aku tahu namanya saat Paman Zaenal menawariku untuk bertemu dengan seorang laki-laki di kantor –yang kata pamanku dia cocok menjadi suamiku. Awalnya aku takut. Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang belum aku kenal. Pamanku memang ada-ada saja. Paman berniat menjadi comblangku. Aku bertanya-tanya siapa yang paman tawarkan padaku. Kemudian sedikit terlintas bayangan laki-laki berpenampilan sederhana dengan senyumnya yang bersahaja itu. Ah, mungkin aku terlalu berharap.
Namanya Bagus. Aku bersama pamanku bertemu dengannya seusai jam kerja kantor di sebuah rumah makan. Dan aku jatuh cinta padanya. Oh, jatuh cinta. Sejak kapan? Sepertinya sejak pandangan pertama.
***
Aku jatuh cinta padanya. Entah mengapa aku jatuh cinta padanya. Sejak bertemu di rumah makan, wajahnya selalu hadir dalam mimpiku. Bahkan dalam keadaan terjaga pun seolah-olah ia hadir menawarkan senyum manisnya itu.
Aku dan Galuh sudah sepakat untuk mengikat hati. Aku akan segera memberitahukan kepada orang tuaku tentang keinginanku untuk menyunting Galuh. Begitu juga, Galuh akan memberitahukan kesepakatan kami kepada orang tuanya di Bandung.
Saat cuti akhir tahun, aku pulang ke kampung halaman. Hijaunya kebun teh yang terhampar luas menyambut kepulanganku. Di kampung halamanku, Karanganyar, memang banyak ditemui kebun teh. Selalu ada kebahagiaan saat kembali ke kampung halaman. Kedatanganku disambut dengan suka cita oleh keluargaku. Oleh-oleh pun berhamburan dari dalam tasku untuk menyenangkan hati mereka.
Suatu malam saat gerimis, aku menghampiri bapakku yang duduk termenung menatap halaman rumah yang remang-remang.
“Bapak,” sapaku dengan suara pelan.
“Iya, Le? Belum tidur?” kata bapakku sambil mengepulkan asap rokok dari bibirnya.
Terasa berat saat akan mengungkapkan keinginanku untuk menikahi Galuh. Dengan terbata-bata dan jantung yang berdetak kencang akhirnya aku sanggup mengucapkannya. Aku ceritakan semua tentang Galuh. Pekerjaan yang lebih berat adalah menunggu jawaban dari bapak.
“Kau tadi bilang dia rumahnya mana, Le?” tanya bapakku.
“Bandung, Pak,” jawabku dengan hati yang tidak tenang.
Bapakku diam sejenak. Setelah dua kali mengisap rokok, beliau berkata, “Apa kamu benar-benar sudah mantap dengannya?”
“Sudah, Pak,” jawabku.
“Kalau bapak tidak setuju bagaimana, Le?”
Aku terdiam. Terasa berdesir dadaku mendengarnya. Kemudian bapak bangkit dari duduknya dan melangkah masuk ke dalam rumah. Aku terbengong di halaman rumah. Menatap butir-butir air hujan. Menatap daun-daun teh yang basah. Menatap udara yang gelap.
Mengapa?
***
“Alasannya apa, Pak?” tanyaku dengan bergetar.
Mataku terasa panas. Ada sesuatu yang terasa hangat keluar membasahi pipiku. Ibuku hanya duduk diam sambil memegang cangkir tehnya tanpa sekalipun diminum.
“Galuh, anakku, ayah mau cerita. Dahulu kala, di Sunda ini ada sebuah kerajaan yang merdeka. Yang mempunyai kedaulatan dan kekuasaan. Kerajaan yang kuat dengan raja yang bijaksana sehingga rakyatnya pun hidup makmur.”
Aku mendengarkan cerita ayahku dengan menunduk.
“Suatu kali,” lanjut ayahku, “ada seorang berhati rakus dari kerajaan Jawa berniat menghancurkan kedaulatan kerajaan itu. Dengan rencana liciknya ia mengkhianati perjanjian antara dua kerajaan. Rencana pernikahan antara raja Jawa dan putri dari kerajaan Sunda itu berakhir mengecewakan. Orang rakus itu menghendaki kerajaan Sunda menjadi daerah taklukan. Padahal, sesuai perjanjian mestinya dua kerajaan itu berkedudukan sama, tidak ada yang di atas, tidak ada yang di bawah.”
