Hai, apakah kamu bisa masak? |
Apakah kamu bisa memasak?
Mari sedikit berbincang tentang masak-memasak.
.
Aku terheran dengan cibiran orang yang mengatakan bahwa jika ada orang yang mensyaratkan calon istrinya untuk bisa memasak, sesungguhnya ia tidak sedang mencari istri, tetapi mencari pembantu. Entah dari mana munculnya cibiran yang menggelikan itu.
Hai, kamu...
Kamu bisa masak, kan?
Jika seorang wanita karier yang tidak bisa memasak dan berkeras tidak mau belajar memasak dengan alasan feminisme atau kerja domestik rumah tangga atau kerjaan pembantu, sungguh itu pemikiran yang aneh.
Aku munculkan pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
- Jika seorang wanita takbisa memasak, apakah setiap hari ia akan jajan bersama suaminya di restoran?
- Apakah anaknya akan selalu dibekali uang untuk membeli makanan di luar?
- Jika ada orang tua datang menengok, apakah ia akan selalu memesan makanan ke warung?
- Jika ada tamu hadir: kerabat atau kawan, akankah ia selalu mengandalkan resto makanan?
- Jika suaminya terbangun malam hari dan merasa lapar, apakah ia akan selalu memencet tombol layanan antar makanan? Atau ia cukup sekadar menunjukkan letak mie instans dan menyuruh suaminya memasak mie instan?
Kan, ada pembantu yang bisa memasak? Begitu kilahnya.
Baiklah, jika kerja memasak adalah kerja pembantu, aku ingin mengatakan betapa keringnya kehidupan rumah tangga itu.
Apakah memasak untuk suami dan anak adalah sebuah beban sehingga perlu dilimpahkan kepada pembantu?
Di mana bentuk cinta kasih seorang istri jika menyiapkan makanan untuk suami saja dianggap suatu beban yang tak diharapkan. Di mana bentuk kasih sayang seorang ibu jika menyiapkan makanan untuk anak-anaknya saja dianggap suatu pekerjaan berat yang tak diinginkan.
Mengapa kita tidak bicara soal cinta saja. Suami bekerja mencari nafkah, mencukupi kebutuhan istrinya, sesekali dibelikannya hadiah yang menyenangkan istri, sekali waktu diajaknya sang istri berwisata berdua. Itu sebagai bentuk ungkapan cinta.
Begitu pula, istri menyiapkan makanan untuk suami, menyiapkan pakaian, dan menyediakan kening untuk dikecup suami saat berangkat kerja. Saat suami pulang, istri sudah menyambut dengan senyum dan tatapan rindu. Lalu istri menyilakan suami melahap makanan yang sudah dipersiapkannya. Suami pun makan dengan lahap sambil senyum-senyum karena sayurnya keasinan. Itu sebagai bentuk ungkapan cinta.
Itu cinta. Bukan beban.
Lalu bagaimana jika istri ingin bekerja. Seyogyanya salah satu saja yang bekerja penuh waktu. Sebisa mungkin si suami. Jika istri ikut bekerja itu bukan penuh waktu yang menyita banyak waktu dan energi agar ia bisa leluasa melayani suami di rumah, menyiapkan keperluannya, dan menyambut kepulangannya.
Jadi, istri harus pandai memasak?
Tidak, tidak. Tidak harus pandai. Aku tadi mengatakan: bisa memasak. Bisa.
Bisa memasak tidak perlu modal keterampilan yang tinggi, tetapi cukup modal kemauan dan keikhlasan yang didasari rasa cinta kepada suami. Lagipula, semakin lama tentu keterampilan memasak itu akan meningkat, bukan?
Jika suami suka jenis masakan tertentu, si istri berusaha belajar memasaknya. Jika suami suka minum kopi, si istri hendaknya tahu jenis kopi kesukaan dan berapa takarannya.
Aku memiliki seorang kawan yang sudah berkeluarga. Ia menduduki jabatan manajer di sebuah perusahaan besar, sedangkan istrinya bekerja di kantor pemerintahan daerah. Keduanya sibuk dalam pekerjaannya setiap hari. Meskipun, di rumah itu ada seorang pembantu, tetapi si istri tetap berkeras setiap hari ia yang memasak, menyiapkan makanan bagi suami dan anak-anaknya. Ia takmau pekerjaan memasak diambil alih oleh pembantu. Itu adalah sebentuk cinta yang bisa ia persembahkan kepada suami dan anak-anaknya.
Kamu pasti setuju bahwa semua aktivitas akan menghadirkan kebahagiaan jika dilandasi rasa cinta. Iya, kan?
Sekali lagi, hai, apakah kamu bisa masak?