Ayah mengambil cangkir teh di depannya dan meminum isinya beberapa teguk. Aku merasa bingung dengan maksud cerita ayah tadi.
“Raja Sunda dan putrinya sudah berada di kerajaan Jawa itu. Mereka dipaksa untuk tunduk kepada Raja Jawa dan menjadikan putri Sunda sebagai persembahan, sebagai tanda ketundukan. Kau tahu, Nak, orang Sunda mempunyai harga diri. Tidak akan pernah kerajaan Sunda tunduk pada kerajaan lain. Meskipun dengan kekuatan yang sangat sedikit, Raja Sunda dan putrinya mempertahankan harga diri. Maka pesta yang semestinya adalah pesta perkawinan berubah menjadi pembantaian. Itu semua karena kerakusan orang-orang Jawa. Mereka semua tewas, termasuk Raja Sunda dan putrinya. Orang-orang Jawa itu tidak bisa dipercaya.[1]”
Ayah kembali meneguk tehnya. Aku mulai tahu muara dari cerita ini. Ayahku orang yang berpendirian keras. Aku hanya bisa mengalirkan air mata. Itukah alasannya? Karena Mas Bagus adalah orang Jawa? Aku pun masuk ke dalam kamar dan memeluk kesedihan. Kemudian air mata yang deras keluar dengan sendirinya.
***
Dari ibuku aku mendapat penjelasan. Ternyata bapakku sudah memilihkan calon istri untukku. Sudah ditimbang bibit, bobot, dan bebet-nya[2]. Dan yang terlebih penting lagi, berdasarkan primbon[3], weton[4]-ku dan weton gadis yang menjadi pilihan bapakku setelah dihitung ternyata cocok. Kalau aku menikah dengan gadis itu maka hidup kami akan bahagia, tenteram, dikaruniai banyak anak, serta banyak rezeki. Begitu penjelasan ibuku.
Kepalaku pusing mendengar penjelasan seperti itu. Apakah jaman sekarang masih relevan hitung-hitungan seperti itu. Aku sudah dewasa. Aku berhak menentukan pasangan hidupku. Aku berpikir bagaimana caranya aku membujuk bapakku. Aku harus mencari kesempatan yang baik untuk membicarakannya lagi dengan bapakku.
***
Minggu pagi yang cerah. Setidaknya begitulah semestinya. Namun, perbincangan dengan ayahku tadi malam membuat pagi ini begitu suram. Matahari yang bersinar terang dan bunga-bunga yang berwarna-warni di halaman tak mampu mengusir kesedihan dan kebimbangan dari hatiku.
Sebuah mobil memasuki pintu gerbang. Mobil yang sudah aku kenal. Kedatangannya pun sudah aku nanti. Aku memberitahu pamanku masalah yang aku hadapi. Sepertinya pamanku tidak setengah-setengah menjadi comblangku. Paman berjanji akan berbicara dengan ayahku.
Dari dapur kudengar ayah dan pamanku tertawa. Mereka tampak begitu senang dan akrab. Paman merupakan saudara tua ayahku. Kumasukkan tiga bungkus teh cap Wangi –teh kesukaan ayahku– ke dalam teko berisi air panas. Setelah warnanya pekat kemerahan, dengan beberapa sendok gula, kuaduk hingga gula itu habis bercampur dengan air teh. Kuhidangkan dua cangkir teh dan kuletakkan teko di atas meja tamu. Pamanku melirikku dengan memberikan senyumnya. Seolah-olah berkata, ”Tenanglah, Galuh. Biar Paman atasi.”
Sebenarnya perbuatan menguping pembicaraan orang lain itu tidak baik. Tapi ini menyangkut hidupku. Aku duduk di atas kursi yang telah kugeser di balik pintu kamarku. Dengan begitu aku bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan oleh ayah dan pamanku. Dalam hati aku berdoa. Berdoa dengan setulus-tulusnya. Semoga hati ayah mencair setelah dibujuk oleh paman.
Setelah beberapa jenak berbasa-basi akhirnya pamanku masuk ke inti persoalan.
“Kamu memang tidak berubah, Adi Danar,” kata pamanku.
“Apa maksudmu, Kang?”
“Kamu ini masih keras kepala seperti dulu. Galuh berbicara kepadaku tentang perbincangan yang kau lakukan dengan anak semata wayangmu itu tadi malam.”
“Oh, begitu,” tanggap ayahku.
“Mengapa kamu masih saja tidak suka dengan orang Jawa, Adi Danar?”
“Kakang sudah tahu alasannya kan!”
Kemudian terdengar suara air teh diseruput dari cangkirnya.
“Aku tidak percaya dengan orang Jawa. Di mataku, mereka sama. Aku tidak mau menyerahkan hidup anakku pada orang Jawa.”
Suara ayahku mulai terdengar ketus.
“Apa kamu akan mempertaruhkan hidup anakmu hanya berdasar cerita masa lalu?” Suara paman semakin meninggi. Sepertinya suasana di ruang tamu semakin panas.
“Itu kenyataan, Kang. Orang-orang Jawa sekarang sifatnya tidak berbeda dengan pendahulu mereka yang suka berkhianat dan rakus.”
“Kamu menelan mentah-mentah cerita Perang Bubat itu? Sebegitu bencikah kamu dengan orang Jawa sampai kamu mau mengorbankan kebahagiaan anakmu?” Terdengar nada suara paman semakin tinggi.
Aku mendengar perdebatan itu dengan hati deg-degan. Suara ayah dan paman sudah mulai meninggi. Tak terasa pipiku basah. Oh, Tuhan, begitu beratkah cobaan yang aku alami.
“Adi Danar,” terdengar suara pamanku, “tak perlu kita menanam kebencian dalam hati kita hanya berdasar cerita dalam buku yang belum pasti kebenarannya itu. Apakah kamu akan menurunkan kebencian itu kepada anak cucumu? Apakah kamu memang suka mengibarkan rasa kebencian itu tanpa sedikitpun berpikir dengan nalar? Orang-orang Jawa itu baik. Justru kamu sebagai orang Sunda yang mempunyai sifat tidak baik karena menyimpan kebencian dalam hatimu.”
Keadaan sejenak hening. Aku menunggu-nunggu tanggapan ayahku.
“Aku masih tidak percaya dengan orang Jawa. Aku masih beranggapan mereka mempunyai hati yang jelek.”
Brakk…
Aku kaget setengah mati. Hampir-hampir aku terjatuh dari kursi. Suara meja yang digebrak membuat jantungku semakin berdetak kencang.
“Hah, jadi kamu menghina istriku? Istriku orang Jawa dan dia adalah istri terbaik sedunia. Kamu sebagai saudaraku malah menghina istriku? Hatimu memang sudah penuh dengan kebencian.”
Itu suara pamanku. Aku mengenali suara tinggi itu saat paman memarahi anak buahnya di kantor. Saat paman marah tidak ada anak buahnya yang berani mengangkat kepala. Semua tertunduk lesu mendengarkan luapan amarah pamanku. Kini aku mendengar paman memarahi ayahku.
Aku sudah tidak bisa konsentrasi mendengarkan pembicaraan antara ayah dan paman. Yang aku dengar suara mereka semakin ketus dan bernada tinggi. Kemudian terdengar langkah kaki, pintu dibuka kemudian ditutup lagi dengan menimbulkan suara agak keras. Terdengar suara mesin mobil kemudian berjalan menjauh.
Aku membaringkan tubuh. Rasanya capek sekali. Pikiranku yang capek. Dan lagi-lagi hanya air mata yang bisa menghiburku.
Sisa-sisa air mata membekas pada wajahku yang pucat. Makan malam terasa beku. Aku makan dengan kepala tertunduk. Tak ada nafsu untuk mengunyah makanan. Hal yang sama dilakukan oleh ibuku. Ayahku pun tak jauh berbeda. Makannya tidak lahap seperti biasanya.
“Galuh.” Keheningan makan malam dipecah oleh suara ayahku.
“Iya, ayah,” jawabku dengan tetap menundukkan kepala. Tak ada keberanian untuk memandang ayahku.
“Apa kamu benar-benar mencintai orang Jawa itu? Siapa namanya?”
“Namanya Bagus. Iya, aku mencintainya.” Suaraku terdengar sangat pelan. Seakan-akan takut ada orang yang mencuri dengar. Bahkan, seakan-akan aku takut mendengar suaraku sendiri.
“Kapan-kapan undang dia kemari. Biar ayah melihatnya. Kita lihat nanti apakah ayah bisa menerimanya atau tidak.”
Kata-kata ayahku dengar serta merta membuat kepalaku mendongak. Aku memandang ayahku dengan heran.
“Katakan padanya,” lanjut ayahku, “ayah mau bertemu dengannya.”
Mataku berkaca-kaca. Aku merasa haru. Meskipun ayahku tidak dengan tegas menerima Mas Bagus, tapi mengundang Mas Bagus kemari adalah tanda terbukanya hati ayahku.
“Iya, ayah,” jawabku dengan anggukan yang mantap.
***
“Pak, aku mau bicara.”
Aku berjalan di belakang bapak dengan langkah kaki yang terasa berat. Tanaman teh sudah mulai dipanen kemarin. Di sebelah kanan rumah, pucuk-pucuk daun teh yang berwarna hijau muda sudah tidak tampak lagi. Namun, di sebelah kiri rumah, warna hijau muda masih menghampar luas.
“Masalah yang kau bicarakan kemarin dulu itu?” tanya ayahku.
“Iya, Pak.”
“Le, bapakmu ini sudah hidup lama. Dan kebun teh penginggalan kakekmu ini telah menemani bapakmu selama ini. Kebun teh inilah rumah bapak. Hasil dari kebun teh ini pula yang mampu membiayai sekolahmu dan sekolah adik-adikmu.”
Memang benar kebun teh ini yang telah menyangga kehidupan keluargaku. Aku jadi teringat, dahulu aku suka bermain petak umpet di kebun teh ini bersama kawan-kawan sekampungku.
“Le, bapak sudah tua. Yang diinginkan orang tua hanyalah agar anak-anaknya hidup bahagia. Sebenarnya, Bapak sudah mencarikan calon istri untukmu. Gadis itu Bapak anggap cocok dengan kamu.”
Aku hanya diam mendengarkan sambil tetap berjalan di belakang bapak. Pematang kebun untuk tempat berjalan hanya cukup untuk satu orang sehingga aku tidak bisa berjalan menjajari bapak.
“Bapak sudah memikirkannya, Le. Kebahagiaanmu tentu kamu yang lebih paham. Kamu sudah besar. Bapak tidak bisa lagi mengatur-ngatur kamu seperti sewaktu kamu kecil dulu. Sebagai orang tua, Bapak hanya bisa merestui dan mendoakan agar kamu mendapatkan yang kamu cita-citakan.”
Awalnya aku merasa bingung mendengar kata-kata bapak. Namun kemudian aku tersadar dan memahami apa yang disampaikan bapak. Aku tidak menduga bapak akan mengatakan hal seperti itu. Dengar serta merta warna hatiku menjadi cerah.
Terlihat dari kejauhan sebuah truk datang.
“Itu truk yang akan mengangkut daun teh kita,” kata ayahku sambil membelokkan arah langkah kaki menuju rumah.
“Daun-daun teh kita akan diangkut ke pabrik teh Wangi di Sragen sana.”
Aku masih berjalan di belakang bapak, tapi langkah kakiku terasa lebih ringan.
“Ngomong-ngomong, kalau kamu menikah mau nanggap[5] apa, Le?”
“Heh?” Aku kaget mendengar pertanyaan yang tidak terduga itu.
“Terserah bapak saja,” jawabku dengan terbata-bata sambil tak terasa bibirku tersenyum. Terbayang wajah gadis ayu dengan mata yang berbinar-binar dan senyum yang menawan.
_________________________________________________
[1] Kisah Perang Bubat dalam Serat Pararaton
[2] Bibit, bebet, bobot: falsafah Jawa. Bibit: dari keluarga baik-baik; bebet: memiliki harta yang cukup; bobot: kualitas atau karakter orang yang baik.
[3] Primbon: perhitungan Jawa berkaitan dengan baik buruknya waktu kegiatan, watak manusia, dan jodoh.
[4] Weton: hari kelahiran berdasarkan hitungan Jawa
[5] Nanggap (Jawa): mengadakan hiburan pesta perkawinan
_________________________________________________
*Cerpen ini termasuk dalam 33 nominator Lomba Penulisan Cerpen TIngkat Mahasiswa Se-Indonesia 2013 yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) OBSESI STAIN Purwokerto.
Cerpen ini dimuat dalam Buku Antologi Cerpen Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia yang diterbitkan oleh Obsesi Press Purwokerto, 2013.
0 komentar:
Post a Comment